1. Permasalahan Kasus
1. Terkait standar pelayanan kefarmasian,sumpah dan kode etik Tenaga Teknis Kefarmasian di
sektor pelayanan,apa yang seharusnya dilakukan anda sebagai TTK pada saat bekerja di
Apotek SF tersebut dan ternyata dalam perjalannya Apotek tersebut kedapatan menjual obat-
obatan psikotropika secara bebas ?
2. Apabila anda sebagai PSA ( Pemilik Sarana Apotek) sekaligus TTK di apotek tersebut
langkah kongkrit apa yang harus di lakukan untuk menyelesaikan masalah di atas ?
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
2. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain
dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau
digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
Pasal 1
(1) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
(2) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan
Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang
sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba,
menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
(3) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat,
balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai
sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Pasal 43
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui
suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut
serta dalam pengobatan dan/atau pera-watan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas
rehabilitasi.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap
pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.
Pasal 60
(1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal
14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat
(3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima
penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
3 Pembahasan Kasus
Obat-obat narkotika dan psikotropika tidak boleh diserahkan atau diberikan tanpa
adanya resep dari dokter, apapun keadaannya. Sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian
di apotek yang slah satunya adalah penyerahan obat, yaitu penyerahan obat bisa dilakukan
oleh apoteker dan asisten apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada
pasien dan tenaga kesehatan. beserta sumpah dan kode etik yang mencakup bahwa kita tidak
boleh merugikan, memperburuk keadaan serta hal yang dapat menganggu kesehatan pasien
dan masyarakat.
Sebagai TTK, tentu saja kita pasti sudah tau bahwa obat psikotropik dan narkotika
tidak bisa kita serahkan tanpa adanya resep dari dokter, dan jika terjadi kesalahan dalam
apotik tersebut yaitu memberikan obat psikotropik dengan cara bebas, otomatis kita sebagai
TTK sudah tahu kesalahan kita sendiri, maka yang perlu kita lakukan adalah bertanggung
jawab dengan cara melaporkan kepada Apoteker penanggung jawab apotik atas kejadian tsb.
Kemudian apotekerlah yang menindaklanjuti permasalahan itu dan melaporkan ke dinas
kesehatan.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi,
baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan
menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes
No. 922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah:
a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu
masing – masing dua bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan
langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat
membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri
Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran
terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Dalam pertanyaan yang kedua, ada dua kemungkinan yang terjadi, yang pertama
adalah jika sebagai PSA maka yang harus dilakukan adalah mengambil tindakan sesuai
dengan keputusan bersama apoteker, karna sebagian besar PSA hanya sebagai pemilik usaha
dengan modal yang besar, maka PSA mungkin saja tidak mengetahui tentang prosedur
farmasi yang ada di apotik tersebut. Yang kedua jika PSA sekaligus sebagai TTK, jika PSA
sekaligus menjadi TTK di apotik tersebut, maka dia harus tahu hal yang bersangkutan dengan
penyerahan obat, misalnya penyerahan psikotropika yang tidak bisa diserahkan tanpa resep
dokter, dan kesalahan yang terjadi yaitu penyerahan obat psikotropik secara bebas, jika TTK
sudah tahu akan undang undang tentang penyerahan psikotropik ? maka hal itu tidak akan
terjadi, sekarang yang menjadi pertanyaan juga adalah apa alasan TTK memberikan obat
psikotropik secara bebas? Sedangkan dia tahu bahwa itu tidak boleh diberikan, apakah
dengan sekaligus menjadi PSA alasannya adalah meningkatkan penjualan apotik atau karna
kesalahan yg disengaja. Dan jika kesalahan itu sudah terjadi maka hal yang harus dilakukan
adalah menunda penjualan atau mengstopkan menjual obat tersebut dan melaporkannya
kepada apoteker agar ditindaklanjuti oleh apoteker.