Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada era perdagangan bebas sekarang ini banyak kosmetik yang beredar

di pasaran dengan beraneka jenis merek, harga, dan kualitas. Dengan adanya

pedagang bebas banyak Pelaku Usaha yang tidak bertanggung jawab untuk

meraih keuntungan lebih dengan memproduksi atau memperdagangkan

kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan untuk diedarkan. Kosmetik yang

didapatkan dengan harga murah jauh dari harga pasaran.

Menurut undang-undang bahwa setiap pelaku usaha harus memiliki

tanggungjawab sosial kepada konsumennya, seperti kepedulian dan komitmen

moral terhadap kepentingan masyarakat sebagai konsumen. Perusahaan harus

bertanggungjawab dan melakukan perlindungan konsumen terlepas dari

kalkulasi keuntungan dan kerugian bagi pelaku usaha.1

Pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk

itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang

dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang

dapat melindungi. Kebanyakan wanita sekarang ini sangat tertarik untuk

membeli produk kosmetik dengan harga yang murah serta hasilnya cepat

terbukti atau terlihat.

Oleh karena itu, banyak wanita yang memakai jalan alternatif untuk

membeli suatu produk tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulkanya


1
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana, Jakarta, 2013, hal. 3.

1 Universitas Bung Karno


2

walaupun produk kosmetik yang dibelinya tidak memenuhi suatu aturan dan

persyaratan serta tidak terdaftar dalam Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM). Kosmetik-kosmetik tersebut mudah didapatkan dengan harga yang

murah karena tidak adanya nomor izin edar dari BPOM, tidak adanya tanggal

kadaluwarsa produk, dan tidak adanya label bahan baku kosmetik.2

Perizinan produk kosmetik tentunya sangat penting karena dengan

adanya izin dari pihak pemerintah maka dapat dipastikan produk tersebut aman

untuk digunakan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/

Menkes/Per/XII/2010 tentang Notifikasi Kosmetika menyebutkan Produk

kosmetik yang tidak memiliki nomor izin edar dari BPOM ini belum

mengindikasikan bahwa produk kosmetik yang dipakai tersebut berbahaya

untuk dipakai karena belum melewati tahap dalam hasil pengujian

laboratorium menjadi sebuah tahap dalam mendapatkan nomor izin peredaran.3

Menurut BPOM kosmetik palsu biasanya mengandung bahan berbahaya

yang ditemukan selama pengawasan rutin Badan POM. Produk kecantikan

palsu biasanya mengandung hidrokinon, merkuri, asam retinoat dan

rhodamine. Badan POM sendiri telah melarang penggunaan bahan-bahan

tersebut. Hidrokinon sendiri merupakan senyawa yang bila digunakan pada

produk kosmetik bersifat sebagai pemutih atau pencerah kulit. Senyawa

tersebut memliki efek samping yang umum terjadi yakni kulit akan mengalami

iritasi atau kemerahan dan memiliki efek terbakar setelah terpapar hidrokinon.
2
Enik Isnaini, “Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Kosmetik Ilegal yang
Mengandung Bahan Kimia Berbahaya”, Jurnal Independent, Fakultas Hukum Universitas Islam
Lamongan, Volume 6, 2018, hal. 1
3
Endang Sri Wahyuni, Aspek Hukum Sertifikasi Dan Keterkaitannya Dengan Perlindungan
Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 54.
Universitas Bung Karno
3

Beredar kosmetik tanpa izin edar tersebut dengan mudah dikonsumsi atau

digunakan oleh masyarakat. Ketidaktahuan konsumen akan efek samping yang

ditimbulkan dari kosmetik yang mengandung bahan kimia berbahaya bisa

dijadikan salah satu alasan mereka menggunakanya. Adanya Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, diharapkan akan dapat

memberikan pengaruh positif terhadap pelaku usaha dan konsumen, serta

diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk meminimalisir tindakan

sewenang-wenang dari para pelaku usaha untuk melindungi kepentingan

konsumen, sehingga nantinya dapat menjamin tercapainya suatu perlindungan

hukum bagi konsumen di Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut Ahmad Miru menyatakan bahwa hal

tersebut memungkinkan beredarnya kosmetik-kosmetik dalam memenuhi

kebutuhan pasar yang menjadi ladang bisnis bagi pelaku usaha, baik kosmetik

yang memiliki izin edar dari pemerintah smpai yang tidak memiliki izin edar.

Hal ini seringkali dijadikan lahan bisnis bagi pelaku usaha yang mempunyai

itikad buruk akibat posisi konsumen yang lemah karena tidak adanya

perlindungan yang seimbang untuk melindungi hak-hak dari konsumen.4

Hak-hak konsumen di atur dalam Pasal 4 huruf a Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu Hak atas

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa. Pasal 4 huruf c, yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Sehingga konsumen

4
Ahmad Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 1
Universitas Bung Karno
4

Memiliki kepastian hukum untuk melindungi konsumen dari peredaran

kosmetik berbahaya.

Pemenuhan hak-hak konsumen seperti disebutkan di atas menjadi

kewajiban yang tidak dapat diabaikan oleh pelaku usaha. Kewajiban tersebut

diatur dalam Pasal 7 huruf (b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha wajib

memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan

dan pemeliharaan. Disamping itu Pasal 8 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha

memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak

memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.5

Perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena

tidak saja terhadap barang-banrang berliatas rendah, akan tetapi juga terhadap

barang-barang yang membahayakan konsumen. Perlindungan yang dimaksud

agar konsumen lebih terlindungi dari pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku

usaha kosmetik. Selain itu juga Pemerintah sebagai penyelenggara yang

mempunyai peranan penting di dalam upaya perlindungan konsumen, yaitu

bertanggung jawab terhadap pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan

perlindungan konsumen untuk menjamin hak-hak konsumen.

Dengan demikian maka perlindungan hukum berkorelasi secara

signifikan dengan kepastian hukum, artinya sesuatu dirasakan adanya


5 ?
Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visimedia, Jakarta, 2008, hal. 22.
Universitas Bung Karno
5

perlindungan jika ada kepastian tentang norma hukumnya dan kepastian bahwa

norma hukum tersebut dapat ditegakkan. Hal ini sesuai dengan asas

perlindungan hukum yang menghendaki adanya keseimbangan, keserasian, dan

keselarasan antara para pihak yang berhubungan.6

Terkait hal tersebut di atas, kasus yang terjadi di Pengadilan Negeri

Medan Kelas I-A dalam perkara Terdakwa Antoni telah terbukti bersalah

melakukan tindak pidana ”memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang- undangan” dalam dakwaan

Subsidair. Dalam pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara, Petugas

menemukan sejumlah kosmetik yang tidak memiliki ijin edar atau tidak

terdaftar dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan

perundang-undangan untuk diedarkan kepada konsumen.

Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik mengangkat penelitian

ini dengan judul : “Tinjauan Yuridis Perlindungan Hukum Bagi Konsumen

Terhadap Peredaran Produk Kosmetik Berbahaya Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Studi

Kasus Putusan Nomor 3405/Pid.Sus/2018/PN Mdn)”.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka maka pokok

permasalahannya adalah sebagai berikut :

6 ?
AZ. Nasution, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 136.
Universitas Bung Karno
6

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap peredaran produk

kosmetik berbahaya berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimana upaya penyelesaian hukum terhadap konsumen akibat dari

pemakaian kosmetik mengandung bahan kimia berbahaya?

3. Apakah pertimbangan dan putusan Hakim dalam Putusan Nomor

3405/Pid.Sus/2018/PN Mdn terhadap peredaran produk kosmetik berbahaya

sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum bagi

konsumen terhadap peredaran produk kosmetik berbahaya berdasarkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya penyelesaian hukum

terhadap konsumen akibat dari pemakaian kosmetik mengandung bahan

kimia berbahaya.

c. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan dan putusan Hakim

dalam Putusan Nomor 3405/Pid.Sus/2018/PN Mdn terhadap peredaran

produk kosmetik berbahaya menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Universitas Bung Karno


7

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmu

pengetahuan, mengenai perlindungan hukum bagi konsumen terhadap

peredaran produk kosmetik berbahaya berdasarkan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam praktik.

b. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

instansi terkait seperti instansi pemerintah, terkait penyelesaian hukum

terhadap konsumen akibat dari pemakaian kosmetik mengandung bahan

kimia berbahaya.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian Hukum

Penelitian yang akan digunakan adalah penelitian hukum dalam

tataran teori yang diperlukan untuk mengembangkan suatu bidang kajian

hukum tertentu. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan dan memperkaya

pengetahuan dalam penerapan aturan hukum. Dengan melakukan telaah

mengenai perlindungan hukum bagi konsumen dan juga mampu menggali

teori-teori yang ada di belakang ketentuan hukum tersebut.7

Metode penelitian yang digunakan oleh Penulis adalah metode

penelitian hukum normatif, artinya penelitian yang di fokuskan untuk


7
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hal. 112.
Universitas Bung Karno
8

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 8

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang menggunakan

data sekunder atau sumber data yang berasal dari bahan kepustakaan

(library research), yakni penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan

penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku, berbagai

literatur, peraturan perundang-undangan serta melalui media elektronik

(internet).

2. Bahan dan Sumber data

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan atau

data sekunder.9 Dalam hal ini adalah meneliti data kepustakaan atau data

sekunder mengenai mengenai perlindungan hukum bagi konsumen. Penulis

mengumpulkan dan meneliti data kepustakaan atau data sekunder sebagai

alat untuk mengkaji masalah yang diteliti yaitu meliputi :

a. Pada umumnya data sekunder dalam keadaan siap tersebut dan dapat

dipergunakan dengan segera.

b. Baik bentuk maupun isi data sekunder, telah dibentuk dan diisi oleh

peneliti-peneliti terdahulu, sehingga peneliti kemudian tidak mempunyai

pengawasan terhadap pengumpulan, pengolahan, analisis maupun

konstruksi data.

8
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Jakarta, 2005, hal. 30.
9
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hal. 11.

Universitas Bung Karno


9

c. Tidak terbatas oleh waktu maupun tempat.10

Data sekunder adalah data dalam bentuk tertulis dari segi

mengikatnya, maka data sekunder terbagi atas 3 (tiga) yaitu:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat. Adapun bahan

hukum primer skripsi ini adalah:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. (Burgerlijk Wetboek voor

Indonesie/BW). Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,

5) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1175/

Menkes/Pers/VIII/2010 Tentang izin Produksi Kosmetika.

6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1176/

Menkes/ Pers/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan

hukum primer. Bahan hukum sekunder skripsi ini adalah berupa Jurnal

Hukum, buku-buku, makalah hukum dan pendapat para pakar hukum

berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan

hukum sekunder dan bahan hukum primer. Adapun bahan hukum tersier

dalam penulisan skripsi ini adalah kamus hukum, kamus bahasa

Indonesia dan Ensiklopedia.


10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984, hal.12.
Universitas Bung Karno
10

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana telah penulis jelaskan di atas, bahwa penelitian ini

menggunakan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer yang

berupa Peraturan Perundang-Undangan terkait dengan masalah yang akan di

teliti, bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, makalah, jurnal

hukum, dan pendapat para ahli hukum, serta bahan hukum tersier yang

berupa kamus bahasa Indonesia, kamus hukum dan ensiklopedia. Alat yang

dipergunakan adalah studi kepustakaan (studi dokumen).

4. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dengan memverifikasi

dan validasi keabsahan data. Analisis data dilakukan dengan menerapkan

cara berfikir silogisme dan metode deduktif guna menemukan kesimpulan

atau jawaban dari pokok masalah.

Analisis data sebagai “upaya mencari dan menata secara sistematis

catatan hasil penelitian dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman

peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai temuan bagi

orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut analisis

perlu dilanjutkan dengan berupaya mencari makna.

E. Sistematika Penulisan

Universitas Bung Karno


11

Dalam melakukan penyusunan skripsi ini, Penulis memberikan gambaran

tentang apa yang akan dibahas terdiri dari :

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari : Latar Belakang Masalah; Pokok Perasalahan; Tujuan dan

Manfaat Penulisan; Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Terdiri dari : Pengertian Konsumen; Tujuan Perlindungan Konsumen;

Hubungan Hukum Konsumen; Hak-Hak dan Kewajiban Konsumen;

Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP

PRODUK KOSMETIK BERBAHAYA

Terdiri dari : Pengertian Kosmetik; Produk Kosmetik Mengandung

Zat Berbahaya; Hak-Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Produk

Kosmetik; Tanggung Jawab Pelaku Usaha Memproduksi dan

Mengedarkan Kosmetik Mengandung Zat Berbahaya; Sanksi Kepada

Pelaku Usaha Memasarkan dan Mengedarkan Kosmetik Mengandung

Zat Berbahaya.

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP

PEREDARAN PRODUK KOSMETIK BERBAHAYA

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999

TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Analisis Hukum

Putusan Nomor 3405/Pid.Sus/2018/PN Mdn)

Universitas Bung Karno


12

Terdiri dari : Kasus Posisi; Dakwaan Penuntut Umum; Pertimbangan

Hukum Hakim; Putusan Hakim; Analisis Hukum : Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen Terhadap Peredaran Produk Kosmetik

Berbahaya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen; Upaya Penyelesaian Hukum

Terhadap Konsumen Akibat Dari Pemakaian Kosmetik Mengandung

Bahan Kimia Berbahaya.

BAB V PENUTUP

Merupakan bagian kesimpulan dan saran.

Universitas Bung Karno

Anda mungkin juga menyukai