Anda di halaman 1dari 18

PERLINDUNGAN KONSUMEN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Selekta Kapita Hukum Ekonomi

Dosen Pengampu: Dr. Ja’far Baehaqi, S.Ag, M.H

Disusun oleh:

Ismalia Falin (1702056032)

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji
syukur selalu tercurahkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah Kapita Selekta
Hukum Ekonomi tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Penyusunan makalah ini telah diupayakan dan telah didukung oleh referensi buku
yang telah tersedia. Namun tidak lepas dari semua itu, saya menyadari bahwa sepenuhnya
masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi aspek penyusunan bahasa dan beberapa
aspek lainnya. Oleh karena itu, dengan lapang dada saya bersedia menerima kritikan dan
saran atas penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya
pribadi dan bagi para pembaca pada umumnya.

Penyusun

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum
antara konsumen dengan produsen. Konsumen dapat berada pada posisi yang lemah jika
tidak adanya perlindungan yang seimbang. Perlindungan konsumen merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat.1 Hal ini dapat mengakibatkan
kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Konsumen akan
berada pada posisi yang lemah, dikarenakan pembuatan perjanjian standar tersebut yang
hanya dilakukan secara sepihak oleh pihak pelaku usaha saja. Jelas bahwa klausula baku
yang tertuang di dalam perjanjian standar tersebut sifatnya lebih menguntungkan pihak
pelaku usaha dibandingkan dengan pihak konsumen. Klausula baku merupakan aturan
sepihak dalam kuitansi, faktur/bon, perjanjian, atau dokumen lainnya dalam transaksi jual
beli yang merugikan konsumen. Adanya klausula baku menyebabkan posisi konsumen
lemah dibandingkan dengan pelaku usaha.2
Para pelaku usaha di dalam menjalankan usahanya menerapkan prinsip ekonomi,
yaitu mendapat keuntungan semaksimal mungkin dengan pengeluaran seminimal
mungkin. Prinsip inilah yang kemudian mendorong para pelaku usaha untuk melakukan
tindakan merugikan konsumen, berkaitan dengan produk yang diedarkannya di dalam
masyarakat. Apabila diperhatikan lebih teliti, ada beberapa klausula dalam media
promosi, misalnya brosur atau leaflet, tersebut yang seolah menjadi baku dan lazim
digunakan dalam media promosi. Kedudukan konsumen yang berada pada posisi yang
lemah membutuhkan suatu perlindungan terhadap kepentingannya.3
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan konsumen ?
2. Bagaimana ruang lingkup perlindungan konsumen ?
1
Abdul R. Saliman. HUKUM BISNIS UNTUK PERUSAHAAN: Teori dan Contoh Kasus. Jakarta. Prenadamedia
group. 2016. Hlm. 247.
2
Nurhafni . “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN BAKU ELEKTRONIK,
CONSUMER LAW PROTECTION IN ELECTRONIC STANDARD AGREEMENT”. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum,
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sanusi Bintang . Vol. 20, No. 3, (Desember, 2018). Hlm.
474.
3
Ibid, hlm. 474.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan dasar Hukum Perlindungan Konsumen


Pengertian perlindungan dalam bahasa inggris adalah protection. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan perlindungan adalah
tempat berlindung. Dengan demikian kata perlindungan mengandung makna yaitu, suatu
tindakan perlindungan atau tindakan melindungi dari pihak-pihak tertentu yang ditujukan
untuk pihak tertentu dengan menggunakan cara-cara tertentu. Kalau kita bicara tentang
hukum pada umumnya yang dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan -
peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama : keseluruhan peraturan
tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.4
Dalam Pasal 1 Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), menyatakan mengenai pengertian konsumen yaitu bahwa konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Sedangkan dalam kamus hukum, pengetian konsumen adalah pihak
yang menggunakan atau memanfaatkan baik barang maupun jasa, untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Sedangkan Pengertian perlindungan
konsumen menurut Undang-Undnag No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) adalah segala bentuk upaya pemerintah untuk menjamin kepastian hukum untuk
melindungi konsumen.5
Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan
kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:
Pertama adalah Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber
hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan

4
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar.(Yogyakarta: Liberti, 2003),
hlm. 40.
5
Widi Nugrahaningsih, Mira Erlinawati. IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BISNIS ONLINE. Surakarta. Jurnal Serambi Hukum Vol.
11 No. 01 Februari - Juli 2017. Hlm. 28.

3
melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan
dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi
oleh masyarakat.
Kedua yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia,
untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang
dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
B. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen
1. Asas Perlindungan Konsumen
Melindungi konsumen merupakan hal yang wajib dalam kegiatan usaha, ada
beberapa asas perlindungan konsumen yang harus diterapkan. Adapun asas-asas
tersebut:6
a) Asas manfaat
Dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen, upaya tersebut harus
memilikimanfaat terhadap konsumen agar konsumen merasa terlindungi. Manfaatnya
tidak hanya bagi konsumen, tetapi juga pelaku usaha.
b) Asas keadilan
Demi menjaga rasa keadilan, kewajiban sebagai konsumen maupun pelaku usaha
harus dilaksanakan secara adil.
c) Asas keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen dan kepentingan
pelaku usaha.
d) Asas keamanan dan keselamatan
Rasa aman dan keselamatan termasuk salah satu faktor penting bagi konsumen,
untuk itu pelaku usaha harus memberikan rasa aman dan keselamatan atas produk yang
dipakai atau yang digunakan dan jasa yang diberikan.
e) Asas kepastian hukum
Asas ini bertujuan memberikan kepastian hukum terhadap konsumen agar tercipta
rasa keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen.

6
Toman Sony Tambunan dan Wilson R.G. Tambunan, HUKUM BISNIS, Jakrta: Prenadamedia Group, 2019,
hlm. 247.

4
Pasal 28 Undang-Undang No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan,
menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya OJK melakukan
tindakan pencegahan kerugian konsumen. Adapun kegiatan tersebut berguna:7
a. Memberikan informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sector
jasa keuangan, layanan, dan produknya;
b. Meminta lembaga jasa keuangan untuk menghentikan kegiatannya apabila
kegiatan tersebut berpotensi merugikan masyarakat; dan
c. Tindakan lainnya yang dianggap perlu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
2. Tujuan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari
Perlindungan Konsumen adalah:8
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri,
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam
berusaha,
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.
3. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak
Konsumen adalah :9
7
Waldi Nopriansyah, HUKUM BISNIS DI INDONESIA, Jakrta: Prenadamedia Group, 2019, hlm. 205.
8
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821
Pasal 3.
9
Endang Purwaningsih, HUKUM BISNIS, Bogor: Ghalia Indonesia, 2015, hlm. 75.

5
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban
Konsumen adalah :10
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Definisi pelaku usaha sesuai dengan undang-Undnag Republik Indonesia Nomor
8 Tahun 1999 adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri

10
Ibid, hlm. 76.

6
maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.11
Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Thaun 1999, yang menjadi
hak dari pelaku usaha adalah:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beriktikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sementara Pasal 7 dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 1999,
yang menajdi kewajiban dari pelaku usaha adalah:
a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan
pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan stantar mutu barang dan / atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/ atau mencoba barang
dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang
dibuat dan/ atau yang diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan , pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan;

11
Waldi Nopriansyah, HUKUM BISNIS DI INDONESIA, Jakrta: Prenadamedia Group, 2019, hlm. 207.

7
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/ atau
jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
5. Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha12
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
12
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821.

8
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah :
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga
khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu,
sejarah atau guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
aksesori tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;barang tersebut tidak mengandung cacat
tersembunyi;
f. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
g. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
h. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
i. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
j. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan.

9
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang,
dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan :
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar
mutu tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat
tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud
untuk menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup
dengan maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,
jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu
dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13

10
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau
memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat,
obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan
dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan
dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik
maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang
untuk :
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan
yang dijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;

11
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
6. Pihak-Pihak yang Terkait dalam Perlindungan Konsumen
a. Konsumen
Konsumen secara umum adalah pihak yang mengkonsumsi suatu produk. Istilah
konsumen berasal dari bahasa asing, consumer (Inggris); dan consumenten (Belanda).
Menurut kamus hukum Dictionary of Law Complete Edition konsumen merupakan
pihak yang memakai atau menggunakan barang dan jasa, baik untuk kepentingan diri
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain.13
Arti konsumen di Indonesia sesuai dengan Pasal 1 angka (2) UUPK adalah:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.14
Unsur-unsur konsumen dalam rumusan tersebut, ialah:
1. Setiap orang;
Setiap orang adalah perseorangan dan tidak termasuk badan hukum maupun
pribadi hukum.
2. Pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat;
Barang dan/atau jasa yang dimaksud dapat diperoleh di tempat umum, misalnya
pasar, supermarket dan toko.
3. Untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, atau mahluk hidup lain;
Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk keperluan
konsumen, keluarga konsumen atau orang lain.
4. Tidak untuk diperdagangkan.

13
M. Marwan dan Jimmy. P, Kamus Hukum. (Surabaya: Reality Publisher, 2009), hlm. 378.
14
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821,
Pasal 1 angka (2).

12
Barang dan/atau jasa digunakan, dipakai, dimanfaatkan tidak untuk keperluaan
komersil.
Ada unsur yang sangat penting dari pengertian konsumen, yaitu tentang maksud
atau tujuan dilakukan pembelian tidak untuk dijual kembali, tetapi untuk kepentingan
pribadi. Mengenai bentuk dan cara dilakukannya perbuatan hukum atau transaksi
konsumen tidak diharuskan dalam bentuk tertentu, yang pokok adalah tujuan
dilakukannya transaksi bukan untuk bisnis, melainkan untuk kepentingan pribadi atau
personal. Perolehan suatu produk dapat dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk
perbuatan. Seperti transaksi pembelian, sewa-menyewa yang dapat dilakukan dengan
cara dan bentuk yang berbeda-beda, namun tidak untuk tujuan bisnis. Unsur tidak untuk
dijual kembali, sudah seharusnya tidak masuk dalam pengertian konsumen, karena
kegiatan pembelian untuk dijual kembali adalah kegiatan dagang atau perbuatan
perniagaan.
Dalam penjelasan Pasal 1 angka (2) UUPK juga dikatakan, di dalam kepustakaan
ekonomi dikenal dengan istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir
adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara
adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu
produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.15
Jadi jelas bahwa yang dimaksudkan dengan konsumen itu hanyalah orang
pemakai akhir dari suatu produk barang dan jasa. Dalam pengertian bahwa produk yang
dibelinya tersebut adalah untuk dikonsumsinya sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan
lagi.16
b. Pelaku Usaha
Pasal 1 ayat (3) UUPK, memberikan pengertian pelaku usaha sebagai berikut:17
“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri

15
M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. (Jakarta:
Akademia, 2012), hlm.7.
16
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Liku-Liku Perjalanan UUPK (Jakarta: YLKI dan USAID), hlm. 4.
17
Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen. UU Nomor 8 Tahun 1999 TLN Nomor 3821,
Pasal 1 ayat (3).

13
maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi”.
Pelaku usaha yang dimaksud dalam UUPK sama dengan cakupan produsen yang
dikenal di Belanda, karena produsen dapat berupa perorangan atau badan hukum. Dalam
pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau pelaku usaha di luar
negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia.18
Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas tersebut, akan memudahkan
konsumen menuntut ganti kerugian. Konsumen yang dirugikan akibat penggunaan
produk tidak begitu kesulitan dalam menemukan kepada siapa tuntutan diajukan, karena
banyak pihak yang dapat digugat, namun akan lebih baik lagi seandainya UUPK tersebut
memberikan rincian sebagaimana dalam Directive (pedoman bagi negara masyarakat Uni
Eropa), sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia
akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk.19
7. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen
Pemerintah dalam hal ini pemerintah pembuat kebijakan telah memberikan
kepastian hukum untuk melindungi konsumen, termasuk juga yang memanfaatkan media
online untuk bertransaksi, khususnya dalam UUPK ada pasal 8 dan pasal 9.
Lembaga perlindungan konsumen nasional Indonesia telah diamanatkan dalam
UUPK, khusunya dalam pasal 44 yang membahas pengenai Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat. Lembaga Perlindungan Konsumen khususnya yaitu
LPKSM koordinator wilayah Soloraya, sejak didirikan telah melakukan sosialisasi baik
ditingkat kelurahan maupun kota yang bertujuan untuk memasyarakatkan gerakan
perlindungan konsumen karena masih banyak kasus-kasus atau kurang sadarnya
masyarakat mengenai hak dan kewajiban sebagai seorang konsumen dan masih belum
tahunya proses atau langkah hukum yang akan ditempuh bila menemui kasus.
Meskipun demikian, kultur dari pemerintah, pemerintah dalam hal ini pemerintah
pembuat kebijakan memiliki kebiasaan hanya melihat perlindungan konsumen lebih
kepada transaksi konvensional, kurang memperhatikan perkembangan teknologi
18
Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen. (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm. 38
19
ibid

14
informasi yang sangat pesat dalam bisang transaksi online saat ini. Sehingga
perlindungan konsumen yang memanfaatkan media online pun masih kurang, dan bahkan
saat ini UUPK dan UUITE menjadi kurang efektif di laksanakan oleh karena kurang
teknisnya aturan yang mengatur mengenai perlindungan konsumen dalam transaksi
online.20

20
Widi Nugrahaningsih, Mira Erlinawati. IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP BISNIS ONLINE. Surakarta. Jurnal Serambi Hukum
Vol. 11 No. 01 Februari - Juli 2017. Hlm. 35-37.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Melindungi konsumen merupakan hal yang wajib dalam kegiatan usaha, maka
dari itu Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengindikasikan bahwa perlindungan
konsumen merupakan segala bentuk upaya pemerintah untuk menjamin kepastian hukum
untuk melindungi konsumen. Dalam Pasal 1 Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK), menyatakan mengenai pengertian konsumen yaitu
bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Tujuan dari UUPK adalah untuk melindungi kepentingan konsumen ketika
bertransaksi yang sekaligus dapat menjadi acuan pelaku usaha untuk dapat meningkatkan
mutu produk yang di jualnya dan dalam hal ini, pemerintah dalam hal ini pemerintah
pembuat kebijakan telah memberikan kepastian hukum untuk melindungi konsumen.
Terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan
perlindungan konsumen di Indonesia, yakni: Pertama adalah Undang-Undang Dasar
1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang
demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang
memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Kedua yaitu
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia,
untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang
dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
B. Saran
Demikian makalah yang dapat saya paparkan, saya berharap makalah ini dapat
berkembang dengan berjalannya diskusi yang akan disampaikan. Kurang lebihnya saya
mohon maaf, untuk itu kepada para pembaca mohon saran yang bersifat membangun
demi sempurnanya makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Saliman, Abdul R. 2016. HUKUM BISNIS UNTUK PERUSAHAAN: Teori dan Contoh
Kasus. Jakarta. Prenadamedia group.
Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.Yogyakarta: Liberti.
Tambunan, Toman Sony dan Wilson R.G. Tambunan. 2019. HUKUM BISNIS, Jakrta:
Prenadamedia Group.
Nopriansyah, Waldi. 2019. HUKUM BISNIS DI INDONESIA. Jakrta: Prenadamedia
Group.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999
Purwaningsih, EndanG.2015. HUKUM BISNIS, Bogor: Ghalia Indonesia.
M. Marwan dan Jimmy. P, Kamus Hukum. 2009.Surabaya: Reality Publisher.
M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, Habloel Mawadi.2012. Hukum Perlindungan
Konsumen di Indonesia. Jakarta: Akademia.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Liku-Liku Perjalanan UUPK (Jakarta: YLKI
dan USAID).
Barkatullah, Abdul Halim. 2010. Hak-Hak Konsumen. Bandung: Nusa Media.

JURNAL
Nurhafni . “PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM PERJANJIAN BAKU
ELEKTRONIK, CONSUMER LAW PROTECTION IN ELECTRONIC
STANDARD AGREEMENT”. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Sanusi Bintang . Vol. 20, No. 3,
(Desember, 2018).
Nugrahaningsih, Widi dan Mira Erlinawati. IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG
NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
TERHADAP BISNIS ONLINE. Surakarta. Jurnal Serambi Hukum Vol. 11 No. 01
Februari - Juli 2017.

17

Anda mungkin juga menyukai