Anda di halaman 1dari 17

KASUS UUEF

1. Industri manufaktur obat memiliki Sertifikat CPOB untuk sediaan kapsul antibiotik, kemudian
memproduksi sediaan dengan bahan aktif yang sama dalam bentuk injeksi
Bentuk pelanggaran : sertifikat CPOB hanya berlaku hanya untuk 1 jenis dan bentuk sediaan
sesuai dengan yang diregistrasi. Jika industry tidak memiliki sertifikat CPOB, maka dapat
dipastikan bahwa produk tersebut tidak memiliki izin edar (peraturan BPOM no.26/2018
tentang pelayanan perijinan berusaha terintegrasi secara elektronik sector obat dan makanan
pasal 5 ayat 2 menyebutkan bahwa syarat izin edar adalah sertifikat CPOB yang masih berlaku
sesuai bentuk sediaan yang didaftarkan).

UU/disiplin/etik yang dilanggar:


Pelanggaran UU =
 UU 36/2019 tentang Kesehatan pasal 98 ayat 2 ; Setiap orang yang tidak memiliki keahlian
dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan
mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
 PERATURAN BPOM NOMOR 19 TAHUN 2020 TENTANG PEDOMAN TINDAK
LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT, bab 2 kategori temuan kritis atau
berat yakni Temuan ketidaksesuaian terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
baik secara teknis dan/atau administratif yang:
a) menyebabkan penurunan mutu Obat dan/atau Bahan Obat; b) menunjukkan terjadinya
penyimpangan Peredaran Obat dan/atau Bahan Obat dari/ke fasilitas atau pihak yang tidak
memiliki kewenangan; c) melakukan kegiatan Pengelolaan Obat dan/atau Bahan Obat tanpa
kewenangan; d) menunjukkan adanya Pembuatan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
Distribusi dan/atau Penyerahan Obat dan/atau Bahan Obat ilegal termasuk palsu; e)
merupakan Temuan Sistemik yang menggambarkan situasi yang berpotensi menghasilkan
produk yang tidak memenuhi syarat atau mengakibatkan produk yang tidak memenuhi
syarat beredar; f) merupakan Temuan Sistemik yang menggambarkan situasi yang dapat
mengakibatkan risiko kesehatan segera atau tersembunyi; dan/atau g) bersifat kecurangan,
pemalsuan produk atau data dan informasi.
 PP No 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan Pasal 2
dan pasal 9.
 PMK No 1010/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat pasal 4
 PerKaBPOM No HK.03.1.23.10.11.08481 tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Registrasi Obat pasal 8 ayat 1 .
Sanksi jika terjadi pelanggaran :
 UU 36/2009 tentang Kesehatan pasal 197 : “Setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak
memiliki izin edar dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
 PERATURAN BPOM NOMOR 19 TAHUN 2020 TENTANG PEDOMAN TINDAK
LANJUT PENGAWASAN OBAT DAN BAHAN OBAT Pasal 6;
(1) Tindak lanjut hasil pengawasan berupa sanksi administrative meliputi:
a. peringatan;
b. peringatan keras;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. pembekuan Sertifikat CPOB;
e. pencabutan Sertifikat CPOB;
f. rekomendasi pembekuan izin industri farmasi;
g. pembekuan izin edar;
h. pencabutan izin edar;
i. rekomendasi penutupan atau pemblokiran Sistem Elektronik yang digunakan untuk
Peredaran Obat secara daring;
j. rekomendasi pencabutan izin industri farmasi;
k. rekomendasi pencabutan izin/pengakuan Fasilitas Distribusi;
l. pencabutan Sertifikat CDOB;
m. rekomendasi pencabutan izin Fasilitas Pelayanan Kefarmasian; dan/atau
n. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk Penarikan
kembali Obat atau Bahan Obat dari Peredaran.

Upaya Pencegahan :
 Belajar lagi yang benar mengenai UU
 Sertifikat CPOB sesuai dengan jenis dan bentuk sediaan, sehingga industri harus memiliki
sertifikat CPOB untuk sediaan injeksi yang akan diproduksi
 Industri harus melakukan registrasi baru untuk sediaan injeksi yang akan diproduksi

2. Apoteker di Industri manufaktur obat yang telah memiliki sertifikat CPOB untuk sediaan krim
non antbiotik, juga membuat kosmetika krim pelembut.
Bentuk Pelanggaran : Notifikasi kosmetik memerlukan CPKB dan atau CPOB dengan
Keterangan Fasilitas Bersama.
UU yang dilanggar :
 PMK Nomor 1175/Menkes/PER/VIII/2010 Tentang Izin Produksi Kosmetika. Pasal 4 dan
pasal 7 : Industri kosmetika yang akan membuat kosmetika harus memiliki izin produksi dan
wajib menerapkan CPKB.
 Akan tetapi pada tahun 2013 ada peraturan baru yakni UU 39/2013 tentang standar
pelayanan publik di lingkungan badan pengawas obat dan makanan : notifikasi kosmetik
memerlukan CPKB dan atau CPOB dengan Keterangan Fasilitas Bersama. Artinya adalah,
pabrik atau industri farmasi harus mendaftarkannya ke BPOM dengan persyaratan CPOB
aktif untuk dapat SK perizinan Fasilitas Bersama, barulah tidak perlu lagi mengharuskan
CPKB untuk produksi Kosmetik.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Dapat berupa sanksi administratif antara lain :
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali
produk dari peredaran bagi kosmetika yang tidak memenuhi standar dan persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan;
c. perintah pemusnahan produk, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan;
d. penghentian sementara kegiatan;
e. pembekuan izin produksi; atau
f. pencabutan izin produksi

Upaya pencegahan : belajar lagi yang benar mengenai UU

3. Apoteker Pananggung Jawab Apotik X membeli obat dari suatu PBF dengan penanggung jawab
Apoteker Y, ternyata merupakan obat palsu.
Bentuk pelanggaran : peredaran obat palsu
UU yang dilanggar :
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 106 :
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan
objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Pasal 8 Ayat (1) :
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
PDAI yang dilanggar :
 Butir 7 “Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin mutu dan khasiat/manfaat kepada
pasien.”
 Butir 8 “Melakukan pengadaan obat/bahan baku obat tanpa prosedur yang berlaku sehingga
berpotensi menimbulkan tidak terjaminnya mutu, khasiat obat.
 Butir 12 “ Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, melakukan yang seharusnya tidak
dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung jawab
profesionalnya, tanpa alasan pembenar yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.

Pelanggaran KEAI:
 Pasal 5 “Di dalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan diri dari usaha
mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.”
 Pasal 9 “Seorang apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup
insani.”
 Pasal 14 “Setiap apoteker sebaiknya menjauhkan diri dari tindakan atau perbuatan yang
dapat mengakibatkan berkurangnya/hilangnya kepercayaan masyarakat kepada sejawat
petugas kesehatan lainnya.”

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Pasal 197 : “Setiap orang yang dengan sengaja
memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki
izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar
lima ratus juta rupiah).
 Pemberian peringatan tertulis oleh MEDAI
 Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat
Izin Praktik Apoteker.

Upaya pencegahan :
 Belajar lagi yang benar mengenai UU
 Terapkan UU yang berlaku, Disiplin dan kode etik apoteker dengan baik dan benar.
 Apoteker di PBF harus lebih memahami, mengawasi, dan mengerti tentang cara pengadaan
dan penyaluran sediaan farmasi yang baik agar tidak sampai terjadi obat palsu yang masuk di
PBF.
 Apoteker di apotek hendaknya lebih teliti dalam memilih PBF yang berizin untuk
menghindari terjadinya kesalahan dalam pembelian obat.

4. Apoteker di pabrik kosmetik yang memiliki yang memiliki sertifikat CPKB memproduksi dan
mengedarkan krim pemutih yang mengandung hidrokuinon.
Bentuk pelanggaran :
 Kosmetika krim pemutih hidrokuinon, kalaupun didaftarkan ke BPOM, pasti tidak akan
berhasil mendapatkan nomor izin edar. Jika pabrik tetap memproduksi dan mengedarkan
kosmetik ini, maka dapat dipastikan bahwa kosmetik ini adalah illegal.
 Produk kosmetik hanya dapat diedarkan setelah mendapatkan izin edar dan telah
memenuhi persyaratan.

UU yang dilanggar :
 PerKBPOM HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik, disebutkan bahwa hidrokinon
hanya diperbolehkan untuk sediaan pewarnaan rambut dan artifisial kuku.
 UU 36 /2009 tentang Kesehatan pasal 106 yang berbunyi :
(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar.
(2) Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3) Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari
peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang
kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 7 dan 8 yakni:
Pasal 7: “menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/ atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku”
Pasal 8: pelaku usaha dilarang memproduksi dana tau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standard yang dipersyaratan
dan peraturan perundang-undangan.

Pelanggaran disiplin:
butir 8 : Melakukan pengadaan (termasuk produksi dan distribusi) obat dan / atau bahan
baku obat , tanpa prosedur yang berlaku, sehingga berpotensi menimbulkan tidak
terjaminnya mutu, khasiat obat.”
Pelanggaran kode etik:
Pasal 5: Di dalam menjalankan tugasnya seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kefarmasian

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


 Berdasarkan Penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
1998 tentang Pengamanan Sediaan farmasi dan Alat Kesehatan dan Undang-
Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan : “Bagi para pelaku usaha yang
mengedarkan dan/atau memproduksi produk kosmetik tanpa izin edar, dapat
dipenjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000
(satu miliar lima ratus juta rupiah).
 Pemberian peringatan tertulis oleh MEDAI
 Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker,
atau Surat Izin Praktik Apoteker

5. Apoteker yang bekerja di UKOT memproduksi jamu pegal linu dalam bentuk sediaan
effervescent.
Bentuk pelanggaran : UKOT dilarang memproduksi sediaan effervescent.
UU yang dilanggar : PMK No. 007/2012 tentang registrasi obat tradisional, pasal 1 ayat 7
“Usaha Kecil Obat Tradisional yang selanjutnya disebut UKOT adalah usaha yang dapat
membuat semua bentuk sediaan obat tradisional,kecuali bentuk sediaan tablet dan efervesent”.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


 PMK RI No. 007/2012 :
- Kepala Badan dapat memberikan sanksi berupa perintah penarikan dari peredaran dan/atau
pemusnahan obat tradisional
- izin usaha UKOT yang mendaftarkan, memproduksi atau mengedarkan dicabut
 PerMenKes RI No. 006 Tahun 2012 Tentang industri dan Usaha Obat tradisonal sanksi
administrasi berupa:
a. peringatan;
b. peringatan keras;
c. perintah penarikan produk dari peredaran;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin industri atau izin usaha.

6. Apoteker penanggung jawab industri kosmetika golongan B membuat dan mengedarkan krim
tabir surya dan pencerah kulit.
Bentuk pelanggaran : industry kosmetika golongan B dilarang memproduksi dan
mengedarkan krim tabir surya dan pencerah kulit.
UU yang dilanggar :
 PMK No. 1175 Tahun 2010 Tentang Izin Produksi Kosmetika, Izin produksi kosmetika
dibedakan atas 2 (dua) golongan sebagai berikut:
a. golongan A yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat membuat semua
bentuk dan jenis sediaan kosmetika;
b. golongan B yaitu izin produksi untuk industri kosmetika yang dapat membuat bentuk dan
jenis sediaan kosmetika tertentu dengan menggunakan teknologi sederhana.
 PerKa BPOMRI No HK.03.1.23.12.11.10689 Tahun 2011, Industri Kosmetika yang
memiliki Izin Produksi Kosmetika golongan B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) dilarang memproduksi kosmetika:
a. jenis sediaan untuk bayi;
b. mengandung bahan antiseptik, anti ketombe, pencerah kulit, dan tabir surya.

Pedoman disiplin : Dalam penatalaksanaan praktik kefarmasian, melakukan yang seharusnya


tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, sesuai dengan tanggung
jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar yang sah, sehingga dapat membahayakan pasien.

Pelanggaran Kode etik : Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker harus menjauhkan
diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kefarmasian.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Sanksi melanggar HK.03.1.23.12.11.10689 Tahun 2011 tentang jenis dan bentuk sediaan
industri golongan B pasal 4 dan Pasal 5 Dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.1175/Menkes/Per/VIII/2010 tahun 2010 tentang izin
produksi kosmetika
a. Peringatan secara tertulis
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk penarikan kembali
produk dari peredaran bagi kosmetika yang tidak memenuhi standard an persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan
c. Perintah pemusnahan produk, jika terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan,
dan kemanfaatan
d. Penghentian sementara kegiatan
e. Pembekuan izin produksi, atau Pencabutan izin produksi

7. Apoteker di IOT memproduksi Jamu dengan bahan kurkumin murni : tidak terjadi pelanggaran.

8. Apoteker yang telah memiliki STRA dan SIP untuk RS bekerja di Industri manufaktur obat
 Bukan pelanggaran asalkan bekerja di industry manufaktur obatnya adalah sebagai tenaga
pemasaran atau Medrep yang tidak memerlukan SIPA, dan apoteker dapat membagi waktu
dengan baik, misal pagi sebagai Medrep, sorenya dinas standby sebagai apoteker di RS.
 Merupakan pelanggaran jika di industrinya berperan sebagai apoteker penanggung jawab
produksi, QA, atau QC
UU yang dilanggar : Permenkes/PMK 31/2016 tentang registrasi, izin praktik , dan izin tenaga
kerja kefarmasian. Pasal 18 ayat 1 dan 2 :
Pasal 18
(1) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas
kefarmasian.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) SIPA bagi Apoteker di
fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
pelayanan kefarmasian.

Pedoman disiplin yang dilanggar :


Butir 17 yakni Menyalahgunakan kompetensi Apotekernya.
Butir 19 “ Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) atau
Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA/SIK) yang tidak sah”.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


 Pemberian peringatan tertulis oleh MEDAI
 Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat
Izin Praktik Apoteker dan/atau
 Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker.
9. Apoteker Penanggung Jawab Penilaian Keamanan Kosmetik (Safety Assessor) diam – diam
menjadi Apoteker Pengelola Apotek
 Bukan pelanggaran karena assessor tidak diatur dalam UU dan tidak termasuk dalam fasilitas
kefarmasian, asalkan apoteker dapat membagi waktunya dengan baik, misal pagi bekerja
sebagai assessor, sorenya standby di apotek sebagai apoteker pengelola apotek.

10. Apoteker yang memiliki Surat Izin Praktik di Klinik menjadi penanggung jawab PBF Bahan Baku
Bentuk pelanggaran = apoteker yang menjalankan pekerjaan kefarmasian di fasilitas
pelayanan kefarmasian dapat diberikan 3 SIPA dan harus sama-sama di fasilitas pelayanan
kefarmasian semua. Bagi apoteker yang bekerja di fasilitas distribusi/penyaluran hanya dapat
diberikan 1 SIPA sesuai dengan tempat kerjanya. Beliau harus memilih salah 1, mau di klinik
(pelayanan kefarmasian), atau di PBF (distributor), tidak boleh ganda antara fasilitas pelayanan
kefarmasian dan fasilitas distribusi.
UU yang dilanggar = Permenkes/PMK 31/2016 tentang registrasi, izin praktik , dan izin tenaga
kerja kefarmasian. Pasal 18 ayat 1 dan 2 :
Pasal 18
(1) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas
kefarmasian.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) SIPA bagi Apoteker di
fasilitas pelayanan kefarmasian dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas
pelayanan kefarmasian.

Pedoman disiplin yang dilanggar :


Butir 17 yakni Menyalahgunakan kompetensi Apotekernya.
Butir 19 “ Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) atau
Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA/SIK) yang tidak sah”.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


 Pemberian peringatan tertulis oleh MEDAI
 Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat
Izin Praktik Apoteker dan/atau
 Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker.
11. Apoteker di PBF tidak mau melayani pesanan obat bebas terbatas dari Apotek, karena Surat
Pesanan tidak ditanda tangani oleh Apoteker Pengelola Apotik
 Bukan bentuk pelanggaran karen sudah sesuai dengan Permenkes RI NOMOR 30 TAHUN
2017 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR 1148/MENKES/PER/VI/2011 TENTANG PEDAGANG BESAR FARMASI, Pasal
20 ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
(1) PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berdasarkan surat pesanan yang
ditandatangani apoteker pemegang SIA, apoteker penanggung jawab, atau tenaga teknis
kefarmasian penanggung jawab untuk toko obat dengan mencantumkan nomor SIPA atau
SIPTTK.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyaluran obat
berdasarkan pembelian secara elektronik (E-Purchasing) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

12. Apoteker Kepala Instalasi Farmasi Rumah Sakit memproduksi sediaan farmasi tidak memiliki
izin edar, tetapi hanya digunakan untuk lingkungan rumah sakitnya saja.
 Bukan pelanggaran asalkan apoteker memiliki sertifikat CPOB, dan memenuhi kriteria PMK
58 / 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di RS, sebagai berikut :
PMK No. 58 Tahun 2014 BAB 2 poin (3b) tentang produksi sediaan farmasi, Instalasi
farmasi rumah sakit dapat memproduksi sediaan tertentu apabila :
1) Sediaan farmasi tidak ada di pasaran
2) Sediaan farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri
3) Sediaan farmasi dengan formula khusus
4) Sediaan farmasi dengan kemasan yang lebih kecil atau re-packing
5) Sediaan farmasi untuk penelitian dan
6) Sediaan farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru
Sediaan yang dibuat di RS harus memenuhi persyaratan mutu dan terbatas hanya untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan di RS tersebut.
 Namun jika ternyata apoteker tidak memiliki sertifikat CPOB, diproduksi dalam jumlah
besar, produksi bukan sebagai re-packing, dll yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut
diatas, maka hal itu adalah sebuah pelanggaran.
-PMK No. 58 Tahun 2014 BAB 2 poin (3b) tentang produksi sediaan farmasi
-Pedoman disiplin yang dilanggar : Butir 17 “Menyalahgunakan kompetensi
Apotekernya.”

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


 Pemberian peringatan tertulis oleh MEDAI
 Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat
Izin Praktik Apoteker dan/atau
 Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker.
13. Apoteker pegawai negeri sipil sebagai Penanggung jawab terkait Kefarmasian di Dinas
Kesehatan Kab/Kota juga berpetan sebagai apoteker pengelola apotek swasta

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Surat Izin Praktik yang dimaksud dapat berupa: Rekomendasi pencabutan Surat Tanda
Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau Rekomendasi
pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamanya.

14. Apoteker pegawai negeri sipil di Balai POM juga berperan sebagai Apoteker Pengelola Apotek
Swasta.
 Bukan pelanggaran karena PNS Balai POM tidak termasuk fasilitas kefarmasian dan tidak
diatur dalam UU, asalkan apoteker dapat membagi waktu dengan baik, misal paginya bekerja
di BPOM, sorenya standby di apotek sebagai apoteker pengelola apotek

15. Apoteker mengganti obat paten/nama dagang yang tertulis dalam resep dokter dan menyerahkan
obat generik dengan kandungan yang sama kepada pasien.
 Bukan pelanggaran asal mendapat izin dari pasien dan/atau dokter penulis resep,
 Pelanggaran jika tidak meminta izin terlebih dahulu, kepada pasien dan/atau dokter penulis
resep.
 UU yang dilanggar : PP 51/2009 tentang pekerjan kefarmasian
1. Pasal 24 : mengganti obat merek dagang dengan obat generic yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien
2. Kode Etik Apoteker
- Pasal 13: Seorang apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai
dan menghormati sejawat petugas kesehatan lain.
- Pasal 14: Seorang apotekr harus menjauhkan diri dari tindakn atau perbuatan yang
dapat mengakibatkan berkuranya atu hilangnya kepercayaan masyarakt kepada
sejawat petugas kesehatan lain.
Sanksi jika terjadi pelanggaran :
Sanksi organisasi, berupa: pembinaan, peringatan, pencabutan keanggotaan sementara, dan
pencabutan keanggotaan tetap (untuk pelanggaran kode etik terhadap pasien dan tenaga
kesehatan lain).
16. Petugas Apotek bukan Apoteker, mengganti allopurinol 100 mg yang tertulis dalam resep
dokter dengan Zyloric 300 mg dan menyerahkannya kepada pasien.
 Pelanggaran PMK No 9 Tahun 2017 : Pasal 21 ayat (2) dalam hal obat yang diresepkan
terdapat obat merk dagang, maka apoteker dapat mengganti obat merk dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau obat merk dagang lain atas persetujuan dokter
dan atau pasien. Dalam kasus ini yang menyerahkan obat bukan apoteker.
 UU No 8 Tahun 1999 BAB 3 hak dan kewajiban : pasal 4 hak konsumen (a) hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Dalam
kasus ini obat yang diganti dosisnya lebih besar dari peresepan dokter sehingga bias
membahayakan keselamatan pasien.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


PMK No 9 Tahun 2017 Pasal 31 :
ayat (1) pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan menteri ini dapat di kenai sanksi
administrative.
Ayat (2) sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa :
o peringatan tertulis,
o penghentian sementara kegiatan,
o pencabutan izin SIA.

17. Apoteker mengajukan izin dan membuka Apotek baru persis disebelah Apotek yang sudah ada,
tanpa berkonsultasi dengan / sepengetahuan Apoteker Pengelola Apotek yang sudah ada
tersebut.
 Melanggar kode etik, meskipun tidak diatur dalam UU.
 Kode etik pasal 10 (seorang apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana
ia sendiri ingin diperlakukan)

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Rekomendasi cabut izin praktik

18. Apoteker menjual obat keras Ranitidin 150 mg sebanyak 20 tablet tanpa resep dokter
 Pelanggaran UU tentang OWA
 PMK No 3 Tahun 2021 Tentang Perubahan Penggolongan, Pembatasan, Dan Kategori Obat
Bahwa pemberian ranitidin 75 mg tidak lebih dari 10 tablet tanpa resep.
 PP No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Pasal 24 (c): menyerahkan obat
keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
 Pedoman Disiplin Butir 1 : Melakukan praktik kefarmasian dengan tidak kompeten.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Kep. Menkes RI No.1332/ MENKES/PER/X/2002 dan Permenkes No.
922/MENKES/PER/X/1993:
1. Peringatan secara tertulis kepada APA secara 3 kali berturut-turut dengan tenggang waktu
masing-masing 2 bulan.
2. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak dikeluarkannya
penetapan pembekuan izin apotek.
3. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi setempat.
4. Pembekuan izin apotik tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat
membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri
Kesehatan RI.

19. Apoteker melayani pembelian diazepam injeksi oleh bidan praktik mandiri.
 Boleh asal darurat/emergency.

20. Apoteker melayani penjualan triheksipenidil kepada seorang pasien tetangganya


 Melanggar PP 51 Tahun 2009
 Pekerjaan Kefarmasian : Pasal 21 ayat 2 Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep
dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
 Pedoman Disiplin : butir 5 dan 12. Karena apoteker melaksanakan praktik kefarmasian pada
PP 51 yang salah satunya yaitu pelayanan obat yang seharusnya pelayanan obat tertentu harus
menggunakan resep dokter, namun apoteker tersebut menjual obat tertentu tanpa resep dari
dokter.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Sanksi yang diberikan berupa peringatan tertulis, rekomendasi pembekuan / pencabutan STRA,
SIPA dan SIKA, kewajiban mengikuti pelatihan /pendidikan di instansi pendidikan apoteker.
21. Apoteker menyarankan dan menjual tablet Levonorgestrel-etinil estradiol kepada seorang
pasien yang telah dikenalnya dan mengalami oedem / pembengkakan pada pergelangan kaki
karena gangguan ginjal
 Pelanggaran meskipun obat tersebut masuk dalam daftar OWA 1. Sebaiknya, apoteker
menyarankan rujuk pasien ke fasilitas Kesehatan terdekat misal puskesmas atau RS.
 Pedoman disiplin Butir 13: Melakukan pemeriksaan atau pengobatan dalam pelaksanaan
praktik swa-medikasi (self medication) yang tidak sesuai dengan kaidah pelayanan
kefarmasian

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Sanksi disiplin yang dapat dikenakan oleh MEDAI berdasarkan PerUU yang
berlaku:
1. Pemberian peringatan tertulis
2. Rekomendasi pembekuan dan/atau pencabutan Surat Tanda Registrasi Apoteker, atau Surat
Izin Praktek, atau Surat Izin Kerja Apoteker
3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan apoteker

22. Apoteker pengelola apotek melakukan peracikan kosmetik yang mengandung Hidrokuinon dan
arbutin untuk pasien dalam rangka pelayanan swamedikasi.
 Tidak boleh karena bukan OWA
 Pelanggaran
1. UU 36 / 2009 Pasal 5 ayat (2) : Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.
2. UU 8 / 1999 pasal 4 : Hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
3. PMK 1175 / 2010 pasal 2 : Kosmetika yang beredar harus memenuhi persyaratan mutu,
keamanan, dan kemanfaatan
4. PMK 73 / 2016 bab III : Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau
pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang
memerlukan Obat non Resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau
bebas terbatas yang sesuai. Kosmetik tidak masuk dalam pelayanan swamedikasi.
5. Perka BPOM 18 / 2015 lampiran 5 no. 384 : hidrokuinon masuk ke dalam daftar bahan
yang dilarang dalam kosmetik
6. Pedoman Disiplin Butir 7 : Memberikan sediaan farmasi yang tidak terjamin mutu,
keamanan, dan khasiat atau manfaat kepada pasien.
Sanksi jika terjadi pelanggaran :
1. UU 36 / 2009 Pasal 196 : Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
2. Pasal 197 : Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan
farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
3. Pencabutan izin praktek apotek

23. Apoteker berada di apotek, pelayanan resep obat keras dilayani oleh tenaga teknis kefarmasian.
 Tidak ada pelanggaran, tetapi hanya untuk wilayah tertentu
 PP 51 Tahun 2009 Pasal 51, ayat (3) menyebutkan dalam hal apoteker di bantu oleh tenaga
teknis kefarmasian, pelaksanaan pelayanan kefarmasian tetap dilakukan oleh apoteker dan
tanggung jawab tetap berada ditangan apoteker.
 Pasal 21, ayat (2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh
Apoteker. Kecuali dalam daerah terpencil tidak terdapat apoteker, Tenanga teknis
kefarmasian yang telah memiliki STRTTK boleh meracik dan menyerahkan obat kepada
pasien.
 Pasal 24, poin c : Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika, dan psikotropika kepada
masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


UU No. 36 tahun 2009 Pasal 198 : Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108, dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

24. Apoteker yang sedang menderita flu berat datang ke Apotek, namun mendelegasikan tugas
kepada Tenaga Teknis Kefarmasian untuk melayani resep obat keras.
 Tidak ada pelanggaran. Justru kalau masuk kerja, hal itu adalah pelanggaran.
 Pendelegasian tugas harus diberikan kepada TTK yang kompeten dan berwewenang.
 PP 51 Tahun 2009: Pasal 51, ayat (3) menyebutkan dalam hal apoteker di bantu oleh tenaga
teknis kefarmasian, pelaksanaan pelayanan kefarmasian tetap dilakukan oleh apoteker dan
tanggung jawab tetap berada ditangan apoteker.

25. Apoteker yang telah memiliki SIP sebagai Apoteker Pengelola Apotek dan SIA utk satu Apotek
di Kab X, mengajukan kembali menjadi APA di Kab. tetangganya.
 Tidak boleh. Hanya boleh karena harus masih 1 wilayah.
 PMK No. 31 tahun 2016 Pasal 18 (1) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya
diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian.
 PMK No 889 tahun 2011 dan PMK No. 31 tahun 2016. Pasal 18 (1) SIPA bagi Apoteker
penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau SIKA hanya diberikan untuk 1
(satu) tempat fasilitas kefarmasian.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Pencabutan SIPA

26. Apoteker memberikan informasi obat yang banyak dijual di apotiknya kepada Medical
Representative
 Tidak boleh, karena sama saja dengan buka rahasia tentang Resep. Melanggar UU rahasia
apotek.
 Melanggar PMK 9 Tahun 2017 Pasal 23 ayat (1) Resep bersifat rahasia

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


1. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenai sanksi administratif.
2. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan; dan
c. pencabutan SIA

27. Seorang Dokter datang ke Apotik, bermaksud membeli Amlodipin sebanyak 10 tablet untuk
dirinya sendiri. Setelah bertanya tentang identitas dokter tersebut, Apoteker menyerahkan obat
tersebut.
 Pelanggaran PP 51 Tahun 2009 “Pekerjaan Kefarmasian” Pasal 21 ayat (2) Penyerahan
dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.

Sanksi jika terjadi pelanggaran :


Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara
c. kegiatan; dan pencabutan SIA.

Anda mungkin juga menyukai