Anda di halaman 1dari 10

Salah satu kelebihan 

tenaga kesehatan kita yang telah lama melalang


buana diberbagai tempat produksi, distribusi, maupun pelayanan kefarmasian
adalah banyak mengetahui kondisi riil di lapangan tentang dunia farmasi saat ini.
Ditempat kerja terdahulu tentunya memiliki kebijakan yang berbeda dengan
tempat kerja sekarang, dalam hal melakukan praktik pekerjaan kefarmasian. Ada
hal-hal yang sifatnya postitif, tapi tidak sedikit pula hal negatif yang menjadi
pengalaman seorang tenaga kefarmasian. Oleh karenanya kita harus terus belajar,
berharap dengan demikian dapat membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Jangan sampai masuk zona abu-abu, apalagi terperosok ke lembah hitam.
Untuk bahan pembelajaran kali ini, kita akan mempelajari studi kasus mengenai
permasalahan etika profesi Apoteker.

Kasus 1

Bedasarkan hasil pengujian Balai Besar POM Surabaya terhadap sampel


berikut :

Nama Obat : Pil Zhui Fung Tan


Nama Produsen : PT. Hanis Maju
Alamat : Jl. Asem Rowo No 4 Surabaya
Hasil Uji : Positif mengandung paracetamol

Permasalahan :
1. Evaluasi kasus tersebut dan bagaimana tindak lanjut yang dilakukan terhadap
permasalahan tersebut di atas?
2. Sebutkan dasar hukum yang dilanggar?
3. Dapatkah kasus ini dilakukan proses proyustisia, apabila tidak dapat diproses
sebagai salah satu pelanggaran tindak pidana?

Berikut ulasan :
1. Evaluasi dan Tindak Lanjut Produsen obat tersebut (PT. Haris Maju)
melakukan tindak pelanggaran karena pada produk tidak dicantumkan nomer
registrasi, tanggal kadarluarsa obat, dan produk terbukti mengandung bahan
kimia obat (BKO). Dari pelanggaran tersebut, tindak lanjut berikutnya adalah
dilakukan proses proyustisia.
2. Dasar Hukum yang dilanggar
Pada kasus di atas, dasar hukum yang dilangar antara lain :
a. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
pasal 1 (4):”Sedian farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan
kosmetika”.
Pasal 106 (1) :”Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah mendapat ijin edar”.
b. Undang-undang Republik Indonesia No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pasal 8 (1) :”Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan /atau jasas yang : a. Tidak memenuhi atau tidak
sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 8 (4) : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat(1) dan ayat
(2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menarikya dari peredaran.
c. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Ijin
Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional (OT) pasal
39 (1) : a. Industr i Obat Tradisional (IOT) atau Industri Kecil Obat Tradisional
(IKOT) dilarang memproduksi segala jenis OT yang mengandung bahan kimia
hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat.
3. Sanksi Administratif dan Hukum
a. Sanksi adminitratif
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Ijin
Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional (OT) : Pasal
20 (c): ”Ijin Usaha IOT atau IKOT dicabut dalam hal ini melanggar ketentuan
pasal 3, 4, 39, atau 41”.
Pasal 21 ayat 1-3 : Apabila IOT atau IKOT melakukan tindakan pelanggaan
diberikan peringatan secara tertulis sampai 3 kali berturut-turut dengan
tenggang waktu 2 bulan, apabila dalam waktu 2 bulan yang bersangkutan tidak
melakukan perbaikan sebagaimana disebutkan dalam surat peringatan, kepada
yang bersangkutan dikenakan tindakan pembekuan ijin usaha industri; bila
dalam waktu 6 bulan industri yang bersangkutan tidak melakukan perbaikan
sebagaimana disebutkan dalam surat pembekuan ijin usaha industri, maka
dikenakan tindakan pencabutan ijin usaha; pembekuan ijin usaha IOT dan
IKOT dapat dicairkan kembali apabila IOT dan IKOT telah melakukan
perbaikan sebagaimana disebutkan dalam surat pembekuan ijin usaha.
b. Sanksi hukum diberikan karena terbukti melanggar tindak pidana sesuai :
1. Undang-undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan : Pasal 197 : Setiap
orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki ijin edar sebagaimana dimaksud
dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000-,(satu miliar lima
ratus juta rupiah).
2. Undang-undang RI No. 8 tahun 1990 tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 61 : Penuntutan dapat dilakukan terhadap
pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62(1) : Pelaku usaha yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.
2.000.000,00 (dua juta rupiah). Dalam kasus ini dapat dilakukan proyustisia,
karena terbukti melanggar tindak pidana UU No. 36 tahun 2009 pasal 197 dan
UU No. 8 tahun 1990 pasal 62 ayat (2). Dengan tuntutan yang mengacu pada
UU No. 36 tahun 2009 tahun 197.

Kasus 2
Apoteker M menjadi penanggung jawab apotek di Kota W yang sekaligus
sebagai pemilik sarana apotek. Suatu saat ia mendapatkan tawaran untuk menjadi
penanggungjawab PBF PP dan ia menerima tawaran tersebut. Tanpa melepas
status sebagai APA, ia menjadi penanggung jawab PBF PP. Untuk mencapai
target yang telah ditetapkan perusahaan (PBF PP), apoteker M melakukan
kerjasama dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke klinik dan
balai pengobatan atau rumah sakit. Apotek akan mendapatkan fee dari kerja sama
ini sebesar 2% faktur penjualan. Semua administrasi dapat ia kendalikan dan
lengkap (surat pesanan, faktur pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat
pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek, pengiriman dari
apotek ke sarana tersebut dll). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap ada
pemeriksaan Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi.

Pembahasan :
Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus tersebut.
Yang pertama adalah masalah penanggung jawab, dimana Apoteker A menjadi
APA di Apotek B dan juga sekaligus menjadi PJ di Pedagang Besar Farmasi C.
Yang kedua adalah pada masalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek
& PBF, dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama agar mendapatkan
keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal.
• Pembahasan Pelanggaran Pertama
Diketahui bahwa seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA), yang mana merupakan tanda bukti bahwa yang
bersangkutan telah resmi teregistrasi sebagai salah seorang tenaga kefarmasian
yaitu apoteker. Disamping STRA, apoteker juga harus memiliki izin lain ketika
hendak melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin Praktek
Apoteker (SIPA), diperlukan apabila bekerja di tempat fasilitas pelayanan
kefarmasian. Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA), wajib dimiliki ketika
melakukan praktek di fasilitas produksi ataupun distribusi / penyaluran
kefarmasian.
Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di
PBF, sehingga memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki
SIKA PJ PBF. Perbuatan ini disebut pelanggaran karena bertentangan dengan
peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18
Permenkes 889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA
hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh
memiliki SIPA atau SIKA untuk satu tempat saja.
• Pembahasan Pelanggaran Kedua
Masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF,
saya persingkat saja. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU
5/99. Pasal tersebut melarang yang namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan
pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan
menguasai produksi sejumlah produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa
barang ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut adalah hasil dari
pengolahan atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung,
sehingga membuat terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga
merugikan masyarakat.
Ada perjanjian antara apotek dan PBF berupa fee bagi apoteker, dimana
apotek dan PBF merupakan bagian dari proses penyaluran / distribusi kefarmasian
yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah sakit sebagai tujuan akhir maksud
perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut dapat menimbulkan persaingan usaha
tidak sehat, tergantung bagaimana fee tersebut digunakan untuk menimbulkan
kerugian terhadap masyarakat. Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi
adalah tindak pidana berupa integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas
bila keseluruhan dokumen diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa
dianalisis dengan lebih tepat. Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan
perjanjian tertutup yang diatur dalam pasal 15 ayat (3).

Dasar Hukum Pelanggaran


Dalam Studi kasus yang pertama perbuatan yang dilakukan oleh apoteker
merupakan pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang
berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18
Permenkes No.889 Tahun 2011, Pasal 14 UU No.5 Tahun 1999, Pasal 15 ayat (3).
a.   Pasal 18 Permenkes 889/2011
Berikut ini ringkasan dari peraturan tersebut:
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Tenaga
kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri
atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah Sarjana Farmasi
yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker
dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten
Apoteker; Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian
wajib memiliki surat tanda registrasi berupa: Surat Tanda Registrasi Apoteker
(STRK) yang dikeluarkan oleh Komite Farmasi Nasional (KFN). Surat Tanda
Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi
STRK dan STRKTT berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat
diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Persyaratan untuk memiliki
STRK meliputi:
      memiliki ijazah Apoteker;
      memiliki sertifikat kompetensi profesi;
      memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
      memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik; dan
      membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Persyaratan untuk memiliki STRKTT:
      memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
      memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktik;
      memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah
memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau
organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
      membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
kefarmasian.
Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan
pekerjaan kefarmasian di Indonesia dalam rangka alih teknologi atau bakti sosial
harus memiliki STRA Khusus yang dikeluarkan KFN dan berlaku selama 1
Tahun.
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian
wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja yang
dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Surat izin yang
dimaksud berupa:
      Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
      Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA)
      Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK)
Peraturan ini juga mengatur tentang Komite Farmasi Nasional (KFN).
KFN adalah lembaga yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk
meningkatkan mutu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan
pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian
Peraturan Menteri ini mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
184/Menkes/Per/II/1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan
Izin Kerja Apoteker dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
679/Menkes/SK/V/2003 tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker.
Keduanya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 3 Mei 2011.
b.    Pasal 14 UU 5/99
Pasal 14 UU nomor 5 tahun 1999 mengenai integrasi vertikal berisi :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lain yang
bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian
produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi
merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.
c.      Pasal 15 ayat 3
Ketentuan Pasal 15 Ayat 3 mengatur suatu perjanjian mengenai
persyaratan tertentu, yang mengikat pembeli supaya dia bisa memasok barang
atau jasa dari produsen dengan pemberian harga atau potongan harga yaitu
melalui suatu perjanjian eksklusif.
Solusi :
Gunakanlah media Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Disini
hanya melaporkan selengkapnya setau kita saja, dan akan dijamin kerahasiaannya.
Selanjutnya KPPU akan menindaklanjuti laporan kita, mulai dari memanggil para
saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan tersebut benar atau salah;
hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan penyelidikan tindakan
pidana. Jadi daripada melaporkan sendiri kepolisi yang belum tentu kita benar dan
takutnya malah dituntut balik, lebih baik ke KPPU aja karena semuanya mereka
yang urus. Pelanggaran integrasi vertikal ini bisa dikenakan denda minimal 25
milyar.

Kasus 3
Untuk meningkatkan penjualan, seorang Apoteker yang menjadi Manajer
Marketing divisi OTC pada suatu pabrik farmasi merencanakan untuk melakukan
promosi aktif  kepada outlet apotek. Apotek  yang dapat menjual produk A
dengan target tertentu akan mendapatkan reward berupa bonus/marketing
fee/diskon yang cukup besar. Adapun ketentuan yang ditetapkan adalah sebagai
berikut:
1. Perhitungan pencapaian target berdasarkan jumlah pembelian produk A ke PBF
yang telah ditentukan, dibuktikan dengan foto kopi faktur pembelian.
2. Outlet bersedia mendisplay produk A pada tempat yang strategis.
3. Petugas outlet bersedia menggunakan atribut  berupa kaos produk A dan
selalu aktif menawarkan produk kepada konsumen.
4. Outlet tidak menyediakan produk competitor.
5. Menjamin ketersediaan produk A pada outlet selama 6 bulan berturut-turut.
• Manajer marketing tidak selayaknya membuat ketentuan seperti ini tidak
fair.
• Ketentuan no 3 dan 4 yang dibuat untuk meningkatkan penjualan akan
mendorong terjadinya pelanggaran kode etik apotek akan menjadi alat
promosi dari pabrik tertentu dan apotek hanya menyediakan/menjual obat-
obatan dari industri farmasi tertentu saja.
• Promosi produk A sebaiknya dilakukan sendiri oleh pabrik tanpa melibatkan
apotek mencegah persaingan yang tidak sehat antara pabrik farmasi di
apotek.

Kasus 4
Apoteker AN bekerja sebagai medical representativ (Medref) disalah satu
Industri Farmasi PMA. Sebagai salah satu cara untuk menarik perhatian
dokter dalam mempromosikan produk obatnya, maka Apoteker AN bersedia
menanggung biaya dan memfasilitasi dokter tersebut untuk mengikuti simposium
ilmiah di luar negeri, yang sudah disetujui juga oleh industri tempat Apoteker
tersebut bekerja.

Kode Etik
Pasal 3
Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada
prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya.

Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian.

Pasal  6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi
orang lain.

                                           UU Kesehatan no. 36 tahun 2009


Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
Kasus 5
Pemerintah telah menetapkan harga jual obat adalah 1- 3 kali harga obat
generiknya. Seorang apoteker yang menjabat sebagai Manajer Produksi di suatu
industri farmasi mendapati bahwa harga bahan baku glibenclamide naik sehingga
setelah diproduksi menjadi tablet glibenclamide juga harga tinggi.
  Bila mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, pabrik mengalami
kerugian. Diketahui bahwa pabrik farmasi yang memproduksi glibenclamide
tablet hanya oleh beberapa pabrik farmasi. 
Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker?
• Tetap memproduksi Glibenclamide tablet karena sangat diperlukan oleh
masyarakat. Tapi bagaimana mengatasi kerugian perusahaan? Melakukan
subsidi silang untuk menutup kerugian pabrik/jual neto aja.
• Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti dengan bahan tambahan
yang lebih murah tapi tidak mengubah kualitas.
• Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik (pentingnya GP-Farmasi)
dengan pemerintah terkait regulasi.

Anda mungkin juga menyukai