Anda di halaman 1dari 63

Peraturan narkotika, S

E
K

psikotropika, dan prekursor


O
L
A
H

(Permenkes Nomor 3 tahun T


I

2015, UU No 35 tahun 2009 dan N


G
G

UU No 5 tahun 1997) I

I
L
DOSEN PENGAMPU: M
U
ERNIZA PRATIWI, M.Farm.,Apt
F
A
R
KELOMPOK 10: M
A
NOLA JUITA (1401106) S
I
PUTRI SANTIKA (1601110) R
RIRIN NOVITA (1401121) I
A
SELVI NURIZKY (1401138) U
Pembahasan
Penyimpanan,
Definisi, pelaporan,
Penggolongan pemusnahan
narkotika, narkotika,
psikotropika psikotropika
dan prekursor. dan prekursor.

Produksi, Sanksi terhadap


penyaluran dan pelanggaran
penyerahan narkotika,
narkotika, psikotropika
psikotropika dan prekursor
dan prekursor.
Pasal 1 PMK RI No. 3 Th.2015
DEFENISI
Narkotika

zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan


tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang tentang Narkotika.

Psikotropika

zat/bahan baku atau obat, baik alamiah maupun sintetis


bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan
perilaku.
Pasal 1 PMK RI No. 3 Th.2015
DEFENISI
Prekursor Farmasi

zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat


digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk
keperluan proses produksi industri farmasi atau
produk antara, produk ruahan, dan produk jadi yang
mengandung ephedrine, pseudoephedrine,
norephedrine/phenylpropanolami, ergotamin,
ergometrine, atau Potasium Permanganat.

Penyaluran

setiap kegiatan distribusi Narkotika, Psikotropika dan


Prekursor Farmasi dalam rangka pelayanan kesehatan
atau kepentingan ilmu pengetahuan.
Pasal 1 PMK RI No. 3 Th.2015
DEFENISI
Penyerahan

setiap kegiatan memberikan narkotika,


psikotropika dan prekursor farmasi, baik antar
penyerah maupun kepada pasien dalam rangka
pelayanan kesehatan.

Pedagang Besar Farmasi (PBF)

perusahaan berbentuk badan hukum yang


memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam
jumlah besar sesuai ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 1 PMK RI No. 3 Th.2015
DEFENISI
Importir Terdaftar Psikotropika (IT Psikotropika)

pedagang besar farmasi yang mendapat izin untuk


mengimpor psikotropika guna didistribusikan kepada
industri farmasi lembaga ilmu pengetahuan sebagai
pengguna akhir psikotropika.

Importir Terdaftar Prekursor Farmasi (IT Prekursor Farmasi)

pedagang besar farmasi yang mendapat izin untuk


mengimpor prekursor farmasi guna didistribusikan
kepada industri farmasi dan lembaga ilmu pengetahuan
sebagai pengguna akhir prekursor farmasi.
DEFENISI
Pasal 1 UU RI No. 35 Th.2009

Pecandu Narkotika
orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik
secara fisik maupun psikis.

Ketergantungan Narkotika
kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan
Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-
tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
DEFENISI
Pasal 1 UU RI No. 35 Th.2009

Penyalah Guna
orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.
Rehabilitasi Medis
suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika.
Rehabilitasi Sosial
suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental
maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pasal 4 UU RI No. 35 Th.2009

Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:


a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi;
b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa
Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
c. memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika; dan
d. menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial
bagi Penyalah Guna dan pecandu Narkotika.
Penggolongan Narkotika
Pasal 6 UU RI No. 35 Th.2009

1) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 digolongkan


ke dalam:
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
2) Penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum
dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari Undang-Undang ini.
3) Ketentuan mengenai perubahan penggolongan Narkotika
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : Opium, Tanaman
koka, Tanaman ganja, dll.

Narkotika Golongan II adalah Narkotika berkhasiat pengobatan


digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : Fentanil, Morfina, Levometorfan, Petidina, dll.

Narkotika Golongan III adalah Narkotika berkhasiat pengobatan


dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan.
Contoh : Etilmorfina, Kodeina, dll.
Pasal 8 UU RI No. 35 Th.2009
1) Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan.
2) Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat
digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik,
serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan
persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Daftar Penggolongan Narkotika terbaru terdapat dalam lampiran
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2017
Tentang
Perubahan Penggolongan Narkotika
Golongan I : 114
Golongan II : 91
Golongan III : 15
Penggolongan Psikotropika
Pasal 2 UU RI No. 5 Th.1997

1) Ruang lingkup pengaturan dibidang psikotropika dalam


undangundang ini adalah kegiatan yang berhubungan
dengan psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan.
2) Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan
sindrom ketergantungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) digolongkan menjadi:
a. psikotropika golongan I;
b. psikotropika golongan II;
c. psikotropika golongan III;
d. psikotropika golongan IV.
3) Jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan II,
psikotropika golongan III, psikotropika golongan IV
sebagaimana dimaksud pada ayat(2) untuk pertamakali
ditetapkan dan dilampirkan dalam undang-undang ini, yang
merupakan bagian yang tak terpisahkan.
4) Ketentuan lebih lanjut untuk penetapan dan perubahan
jenis-jenis psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur oleh Menteri.

Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat


digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan
dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh :
Brolamfetamina, Mekatinona, dll.
Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat
pengobat-an dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu penge-tahuan serta mempunyai potensi kuat
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amfetamina,
Metakualon, dll.

Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat


pengobat-an dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk
tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Amobarbital,
Buprenofrina, Flunitrazepam, dll.

Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat


pengobat-an dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh : Allobarbital,
Alprazolam, Diazepam, Fenobarbital, Dll.
Pasal 3 UU RI No. 5 Th.1997
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan
pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika

Pasal 4 UU RI No. 5 Th.1997


1) Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau ilmu pengetahuan.
2) Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan.
3) Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
psikotropika golongan I dinyatakan sebagai barang terlarang.
Daftar Golongan II & IV Psikotropiksa terbaru terdapat dalam lampiran
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2017
Tentang
Perubahan Penggolongan Psikotropika
Golongan 2 terdiri dari 3 obat
Golongan IV terdiri dari 62 Obat
Pasal 3
Pengaturan Prekursor bertujuan untuk:
a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor;
b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor;
c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor; dan
d. menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi, industri non
farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 4
1) Prekursor digolongkan dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel
II.
2) Jenis Prekursor Tabel I dan jenis Prekursor Tabel II sebagaimana
tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
3) Penambahan dan perubahan jenis Prekursor Tabel I dan Tabel II
dalam Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait
TABEL 1 TABEL 2
1. Acetic Anhydride. 1. Acetone.
2. N-Acetylanthranilic Acid. 2. Anthranilic Acid.
3. Ephedrine. 3. Ethyl Ether.
4. Ergometrine. 4. Hydrochloric Acid.
5. Ergotamine. 5. Methyl Ethyl Ketone.
6. Isosafrole. 6. Phenylacetic Acid.
7. Lysergic Acid. 7. Piperidine.
8. 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone. 8. Sulphuric Acid.
9. Norephedrine. 9. Toluene.
10. 1-Phenyl-2-Propanone.
11. Piperonal.
UU NO 35 TH 2009
12. Potassium Permanganat. Pasal 49
13. Pseudoephedrine.
14. Safrole.
Produksi, penyaluran, dan
penyerahan narkotika,
psikotropika, dan prekursor
Uu no 35 tahun 2009
Produksi narkotika
Pasal 11
(1) Menteri memberi izin khusus untuk memproduksi Narkotika kepada
Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan setelah dilakukan audit oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
(2) Menteri melakukan pengendalian terhadap produksi Narkotika sesuai
dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9.
(3) Badan Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan terhadap
bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi Narkotika sesuai
dengan rencana kebutuhan tahunan Narkotika sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan.
Pasal 12 Uu no 35 tahun 2009

(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan


dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat
terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(2) Pengawasan produksi Narkotika Golongan I untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara ketat
oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan
jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Uu no 35 tahun 2009
Penyaluran narkotika
Pasal 39
(1) Narkotika hanya dapat disalurkan oleh Industri
Farmasi, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, dan
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki izin khusus penyaluran Narkotika dari
Menteri.
Pasal 40 Uu no 35 tahun 2009

(1) Industri Farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan


Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu; dan
d. rumah sakit.
(2)Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat
menyalurkan Narkotika kepada:
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah
tertentu;
d. rumah sakit; dan
e. lembaga ilmu pengetahuan
Cont...
(3) Sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah tertentu
hanya dapat menyalurkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit pemerintah;
b. pusat kesehatan masyarakat; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.

Pasal 41
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh
pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga
ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Uu no 35 tahun 2009
Penyerahan narkotika
Pasal 43
(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh:
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada:
a. rumah sakit;
b. pusat kesehatan masyarakat;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
Cont..
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan
balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika
kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat
dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan
memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada
apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu
yang diserahkan oleh dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
Produksi psikotropika uu no 5 tahun 1997

Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat
yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 6
Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau
digunakan dalam proses produksi.
Pasal 7
Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa
obat, harus memenuhi standar dan/atau persyaratan
farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.
uu no 5 tahun 1997

Penyaluran psikotropika
Pasal 12
(1) Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat dilakukan
oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah.
(2) Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan oleh :
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lain-
nya, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan.
Cont... uu no 5 tahun 1997

c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada


rumah sakit Pemerintah, puskesmas dan balai pengobatan
Pemerintah.
(3) Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik
obat dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian
dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu
pengetahuan.

Pasal 13
Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan
pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan atau diimpor secara langsung oleh
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang
bersangkutan.
Penyerahan psikotropika
Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka
peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya
dapat dilakukan kepa-da apotek lainnya, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan
kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai
pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada
pengguna/pasien.
uu no 5 tahun 1997
Cont... uu no 5 tahun 1997

(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan


balai pengobatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilaksanakan dalam hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) hanya dapat diperoleh dari apotek.

Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan penyerahan
psikotropika diatur oleh Menteri.
PRODUKSI PERKUSOR
Prekursor hanya dapat diproduksi oleh industri
yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Produksi Prekursor untuk industri farmasi harus
dilakukan dengan cara produksi yang baik sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Prekursor untuk industri farmasi harus memenuhi
standar Farmakope Indonesia dan standar lainnya.
Prekursor untuk industri non farmasi harus Memenuhi
persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Cont..
Penyerahan Prekursor Farmasi hanya dapat
dilakukan oleh:
a. Apotek;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. Toko Obat.
Cont...
Apotek hanya dapat menyerahkan Prekursor
Farmasi golongan obat keras kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter; dan
f. pasien.
Penyimpanan, pelaporan,
pemusnahan narkotika,
psikotropika dan prekursor.

(2) Dalam hal PBF menyalurkan Narkotika dalam bentuk


bahan baku dan obat jadi, gudang khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus terdiri atas:
a. gudang khusus Narkotika dalam bentuk bahan baku; dan
b. gudang khusus Narkotika dalam bentuk obat jadi.
Industri Farmasi
Pasal Pasal
28 (1) Industri Farmasi yang 29 (1) Industri Farmasi yang
memproduksi Narkotika harus memproduksi Psikotropika
memiliki tempat penyimpanan harus memiliki tempat
Narkotika berupa gudang penyimpanan Psikotropika
khusus, yang terdiri atas: berupa gudang khusus atau
ruang khusus, yang terdiri
a. Gudang khusus Narkotika atas:
dalam bentuk bahan baku
a. gudang khusus atau ruang
b. Gudang khusus Narkotika khusus Psikotropika dalam
dalam bentuk obat jadi. bentuk bahan baku
b. gudang khusus atau ruang
Gudang khusus atau ruang khusus khusus Psikotropika dalam
berada dalam penguasaan Apoteker bentuk obat jadi.
penanggung jawab
PBF
Pasal Pasal
30 31 (1) PBF yang menyalurkan
(1) PBF yang
menyalurkan Narkotika Psikotropika harus memiliki
harus memiliki tempat tempat penyimpanan
penyimpanan Narkotika
Gudang khusus atauPsikotropika berupa gudang
berupa gudang khusus. khusus atau ruang khusus.
ruang khusus Narkotika
dan Psikotropika berada
dalam penguasaan
Apoteker penanggung
Gudang khusus atau ruang khusus
jawab
(2) Gudang khusus harus harus terdiri atas:
terdiri atas: a. gudang khusus atau ruang khusus
a. gudang khusus Narkotika Psikotropika dalam bentuk bahan
dalam bentuk bahan baku
baku
b. gudang khusus Narkotika
dalam bentuk obat jadi b. gudang khusus atau ruang khusus
Psikotropika dalam bentuk obat jadi
Instalasi Farmasi
Pasal 32
(1) Instalasi Farmasi Pemerintah yang menyimpan
Narkotika atau Psikotropika harus memiliki
tempat penyimpanan Narkotika atau Lemari
Psikotropika berupa ruang khusus atau lemari khusus atau
Ruang Khusus
khusus. berada dalam
penguasaan
Pasal 33 Apoteker
(1) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, penanggung
jawab atau
Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan Apoteker
Lembaga Ilmu Pengetahuan harus memiliki yang ditunjuk
tempat penyimpanan Narkotika atau
Psikotropika berupa lemari khusus.
Praktik Dokter

Dokter praktik perorangan yang


menggunakan Narkotika atau Psikotropika
Pasal untuk tujuan pengobatan harus menyimpan
34 Narkotika atau Psikotropika di tempat yang
aman dan memiliki kunci yang berada di
bawah penguasaan dokter
Gudang khusus atau ruang
khusus berada dalam
penguasaan Apoteker
penanggung jawab.
Pasal 35

Industri Farmasi yang menggunakan Prekursor


Farmasi dalam bentuk bahan baku untuk memproduksi
Prekursor Farmasi atau PBF yang menyalurkan Prekursor
Farmasi dalam bentuk bahan baku harus memiliki
tempat penyimpanan Prekursor Farmasi berupa gudang
khusus atau ruang khusus.
Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan
dalam hal:

Diproduksi tanpa memenuhi standar


dan persyaratan yang berlaku dan/atau
tidak dapat diolah kembali

telah kadaluarsa

tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada


pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk
sisa penggunaan

Pasal dibatalkan izin edarnya

37 berhubungan dengan tindak


pidana
(1) Pemusnahan dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi
Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi
Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat.

(2) Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang memenuhi


kriteria pemusnahan yang berada di Puskesmas harus dikembalikan
kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 38

(3) Instalasi Farmasi Pemerintah yang melaksanakan pemusnahan


harus melakukan penghapusan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah

(4) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang


berhubungan dengan tindak pidana dilaksanakan oleh instansi
pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 39

Pemusnahan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi harus dilakukan
dengan:
tidak mencemari lingkungan
tidak membahayakan
kesehatan masyarakat.
Tahap- tahap Pemusnahan
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi
1. KemKes dan Badan POM, bagi
Instalasi Farmasi Pemerintah
Pusat
b. KemKes, Badan POM,
a. penanggung jawab 2. DinKes Prov dan/atau Balai
POM setempat, bagi Importir, DinKes Provinsi, Balai
fasilitas produksi/fasilitas
Industri Farmasi, PBF, Lembaga Besar/Balai POM setempat,
distribusi/fasilitas pelayanan
Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi dan DinKes Kab/Kota
kefarmasian/pimpinan
Farmasi Pemerintah Provinsi; menetapkan petugas di
lembaga/dokter praktik atau lingkungannya menjadi saksi
perorangan menyampaikan
3. DinKes Kabupaten/Kota pemusnahan sesuai dengan
surat pemberitahuan dan dan/atau Balai POM setempat, surat permohonan sebagai
permohonan saksi kepada: bagi Apotek, IF RS, Instalasi saksi
Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi
Pemerintah Kabupaten/Kota,
Dokter, atau Toko Obat

d. Narkotika, Psikotropika e. Narkotika, Psikotropika


dan Prekursor Farmasi dalam dan Prekursor Farmasi
c. Pemusnahan bentuk bahan baku, produk
disaksikan oleh dalam bentuk obat jadi
antara, dan produk ruahan
harus dilakukan
petugas yang telah harus dilakukan sampling
pemastian kebenaran
ditetapkan pada huruf untuk kepentingan pengujian
oleh petugas yang secara organoleptis oleh
b. berwenang sebelum saksi sebelum dilakukan
dilakukan pemusnahan. pemusnahan
Dalam hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan
Pasal 41

Prekursor Farmasi dilakukan oleh pihak ketiga, wajib


disaksikan oleh pemilik Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi dan saksi

Penanggung jawab fasilitas produksi, distribusi,


pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter
Pasal 42

praktik perorangan yang melaksanakan pemusnahan


Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus
membuat Berita Acara Pemusnahan.
Berita Acara Pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan
tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan
Kepala Badan/Kepala Balai
(1)Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah,
Apotek, Puskesmas, IFRS, Instalasi Farmasi Klinik,
Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau dokter praktik
perorangan yang melakukan produksi, Penyaluran, atau
Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.
(2) Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor
Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat
pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran
Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi.
Pencatatan terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika,
dan Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan
penyaluran/penyerahan;
f. jumlah yang disalurkan/diserahkan;
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau
penyaluran/penyerahan; dan
h. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.
Wajib membuat, menyimpan, dan
menyampaikan laporan
pemasukan dan penyaluran
Narkotika, Psikotropika, dan
Prekursor Farmasi

Instalasi
PBF yang Farmasi
melakukan laporan Pemerintah
penyaluran pemasukan dan Daerah
setiap bulan setiap bulan penyaluran Kepala Dinas
kepada Direktur kepada Kepala bentuk obat Kesehatan
Jenderal dengan Dinas jadi kepada Provinsi atau
tembusan Kesehatan Direktur Kabupaten/Kot
Kepala Badan. Provinsi dengan Jenderal a setempat
Industri Farmasi tembusan dengan dengan
yang Kepala tembusan tembusan
memproduksi Badan/Kepala Kepala Badan. kepada Kepala
Balai Instalasi Balai setempat.
Farmasi
Pemerintah
Pusat
(5) Pelaporan paling sedikit terdiri atas:
a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika,
Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi;
b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan;
c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan;
d. jumlah yang diterima;
e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran;
f. jumlah yang disalurkan; dan
g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau
penyaluran dan persediaan awal dan akhir.
Apotek

dokter Instalasi
Pelaporan dimaksud praktik
setiap bulan Farmasi
paling sedikit terdiri perorang kepada Kepala Rumah
an Dinas Kesehatan Sakit
atas: Kabupaten/Kota
a. nama, bentuk dengan tembusan
Kepala Balai
sediaan, dan setempat.
kekuatan Narkotika, Lembaga
Instalasi
Ilmu
Psikotropika, Pengetah
Farmasi
Klinik
dan/atau Prekursor uan
Farmasi;
b. jumlah persediaan (9) Laporan menggunakan sistem pelaporan
awal dan akhir bulan
Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor
c. jumlah yang diterima
d. jumlah yang
Farmasi secara elektronik.
diserahkan
(10)Laporan disampaikan paling lambat
setiap tanggal 10 bulan berikutnya.
SANKSI TERHADAPPELANGGARAN
NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN
PREKURSOR FARMASI
Pasal 51

((1) Dalam rangka, Menteri berwenang mengambil tindakan


administratif terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau
lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktek.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 111

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan
Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,


menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal
112

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I
bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, atau


menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal
114

(1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam
jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau
menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dalam bentuk Tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau
melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana
penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 6 (enam)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda
maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal (1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
60 b. b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapan menyalurkan psikotropika selaun yang ditetapkan dalam Pasal 12
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14
ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah). Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal (1) Barangsiapa :
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal
59 4 ayat (2); atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi
psikotropika golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu
pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa
psikotropika golongan I; dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
secara terorganisasi dipidana dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah).
(3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan korporasi, maka
disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi
dikenakan denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Anda mungkin juga menyukai