NIK : 043451679
Program Studi : Ilmu Hukum
Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Konsumen
TUGAS 1 TUTON
HKUM4312/HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Kasus 1:
Salah satu contoh kasus di masyarakat terjadi pada anak-anak yang dalam hal ini merupakan objek
yang paling tidak berdaya. Tuntutan untuk serba cepat serta waktu tinggal di luar rumah yang lebih
panjang mendorong orang untuk terbiasa mengkonsumsi makanan siap saji yang cenderung
kelebihan gizi, serta makanan instan yang rentan terhadap kelebihan bahan pengawet dan risiko
kadaluwarsa. Makanan seperti itu boleh jadi tidak memperlihatkan dampak negatif dalam waktu
singkat, Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Denpasar menemukan banyak pelaku
usaha yang tidak menarik makanan anak-anak yang sudah kadaluwarsa dari peredaran. Hal ini sering
dilakukan, karena pada dasarnya anak-anak tidak pernah memperhatikan tentang tanggal
kadaluwarsa produk pangan yang mereka konsumsi sehingga kalangan anak-anak sangat rentan
Pertanyaan 1 : Analisislah siapa yang bertanggungjawab dalam kasus di atas kaitkan dengan hukum
perlindungan konsumen !
Ada beberapa tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindunganya yaitu konsumen yang
terinformasi dan konsumen yang tidak terinformasi. Konsumen yang terinformasi adalah tipe
konsumen yang mampu bertanggung jawab dan relative tidak memerlukan perlindungan namun
manakala hak konsumen terhambat maka konsumen yang terinformasi pun memerlukan
perlindungan. Adapun dalam konsumen yang tidak terinformasi jelas membutuhkan perlindungan
dan khususnya menjadi tanggung jawab untuk memberikan perlindungan. Yang termasuk kedalam
golongan konsumen yang tidak terinformasikan adalah anak-anak, orangtua, orang buta huruf, dan
Pelaku usaha dalam memproduksi barang harus mencantumkan kadaluarsanya demi memberikan
rasa aman kepada masyarakat selaku konsumen khususnya terhadap konsumen anak-anak.
Masyarakat sebagai konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi. Terkait dengan kerugian
konsumen yang diakibatkan oleh makanan kadaluarsa maka pelaku usaha harus bertanggungjawab
guna melindungi hak-hak daripada konsumen yang sudah diatur dalam pasal 4 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Shidarta, secara umum dikenal ada
Dalam kasus di atas, hak konsumen yang terkait adalah hak untuk mendapatkan informasi ( the right
to get information ). Setiap produk yang di perkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi
yang benar termasuk adalah tanggal kadaluarsa. Informasi di perlukan agar konsumen tidak samapi
mempunyai gambaran yang keliru atas produk dan jasa. Informasi ini dapat sampaikan dengan
berbagai cara seperti secara lisan kepada konsumen melalui iklan di berbagai media atau
mencatumkan dalam kemasan produk (barang). Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan
maka setiap produk yang mengandung resiko terhadap keamanan konsumen wajib di sertai dengan
Konsumen tidak lagi sekedar pembeli tetapi semua orang yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
Masyarakat sebagai konsumen tidak sadar akan hak-haknya sebagai konsumen dimana seringkali
konsumen dengan mudahnya bisa dikelabui oleh para produsen yang kerapkali tidak jujur dalam
memasarkan produknya. Seperti contoh, dalam bidang industri pangan yang dewasa ini menjadi
sangat menonjol di kota-kota negara berkembang. Adanya produk makanan yang telah kadaluarsa
yang secara sengaja masih tetap dipasarkan oleh pihak retail. Sementara itu, konsumen dalam
membeli produk makanan hampir tidak pernah memperhatikan tanggal kadaluarsa yang tercantum
dalam kemasan tersebut merupakan hal yang sangat penting karena berhubungan dengan kualitas
dan kuantitas dari barang tersebut. Hal-hal ini dapat menyebabkan kerugian bagi konsumen, baik
Berkaitan dengan peredaran produk makanan kadaluarsa, maka telah dikeluarkan Peraturan
Kadaluarsa. Peraturan Menteri Kesehatan ini kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1. Menimbang peran serta masyarakat yang semakin meningkat dan berkembang dalam
pengadaan makanan, sehingga perlu dibina dan diawasi untuk melindungi konsumen dari
penggunaan makanan tertentu yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan.
2. Menimbang bahwa makanan tertentu yang dapat mengalami penurunan mutu dalam waktu
singkat, memerlukan penetapan tanggal kadaluarsa untuk menghindari akibat yang dapat
Bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran ketentuan produk makanan kadaluarsa (tidak
mencantumkan tanggal kadaluarsa secara jelas), maka dapat diberikan sanksi hukum berupa sanksi
adminitratif atau sanksi hukum lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara bagi pelaku usaha yang mengimpor atau mengedarkan produk makanan kadaluarsa,
maka dapat diberikan sanksi hukum berupa hukuman kurungan atau denda sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Bahan Berbahaya Stb. 1949 Nomor 377, (Pasal 5 ayat 1 dan
Prinsip tanggung jawab yang dianut Indonesia berdasarkan UndangUndang Perlindungan Konsumen
adalah prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (Presumption of liability), dengan sistem
pembuktian terbalik. Menurut prinsip ini, pelaku usaha dianggap bersalah dan harus memberi ganti
rugi kepada konsumen, sampai dapat membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
Dalam gugatan ganti rugi konsumen, maka yang wajib untuk membuktikan adalah pihak pelaku
usaha yang digugat. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Berdasarkan hal tersebut, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang berupa makanan
kadaluarsa bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti
bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami berkaitan dengan
konsumsi dan perdagangan barang dan/atau jasa di masyarakat. Selanjutnya memperhatikan
bentuk ganti rugi yang dapat diberikan terhadap konsumen yang dirugikan, menurut ketentuan
1. Pengembalian uang.
3. Perawatan kesehatan.
4. Pemberian santunan.
Yang bertanggung jawab terhadap kualitas makanan adalah diri sendiri. Karena sebagai konsumen
kita berhak untuk menentukan pilihan untuk mengkonsumsi suatu produk. Apakah produk yang kita
konsumsi adalah termasuk golongan makanan sehat/healthy food atau makanan cepat saji / junk
food. Adapun untuk produk makanan yang akan dikonsumsi kepada anak-anak adalah tanggung
jawab orangtua sebagai orang terdekat. Karena anak-anak adalah konsumen yang tidak
terinformasikan. Pihak pelaku usaha juga adalah yang paling bertanggungjawab terhadap konsumen
yang mengalami kerugian akibat produk makanan kadaluarsa baik baik daei produsen atau pihak
retail (pengecer).
Menurut pasal 30 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pengawasan
penyurveian terhadap barang-barang yang beredar di pasar. Aspek pengawasan yang dilakukan
masyarakat ini meliputi pemuatan informasi tentang resiko penggunaan barang jika diharuskan,
pemasangan label, pengiklanan, dan lain-lain yang diisyaratkan berdasarkan ketentuan yang berlaku
dan kebiasaan dalam praktik dunia usaha. Masyarakat dapat melakukan pengawasan atau survey
terhadap barang/produk untuk melihat masa kadaluarsanya atau barang teresebut sudah melewati
batas masa kadaluarsa tetapi masih beredar dipasaran. Informasi-informasi yang telah didapatkn
oleh masyarakat diteruskan kepihak pemerintah yang berwenang mengenai hal tersebut,pihak
Kasus 2:
Sekolah yang bangunannya ambruk dan fasilitas yang minim serta kurang mendukung bagi kegiatan
belajar-mengajar dapat mengakibatkan banyak peserta didik mengalami kecelakaan saat sedang
belajar, cidera luka-luka, traumatis dan tidak optimal mendapatkan hak-haknya dalam proses
belajar-mengajar. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen. Kasus bangunan
sekolah yang ambruk, jelas-jelas telah membahayakan keselamatan peserta didik. Sarana prasarana
yang tidak sesuai standar pendidikan nasional dan standar bangunan, tentu membuat peserta didik
dalam posisi yang selalu terancam. Hal ini juga menyebabkan situasi dan kondisi kegiatan belajar-
mengajar tidak kondusif. Selain itu yang dimaksud dengan fasilitas yang minim adalah terbatasnya
atau ketiadaan sarana prasarana yang menunjang kegiatan pendidikan, seperti laboratorium bahasa
dan laboratorium eksakta. Sehingga lembaga pendidikan telah melanggar hak peserta didik atas
tersedianya sarana prasarana yang memadai bagi kegiatan belajar-mengajar. Hal ini terkait pula
dengan pelanggaran atas hak peserta didik untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Pertanyaan 2 : Uraikan hak-hak apa saja yang seharusnya diperoleh peserta didik berdasarkan
UUPK !
Pengaturan hak konsumen ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen yang posisinya selalu
lebih lemah dibandingkan produsen. Secara garis besar hak-hak konsumen menurut Shidarta, secara
umum dikenal ada 4 hak dasar konsumen yang diakui secara intelektual yaitu :
a. Hak untuk mendapatkan keamanan ( the right to safety )
Penjabaran dari prinsip-prinsip dasar mengenai hak konsumen diatas dapat dilihat pada pasal 4 UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Terkait kegiatan pendidikan selain berlaku hak-
hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
hak peserta didik sebagai konsumen diatur pada perarturan perundang-undangan lainnya yaitu :
a. Hak peserta didik yang dinyatakan dalam pasal 31 UUD1945 yaitu ha katas pendidikan yang
b. Hak peserta didik dalam pasal 12, pasal 13, pasal 15, dan pasal 60 UU No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut mengatur bahwa ha katas pendidikan
dibedakan menjadi hak bagi setiap orang untuk memperoleh pendidikan sesuai hak asasinya
serta hak atas pendidikan khusus bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan dan
c. Hak pesertan didik yang dinyatakan dalam Pasal 5, Pasal 12 ayat 1 dan Pasal 40 ayat 2 UU
No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasioanal. Ketentuan dalam UU ini
hak khusus terkait pendidikan agama sesuai agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama. Peserta didik berhak mendapatkan beasiswa dan bantuan biaya pendidikan
bagi yang tidak mampu. Pada pasal 12 ayat 1 butir f diatur bahwa peserta didik dapat
menyelesaikan program pendidikannya sesuai dengan kecepatan, belajar masing-masing
namun tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. Hak peserta didik
Kasus 3:
Roni berbelanja di mini market yang tak jauh dari rumahnya, dengan tidak sengaja Roni memilih
produk yang aspal (asli tapi palsu), karena kekurang-telitian dari konsumen dan banyaknya produk
yang diaspalkan sehingga membuat konsumen mengira barang yang di display produk asli dan
semuanya sama. Selain itu, produk barang dalam kemasan tersebut juga tidak mencantumkan
tersebut di samping disebabkan oleh tingkat kesadaran pelaku usaha yang masih rendah, juga
disebabkan masih lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah (instansi yang
berwenang). Atas peredaran produk aspal tersebut Roni meminta tanggung jawab pelaku usaha atas
Pertanyaan 3 : Analisislah kasus di atas bagaimana bentuk pertanggungjawaban dari pelaku usaha
Perlindungan bagi konsumen di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen memiliki hak yang dinyatakan secara tegas didalam
pasal 4 huruf (h) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan :
“hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Sangat jelas
apabila konsumen yang membeli barang yang menggunakan merek tanpa izin pemilik merek dapat
menuntut haknya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 4 huruf (h) Undang-Undang No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut. Hak untuk mendapat ganti rugi tersebut didapatkan
apabila konsumen merasa kualitas dan kuantitas barang yang dikonsumsi tidak sesuai dengan apa
yang dibayangkan oleh konsumen. Jenis dan jumlah dari ganti kerugian itu tentu saja ditentukan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku atas kesepakatan dari masing-masing pihak yang terlibat.
Produsen yang memasarkan produknya dengan merugikan konsumen dalam hukum perlindungan
konsumen, yang secara umum menggunakan prinsip tanggung jawab mutlak(strict liability) yang
menetapkan kesalahan tidak menjadi factor penentu (yang menentukan). Hal tersebut memicu
digunakannya prinsip tanggungjawab mutlak ini sebagai penjerat para prrodusen barang yang telah
merugikan konsumennya.
Mengenai sanksi terhadap pelaku usaha yang menjual barang dengan merek palsu, dapat kita lihat
dalam Pasal 90, 91, 92, 93, dan Pasal 94 Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan
Indikaasi Geografis BAB XIV ketentuan pidana. Seperti halnya dalam pernyataan diatas , sanksi
hukum terhadap pelaku usaha yang menjual barang dengan pemalsuan merek tersebut tidak
menjelaskan akan konsumen yang membeli barang palsu tersebut dalam UndangUndang No. 20
tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis tersebut. Tetapi seluruh tindakan pidana
penggunaan merek terdaftar oleh pihak yangg tidak bertanggungjawab tersebut adalah sebagai
sebuah pelanggaran bukan kejahatan yang mana tercantum. secara eksplisit dalam Undang-Undang
No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Hal tersebut bisa dilihat dari ketentuan
Pasal 94 Ayat(2) Undang-Undang No. 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
Terkait dengan penjualan barang bermerek palsu secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal 8 huruf
(f) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut menyatakan bahwa
“Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan
barang dan/atau jasa tersebut”. Apabila konsumen merasa dirinya dirugikan atau ditipu, konsumen
dapat mendapat pertanggungjawaban atas haknya yang telah dilanggar oleh pelaku usaha/produsen
tersebut. Dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang di
dalamnya menyatakan bahwa tanggungjawab dari pelaku usaha, yaitu bertanggungjawab untuk
mengganti kerugian atas barang yang rusak, pencemaraan, dan/atau kerugiaan dari akibat
mengkonsumsi barang yang dihasilkan atau yang diperdagangkan dan pada ayat selanjutnya
menyatakan bahwa penggantian kerugian tersebut dapat berupa pengembalian uang atau bisa juga
dengan menggantinya dengan barang yang sama atau setara nilainya dan diberikan santunan yang
nantinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada ayat berikutnya yang mana bahwa
ganti kerugian tersebut dilaksanakan dengan tenggang waktu 7 (tujuh hari) setelah transaksi
dilakukan. Ayat selanjutnya yaitu pemberian ganti kerugian yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2)
memungkinkan adanya tuntutan pidana dimana berdasarkan pembuktian lebihh lanjut mengeenai
adanya unsur kesalahan. Pada ayat berikutnya apabila ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dan
(2) tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut merupakan
akibat kosumen.
Selain itu ada juga peranan dari hukum terhadap perlindungan konsumen tersebut yang terdiri dari
yaitu aspek hukum perdata dan aspek hukum pidana. Aspek hukum perdata sesuai yang diatur pada
Pasal 4 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu mengenai hak dan
kewajiban dari konsumen. Sedangkan aspek hukum pidana disini merupakan aspek hukum yang
dimanfaatkan oleh negara, pemerintah instansi yang mempunyai peranan kemenangaan untuk
konsumen dalam mendapatkan haknya untuk mendapatkan ganti kerugian dari pelaku usaha
tersebut. Sebagian memperoleh ganti kerugian dan sebagiannya tidak mendapatkan ganti kerugian.
Sebagai contoh dimana pelaku usaha membolehkan konsumen mengembalikan barang tiruan
bermerek palsu tersebut kepada penjualnya, dan konsumen mendapatkan kembali uang yang telah
diberikan kepada penjual barang tiruan bermerek palsu tersebut. Hal tersebut merupakan salah satu
contoh ganti kerugian yang terjadi dalam penjualan barang tiruan bermerek palsu yang marak
terjadi.
Sumber :
2. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen Yang Mengalami Kerugian Akibat Produk
Makanan Kadaluarsa, Anak Agung Ayu Manik Pratiwiningrat, dkk, Program Kekhususan Hukum
3. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Dalam Kegiatan Pendidikan, Rosalita Chandra, Tesis FH
UI, 2008