Anda di halaman 1dari 8

BAB III

ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS

BEREDARNYA PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG

FORMALIN DAN BORAKS DI DAERAH JAKARTA TIMUR (STUDI

KASUS MIE KUNING YANG BEREDAR DI JATINEGARA)

A. Hak-hak konsumen yang dilanggar pelaku usaha dalam kasus mie kuning

berkandungan formalin dan boraks menurut Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Dalam jual-beli yang terjadi pada dasarnya konsumen ingin mendapatkan

kepuasan terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Sedangkan, pelaku

usaha ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dalam hubungan jual-beli

dengan konsumen. Keinginan itu akan terwujud jika kedua konsumen dan pelaku

usaha menjalankan hak dan kewajibannya dengan benar dan berlandaskan itikad

baik. Jika konsumen dan pelaku usaha tersebut tidak menjalankan kewajibannya

dan tidak berlandaskan itikad baik, maka akan menyebabkan kerugian.

Konsumen dapat menjadikan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen acuan untuk lebih pintar dan bijak sebelum membeli,

memakai dan/atau menggunakan barang dan/atau jasa. Tidak hanya konsumen

namun pelaku usaha juga dapat menjadikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

40
tentang Perlindungan Konsumen ini sebuah acuan mengenai kewajiban-kewajiban

dan hak-haknya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33

Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, formalin dan boraks adalahan bahan

tambahan pangan yang tidak boleh digunakan karena formalin pada umumnya

digunakan untuk membunuh kuman yang biasanya digunakan untuk membersikan

lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat dan berbagai serangga lain,

bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak,

pengawet mayat, sehingga benda apapun yang biasanya busuk, menjadi tidak

busuk, sedangkan boraks itu zat aktifnya Asam boraks yang gunanya untuk

pembuatan deterjen, mengurangi kesadahan air dan bersifat antisepetik, sehingga

jika bahan-bahan berbahaya ini ditambahkan ke makanan, sehingga menjadikan

dampak negatif bagi kesehatan konsumen yang mengkomsumsi makanan

tersebut.83 Namun masih banyak pelaku usaha yang bergerak di bidang pangan

menggunakan bahan formalin dan boraks sebagai bahan tambahan pangan.

Seperti pada kasus mie kuning yang mengandung formalin dan boraks di

Jatinegara. Pada dasarnya Mie kuning dibuat dari tepung terigu dan telur, dimana

kedua komposisi utama ini kaya akan karbohidrat serta protein yang sangat disukai

oleh mikroorganisme selain itu kandungan Aw (activity water)/air bebas pada mie

kuning yang tinggi serta pH mie kuning yang ada di range 4,5-5 (berasam rendah),

oleh karena beberapa faktor diatas, mie kuning menjadi produk yang berisiko

ditumbuhi mikroorganisme yang berikutnya akan menyebabkan kerusakan pada

83
Fatmawati Maria, Op. Cit., Pasal 3

41
mie kuning/busuk.84 Sehingga diperlukan bahan tambahan pangan berupa formalin

dan boraks agar mie kuning tersebut tidak mudah rusak/busuk. Hal ini tentu sangat

bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen.

Pada kasus mie kuning di atas, hak-hak konsumen sebagaimana diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK) sudah diabaikan oleh pelaku usaha. Dengan ditambahkannya bahan

pangan berupa boraks dan formalin pelaku usaha sudah melakukan perbuatan yang

dilarang bagi pelaku usaha sebagaimana tertuang pada Pasal 8 ayat (3) UUPK

yaitu: “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang

rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau memberikan informasi secara

lengkap dan benar”. Sejalan dengan perbuatan yang dilakukan pelaku usaha atas

dilanggarnya Pasal 8 ayat (3) UUPK tersebut artinya pelaku usaha sudah tidak

peduli akan kewajiban yang seharusnya dilakukannya sesuai dengan UUPK.

Pada kasus mie kuning mengandung formalin dan boraks di Jatinegara

tersebut, terdapat hak-hak konsumen yang diciderai yaitu mengenai hak atas

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau

jasa sebagaimana tercantum pada Pasal 4 huruf a UUPK. Akibat Tindakan pelaku

usaha yang menambahkan bahan pangan berupa formalin dan boraks tersebut akan

membahayakan keselamatan konsumen dalam jangka pendek maupun jangka

panjang. Timbulnya penyakit yang membahayakan konsumen akibat dari

mengkonsumsi mie kuning yang mengandung formalin dan boraks adalah bentuk

84
Wawancara dengan BPOM pada 29 Desember 2022.

42
tidak dipenuhinya hak-hak konsumen sebagaimana Pasal 4 huruf a UUPK.

Tindakan pelaku usaha juga telah mengabaikan kewajibannya sebagaimana diatur

pada Pasal 7 huruf a yaitu menjalankan kewajibannya dengan beritikad baik dalam

melakukan kegiatan usahanya.85

Hak konsumen lainnya yang tidak terpenuhi akibat mie yang mengandung

formalin dan boraks ini adalah sebagaimana tercantum pada Pasal 4 huruf c UUPK

yang berbunyi ha katas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa.86 Pelaku usaha cenderung tidak memperdulikan hak

konsumen tersebut dan memilih untuk menguntungkan dirinya sendiri tanpa

melihat dampak atau bahaya dari mengkonsumsi produk yang mengandung

formalin bagi Kesehatan konsumen. Dengan tidak dipenuhinya Pasal 4 huruf c

UUPK, artinya pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana

tercantum pada Pasal 7 huruf b, yaitu pelaku usaha tidak memberikan informasi

yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta

memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan dengan

semestinya.87

Terkait kasus mie kuning yang mengandung formalin dan boraks di

Jatinegara, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi

dan/atau penggantian, jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjajian atau tidak sebagaimana mestinya. Hal tersebut tertuang pada Pasal 4 huruf

h UUPK. Hak tersebut wajib dipenuhi oleh pelaku usaha, dilihat dari dampak yang

85
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit,, Pasal 7
86
Ibid. Pasal 4.
87
Ibid. Pasal 7.

43
ditimbulkan dari efek formalin dan boraks yang dikonsumsi konsumen dan

merugikan Kesehatan dan keselamatan jiwa konsumen sesuai dengan ketentuan

Pasal 7 huruf f UUPK.

Sudah sepatutnya para pelaku usaha memikirkan kesehatan dan

keselamatan konsumen dalam kegiatan usahanya dengan menggunakan naluri

sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran. Pada kasus mie kuning yang

mengandung formalin dan boraks ini, pelaku usaha pun melanggar ketentuan

mengenai perbuatan yang dilarang pelaku usaha yang diatur pada Pasal 8 huruf a,

dengan tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.88 Diciptakannya ketentuan hukum

mengenai perlindungan konsumen oleh pemerintah bukan hanya semata-mata

sebagai formalitas saja. Namun, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen ini memiliki tujuan yang mulia dan sudah seharusnya kita

sebagai warga negara yang baik untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut.

B. Upaya pengawasan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)

dalam kasus mie kuning yang mengandung formalin dan boraks terhadap

keselamatan konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

Untuk mengawasi penyelenggaraan perlindungan konsumen, Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah mengaturnya

sebagaimana tercantum pada Pasal 30 UUPK. Bahwa terhadap pengawasan

88
Ibid. Pasal 8 huruf a

44
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan

perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan

Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). 89 Upaya

pengawasan ini perlu dilakukan guna terselenggaranya perlindungan hak-hak

konsumen dan menghindari para pelaku usaha yang tidak memiliki itikad baik dan

berlaku curat yang membahayakan Kesehatan dan keselamatan konsumen.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga pemerintah

non kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang pengawasan obat

dan makanan. BPOM dan Balai Besar Pengawasan Obat and Makanan (BBPOM)

adalah lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi dan tugas yang sama dalam hal

pengawasan obat dan makanan. Tugas dan fungsi kedua lembaga tersebut tertuang

di dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,

Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah

Non Departemen, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan.

Untuk mencapai kepastian hukum, BPOM membuat suatu peraturan yaitu

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 tentang

Bahan Tambahan Pangan yang bertujuan agar Bahan Tambahan Pangan (BTP)

dapat mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk

tujuan teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,

pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan

atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan

89
Ibid. Pasal 30.

45
tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.90 Berdasarkan ketentuan

tersebut, sudah jelas bahwa formalin bukan sebuah zat gizi yang dapat

memberikan energi, diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan

pemeliharaan Kesehatan. Pada kasus mie kuning yang mengandung boraks dan

formalin ini artinya BPOM menyampaikan bahwa boraks dan formalin tidak

diperbolehkan atau dilarang sebagai BTP karena kandungannya berbahaya bagi

Kesehatan dan keselamatan konsumen. Dengan adanya Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan yang

menyatakan boraks dan formalin adalah bahan berbahaya dan dilarang untuk

dijadikan bahan tambahan pangan.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah peneliti

jabarkan, terkait upaya pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

mengenai Bahan Tambahan Pangan telah disusun dan diatur sedemikian rupa di

dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019

Tentang Bahan Tambahan Pangan terkait bahan tambahan pangan yang

diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Lebih jelasnya terdapat pada Pasal 22

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 Tentang

Bahan Tambahan Pangan mengenai pengawasan terhadap BTP yang dilakukan oleh

Kepala Badan. Berdasarkan hasil wawancara BPOM, BPOM menyatakan bahwa

temuan mie kuning mengandung formalin dan boraks di Jatinegara, BPOM bekerja

sama dengan Korwas PPNS Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Timur melakukan

90
Indonesia, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019
Tentang Bahan Tambahan Pangan, BNRI. 723 Tahun 2019, Pasal 2 ayat (2)

46
penindakan terhadap sarana produksi yang memproduksi mie kuning berformalin

dan boraks tersebut pada 22 Maret 2022, Dari hasil penindakan tersebut, berhasil

disita barang bukti berupa ratusan kilogram mie kuning mengandung formalin dan

boraks, serbuk boraks dan formalin serta peralatan terkait yang digunakan dalam

produksi mie tersebut. Selain, itu penyidik juga menyita sisa cairan yang

mengandung formalin. Mie mengandung formalin dan boraks tersebut dijual ke

berbagai pasar tradisional di sekitar Jakarta Timur. Terhadap barang bukti mie

kuning mengandung formalin dan boraks dilakukan pemusnahan oleh pemilik

sarana produksi dengan disaksikan oleh penyidik BPOM maupun kepolisian ; dan

terhadap barang bukti formalin dan boraks yang ditemukan di sarana produksi

dilakukan penyitaan.91

Berkaitan dengan tugas dan wewenangnyapun BPOM secara rutin/berkala

malakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), pendampingan, bimbingan

teknis terkait Cara-Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) termasuk

penggunaan bahan-bahan yang diizinkan digunakan dalam pangan kepada pelaku

usaha yang berpotensi menggunakan formalin atau boraks dalam produksinya.

BPOM juga secara rutin mensosialisasikan bahan pengganti/subtitusi bahanbahan

berbahaya seperti formalin dan boraks diatas, contohnya Palata yang terbuat dari

bahan alami dari fermentasi pisang.92

91
Wawancara dengan BPOM pada 29 Desember 2022.
92
Ibid.

47

Anda mungkin juga menyukai