Anda di halaman 1dari 32

BAB II

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA UMUMNYA

A. Perlindungan Konsumen Berdasarkan Hukum Positif

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Untuk menjamin dan melindungi kepentingan konsumen atas produk

barang yang dibeli, sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen lahir, maka peraturan perundang-undangan yang

mengaturnya adalah sebagai berikut:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Kitab

UndangUndang Hukum Dagang (KUHD) yang merupakan produk

peninggalan penjajahan bangsa Belanda, tetapi telah menjadi pedoman

dalam menyelesaikan kasus-kasus untuk melindungi konsumen yang

mengalami kerugian atas cacatnya barang yang dibelinya.meskipun

KUH Perdata dan KUHD itu tidak mengenal istilah konsumen, tetapi

di dalamnya dijumpai istilah “pembeli”, “penyewa”, “tertanggung”,

atau “penumpang”, yang tidak membedakan apakah mereka sebagai

konsumen akhir atau konsumen antara;

b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang

Barang. Penerbitan undang-undang ini dimaksudkan untuk menguasai


dan mengatur barang-barang apapun yang diperdagangkan di

Indonesia;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1964 tentang Standar Industri.

Peraturan pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1961. Salah satu tujuan dari standar industry itu

adalah meningkatkan mutu dan hasil industry;

d. Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 81/M/K/SK/2/1974 tentang

Pengesahan Standar Cara-cara Analisis dan Syarat-syarat Mutu Bahan

Baku dan Hasil Industri.14

Dalam perkembangannya pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah

Republik Indonesia telah mengeluarkan suatu kebijakan baru mengenai

perlindungan konsumen dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang dimuat dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 dan Tambahan Lembaran

Negara Indonesia Nomor 3821. Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini

berlaku efektif pada tanggal 20 April 2000, yang merupakan awal pengakuan

perlindungan konsumen dan secara formal menjadi sarana kekuatan hukum bagi

konsumen dan tanggung jawab pelaku usaha sebagai penyedia produk bermutu.

Rumusan pengertian dari Pelindungan Konsumen terdapat pada terdapat

dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang


14
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Huku Perlindungan Konsumen,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 4.
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen/UUPK), yaitu:

“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya


kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”
Penegasan pada kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk

kepentingan perlindungan konsumen.15

Kepastian hukum dalam pasal tersebut untuk memberikan perlindungan

kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan

martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa

baginya, dan menumbuhkan sikap pelaku usaha yag jujur dan bertanggung

jawab.16

2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 2 menyebutkan

bahwa :

“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,


keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.

15
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm. 1
16
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 9
Asas tersebut diselenggarakan sebagai usaha yang relevan dalam

pembangunan nasional, dengan penjelasan dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut:

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala

upaya dalam menyelenggarakan perlindungankonsumen harus

memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat

diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada

konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil;

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam

arti materiil dan spiritual;

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk

memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada

konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen demikian pula penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu

pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia

seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah bangsa negara Republik Indonesia.17

Tujuan perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 3 UndangUndang

Perlindungan Konsumen, yaitu:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

17
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010, hlm. 26
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi

pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya,

karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang

harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan

konsumen.18

3. Pihak-Pihak Dalam Pelaksanaan Perlindungan Konsumen

a. Konsumen

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda). Secara harafiah arti kata consumer adalah

(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.19

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang


tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

b. Pelaku Usaha

18
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm
19
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009, hlm 22
Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam

bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil.20

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menggunakan

istilah produsen melainkan menggunakan istilah pelaku usaha, pengertian pelaku

usaha dalam Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa:

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia,baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”

Dalam penjelasan undang-undang yang termasuk dalam pelaku usaha

adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor

dan lain-lain.21

B. Hak dan Kewajiban Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha

1. Hak Konsumen

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:

a. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

b. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);


20
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung
Jawab Produk, Panta Rei, Jakarta, hlm 28
21
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media,
Jakarta,2001, hlm 17
c. hak untuk memilih (the right to choose);

d. hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar tersebut di atas diakui secara internasional yang

merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia yang dicanangkan PBB

pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21, dan

Pasal 26. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang

tergabung dalam The International Organization of Consumer Union (IOCU)

menambahkan lagi beberapa hak, seperti :22

a. hak mendapatkan pendidikan konsumen;

b. hak mendapatkan ganti kerugian;

c. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;

d. hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun

1999 diatur mengenai hak konsumen. Hak konsumen adalah :

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

22
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm. 39
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

lainnya.

Beberapa rumusan tentang hak-hak konsumen yang telah

dikemukakan,secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip

dasar, yaitu:23

a. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik

kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;

23
Ibid, hlm 47
b. hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;

dan

c. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan

yang dihadapi.

2. Kewajiban Konsumen

Kewajiban konsumen juga diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang


Nomer 8 Tahun 1999 Perlindungan Konsumen. Kewajiban konsumen antara lain:
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian

atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan

keselamatan;

b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Menyangkut kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada

transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat

melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).24

24
Ibid, hlm. 49
Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah

kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa

perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru,

sebab sebelum diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen hampir

tidak dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata,

sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh

aparat kepolisian dan/atau kejaksaan.25

C. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Konsumen

1. Hak Pelaku Usaha


Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Perlindungan

Konsumen pelaku usaha mempunyai hak sebagai berikut:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

25
Ibid, hlm. 49
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

lainnya.

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai

tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku

usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang

diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang

berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang

biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada

barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah.

Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.26

2. Kewajiban Pelaku Usaha

Kewajiban pelaku usaha. Diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomer 8

Tahun 1999 Perlindungan Konsumen kewajiban pelaku usaha, antara lain:

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

26
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Rajawali
Pers, Jakarta, 2010, hlm 51
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau

jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa

yang diperdagangkan;

g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan

perjanjian.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen pelaku usaha diwajibkan

beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen

diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa.27

Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa iktikad

baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam

27
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010, hlm 126
melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku

usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai

pada tahap purna penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beriktikad

baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu

saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai

sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi

konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat

melakukan pada saat transaksi dengan produsen.28

Seperti diketahui bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat

harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang

membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan

dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan

akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka undang-undang

menentukan berbagai larangan sebagai berikut:29

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen pelaku usaha dilarang melakukan :

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang:

28
Ibid, hlm. 126
29
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op cit, hlm. 63.
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau

etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses

pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana

dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa

tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;


i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto,

komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,

nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk

penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan

perundangundangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat

atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap

dan benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

3. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani dalam bukunya yang

berjudul Hukum Tentang Perlindungan Konsumen ,bahwa Jika berbicara soal

pertanggungjawaban hukum, mau tidak mau, kita harus berbicara soal ada
tidaknya suatu kerugian yang telah diderita oleh suatu pihak sebagai akibat

(dalam hal hubungan konsumen-pelaku usaha) dari penggunaan, pemanfaatan,

serta pemakaian oleh konsumen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh

pelaku usaha tertentu.30

Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan

rumusan yang jelas dan tegas tentang definisi dari jenis barang yang secara

hukum dapat dipertanggungjawabkan, dan sampai seberapa jauh suatu

pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi pelaku usaha

tertentu atas hubungan hukumnya dengan konsumen. Hal ini erat kaitannya

dengan konsep Product Liability yang banyak dianut oleh negara-negara maju.31

Dua hak konsumen yang berhubungan dengan Product Liability

sebagaimana Adrian Sutedi dalam bukunya Tanggung Jawab Produk Dalam

Hukum Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa:

1. Hak untuk mendapatkan barang yang memiliki kuantitas dan kualitas

yang baik serta aman.

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi untuk mendapatkan

barang dengan kuantitas dan kualitas yang bermutu. Ketidaktahuan konsumen

atas suatu produk barang yang dibelinya sering kali diperdayakan oleh pelaku

30
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm 59
31
Ibid.
usaha. Konsumen sering dihadapkan pada kondisi “jika setuu beli, jika tidak

silahkan cari di tempat yang lain”. Dalam situasi yang demikian, biasanya

konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila masih ada), yang mungkin

kualitasnya lebih buruk.

2. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian.

Jika barang yang dibelinya dirasakan cacat, rusak, atau telah

membahayakan konsumen, ia berhak mendapatkan ganti kerugian yang pantas.

Namun, jenis ganti kerugian yang diklaimnya untuk barang yang cacat atau rusak,

tentunya harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan

masing-masing pihak, artinya konsumen tidak dapat menuntut secara berlebihan

dari barang yang dibelinya dengan harga yang dibayarnya, kecuali barang yang

dikonsumsinya itu menimbulkan gangguan pada tubuh atau mengakibatkan cacat

pada tubuh konsumen, maka tuntutan konsumen dapat melebihi dari harga barang

yang dibelinya.32

Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 Perlindungan

Konsumen pelaku usaha mempunyai tanggung jawab. Tanggung jawab pelaku

usaha adalah:

32
Adrian Sutedi, Op. Cit, hlm 51-52
a. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas

kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat

mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau

diperdagangkan.

b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis

atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

yang berlaku.

c. Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah

d. tanggal transaksi.

e. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

f. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan

tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa

tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:33

33
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010, hlm. 126
a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

b. Tanggung jawab kerugian atas pencemaran;

c. Tanggung jawab kerugian atas kerugian konsumen.

Pasal 19 mengatur tentang pertanggungjawaban pelaku usaha pabrikan

dan/atau distributor pada umumnya, untuk memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau

jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan dengan ketentuan bahwa ganti rugi

tersebut dapat dilakukan dalam bentuk pengembalian uang atau penggantian

barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan

dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Ganti rugi harus telah diberikan dalam jangka waktu 7

(tujuh) hari terhitung sejak tanggal transaksi.34

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat

bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini

berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang

dialami konsumen.35

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen:

34
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm 65-66
35
Ibid, hlm.
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha

lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan

konsumen apabila:

a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan

perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut;

b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui

adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku

usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari

tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen

apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual

kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang

dan/atau jasa tersebut.

Adanya pengaturan Pasal 24 ayat (1) tersebut dijelaskan maka pelaku

usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain akan tetap

bertanggung jawab atas tuntutan ganti kerugian dan/atau gugatan konsumen

sekalipun tidak memiliki hubungan kontraktual dengan konsumen yang

bersangkutan. Tanggung jawab yang dimaksudkan oleh pasal ini adalah tanggung

jawab berdasarkan perbuatan melanggar hukum.


Dasar pertanggungjawaban ini terutama karena adanya syarat yang

ditentukan di dalam pasal tersebut, yaitu; apabila pelaku usaha lain yang menjual

barang dan/atau jasa hasil produksinya kepada konsumen tidak melakukan

perubahan apapun atas barang dan/atau jasa tersebut, atau apabila pelaku usaha

lain yang melakukan transaksi jual beli dengan produsen, tidak mengetahui

adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh produsen, atau

produsen yang bersangkutan telah memproduksi barang dan/atau jasa yang tidak

sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi yang diperjanjikan sebelumnya.36

Penjelasan yang berkaitan dengan Pasal 24 ayat (2) jika pelaku usaha lain

yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan

melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut, maka tanggung jawab

atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen dibebankan sepenuhnya

kepada pelaku usaha lain yang telah melakukan perubahan tersebut.37

Pasal lanjutan dari Pasal 24 UUPK yaitu pasal 25 dan pasal 26 yang

berhubungan dengan layanan purna jual oleh pelaku usaha atas barang dan/atau

jasa yang diperdagangkan. Dalam hal ini pelaku usaha diwajibkan untuk

bertanggung jawab sepenuhnya atas jaminan dan/atau garansi yang diberikan,

serta penyedia suku cadang atau perbaikan.38

36
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit. , hlm 155-156
37
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hlm 67.
38
Ibid.
Pada Pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menolong bagi pelaku usaha yang melepaskannya dari

tanggung jawab untuk memberikan ganti rugi pada konsumen karena dijelaskan

dalam pasal ini pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung

jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak

dimaksudkan untuk diedarkan;

b. cacat barang timbul pada kemudian hari;

c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;

d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli


atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Apabila dikaitkan pada asas umum hukum perdata, dapat dikatakan bahwa

siapapun yang tindakannya merugikan pihak lain, wajib memberikan ganti rugi

kepada pihak yang menderita kerugian tersebut. Perbuatan yang merugikan

tersebut dapat lahir karena:

1. Tidak ditepatinya suatu perjanjian atau kesepakatan

yang telah dibuat

(yang pada umumnya dikenal dengan istilah wanprestasi); atau


2. Semata-mata lahir karena suatu perbuatan tersebut (atau dikenal dengan

perbuatan melawan hukum).39

Apabila ada hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha,

maka gugatannya adalah wanprestasi. Kerugian yang dialami konsumen

dikarenakan tidak dilaksanakannya prestasi oleh pengusaha atau pelaku usaha.

Apabila konsumen menggunakan gugatan perbuatan melawan hukum, maka

hubungan kontraktuil antara konsumen dengan pelaku usaha tidaklah disyaratkan.

Secara umum, tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialami oleh

konsumen sebagai akibat penggunaan produk hanya digolongkan menjadi dua

kategori, yaitu:

a. Tuntutan Berdasarkan Wanprestasi

Apabila tuntutan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi, maka

terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan

konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga

(bukan sebagai pihak dalam perjanjian) yang dirugikan tidak dapat

menuntut ganti kerugian dengan alasan wanprestasi.

b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum

Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada

wanprestasi, tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan


39
Ibid., hlm 62.
melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian antara

produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti kerugian dapat

dilakukan oleh setiap pihak yang dirugikan, walaupun tidak pernah

terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen.

Dengan demikian, pihak ketiga pun dapat menuntut ganti kerugian.40

D. Penyelesaian Sengketa Antara Konsumen Dengan Pelaku Usaha

Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha mempunyai kepentingan

yang berbeda. Adanya perbedaan kepentingan tersebut sehingga dapat

menimbulkan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Untuk menyelesaikan

sengketa konsumen maka dibutuhkan upaya penyelesaian sengketa.

Penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin

tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya dengan siapa dia pernah terlibat dalam

suatu sengketa.41

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, mengatur penyelesaian sengketa sebagai berikut:

a. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha

melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara


40
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hlm 127-129
41
Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di
Indonesia, Rajawali Pers , Jakarta, 2011, hlm 155.
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum.

b. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan

atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang

bersengketa.

c. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana

diatur dalam Undang-undang.

d. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh

apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak

atau oleh para pihak yang bersengketa.

Ada 3 cara dalam menyelesaikan kosumen, yaitu :

1. penyelesaian sengketa konsuen melalui pengadilan;

2. penyelesaian sengketa konsumen dengan tuntutan seketika; dan

3. penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen, yaitu yang disingkat dengan BPSK.

Satu dari tiga cara tersebut di atas, dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang

merasa dirugikan, dengan ketentuan bahwa penyelesaian sengketa melalui

tuntutan seketika wajib ditempuh pertama kali untuk memperoleh kesepakatan

para pihak. Sedangkan dua cara lainnya adalah pilihan yang ditempuh setelah

penyelesaian dengan cara kesepakatan gagal. Dengan begitu, jika sudah


menempuh cara melalui pengadilan tidak dapat lagi ditempuh penyelesaian

melalui BPSK dan sebaliknya.

1. Melalui jalur pengadilan

a. Pengajuan gugatan

Di dalam pasal 46 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8

Tahun 1999 menjelaskan:

1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh :

a) Seseorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang

bersangkutan;

b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam

anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan

konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran

dasarnya;

d) Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang dan atau jasa yang

dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang

besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pemerintah


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d

diajukan kepada peradilan umum.

3) ketentuan lebih lanjut menegenai kerugian materi yang besar dan/atau

korban yang tidak sedikit sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

huruf d diatur dengan peraturan pemerintah. 

b. Pemerikasaan dan Pembuktian

Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar

yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna

memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.42

Pasal 1866 KUH Perdata, alat-alat bukti yang dapat diajukan adalah :

1) Surat;

2) saksi;

3) persangkaan;

4) pengakuan; dan

5) sumpah

2. Diluar Pengadilan

a. Penyelesaian penggantian kerugian seketika (secara langsung) dengan

jalan damai

Sebagaimana pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) undang-undang Perlindungan

konsumen, di mana konsumen yang merasakan dirugikan dapat menuntut secara


42
Sudikno Martolusuma, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, yogyakarta, ,
1988, hlm 35
langsung penggantian kerugian kepada pelaku usaha, dan pelaku usaha harus

memberi tanggapan dan/atau penyelesaian dalam jangka waktu tujuh hari setelah

teransaksi berlangsung. Pada penyelesaian ini, kerugian yang dapat dituntut

sebagai mana yang dituang dalam pasal 19 ayat (1) terdiri dari kerugian karena

kerusakan, pencemaran, dan kerugian lain akibat dari mengkonsumsi barang

dan/atau jasa. Bentuk kerugian dapat berupa :

1) Pengembalian uang seharga Pembelian barang dan/atau jasa;

2) Penggantian barang dan/atau jasa sejenis atau setara nelainya;

atau

3) Perawatan kesehatan; atau

4) Pemberian santunan yang sesuai.

Pilihan bentuk penggantian kerugian bergantung pada kerugian yang

sungguh-sungguh diderita oleh konsumen, dan sesuai dengan hubungan hukum

yang ada di antara mereka.

b. Tuntutan pengantian kerugian melalui Badan Penyelesaian Sengketa


Konsumen (BPSK)

Penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK mengunakan 3 cara, yaitu

1) konsiliasi;

2) mediasi ;

3) arbitrase
Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat penyelesaian

sengketa di luar pengadilan. Lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan

adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Tugas dan wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen diatur dalam Pasal 52 UUPK, sebagai berikut:

Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:

a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,

dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam undang-undang ini;

e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari

konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan

konsumen;

f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa

perlindungan konsumen;

g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang

yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan
huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian

sengketa konsumen;

j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat

bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak

konsumen;

l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar

ketentuan undang-undang ini.

Anda mungkin juga menyukai