Anda di halaman 1dari 9

Kasus:

Kondisi Pasien Apotek KN Memprihatinkan


Diketahui Apotek SF beberapa bulan yang lalu kedapatan menjual obat-obatan
psikotropika secara bebas sehingga dilakukan penutupan paksa oleh dinas-dinas / lembaga
yang berwenang.Kasat Narkoba Polresta setempat mengatakan pasien di Apotek SF,
Pelaihari yang diserahkan ke Satnarkoba Polresta Tanah laut kondisinya
memprihatinkan.Itu dapat dilihat salama pemeriksaan terlihat jelas para pasien masih
ketergantungan psikotropika.
Berdasarkan pemilahannya,mereka adalah korban psikotropika yang harus
disembuhkan,penderita suatu penyakit yang disarankan dokter melalui resep untuk
mengonsumsi dua jenis psikotropika itu,misal karena insomnia dan depresi,dan juga karena
efek kecelakaan sehingga terkena sarafnya dan harus tergantung obat tersebut.
Dengan resep dokter,mereka datang ke apotek untuk menebusnya.Calmlet kerap diberikan
dokter sebagai obat penenang,sedangkan riklona untuk menambah stamina fisik agar lebih
giat.Mengingat adanya resep itu,maka tidak termasuk penyalahgunaan.Dia mengacu pada
UU No 5 tahun 1997 tentang psikotropika,bahwa ketentuan pidana adalah
penyalahgunaan.Sementara,para pasien itu hanya sebagai orang yang mau menebus obat
berdasarkan resep dokter

1. Permasalahan Kasus
1. Terkait standar pelayanan kefarmasian,sumpah dan kode etik Tenaga Teknis Kefarmasian di
sektor pelayanan,apa yang seharusnya dilakukan anda sebagai TTK pada saat bekerja di
Apotek SF tersebut dan ternyata dalam perjalannya Apotek tersebut kedapatan menjual obat-
obatan psikotropika secara bebas ?

2. Apabila anda sebagai PSA ( Pemilik Sarana Apotek) sekaligus TTK di apotek tersebut
langkah kongkrit apa yang harus di lakukan untuk menyelesaikan masalah di atas ?

2 Dasar Hukum Pelanggaran


Dalam Studi kasus yang kedua perbuatan yang dilakukan oleh apotek merupakan
pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam
hal ini diatur dalam Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 24,
Undang-undang No. 51Tahun 2009, Undang-undang RI No. 51 Tahun 1997 tentang
Psikotropika dan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1. UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
2. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain
dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau
digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;

Pasal 1

(1) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
(2) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan
Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang
sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba,
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
(3) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat,
balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.

Pasal 43
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.

3. PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian


Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk menigkatkan mutu kehidupan pasien.
 Bentuk pekerjaan kefarmasian yang wajib dilaksanakan oleh seorang Tenaga Teknis
Kefarmasian (menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/X/2002 adalah
sebagai berikut:
1. Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart profesinya.
2. Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat.
3. menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan idntitas serta data kesehatan pasien.
4. Melakukan pengelolaan apotek.
5. Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.

Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Tknis


Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apotker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian,
yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga
Mnengah Farmasi/Asisten Apoteker.
Pelayanan Kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan bentuk tanggung jawab
langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk menigkatkan kualitas hidup
pasien (Menkes RI,2004)

4. UU RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika


Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah segala
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika
Pasal 8
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan
dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat
diperoleh darin apotek.
Pasal 36
(1) Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa psikotropika
untuk digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa
psikotropika yang dimiliki, disim-pan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara
sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut
serta dalam pengobatan dan/atau pera-watan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas
rehabilitasi.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap
pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.
Pasal 60
(1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal
14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat
(3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima
penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

3 Pembahasan Kasus
Obat-obat narkotika dan psikotropika tidak boleh diserahkan atau diberikan tanpa
adanya resep dari dokter, apapun keadaannya. Sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian
di apotek yang slah satunya adalah penyerahan obat, yaitu penyerahan obat bisa dilakukan
oleh apoteker dan asisten apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada
pasien dan tenaga kesehatan. beserta sumpah dan kode etik yang mencakup bahwa kita tidak
boleh merugikan, memperburuk keadaan serta hal yang dapat menganggu kesehatan pasien
dan masyarakat.
Sebagai TTK, tentu saja kita pasti sudah tau bahwa obat psikotropik dan narkotika
tidak bisa kita serahkan tanpa adanya resep dari dokter, dan jika terjadi kesalahan dalam
apotik tersebut yaitu memberikan obat psikotropik dengan cara bebas, otomatis kita sebagai
TTK sudah tahu kesalahan kita sendiri, maka yang perlu kita lakukan adalah bertanggung
jawab dengan cara melaporkan kepada Apoteker penanggung jawab apotik atas kejadian tsb.
Kemudian apotekerlah yang menindaklanjuti permasalahan itu dan melaporkan ke dinas
kesehatan.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi,
baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan
menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes
No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah:

a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu
masing – masing dua bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan
langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat
membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri
Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran
terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Dalam pertanyaan yang kedua, ada dua kemungkinan yang terjadi, yang pertama
adalah jika sebagai PSA maka yang harus dilakukan adalah mengambil tindakan sesuai
dengan keputusan bersama apoteker, karna sebagian besar PSA hanya sebagai pemilik usaha
dengan modal yang besar, maka PSA mungkin saja tidak mengetahui tentang prosedur
farmasi yang ada di apotik tersebut. Yang kedua jika PSA sekaligus sebagai TTK, jika PSA
sekaligus menjadi TTK di apotik tersebut, maka dia harus tahu hal yang bersangkutan dengan
penyerahan obat, misalnya penyerahan psikotropika yang tidak bisa diserahkan tanpa resep
dokter, dan kesalahan yang terjadi yaitu penyerahan obat psikotropik secara bebas, jika TTK
sudah tahu akan undang undang tentang penyerahan psikotropik ? maka hal itu tidak akan
terjadi, sekarang yang menjadi pertanyaan juga adalah apa alasan TTK memberikan obat
psikotropik secara bebas? Sedangkan dia tahu bahwa itu tidak boleh diberikan, apakah
dengan sekaligus menjadi PSA alasannya adalah meningkatkan penjualan apotik atau karna
kesalahan yg disengaja. Dan jika kesalahan itu sudah terjadi maka hal yang harus dilakukan
adalah menunda penjualan atau mengstopkan menjual obat tersebut dan melaporkannya
kepada apoteker agar ditindaklanjuti oleh apoteker.

4 Tenaga Teknis Kefarmasian

Tenaga kefarmasian (apoteker,analisis farmasi, asisten apoteker)


Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan /melakukan kegiatan kesehatan sesuai
dengan bidang keahlian/kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Tenaga kesehatan
dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati
pasien. Seseorang Asisten apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik
didalam lingkungan kerjanya, bersedia menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.
Asisten apoteker harus aktif mengikuti perkembangan perundang-undangan, juga menjadi
sumber informasi sesuai dengan profesinya dan hendaknya menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan dirinya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Setiap orang berhak atas ganti
rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sedangkan asisten
apoteker membentuk ikatan profesi yang berwarna PRAFI ( Persatuan Ahli Farmasi
Indonesia) yang telah ada sebelum ISFI ( ikatan sarjana farmasi Indonesia) didirikan.
Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi
yang beredar.Pengamanan terhadap sediaan farmasi yang berupa narkotika,psikotropika,obat
keras dan bahan berbahaya,dilaksanakan secara khusus sesuai UU yang berlaku. Pengamanan
penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan
membahayakan kesehatan perorangan,keluarga,masyarakat,dan lingkungannya.Bahan yang
mengandung zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi
dirinya atau masyarakat sekelilingnya.
Produksi,peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus
memenuhi standard an atau persyaratan yang ditentukan.Penetapan standar diarahkan agar zat
adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya obat
palsu.Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk
menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain.

5 Kekeliruan Dalam Membaca Resep


Dahulu pedagang besar farmasi dilarang menyalurkan psikotropika tanpa izin khusus
dari Menteri Kesehatan , tetapi sejakdi sahkannya Undang-undang RI nomor 5 Tahun 1997
tentang psikotropika maka pedagang besar farmasi yang menyalurkan psikotropika tidak
memerlukan izin khusus lagi. Dalam melayani resep seorang apoteker wajib :
Melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi
pada kepentingan masyarakat. Apoteker wajib memberikan informasi:
a. Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
b. Penggunaan obat secara tepat , aman resional atas permintaan masyarakat.
Bila terjadi kekeliruan resep , hal ini diatur sebagai berikut :
1. Apabila apoteker mengganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep
yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
2. Apabila dalam hal dimaksud karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap dalam
pendiriaannya, dokter wajib menyatakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan nya
yang lazim atas resep

Anda mungkin juga menyukai