Anda di halaman 1dari 144

1

BAB II

KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN, PELAKU USAHA ,

DISCLAIMER DAN SITUS INTERNET (WEBSITE)

2.1 Perlindungan Konsumen

2.1.1 Konsepsi Umum tentang Pelindungan Konsumen dan Dasar

Hukumnya

Bentuk perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi

salah satunya yaitu perlindungan hukum. Adanya benturan kepentingan didalam

masyarakat harus dapat diminimalisasi dengan kehadiran hukum dalam

masyarakat. Adanya perlindungan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dapat

ditemukan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD

1945) , oleh karena itu maka setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif harus

mampu memberikan perlindungan hukum bagi seluruh masyarakat. Terdapat

beberapa pendapat para sarjana mengenai perlindungan hukum, antara lain :

a) Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah adanya upaya

melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu

kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya

tersebut.1

b) Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya

untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh

penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk


1
Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta, Kompas, hlm.121.
2

mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan

manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.2

c) Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk

melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau

kaidah- kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam

menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama

manusia.3

d) Menurut Philipus M. Hadjon, perlindungan hukum diartikan sebagai

Tindakan melindungi atau memberikan pertolongan kepada subyek

hukum dengan perangkat-perangkat hukum. Bila melihat pengertian

perlindungan hukum di atas, maka dapat diketahui unsur-unsur dari

perlindungan hukum, yaitu:4 subyek yang melindungi , obyek yang

akan dilindungi alat, instrumen maupun upaya yang digunakan untuk

tercapainya perlindungan tersebut.

Dari beberapa pengertian mengenai perlindungan hukum di atas, dapat

disimpulkan bahwa perlindungan hukum sebagai suatu upaya untuk melindungi

kepentingan individu atas kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak

untuk menikmati martabatnya, dengan memberikan kewenangan padanya untuk

bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut.

Menurut Pasal 1 angka 1 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menyatakan bahwa “Perlindungan konsumen adalah “segala upaya yang


2
Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Magister Ilmu
Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,Surakarta hlm. 14.
3
Ibid
4
Philipus M. Hadjon,dkk, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm.10
3

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum”, diharapkan mampu menjadi benteng untuk meniadakan

tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk

kepentingan perlindungan konsumen. Faktor yang juga turut mendorong

pembentukan Undang-undan No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

di Indonesia adalah perkebangan sistem perdagangan global yang dikemas dalam

kerangka World Trade Organization (WTO), maupun program International

Monetary Fund (IMF) dan Program Bank Dunia.5

Hukum Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-

kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan

masalahnya dengan para penyedia barang dan/atau jasa konsumen.6 Menurut

Pasal 1 angka 2 UU No.8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “Konsumen adalah

setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

dan tidak untuk diperdagangkan”.

Pernyataan “tidak untuk diperdagangkan” yang dinyatakan dalam definisi

dari konsumen ini ternyata memang dibuat sejalan dengan pengertian “pelaku

usaha” yang diberikan oleh Undang-undang, dimana dikatakan bahwa yang

dimaksud dengan pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 3 adalah :

5
Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak,
(Jakarta:Universitas Indonesia, 2004), hlm.131
6
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen, (Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2006),
hlm.46.
4

Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

berbagai bidang ekonomi.

Ini berarti tidak hanya para pelaku usaha pabrikan yang menghasilkan

barang dan/atau jasa yang tunduk pada Undang-undang ini, melainkan juga para

rekanan, termasuk para agen, distributor, serta jaringan-jaringan yang

melaksanakan fungsi pendistribusian dan pemasaran barang dan/atau jasa kepada

masyarakat luas selaku pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa.7

Berkaitan dengan kegiatan usaha secara online konsumen juga termasuk

dalam kategori Pengguna Sistem Elektronik sesuai dengan Pasal 1 angka 9

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik yang merupakan setiap Orang, penyelenggara Negara,

Badan Usaha dan Masyarakat yang memanfaatkan barang, jasa, fasilitas atau

informasi yang disediakan oleh Penyelenggara Sistem Elektronik.

Selanjutnya untuk mempertegas makna dari barang dan/atau jasa menurut

Pasal 1 angka 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen juga memberikan definisi dari barang dan jasa sebagai berikut :

Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik

bergerak maupun tiak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan,

yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan


7
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm.5
5

oleh konsumen, jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau

presentasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Konsumen merupakan pengguna akhir (end user), dari suatu produk yaitu

setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan

tidak untuk diperdagangkan.8

Pengertian konsumen dapat terdiri dari tiga pengertian, yaitu :9

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau

jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang

dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan/komersial.

Melihat pada sifat penggunaan barang dan/atau jasa tersebut,

konsumen antara ini sesungguhnya adalah pengusaha, baik

pengusaha perorangan maupun pengusaha yang berbentuk badan

hukum atau tidak, baik pengusaha swasta maupun pengusaha publik

(perusahaan milik negara) dan dapat terdiri dari penyedia dana

(investor), pembuat produk akhir yang digunakan oleh konsumen

akhir atau produsen, atau penyedia atau penjual produk akhir seperti

supplier, distributor atau pedagang.

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan

barang dan/atau jasa, yang digunakan untuk tujuan memenuhi

8
Abdul Rasyid Saliman, et.Al. 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus)
Edisi 2 Cetakan 4, Kencana Renada Media Group, Jakarta, h.23.
9
Susanti Adi Nugroho, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum
Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.61.
6

kebutuhan hidup pribadinya, keluarga dan/atau rumah tangganya

dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu

merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di

bidang hukum perlindungan konsumen. Hukum Perlindungan Konsumen yang

berlaku di Indonesia memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan oleh

pemerintah. Dengan adanya dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Dengan adanya dasar hukum yang pasti, perlindungan terhadap hak-hak

konsumen bisa dilakukan dengan penuh optimisme.

Ada beberapa pakar yang menyebutkan bahwa hukum perlindungan

konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan

yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan

barang/jasa. Adapula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan

dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan

kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi

perdagangan.Serta ada pula yang menggolongkan hukum konsumen dalam hukum

perdata, karena hubungan antara konsumen dan produsen/pelaku usaha dalam

aspek pemenuhan barang/jasa yang merupakan hubungan hukum perdata.10

Peraturan tentang hukum Perlindungan Konsumen telah diatur dalam

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada

10
N.H.T Siahaan, 2005, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk), Panta Rei, Jakarta, h.34.
7

tangal 30 Maret 1999, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati

rancangan undang-undang (RUU) tentang perlindungan konsumen untuk disahkan

oleh pemerintah setelah selama 20 tahun diperjuangkan. RUU ini sendiri baru

disahkan oleh pemerintah pada tanggal 20 April 1999.11 Dengan diundangkannya

masalah perlindungan konsumen dimungkinkan dilakukannya pembuktian

terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang

merasa haknya dilanggar bisa mengadukan dan memproses perkaranya secara

hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang ada di tanah air.

2.1.2. Hak-hak dan Kewajiban Konsumen dalam Perspektif Undang- undang No.8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu :12

1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed);

3. hak untuk memilih (the right to choose);

4. hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,

organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The International

Organization of Consumer Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,

seperti hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan ganti kerugian dan hak

mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

11
Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika dirugikan, Visimedia, Jakarta, h.20.
12
Ibid
8

Pada era 1960an Negeri Paman Sam cukup beruntung karena gerakan

perlindungan konsumen mendapat dukungan pada tingkat suprastruktur politik ini

terjadi pada 15 Maret 1962 tatkala Mantan Presiden Amerika Serikat, John F

Kennedy mengucapkan pidato kenegaraan dihadapan Kongres Amerika Serikat

berjudul “A Special Message of Protection the Consumer Interest”13, pernah

mengemukakan empat hak dasar konsumen, yaitu :14

1. the right to safe products;

2. the right be informed about products;

3. the right to definite choices in selecting products;

4. the right to be heard regarding consumer interest.

Setelah itu, Resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa Nomor 39/248 Tahun 1985

tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection), juga

merumuskan berbagai kepentingan konsumen yang perlu dilindungi, yang

meliputi:15

1. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;

2. Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial konsumen;

3. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk

memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat

sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;

13
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006), PT.Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, h.44
14
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op cit, h.27.
15
Ibid, h.28.
9

4. Pendidikan konsumen;

5. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;

6. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi

lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada

organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses

pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Menurut ketentuan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-

hak Konsumen disebutkan disusun secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan

paling dasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut :16

1. Hak konsumen mendapatkan keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan

kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika

dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.

Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan

utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen

adalah pihak yang wajib berhati-hati bukan pelaku usaha. Falsafah yang

disebut let the buyer beware ini mencapai puncaknya pada abad ke-19 seiring

dengan berkembangnya paham rasional individualisme di Amerika Serikat.17

Dalam perkembangannya kemudian, prinsip yang merugikan konsumen ini telah

ditinggalkan.

2. Hak untuk mendapatkan informasi yang benar

16
Celina Tri Siwi Kristiyanti, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, h.32
17
Ibid
10

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang

benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai

gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat

disampaikan dengan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen,

melalui iklan di berbagai media atau mencantumkan dalam kemasan produk.18

Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang

mengandung resiko terhadap keamanan konsumen wajib disertai informasi berupa

petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan

sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari

manipulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan

itu memenuhi kriteria kejahatan. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh :

1. Pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah (false statement)

2. Pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan

adanya khasiat tertentu padahal tidak.19

3. Hak untuk didengar

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak

untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi yang diberikan pihak yang

berkepentingan atau berkompeten sering tidak cukup memuaskan konsumen.

Untuk itu konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut. Dalam

tata krama dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta oleh

konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan, harus

18
Ibid, ,h.33.
19
Ibid
11

bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu. 20 Pengertian

demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik akan mengarah kepada langkah

positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar.

4. Hak untuk memilih

Dalam mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia

tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk

membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas

menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat kaitannya

dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberikan hak monopoli

untuk memproduksi dan memasarkan barang atau jasa, maka besar kemungkinan

konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk yang

lain.21

5. Hak untuk mendapatkan produk barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar

yang diberikan

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang

tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya.

Namun, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan harga dan

konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Dalam situasi demikian,

biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif (bila masih ada), yang

boleh jadi kualitasnya malahan lebih buruk. Akibat tidak berimbangnya posisi

tawar-menawar antara pelaku usaha dan konsumen, maka pihak pertama dapat

20
Ibid, h.35.
21
Ibid, h.36.
12

saja membebankan biaya-biaya tertentu yang sewajarnya tidak ditanggung

konsumen.

6. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa yang

dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia berhak

mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Untuk menghindar dari kewajiban

memberikan ganti kerugian, sering terjadi pelaku usaha mencantumkan klausula-

klausula eksonerasi di dalam hubungan hukum antara produsen/penyalur produk

dan konsumennya. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak dapat

menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.

7. Hak untuk mendapat penyelesaian hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada

hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausula eksonerasi

secara sepihak.22 Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak

mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum

dengannya, maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk

advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban

hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk

itu.

8. Hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima

sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di

22
Ibid, h.38
13

dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berarti sangat luas dan setiap

makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup

meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik. Desakan

pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat makin

mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme hijau

(green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.

9. Hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang

Persaingan curang dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha menarik

langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau memperluas

penjualan atau pemasarannya dengan menggunakan alat atau sarana yang

bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan perekonomian.23

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, namun dampak dari persaingan

itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh

keuntungan. Sebaliknya jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan.

Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek tetapi cepat atau

lambat pasti terjadi.

10. Hak untuk mendapatkan pendidikan konsumen

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh

karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari hak-

haknya. Kesadaran akan hak tidak dapat dipungkiri sejalan dengan kesadaran

hukum. Makin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi

penghormatannya pada hak-hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan

23
Ibid, h.39.
14

konsumen tidak selalu harus melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat

melewati media massa dan kegiatan lembaga swadaya masyarakat.24

Dari sepuluh butir hak konsumen yang diberikan di atas, terlihat bahwa

masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang

paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Barang dan/atau jasa

yang penggunaannya tidak memberikan kenyamanan, terlebih lagi yang tidak

aman atau membahayakan keselamatan konsumen jelas tidak layak untuk

diedarkan dalam masyarakat. Selanjutnya, untuk menjamin bahwa suatu barang

dan/atau jasa dalam penggunannya akan nyaman, aman maupun tidak

membahayakan konsumen penggunanya, maka konsumen diberikan hak untuk

memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas keterbukaan

informasi yang benar, jelas dan jujur. Jika terdapat penyimpangan yang

merugikan, konsumen berhak untuk didengar, memperoleh advokasi, pembinaan,

perlakuan yang adil, kompensasi sampai ganti rugi.

Mengenai kewajiban konsumen tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang

No.8 Tahun 1999 yang meliputi :

1. kewajiban untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan

prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi

keamanan dan keselamatan;

2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

24
Ibid, h.40.
15

4. mengikuti upaya penyelesaikan hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut

Peningkatan terhadap kesadaran konsumen akan hak-haknya menjadi

penting di era perdagangan bebas saat ini apalagi terkait dengan perubahan pola

komunikasi yang memungkinkan para pihak melakukan transaksi tanpa harus

bertatap muka. Salah satu aspek penting dalam hal dan kewajiban para pihak

adalah penyediaan arus informasi yang harus jelas mengenai jaminan atas barang

dan/atau jasa namun tidak meliputi informasi lain yang patut dilindungi oleh

hukum apabila pelaku usaha tidak secara jelas memberikannya kepada konsumen

seperti informasi mengenai keadaan perusahaan yang terkait erat dengan

kredibilitas suatu perusahaan untuk menarik konsumen untuk mengikatkan diri.

2.1.3. Asas –asas yang Berkaitan dengan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh

pihak yang terkait, masyarakat, pelaku usaha dan pemerintahan berdasakan lima

asas, yang menurut Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen adalah :

1. Asas manfaat;

2. Asas keseimbangan;

3. Asas keadilan;

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen;

5. Asas kepastian hukum.


16

Penjelasan asas-asas tersebut diatas adalah sebagai berikut :25

1. Asas manfaat mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan.

2. Asas Keadilan partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara

maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya

secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan

penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan produsen

dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penuaian kewajiban

secara seimbang. Karena itu Undang-undang Perlindungan Konsumen

mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.

3. Asas keseimbangan memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun

spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, pelaku usaha dan

pemerintah memperoleh manfaat yang seimbang dari pengaturan dan

penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara

konsumen, pelaku usaha dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan

secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajiban masing-masing

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

25
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT.Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h.5.
17

Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas

kepentingannya yang lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan

Negara.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, memberikan jaminan atas

keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau

digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa

konsumen akan memperoleh manfaat dari produk yang

dikonsumsi/dipakainya dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan

mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya.

5. Asas kepastian hukum baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen serta negara menjamin kepastian hukum, artinya Undang-

undang perlindungan konsumen mengharapkan bahwa aturan-aturan

tentang hak dan kewajiban yang terkandung didalam Undang-undang

perlindungan konsumen harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari

sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu,

negara bertugas dan menjamin terlaksananya Undang-undang

perlindungan konsumen sesuai dengan bunyinya.

Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut dalam pasal tersebut, bila

diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :

1. asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan

keselamatan konsumen;
18

2. asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan, dan

3. asas kepastian hukum.

Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

konsumen, menyatakan bahwa perlindungan konsumen bertujuan untuk:

a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkan dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

c. mengkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

2.1.4. Konsepsi tentang Perjanjian Jual Beli antara Pelaku Usaha dengan

Konsumen menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


19

Dalam hukum perdata, perjanjian merupakan sendi yang penting karena

banyak mengandung penraturan-peraturan hukum yang berdasarkan atas janji

seseorang. Suatu perjanjian menerbitkan perikatan, perjanjian merupakan sumber

perikatan disamping sumber lain, yaitu Undang-undang. Hal ini dapat dilihat

dalam Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :

“ Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena Undang-

undang.”

Perikatan menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara para pihak

yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Menurut Subekti, perikatan

adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, berdasar mana pihak yang satu

berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain, berkewajiban memenuhi itu.26

Dari sudut sifatnya, struktur kaidah hukum dapat dibedakan atas hukum

imperative (istilah konvensional : hukum memaksa atau dwigend recht) dan

hukum fakultatif (hukum yang mengatur atau hukum pelengkap : aanvullend

recht /regelend recht). Pembedaan ini didasarkan pada kekuatan sanksinya.

Hukum memaksa itu adalah hukum yang dalam keadaan konkret tidak dapat

dikesampingkan (disisihkan) oleh perjanjian yang dibuat kedua belah pihak

sendiri. Dengan kata lain, hukum yang dalam keadaan bagaimanapun juga harus

ditaati, hukum yang mempunyai paksaan mutlak (absolut). Sedangkan hukum

mengatur adalah hukum yang dalam keadaan konkret dapat disisihkan oleh

perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak. Bilamana kedua belah pihak dapat

menyelesaikan soal mereka dengan membuat sendiri suatu peraturan, maka

peraturan hukum yang tercantum dalam pasal yang bersangkutan, tidak perlu
26
Subekti, 2001, Hukum Perjanian, Intermasa, Jakarta, h.50
20

dijalankan. Hukum mengatur biasanya dijalankan, bilamana kedua belah pihak

tidak membuat sendiri suatu peraturan atau membuat sendiri suatu peraturan tapi

tidak lengkap.27

Terdapat tiga sumber norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu

undang-undang, kebiasaan dan kepatutan. Menurut Pasal 18 ayat (3) KUHPerdata,

semua pejanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik (Belanda ; tegoeder

trouw, Inggris; in good faith, Perancis; de bonne fot). Norma yang dituliskan di

atas ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari hukum perjanjian.28

Dalam perjanjian jual beli kewajiban-kewajiban pelaku usaha sebagai penjual ada

2 (dua) yaitu :29

a. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual-belikan;

Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut

hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan

itu, dari pelaku usaha kepada konsumen.

b. Kewajiban menanggung kenikmatan tentram dan menanggung cacat-

cacat tersembunyi (vrijwaring, warranty).

Kewajiban untuk menanggung kenikmatan merupakan konsekuensi dari pada

jaminan yang diberikan oleh penjual kepada pembeli bahwa barang yang dijual

dan diserahkan atau dilever itu sungguh-sungguh miliknya sendiri yang bebas dari

sesuatu beban atau tuntutan dari sesuatu hak apapun. Kewajiban tersebut dalam

realisasinya memberikan penggantian kerugian kepada pembeli karena suatu


27
Rachmadi Usman, 2003, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT.Gramedia
Pustaka Utama.Jakarta, h.5
28
Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h.72
29
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, PT.Citra Aditya Bakti, Jakarta, h.8
21

gugatan pihak ketiga. Penanggungan (vrijwaring, warranty) maksudnya bahwa

ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pembeli adalah sebagaimana disebutkan

dalam pasal 1503 KUHPerdata. Kewajiban untuk menanggung cacat-cacat

tersembunyi (verborgen gebreken, hidden defects) artinya bahwa penjual

diwajibkan menanggung cacat-cacat tersembunyi pada barang yang dijualnya,

yang membuat barang tersebut tidak dapat dipakai oleh pembeli atau mengurangi

kegunaan barang itu, sehingga akhirnya pembeli mengetahui cacat-cacat tersebut.

Hukum Perjanjian pada asasnya merupakan hukum pelengkap (aanvullend

recht), kedua belah pihak diperbolehkan dengan janji-janji khusus memperluas

atau mengurangi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang,

bahkan para pihak diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak

akan mewajibkan menanggung sesuatu apapun. Namun ini ada pembatasannya

yaitu sebagai berikut :30

a. Meskipun telah diperjanjikan bahwa si penjual tidak akan

menanggung sesuatu apapun, namun ia tetap bertanggung jawab

tentang apa yang berupa akibat dari suatu perbuatan yang dilakukan

olehnya; semua persetujuan yang bertentangan dengan ini adalah

batal. (sesuai dengan pasal 1494 KUHPerdata);

b. Si penjual, dalam hal adanya janji yang sama, jika terjadi suatu

penghukuman terhadap terhadap si pembeli untuk menyerahkan

barangnya kepada seorang lain, diwajibkan mengembalikan harga

pembelian, kecuali apabila si pembeli ini pada waktu pembelian

30
Subekti, Op.cit, h.17-18
22

dilakukan, mengetahui tentang adanya putusan Hakim untuk

menyerahkan barang yang dibelinya itu atau jika ia telah membeli

barang itu dengan pernyataan tegas akan memikul sendiri untung

ruginya (Pasal 1495 KUHPerdata).

Jika dijanjikan penanggungan atau jika tentang itu tidak ada suatu

perjanjian, pembeli berhak , dalam halnya suatu penghukuman untuk

menyerahkan barang yang dibelinya kepada seorang lain,menuntut kembali dari si

penjual :

1. pengembalian uang harga pembelian;

2. pengembalian hasil-hasil jika ia diwajibkan menyerahkan hasil-hasil

itu kepada si pemilik sejati yang melakukan tuntutan penyerahan;

3. biaya yang dikeluarkan berhubung dengan gugatan si pemilik untuk

ditanggung, begitu pula biaya yang telah dikeluarkan oleh si

penggugat asal;

4. Penggantian kerugian beserta biaya perkara mengenai pembelian

dan penyerahannya, sekadar itu telah dibayar oleh si pembeli.

Mengenai persoalan penanggungan (vrijwaring, warranty) ini ada suatu

ketentuan yang perlu diperhatikan oleh pembeli yaitu pasal 1503 KUHPerdata

yang berbunyi:

“Penanggungan terhadap penghukuman menyerahkan barangnya kepada seorang

lain, berhenti jika si pembeli telah membiarkan dirinya dihukum menurut suatu

putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, dengan tidak


23

memanggil si penjual, sedangkan pihak ini membuktikan bahwa ada alasan-alasan

yang cukup untuk menolak gugatan.”

Mengenai kewajiban untuk menanggung cacad tersembunyi dapat

diterangkan bahwa si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacad

tersembunyi pada barang yang dijualnya yang membuat produk tersebut tidak

dapat dipaka untuk keperluan yang dimaksudkan atau yang mengurangi

pemakaian itu. Jika si penjual sudah mengetahui cacad barang maka penjual

diwajibkan mengembalikan harga pembelian dan mengganti semua kerugian yang

diderita oleh pembeli akibat produk yang cacad tersebut. Dalam hal penjual tidak

mengetahui adanya cacad tersebut , penjual hanya diwajibkan mengembalikan

harga pembelian dan mengganti kepada si pembeli biaya yang telah dikeluarkan

untuk penyelenggaraan pembelian dan penyerahan sesuai dengan bunyi pasal

1508 KUHPerdata dan pasal 1509 KUHPerdata.

2.2. Pelaku Usaha

2.2.1 Konsepsi Pelaku Usaha dan Dasar Hukumnya

Pelaku usaha yang menjalankan usahanya melalui sarana internet (online)

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012

tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP PSTE) termasuk

dalam kategori Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE).31 Pasal 1 angka 6 UU

ITE memberikan pengertian tentang Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai

pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara, orang, badan usaha,

31
Teguh Arifiyadi, 2013, Sertifikasi Pelaku Usaha Online,diakses dari :URL :
www.hukumonline.com , pada tanggal 9 Oktober 2020
24

dan/atau masyarakat. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah

tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa :

Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang penyelenggara Negara,

Badan Usaha dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau

mengoprasikan Sistem Elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama

kepada Pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan

pihak lain.

Pasal 1 angka 26 Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem

dan Transaksi Elektronik memberikan pengertian mengenai pelaku usaha, yang

diartikan sebagai berikut

Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pelaku Usaha online yang menurut Peraturan Pemerintah tentang

Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik disebut juga Penyelenggara

Sistem Elektronik didalamnya juga termasuk Penyelenggara Transaksi

Elektronik. Penyelenggara Transaksi Elektronik dilakukan dalam lingkup publik

dan privat. Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam lingkup publik meliputi

Penyelenggara Transaksi Elektronik oleh Instansi atau oleh pihak lain yang

menyelenggarakan layanan publik sepanjang tidak dikecualikan oleh Undang-

undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurut Pasal 40 Peraturan


25

Pemerintah tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik,

Penyelenggara Transaksi Elektronik dalam lingkup privat meliputi transaksi

elektronik :

a. antar Pelaku Usaha

b. antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

c. antar Pribadi

d. antar Instansi; dan

e. antara Instansi dengan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.
26

2.2.2 Hak-hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dalam Perspektif Hukum Indonesia

Penyelenggara Sistem Elektronik sebagai pelaku usaha wajib melakukan edukasi

kepada Pengguna Sistem Elektronik sebagai konsumen, edukasi tersebut berkaitan

dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak yang terkait, serta prosedur

pengajuan komplain. Informasi yang wajib disampaikan oleh Penyelenggara Sistem

Elektronik kepada Pengguna Sistem Elektronik sesuai dengan Pasal 25 Peraturan

Pemerintah tentang penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yaitu mengenai

Identitas Penyelenggara Sistem Elektronik, objek yang ditransaksikan, kenaikan atau

keamanan sistem elektronik, tata cara penggunaan perangkat, syarat kontrak, prosedur

mencapai kesepakatan dan jaminan privasi dan/atau perlindungan Data Pribadi.

Kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik menerapkan manajemen resiko

terhadap kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan. Pelaku usaha penyelenggara

transaksi elektronik juga memiliki kewajiban berdasarkan Pasal 49 Peraturan Pemerintah

tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik yang bunyinya sebagai berikut

1. Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib

menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,

produsen, dan produk yang ditawarkan;

2. Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak

atau iklan;

3. Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk

mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau

terdapat cacat tersembunyi;

4. Pelaku Usaha wajib menyampaikan informasi mengenai barang yang telah dikirim;
27

5. Pelaku Usaha tidak dapat membebani konsumen mengenai kewajiban

membayar barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.

Kewajiban pelaku usaha dapat dilihat dari Pasal 7 Undang-undang Nomor

8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen antara lain :

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

c. Meperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan.atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
28

2.2.3 Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dengan Konsumen

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Perlindungan Konsumen

yang termasuk konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir dan bukan

konsumen antara. Sedangkan terkait dengan transaksi di Internet, pengertian

pelaku usaha adalah pihak penyedia barang dan/atau jasa di Internet yang

merupakan orang perorangan atau badan usaha berbentuk hukum ataupun tidak,

didirikan dan berkedudukan didalam wilayah hukum Negara RI atau didirikan dan

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara RI. Pemahaman pengertian

tersebut penting untuk memahami wilayah kerja dari para pelaku usaha yang

melintasi batas wilayah Republik Indonesia.

Hubungan antara produsen dengan konsumen dibagi menjadi 2 (dua) yaitu

Hubungan secara Langsung dan Tidak langsung. Hubungan secara langsung

dilaksanakan dalam rangka jual beli. Jual beli sesuai pasal 1457 KUHPerdata

adalah suatu perjanian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk

menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang

telah dijanjikan. Unsur-unsur jual beli tersebut berupa perjanjian, penjual dan

pembeli, harga dan barang.

Suatu perjanjian sesuai Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, sesuai Pasal

1320 KUHPerdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri.kecakapan untuk

membuat suatu perikatan. suatu hal tertentu. suatu sebab yang halal. Tiap-tiap

perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena undang-undang (Pasal


29

1233 KUHPerdata). Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa tiap-tiap

perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk

tidak berbuat sesuatu. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 KUHPerdata). Kata

semua perjan-jian mencerminkan asas kebebasan berkontrak (freedom of

contract). Kebebasan berkontrak terdapat pembatasan-pembatasannya.

Pembatasan itu antara lain bahwa sutau perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata). Suatu perjanjian tidak boleh

melanggar undang-undang, ke-susilaan dan ketertiban umum (Pasal 1337

KUHPerdata), dan harus dilaksanakan menurut kepatutan, kebiasaan dan undang-

undang (Pasal 1339 KUHPerdata).


30

Barang Contractual liability

Langsung
(Privity
contract)
Jasa Professional liability

Hubungan Pelaku
Usaha Dengan
Konsumen

Strict liability
Tidak langsung (no

privity contract)
Barang
Produk liability

Skema I. Hubungan Pelaku Usaha dengan Konsumen

Terdapat hubungan hukum didalam transaksi elektronik yang dilakukan dengan

memadukan jaringan dari sistem informasi yang berbasis komputer dengan sistem

komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi. Hubungan hukum tidak

hanya antara pelaku usaha dengan konsumen saja tetapi juga antara pihak-pihak dibawah

ini :

1. Business to Business
31

Transaksi yang terjadi antara perusahaan (pelaku usaha dan konsumennya adalah

perusahaan bukan perorangan). Biasanya antara mereka telah saling mengetahui satu

sama lain dan sudah terjalin hubungan yang sudah cukup lama. Pertukaran informasi

hanya berlangsung di antara mereka dan pertukaran informasi itu didasarkan pada

kebutuhan dan kepercayaan;

2. Business to Customer

Transaksi yang terjadi antar perusahaan dengan konsumennya adalah individu.

Contohnya tokobagus.com sebuah situs e-commerce yang besar dan terkenal di Indonesia

dan amazone.com sebuah situs e-commerce yang besar dan terkenal di dunia. Pada jenis

ini transaksi disebarkan secara umum dan konsumen yang berinisiatif melakukan

transaksi. Pelaku usaha harus siap menerima respon dari konsumen tersebut. Biasanya

sistem yang digunakan adalah sistem web karena sistem ini yang sudah umum dipakai

dikalangan masyarakat.

3. Customer to Customer

Transaksi ini terjadi dimana individu saling menjual barang satu sama lain.

Contohnya adalah e-bay.

4. Customer to Business

Transaksi yang memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan.

Contohnya adalah priceline.com

5. Customer to Government

Transaksi dimana individu dapat melakukan transaksi dengan pihak pemerintah.

Contohnya adalah membayar pajak.


32

2.2.4 Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha dalam Kegiatan Bisnis

Terdapat 10 larangan bagi pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 8

ayat (1) UU PK yaitu pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau

jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,

mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan

atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan

“halal” yang dicantumkan dalam label;


33

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama

barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal

pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan

lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;

j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam

bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pada setiap bidang usaha memiliki aturan tersendiri, sebagai contoh usaha

dibidang makanan dan minuman diatur di dalam Undang-undang No.7 Tahun

1996 tentang Pangan. Bidang usaha yang dilakukan secara online juga tuduk

kepada Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (ITE). Pelaku usaha selain wajib tunduk pada aturan-aturan yang

berlaku juga wajib memiliki itikad baik dalam menjalankan suatu usaha. Segala

janji-janji yang diberikan kepada konsumen harus dipenuhi. Larangan selanjutnya

terdapat dalam ayat (2) dan (3) yang melarang pelaku usaha memperdagangkan

barang, sediaan farmasi dan pangan yang rusak (sudah tidak sempurna lagi), cacat

(kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang

sempurna) atau bekas (sudah pernah dipakai) dan tercemar (rusak) tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang

diperdagangkan. Untuk peraturan yang lebih spesifik mengenai pangan dan

sediaan farmasi masing-masing diatur didalam Undang-undang Nomor 12 Tahun

2012 tentang Pangan dan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan. Untuk kedua bidang ini berlaku asas lex specialis derogate lege

generalis yang artinya peraturan yang khusus mengalahkan peraturan yang umum.
34

2.3 Disclaimer dan Situs Internet (Website)

2.3.1 Konsepsi tentang Disclaimer yang Dicantumkan Pelaku Usaha Dalam

Situs Internet (Website)

Disclaimer dalam website adalah suatu pernyataan yang pada umumnya

dimaksudkan untuk menentukan atau membatasi ruang lingkup hak dan

kewajiban yang dapat dilaksanakan dan ditegakkan oleh pihak dalam hubungan

yang diakui secara hukum. Berbeda dengan istilah lain untuk bahasa hukum yang

berlaku, disclaimer istilah yang biasanya menyiratkan situasi yang melibatkan

beberapa tingkat ketidakpastian, pengabaian atau risiko. Disclaimer dalam

website atau pernyataan penyangkalan diberikan dengan tujuan perlindungan bagi

pemilik website atau situs sebagai pemberi informasi. Pembaca suatu situs

dianggap secara otomatis menerima syarat dan ketentuan yang berlaku pada situs

tersebut, termasuk klausul disclaimer.32 Disclaimer atau pernyataan

penyangkalan diberikan dengan tujuan perlindungan bagi pemilik situs (website).

Pembaca suatu situs dianggap secara otomatis menerima syarat dan ketentuan

yang berlaku pada situs tersebut, termasuk klausul disclaimer.

Didalam sebuah artikel yang dikemukakan oleh seorang internet lawyer

asal California bernama Richard A. Chapo menyatakan bahwa :

“Disclaimer is a statement that details how certain information should be viewed

or used on the site. For instance, you might include a disclaimer that states that

all information was current at the time it was published, but may no longer be

and it is the duty of the reader to make sure to check for any updates. Disclaimers

32
Diana kusuma sari, Op.cit.
35

are often included in the terms of use or terms and conditions of a site. Common

disclaimers include an exclusion of warranties and their positioning in the terms

is an accepted method of dealing with them. In other cases, however, it is best to

detail certain elements of your disclaimer separately so they really stand out for

readers..”.33

Dikemukakan bahwa disclaimer merupakan sebuah pernyataan yang

merinci mengenai bagaimana informasi tertentu harus dilihat atau digunakan

dalam sebuah situs. Misalnya, pembaca mungkin masuk dalam sebuah disclaimer

yang menyatakan bahwa semua informasi yang sedang diterbitkan

merupakan informasi terbaru , tetapi mungkin juga sudah lama dan hal tersebut

adalah tugas pembaca untuk memastikan untuk memeriksa beberapa pembaharuan

mengenai informasi tersebut. Disclaimer biasanya tercantum beserta term of use

atau terms and conditions sebuah situs. Disclaimer pada umumnya meliputi

pengecualian dari jaminan dan pemilik situs menempatkan dirinya ke dalam

syarat-syarat yang merupakan metode yang diterima oleh pembaca dalam hal

berurusan dengan pemilik situs tersebut, merupakan hal yang baik untuk merinci

unsur-unsur tertentu dari disclaimer secara terpisah sehingga terlihat untuk

pembaca .

Lebih lanjut Richard A. Chapo dalam artikel elektronik tersebut juga menyatakan

bahwa :

“...Can‟t use the disclaimers for anything, If you offer a weight loss product on

your site and then include a disclaimer that says it hasn‟t been proven to help

33
Richard A. Chapo, 2012, Disclaimer For Website, diakses dari : URL :
www.socalinternetlawyer.com, pada tanggal 19 Mei 2021.
36

people lose weight, the disclaimer is not going to keep you from being sued or

potentially found liable. That being said, a court may give it credence, so it is

worth a shot. Any belief that you can use disclaimers to prevent lawsuits,

however, is simply not true. Disclaimers tend to carry more weight if the users of

the site actually affirmatively agree to them. This means they must click a box

that says “I have read the terms of use and expressly agree to them.” The

reason for this is such affirmative acceptance makes it easier to argue the terms

are a binding contract.”34

Dapat diketahui bahwa pelaku usaha pemilik situs tidak bisa menggunakan

disclaimer tersebut untuk hal apapun , sebagai contoh jika pemilik situs

menawarkan produk penurunan berat badan di website-nya dan kemudian

mencantumkan disclaimer yang menyatakan itu belum terbukti untuk membantu

orang menurunkan berat badan , disclaimer tidak akan melindungi pemilik situs

untuk tidak digugat atau berpotensi untuk diminta bertanggung jawab. Pengadilan

dapat memberikan kepercayaan , sehingga layak untuk dituntut . Setiap anggapan

bagi pemilik situs bahwa disclaimer digunakan untuk mencegah tuntutan hukum,

merupakan hal yang keliru. Disclaimer cenderung mengikat lebih berat jika

pengguna situs sebenarnya menyetujuinya. Ini berarti mereka harus meng-klik

kotak yang mengatakan "Saya telah membaca persyaratan penggunaan dan

menyatakan setuju untuk mereka”. Alasan untuk itu termasuk penerimaan

persetujuan yang membuat lebih mudah untuk berpendapat bahwa syarat tersebut

merupakan perjanjian yang mengikat.

34
Ibid
37

Dalam artikel yang dibuat SEQ Legal LLP sebuah website generator jasa

pembuat disclaimer di Inggris menjelaskan tentang bagian dari disclaimer website

antara lain:

The disclaimer document is divided into the following sections:35

a licence of the copyright in the website (and restrictions on what may be done

with the material on the website); a disclaimer of liability (which gives the

document its name); a variation clause; an entire agreement clause; a clause

specifying the applicable law and the jurisdiction in which disputes will be

decided; and a provision specifying some of the information which needs to be

disclosed under the Ecommerce Regulations.

Dapat dijelaskan bahwa suatu dokumen disclaimer yang dibuat oleh SEQ

Legal LLP sebuah website generator dibagi menjadi beberapa bagian seperti

lisensi hak cipta di website (pembatasan pada apa yang dapat dilakukan dengan

materi di website), penolakan pemenuhan kewajiban (yang biasanya menjadi

sebutan untuk suatu dokumen disclaimer), klausul variasi, klausul kesepakatan,

klausul yang menentukan hukum yang berlaku dan yurisdiksi di mana perselisihan

akan diputuskan dan ketentuan menentukan beberapa informasi yang perlu

diungkapkan berdasarkan Peraturan e-commerce.

Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia keberadaan suatu klausula

disclaimer yang ada di dalam situs internet (website) yang tidak dapat

dinegosiasikan kepada konsumen terlebih dahulu dalam hukum perikatan

termasuk dalam perjanjian standar. Perjanjian standar dialihbahasakan dari istilah


35
SEQ Legal LLP, 2013, More information about website disclaimers, diakses dari : URL :
http://www.seqlegal.com , pada tanggal 20 Oktober 2020.
38

yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu “standaard contract” atau “standaard

voorwarden” dalam bahasa jerman, perjanjian standar dikenal dengan istilah

“Allegemene geschaft bedingun”, “standaard vertrag”, “standaardkonditionen”.

Hukum Inggris mengenal perjanjian standar sebagai “standard contract” atau

“take it or leave it contract”. Tretel memberikan definisi perjanjian standar

sebagai :

“The terms of many contracts are set out in printed standard forms which are

used for all contracts of the same kind and are only varied so far as the

circumstance of each contracts require.”36

Mariam Darus Badrulzaman menjelaskan bahwa perjanjian standar adalah

perjanjian yang didalamnya dibakukan syarat eksonerasi dan ditiangkan dalam

bentuk formulir yang bermacam-macam bentuknya. Dalam ketentuan Undang-

undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah

klausula baku untuk menyebut perjanjian standar. Pengertian tentang klausula

baku terdapat dalam Pasal 1 angka 10 Undang-undang Perlindungan Konsumen

yang menyebutkan bahwa klausula baku tersebut disiapkan terlebih dahulu oleh

pelaku usaha dan dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi konsumen. Dalam situs internet (website) bentuk

klausula baku ditampilkan secara digital, berbeda dengan klausula baku yang

beredar dalam dunia nyata yang dicetak dalam bentuk formulir.

2.3.2 Konsepsi umum tentang Wiver Clause dan Indemnity Clause

36
G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 th Edition , Sweet & Maxwell Ltd, London, h.196
39

Berkaitan dengan klausula pembebasan tanggung jawab yang dicantumkan

dalam bentuk disclaimer dalam website, dalam kontrak standar di dunia nyata

juga dikenal Wiver Clause dan Indemnity Clause yang sama-sama berkaitan

dengan tanggung jawab. Klausula Wiver (Wiver Clause) yaitu merupakan surat

pernyataan yang dibuat secara resmi untuk melepaskan tuntutan. Wiver clause

juga terdiri dari pasal dalam kontrak yang memuat kehendak salah satu atau para

pihak untuk melepaskan hak untuk melakukan sesuatu atau untuk menuntut atas

suatu klaim tertentu yang dapat terbit dari kontrak. Wiver Clause disebut juga

klausula pelepasan yang berguna dalam terjadi kelambatan atau kekurangtegasan

dari pihak kreditur tidak ditafsirkan sebagai pelepasan haknya.

Pelepasan hak, apabila suatu syarat dalam kontrak diabaikan, dilalaikan

atau dilupakan, maka yang bersangkutan dianggap telah melepaskan haknya,

karena itu untuk mencegah agar tidak terjadi penafsiran yang demikian dibuatlah

suatu pernyataan, sehingga tidak terjadi penafsiran yang keliru ataupun

bahkan ditafsirkan sebaliknya. Dalam legal dictionary disebutkan bahwa

Waiver merupakan :

“The voluntary surrender of a known right; conduct supporting an inference that

a particular right has been relinquished”37

Dapat dijelaskan bahwa klausula wiver merupakan penyerahan secara

sukarela atas hak, melakukan mendukung kesimpulan bahwa hak tertentu telah

dilepaskan. Selain waiver clause juga dikenal indemnity Clause, di Indonesia juga

dikenal sebagai Prinsip Indemnity diartikan sebagai kompensasi keuangan yang

37
Farlex, 2013, Waiver, diakses dari URL : http:// www. Legal-dictionary.com, pada tanggal 29
November 2020
40

pasti dan cukup untuk mengembalikan posisi keuangan tertanggung setelah

peristiwa kerugian, sama dengan posisi keuangan sesaat sebelum terjadinya

peristiwa kerugian tersebut.

Pengaturan mengenai prinsip indemnity di Indonesia diatur dalam Pasal

246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang secara jelas bahwa Asuransi

merupakan suatu perjanjian ganti rugi atau perjanjian indemnitas (Contract Of

Indemnity) artinya penanggung berjanji akan membayar ganti rugi seimbang

sesuai kerugian yang diderita oleh tertanggung, apabila objek telah

dipertanggungkan dengan nilai penuh. Besarnya kerugian dihitung berdasarkan

nilai pada sesaat sebelum terjadi peristiwa kerugian. Contract of indemnity

merupakan sebuah dokumen yang dikeluarkan oleh penerbitnya kepada pihak lain

yang berfungsi sebagai perjanjian formal untuk melepaskan atau melindungi

pihak lain tersebut dari kewajiban terhadap kinerja tindakan-tindakan tertentu

yang dilakukannya. Menurut Simone Selkirk dan Garrett Williams :

Indemnity clause is a contractual transfer of risk between two contractual parties

generally to prevent loss or compensate for a loss which may occur as a result of

a specified event.38

Dapat dijelaskan bahwa klausul indemnity adalah transfer risiko kontrak

antara dua pihak kontrak umumnya untuk mencegah kerugian atau kompensasi

untuk kerugian yang mungkin terjadi sebagai akibat dari peristiwa tertentu. Dalam

prakteknya, karakteristik indemnity berupa ganti kerugian oleh pihak ketiga yang

dapat ditemukan dalam kontrak asuransi yang dimana jumlah klaim/kompensasi

38
Simone Selkirk dan Garrett Williams, 2011, Indemnity clauses in commercial contracts,
diakses dari URL : http://www.lexology.com, pada tanggal 29 November 2020.
41

belum dapat dihitung sebelum peristiwa terjadi, jumlah klaim dihitung

berdasarkan nilai/harga pada saat sesaat sebelum terjadi peristiwa klaim, kecuali

dalam asuransi jiwa dan kecelakaan diri jumlah klaim yang akan dibayarkan telah

diketahui sejak awal kontrak.

Jadi, diantara disclaimer, wiver clause dan indemnity clause terdapat

persamaan dan perbedaannya. Persamaannya adalah sama-sama merupakan

klausula baku yang berkaitan dengan tanggung jawab. Perbedaannya disclaimer

merupakan pembebasan tanggung jawab yang biasanya dicantumkan untuk

membebaskan diri sendiri dari tanggung jawab banyak ditemukan dalam website

dan keberadaannya terkadang tidak disadari oleh konsumen. Wiver clause

merupakan penyerahan secara sukarela atas hak dalam kontrak yang diketahui

oleh para pihak dan Indemnity clause menyatakan pengalihan tanggung jawab

dimana tanggung jawab tersebut dialihkan kepada pihak ketiga seperti contohnya

pada jasa asuransi.

2.3.3 Konsepsi tentang Situs Internet (website) dan Kaitannya dengan

Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Situs Internet (website) merupakan halaman yang ditampilkan di internet

yang berisikan suatu informasi tertentu. Website juga dapat diartikan kumpulan

dari web pages mengenai hal atau organisasi ternetu. Web page adalah tampilan

sebuah halaman di internet yang memiliki alamat tertentu dimana alamat itu tidak

ada yang sama satu dengan yang lain. 39 Jenis-jenis website berdasarkan sifatnya

39
Edmon Makarim, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h.268
42

dibagi menjadi dua, yaitu website Dinamis dan website statis.40 Website dinamis

merupakan website yang contentnya dapat berubah setiap saat. website dinamis

antara lain tokobagus.com, detik.com, Wikipedia.com dan blog tentang internet

marketing. Faktor utama yang membuat suatu website menjadi dinamis

adalah Content Management System. Dengan adanya CMS ini, siapapun yang

memiliki akses ke administrator website dapat mengupdate contentnya dengan

sangat mudah.website statis merupakan website yang jarang sekali dirubah karena

memang tidak diperlukan perubahan yang sangat sering. Contohnya adalah

website company profile dan website profil organisasi. Website statis seringkali

juga berfungsi hanya sebagai brosur atau kartu nama digital perusahaan.41

Internet dan website merupakan dua hal yang berbeda. Sebuah website

dilindungi oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

(UUHC) yang melindungi secara otomatis tanpa harus melalui pendaftaran di

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). UUHC melindungi

desain website maupun konten website (teks/tulisan, foto-foto, gambar-gambar,

musik, video, database dan software) yang merupakan obyek perlindungan hak

cipta, elemen lainnya yang dapat ditemukan didalam website yaitu logo, nama

usaha, brand/nama produk/nama jasa, symbol, slogan, nama domain dan fitur-fitur

dengan teknologi web misalnya search engines, sistem online shopping dan

sistem navigasi.

Pada pembuatan website semua tahap persiapan sebelum website tersebut

diupload ke dalam internet, website dirancang dalam suatu HTML Editor. Editor
40
Matt Junior, 2013, Mengenal Jenis-jenis website, diakses dari : URL :
http://www.mattjunior.com, pada tanggal 19 Juni 2021

41
Ibid
43

adalah sebuah program komputer. Perbuatan merancang website dengan

menggunakan program HTML Editor sebagai sarana, adalah sama seperti

membuat suatu program aplikasi dengan menggunakan program Pascal.

Rancangan website yang dibuat dalam bentuk HTML Editor itu adalah program

komputer. Dengan demikian secara keseluruhan website itu dilindungi oleh Hak

Cipta. Didalam sebuah website terdapat beberapa Hak Cipta selain Hak Cipta atas

tulisan artikel dan program komputer di website tersebut, juga terdapat Hak Cipta

atas desain dalam website dan juga Hak Cipta atas typographical arrangement

(tata cara penyususnan suatu karya) website tersebut.

Situs internet (website) telah menjadi bagian penting dari kehidupan

modern yang memerlukan segala sesuatu aktivitas yang serba cepat, efisien.

Namun, sisi negatifnya adalah kehadiran internet bisa pula memudahkan

terjadinya pelanggaran-pelanggaran di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI)

terutama masalah Hak Cipta. Sebuah website terdiri dari informasi, berita, karya-

karya fotografi, karya drama, musikal, sinematografi yang kesemuanya itu

merupakan karya-karya yang dilindungi oleh prinsip-prinsip tradisional Hak Cipta

sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak

Cipta. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC)

melindungi secara otomatis tanpa harus mendaftar ke Direktorat Jenderal Hak

Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) baik desain website maupun isi (konten)

website, dari publikasi dan perbanyakan oleh pihak lain tanpa izin pemegang hak

cipta. Perlindungan hak cipta diperoleh pencipta atau penerima hak, sepanjang

desain dan konten website tersebut merupakan hasil karya yang original. Suatu

disclaimer dalam website merupakan bagian dari hak cipta dari website tersebut
44

karena program komputer, karya tulis yang diterbitkan dan ciptaan-ciptaan lain

yang terdapat di internet dilindungi berdasarkan Pasal 12 Undang-undang No.19

Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC).

Keterkaitan Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta terhadap

ruang lingkup cyberspace dalam sistem Hukum Indonesia dilihat dari pengertian

atas hak cipta yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 dan 3 Undang-undang Hak

Cipta yang menyatakan :

“Hak Cipta adalah Hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk

mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu

dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan peundang-

undangan yang berlaku”.

Ciptaan yang dimaksud termasuk segala bentuk karya pencipta yang

terdapat di media internet. Pengalihan atas hak cipta dapat dilakukan agar

pihak lain selain pencipta dapat menikmati manfaat dari suatu karya cipta.

Dalam pengalihan ini, hak yang beralih hanyalah hak ekonominya

(economic rights) saja, sedangkan hak moralnya (moral right) tidak dapat

dialihkan, karen ahak moral tidak pernah lepas dari pencipta, sekalipun

secara fisik telah berpindah melalui proses pembelian maupun lisensi42,

sebagai contoh berkaitan dengan penjualan software di sebuah website.

Berikut ini beberapa contoh pelanggaran Hak Cipta dalam suatu situs

internet (website), antara lain :43

42
Anne Fitzgerald, 1999, Intelectual Property, LBC Information Services, NSW, Sydney, h.62
43
Am Badar, 2009, Perlindungan HKI di Jaringan Internet, diakses dari : URL :
http://www.kompasiana.com pada tanggal 8 Agustus 2021.
45

1. Seseorang dengan tanpa izin membuat situs penyanyi-penyanyi

terkenal yang berisikan lagu-lagu dan liriknya, foto dan cover album

dari penyanyi- penyanyi tersebut;

2. Seseorang tanpa izin membuat website yang berisikan lagu-lagu

milik penyanyi lain yang lagunya belum dipasarkan;

3. Seseorang dengan tanpa izin membuat sebuah situs yang dapat

mengakses secara langsung isi berita dalam situs internet milik

orang lain atau perusahaan lain.

Akan tetapi, saat ini kenyataannya share (membagi) suatu berita oleh

website berita sudah merupakan sebuah nilai yang akan menaikan jumlah

kunjungan ke website berita itu sendiri, yang secara tidak langsung share berita

ini akan menaikan page rank website dan mendatangkan pemasang iklan bagi

website berita itu sendiri. Maka dalam kasus ini, Hak Cipta sebuah berita telah

diizinkan oleh pemilik website berita untuk di share melalui media-media lain

asalkan sumber resmi berita tersebut dicantumkan. Hal ini sesuai dengan Pasal 14

c UU No 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, dimana :

Tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta pengambilan berita aktual

(berita yang diumumkan dalam waktu 1 x 24 jam sejak pertama kali diumumkan)

baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor berita, Lembaga Penyiaran, dan

Surat Kabar atau sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus

disebutkan secara lengkap.

Dalam konteks pemahaman teknologi Informasi, ciptaan-ciptaan harus

disertai dengan efektivitas penerapan sarana kontrol teknologi yang terus-menerus


46

dikembangkan mengikuti perkembangan pesat teknologi informasi tersebut.

Berdasarkan Pasal 27 Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,

ketentuan ini sudah mengakomodasi secara kontrol teknologi. Ini berarti untuk

melindungi karya-karya cipta intelektual dalam jaringan internet harus pula

dilengkapi dengan instrument teknologi dalam bentuk barcode, serial number,

teknik deskripsi dan enkripsi yang digunakan untuk melindungi hak cipta.

Enkripsi merupakan proses mengamankan suatu informasi dengan membuat

informasi tersebut tidak dapat dibaca tanpa bantuan pengetahuan khusus.

Keberadaan hak cipta di internet, umumnya membutuhkan aplikasi sarana-sarana

teknologi baru yang dapat mencegah upaya pembajakan oleh mereka yang tidak

berhak. Tingginya derajat pelanggaran hak cipta di sektor ini sangat

membutuhkan perpaduan dari semua faktor itu, sehingga ini diharapkan dapat

membentuk sistem hukum proteksi hak cipta di Internet yang semakin terpercaya

dan dapat diandalkan. Dengan adanya proteksi yang tegas mengenai hak cipta

tersebut tentu saja tindakan semena-mena para pelaku usaha pemilik website

dalam meng-copy suatu ciptaan atau isi dari website lain dan menyebarkan dalam

website-nya akan dapat diminimalisir.

2.3.4 Perbedaan antara situs Internet (website) dan blog (web log)

Website dengan blog sekilas terlihat sama, keduanya sama-sama memiliki

peran penting di dunia maya. Blog adalah kependekan dari Weblog, istilah yang

pertama kali digunakan oleh Jorn Barger pada bulan Desember 1997. Para

pembuat blog dinamakan Blogger. Melalui Blognya, kepribadian Blogger menjadi

mudah dikenali berdasarkan topik apa yang disukai, apa tanggapan terhadap link-

link yang di pilih dan isu-isu didalamnya. Oleh karena itu Blog bersifat sangat
47

personal. Blogger adalah objek pelaku dari sebuah blog, dengan kata lain Blogger

(terlepas dari aksi google yang membeli domain blogger.com untuk layanan

blognya) adalah orang-orang yang senantiasa menulis dan mengupdate blognya.

Sedangkan website adalah kumpulan dari halaman-halaman situs, yang biasanya

terangkum dalam sebuah domain atau subdomain, yang tempatnya berada di

dalam world wide web (www) di Internet. Sebuah halaman website adalah

dokumen yang ditulis dalam format HTML (Hyper Text Markup Language), yang

hampir selalu bisa diakses melalui HTTP, yaitu protokol yang menyampaikan

informasi dari server website untuk ditampilkan kepada para pemakai melalui

web browser. Semua publikasi dari website-website tersebut dapat membentuk

sebuah jaringan informasi yang sangat besar.

Perbedaan antara website dengan blog lebih terperinci dapat dilihat dari

tabel berikut ini :

Perbedaan Website Blog


Sekumpulan halaman web Sebuah situs diskusi yang

terkait yang disajikan dari dipublikasikan dalam world

satu domain. wide web (www)


Sebuah website mewakili Topik-topik posting dapat

satu produk, satu orang, berupa bahasan mengenai

dan teknologi yang serupa. teknologi, fashion, produk


Berdasarkan
Dengan kata lain, website tertentu atau mengenai aktor
Konten
memiliki isi dengan genre dan atlet tertentu dengan
48

Menggunakan nada atau menggunakan nada atau

bahasa formal untuk bahasa yang jauh lebih

menggambarkan isinya. sederhana dan informal


Tata Bahasa
untuk deskripsi kontennya.
Harus paham dan mengerti Untuk menciptakan sebuah

pengkodean seperti blog, tidak perlu seorang

HTML5, CSS3, PHP, dan yang ahli di bidang


memulai dengan belajar
lain-lain. pengkodean, cukup men-
dasar-dasar pengkodean.
Tidak akan menemui daftar dari Memiliki daftar kronologis

beberapa konten yang pernah postingan. Semua tulisan yang

diposting,data yang ada dalam telah Anda buat disusun dari

website biasanya
Homepage statis. isi dasar Dipenuhi
menjelaskan yang terbaru dengan
sampai terlama
berbagai

website. Ini akan memberitahukan tulisan yang telah diposting

kepada pengunjung tentang jenis sebelumnya.

produk dipengaruhi
Tidak yang ditawarkan oleh Sebagian besar dianggap aktif
oleh hal-hal

seperti jumlah pengunjung aktif tergantung pada jumlah

yang dimilikinya. pengunjung aktif yang

dimilikinya. Jumlah pembaca


Biasanya admin Blog dianggap lebih interaktif,

menawarkan pengunjung
memblok komentar
berupa opsi untuk

berkomentar, menyukai,

Tabel 1. Perbedaan antara website dengan blog

Bagi Perusahaan / Lembaga / perorangan yang ingin website contohnya untuk

kepentingan bisnis, sangat menjaga sekali profesional dari website yang akan
49

digunakan untuk memasarkan usahanya tersebut. Bila URL dari web bisnis kita

ada wordpress.com atau blogspot.com di belakangnya, akan mengakibatkan hal

hal seperti : disangka tidak serius dalam mengelola bisnis, usahanya hanya fiktif

dan hanya menipu saja karena web-nya gratisan, menimbulkan keraguan bagi

calon konsumen yang akan membeli produk yang ditampilkan di website. Jika

menggunakan domain dan hosting berbayar seperti .com .net .biz, kita akan

dianggap serius dalam mengelola bisnis yang kita lakukan sehingga konsumen

tidak ragu-ragu dalam mentransfer uang untuk membeli produk yang ditawarkan.

Banyak sekali web yang menyediakan penjualan online dan kebanyakan

konsumen lebih percaya pada website yang dikelola dengan serius (bukan

gratisan). Bahkan untuk kebutuhan sebagai contoh pada online shop, walaupun

memiliki blog untuk memperlihatkan foto produk yang dijual, tetapi pihak online

shop tersebut tetap memiliki website khusus yang menyediakan layanan

pemesanan online yang tidak gratis tentunya.


50

BAB III

PENGATURAN DISCLAIMER DALAM HUKUM INDONESIA

3.1 Pengaturan Disclaimer dalam Dunia Maya (virtual world)

Jaringan telekomunikasi terbuka seperti World wide web yang biasa

disingkat (www) adalah suatu ruang teknologi informasi yang digunakan oleh

pengenal global untuk mengidentifikasi sumber-sumber daya yang berguna. Data

dan informasi dapat digunakan secara bersama diseluruh dunia berkat adanya

www Melalui web, para pengguna internet dapat mengakses informasi-informasi

salah satunya berbentuk teks. Sebenarnya www merupakan kumpulan dokumen

yang tersimpan di server web dan tersebar di lima benua termasuk Indonesia yang

terhubung menjadi satu melalui jaringan internet. Dokumen-dokumen informasi

ini disimpan dan dibuat dalam format HTML (Hypertext Markup Language).

Dengan adanya world wide web (www) kemudahan dalam mengakses

internet mulai dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat seluruh dunia.

Kemudahan yang telah ditawarkan Internet untuk dapat secara langsung

melakukan percakapan, pidato umum, pertukaran mail, transmisi radio dan

televisi, mempublikasikan semua hal dan penelitian telah memunculkan suatu

kebutuhan untuk menggabungkan cara-cara pengaturan yang masing-masing telah

digunakan pada waktu sebelumnya. Kombinasi media cetak, media komunikasi

umum (seperti surat, telegraf dan telepon) dan penyiaran menjadi satu media telah

membuat adanya perubahan-perubahan di lingkungan pengaturan yang sudah ada


51

sebelumnya menjadi sangat penting. Kemajuan teknologi informasi harus

diberikan pengakuan hukumnya di masing-masing Negara.

Dunia internet disebut sebagai virtual world yang sering diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia dengan istilah “dunia maya” Dunia maya telah mengubah

kebiasaan banyak orang yaitu orang-orang yang dalam kehidupannya terbiasa

menggunakan internet. Berbelanja, mengirimkan surat, mengirimkan surat

lamaran kerja berkirim foto, mencari informasi secara praktis tanpa haru membeli

Koran dan berjalan-jalan ke luar rumah , melakukan pembicaraan jarak jauh tidak

ubahnya seperti sedang bertelepon, mengambil uang dari bank, membuat desain

bangunan oleh arsitek, berkonsultasi tatap muka (yaitu masing-masing pihak

muncul gambarnya pada layar komputer mereka (karena setiap computer

dilengkapi dengan kamera) dan masih banyak lagi. Praktis pada saat ini hamper

semua kegiatan yang dapat dilakukan di dunia nyata (real world) dapat dilakukan

di dunia maya. Bahkan di dunia maya orang telah melakukan berbagai tindakan

kejahatan yang justru tidak dapat dilakukan di dunia nyata. Budaya internet

sebagai tanda-tanda kemajuan dunia yang begitu mempesona masyarakat dunia.

Internet menawarkan keuntungan secara ekonomis, finansial tenaga dan lain-lain

dalam perkembangan dunia komunikasi dan informasi baik domestik maupun

internasional.

Menurut F.Lawrence Street dan Mark P.Grant, didalam transaksi bisnis

melalui internet menimbulkan beberapa masalah yuridis44, salah satunya yang

menarik yaitu mengenai pembatasan tanggung jawab. Di dalam suatu situs

internet (website) disadari/tidak oleh masyarakat yang mengunjungi suatu website,


44
Niniek Suparni, 2009, Cyberspace Problematika & Antisipasi Pengaturannya, Sinar Grafika,
Jakarta, h.52
52

baik itu website yang menyediakan layanan informasi maupun layanan jual beli

secara elektronik (e-commerce), terdapat klausula mengenai pembatasan tanggung

jawab tersebut yang diciptakan oleh pemilik situs sebagai pelaku usaha dengan

tujuan agar supaya jelas bagi para pihak akan batas-batas dari tanggung jawab

masing-masing pihak. Namun hal tersebut sangat penting untuk diperhatikan yaitu

berupa klausula eksemsi (exemption clause atau disclaimer) melanggar asas

kepatuhan yang berlaku pada hukum yang dipilih oleh para pihak untuk

diterapkan dalam menyelesaikan sengketa diantara para pihak tersebut. Suatu

pembatasan tanggung jawab tersebut dapat pula menentukan jumlah ganti

kerugian yang harus dibayarkan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lainnya,

apabila timbul sengketa.Dengan demikian para pihak sudah sejak dini mengetahui

berapa besar kemungkinan masing-masing pihak harus menanggung kewajiban

pembayaran ganti kerugian apabila pihaknya cidera janji.45

Dalam prakteknya di Indonesia dalam suatu situs internet (website), baik

itu website penyedia layanan informasi elektronik maupun transaksi jual beli

pihak pelaku usaha pemilik situs mencantumkan suatu klausula eksemsi yang

disebut disclaimer tersebut yang mana letaknya di dalam website tidak langsung

muncul dilayar (screen) monitor ketika konsumen internet membuka suatu

website. Biasanya disclaimer dari suatu situs terdapat dibagian bawah tampilan

situs yang penulisannya menggunakan ukuran font lebih kecil daripada tulisan

utama dari situs tersebut dan ada juga situs yang langsung menggabungkan

disclaimer didalam suatu term and condition suatu situs internet. Dari segi isinya,

pada disclaimer isinya sudah ditentukan secara sepihak oleh penyelenggara

45
Ibid
53

system elektronik/ pelaku usaha. Pengguna sistem elektronik/ konsumen tidak

dapat menegosiasikan isinya karena perjanjian sudah tercetak dilayar.

Pencantuman disclaimer tidak saja ditemukan di website yang berasal dari

Indonesia, namun juga ditemukan di beberapa website yang berasal dari luar

negeri. Namun isinya berbeda-beda disetiap website. Menurut kutipan artikel yang

ditulis oleh Simon Davey dari Inggris yang menjelaskan bahwa :

“Adding a disclaimer to your website is essential. It won‟t cover you for every

eventuality but helps protecting your organisation and restrict liability. It‟s your

way of stating the terms under which people access and use your information,

explaining your obligations and theirs. Disclaimers are sometimes called „Terms

of Use‟ and may incorporate a privacy policy.It‟s important that disclaimers are

obvious and visible, ideally on every page of your site, typically at the bottom of a

page. If people can‟t find it, they won‟t read it and it may not offer you the

necessary protection. Ideally, from a legal perspective, users should be asked to

expressly agree to these terms (e.g. by clicking an “I agree” button) but this is

rarely done in practice. Be explicit about the purpose and implications of the

disclaimer”.46

Dapat diketahui bahwa menurut Simon Davey mencantumkan disclaimer

pada website adalah penting. Disclaimer tidak akan melindungi pemilik situs

untuk setiap kemungkinan, tetapi juga membantu memproteksi organisasi dan

membatasi kewajiban . Ini merupakan cara pemilik situs menyatakan syarat-syarat

bagi pihak yang mengakses dan menggunakan informasi dari pemilik situs ,

46
Simon Davey, 2011, Website disclaimers , diakses dari :
URL:http://www.ictknowledgebase.org.uk, pada tanggal 17 Juni 2021
54

menjelaskan kewajiban pemilik situs. Disclaimer kadang-kadang digabungkan

dalam ' Terms of Use ' dan privasi policy. Hal ini penting bahwa disclaimer yang

jelas dan terlihat, idealnya pada setiap halaman website , biasanya di bagian

bawah halaman. Jika orang tidak dapat menemukannya, mereka tidak akan

membacanya dan mungkin tidak menawarkan perlindungan yang diperlukan .

Idealnya , dari perspektif hukum , pengguna harus diminta untuk tegas menyetujui

persyaratan ( misalnya dengan mengklik tombol " Saya setuju ") , tetapi hal ini

jarang dilakukan dalam praktek. Menjadi jelas mengenai tujuan dan implikasi dari

disclaimer tersebut”).

Tampilan disclaimer dalam website di Indonesia sebagian besar letaknya

dibagian bawah homepage website dan konsumen harus meng- klik terlebih untuk

dapat membaca tampilan dari disclaimer tersebut.

Gambar 1 : contoh disclaimer website Indonesia


55

Gambar 2 : contoh disclaimer website Indonesia

Gambar 3 : contoh disclaimer website Indonesia


56

Gambar 4 : contoh disclaimer website Indonesia

Gambar 5 : contoh disclaimer website Singapura tampilannya di awal homepage


57

Simon Davey dalam artikel tersebut juga menjelaskan bahwa suatu disclaimer di

Inggris mengandung pernyataan seperti sebagai berikut :

“This disclaimer governs your use of our website; by using our website, you

accept this disclaimer in full. If you disagree with any part of this disclaimer, do

not use our website. We reserve the right to modify these terms at any time. You

should therefore check periodically for changes. By using this site after we

post any changes, you agree to accept those changes, whether or not you have

reviewed them.”47

Dijelaskan bahwa disclaimer ini mengatur penggunaan website, dengan

menggunakan website , pengguna dianggap menerima disclaimer ini secara penuh

. Jika pengguna tidak setuju dengan setiap bagian dari disclaimer ini , jangan

gunakan website ini . Pemilik situs berhak untuk mengubah ketentuan ini setiap

saat . Oleh karena itu Anda harus memeriksa secara berkala untuk perubahan .

Dengan menggunakan situs ini setelah kita posting perubahan apapun , Anda

setuju untuk menerima perubahan tersebut , walaupun anda telah atau belum

memeriksa hal tersebut.

Sedangkan dalam website transaksi jual beli secara elektronik (e-

commerce) di inggris pencantuman disclaimer yang menyatakan pengalihan

tanggung jawab disebut juga exemption clauses adalah dilarang hal ini tercantum

dalam salah satu Undang-undang di Inggris The Unfair Contract terms Act (1977)

(UCTA) yang merupakan peraturan perundang-undangan khusus untuk penerapan

perjanjian standar dalam kontrak bisnis dan kontrak elektronik dan termasuk

47
Ibid
58

bagian integral dari penerapan pencantuman suatu klausula pengalihan tanggung

jawab (disclaimer) didalam suatu situs internet. UCTA juga bertujuan untuk

melindungi konsumen dari perilaku pelaku usaha yang ingin melepaskan diri dari

tanggung jawabnya. The Unfair Contract terms Act (1977) menjelaskan bahwa :

is largely restricted to business liability. Contracts excluded include those

involving land, those for insurance, and those affecting the formation or

management of companies. Exemption clauses can only be included in a written

form contract if they are reasonable. It is not possible to use exemption clauses to

escape liability in the case of bodily harm or death due to negligence. Exemption

clauses are automatically void if they contain a clause exempting from liability in

the case of personal injury or death due to negligence;

Dapat dikatakan bahwa kontrak standar sebagian besar terbatas pada

kewajiban bisnis. Kontrak dikecualikan termasuk yang melibatkan tanah, untuk

asuransi, dan yang mempengaruhi pembentukan atau manajemen perusahaan.

Klausul pembebasan hanya dapat dimasukkan dalam kontrak tertulis jika mereka

wajar. Hal ini tidak mungkin untuk menggunakan klausul pengecualian untuk

melarikan diri tanggung jawab dalam kasus cedera tubuh atau kematian akibat

kelalaian. Klausul pengecualian secara otomatis tidak berlaku jika: mengandung

klausul pembebasan dari kewajiban dalam kasus cedera atau kematian karena

kelalaian;

Dalam Bab 3 mengenai Exemption Clauses and Unfair Terms dalam Pasal

13 ayat 1 yang bunyinya :


59

Section 13 (1), which states: To the extent that this part of this Act prevents the

exclusion or restriction of liability it also prevents :

a. making the liability or its enforcement subject to restrictive or

onerous conditions;

b. excluding or restricting any right or remedy in respect of the

liability, or subjecting any person to any prejudice in

consequence of his pursuing any such right or remedy;

c. excluding or restricting any rules of evidence or procedure.

Jadi, bagian dari The Unfair Contract terms Act (1977) mencegah

pengecualian atau pembatasan kewajiban juga mencegah : membuat kewajiban

atau subjek penegakan hukum untuk kondisi membatasi atau berat, tidak termasuk

atau membatasi hak atau upaya hukum sehubungan dengan tanggung jawab, atau

menundukkan setiap orang untuk prasangka apapun sebagai konsekuensi nya

mengejar semua hak dan perbaikan tersebut dan tidak termasuk atau membatasi

aturan bukti atau prosedur.

Mengenai pencantuman klausula dalam kontrak elektronik di Inggris harus

dinegosiasikan terlebih dahulu. Inggris juga menerbitkan The United Kingdom

Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999. Berdasarkan regulasi

tahun 1999 ini ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk mengukur unfair

terms, akibat hukum bagi konsumen dari penggunaan unfair terms oleh pelaku

usaha dan cara penyelesainnya. Ukuran unfair terms:

a contractual term which has not been individually negotiated is unfair if

contrary to the requirement of good faith, it causes a significant imbalance in the


60

parties‟ rights and obligations under the contract, to the detriment of the

consumer;price setting – provided it is in plain, intelligible language; terms

defining the product – provided they are in plain, intelligiblelanguage; terms

required by law or explicitly allowed by law; specially negotiated terms.

Dapat dijelaskan bahwa Istilah kontrak yang belum dinegosiasikan tidak

adil jika bertentangan dengan kebutuhan itikad baik, hal itu menyebabkan

ketidakseimbangan yang signifikan dalam hak dan kewajiban para pihak dalam

kontrak, sehingga merugikan konsumen; penetapan harga asalkan itu transparan,

bahasa dimengerti; istilah mendefinisikan produk asalkan sesuai

kenyataan,bahasa dapat dimengerti; istilah diwajibkan oleh hukum atau secara

eksplisit diizinkan oleh hukum; mengenai klausula khusus dinegosiasikan

terlebih dahulu.

Akibat hukum bagi bisnis online yang mencantumkan unfair terms juga

diatur dalam Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999 yang

menyebutkan :

a consumer is not bound by a term which is unfair. The rest of the contract is

binding if it is capable of continuing in existence without the unfair term; where a

term has been drawn up for general use, the United Kingdom Office of Fair

Trading (UK OFT) can seek an undertaking or apply for aninjunction to stop

businesses using unfair terms.

Dijelaskan bahwa konsumen tidak terikat oleh sebuah klausula yang tidak adil.

Klausula dalam kontrak yang mengikat jika tidak ada klausula yang tidak adil

didalamnya, dimana jika istilah tersebut telah dibuat untuk pernyataan umum,
61

United Kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) dapat mengambil suatu usaha

atau mengajukan permohonan yang memerintahkan untuk menghentikan bisnis

online yang menggunakan istilah-istilah yang tidak adil.

3.2 Pengaturan Disclaimer dalam Konteks Undang-undang No.8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-undang No.11 Tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Indonesia adalah Negara hukum, eksistensi Indonesia sebagai Negara

hukum disebutkan secara tegas dalam Penjelasan UUD 1945 (setelah amandemen)

yaitu pasal 1 ayat (3); “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum

(rechtsstaat)”. Indikasi bahwa Indonesia menganut konsepsi welfarestate terdapat

pada kewajiban pemerintah dalam mewujudkan tujuan-tujuan negara,

sebagaimana yang termuat dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan

melaksanakan ketertiban dunia. Tujuan hukum juga untuk mengayomi manusia

baik secara aktif maupun pasif, secara aktif sebagai upaya menciptakan suatu

kondisi kemasyarakatan yang manusiawi sedangkan secara pasif mengupayakan

penegakkan atas upaya yang sewenang-wenang dalam penyalahgunaan hak secara

tidak adil.48 Tujuan-tujuan tersebut diharapkan perwujudannya melalui

pembangunan secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka

pendek, menengah dan panjang.

Arief Sidharta berpendapat bahwa Hukum adalah :

48
Abdul Manan, 2005, Apek-aspek Pengubah Hukum, Kencana , Jakarta, h. 23
62

“Hukum yang berlaku atau hukum positif. Jadi, kita berpikir antara lain tentang

undang-undang atau keputusan-keputusan hakim dan tidak tentang salah satu

hukum kodrat atau sistem-sistem hukum ideal yang mungkin saja dapat dipikirkan

sebagai berlaku. Hukum yang dibicarakan disini adalah hukum dengannya kita

setiap hari berurusan. Tetapi, ia bukanlah suatu gejala sewenang-wenang

(sekehendak hati) atau subjektif, ia memperlihatkan, menurut pemahaman

kami, beberapa ciri objektif.”49

Menurut pendapat tersebut diatas memfokuskan pengertian hukum dalam

undang-undang semata. Salim HS berpendapat bahwa hukum adalah :

“Keseluruhan dari aturan-aturan hukum, baik yang dibuat oleh Negara maupun

yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dengan tujuan untuk melindungi

kepentingan masyarakat”50

Hukum pada dasarnya merupakan suatu aturan yang sengaja diciptakan

oleh masyarakat agar tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tentram.

Hukum juga sebagai sarana penegak keadilan dan sarana pendidikan masyarakat.

Indonesia menganut hukum yang dikodifikasikan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan. Hukum sebagai patokan suatu norma harus diperhatikan

dalam suatu pembentukan peraturan perundang-undangan. Suatu peraturan

perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peratura perundang-

undangan lain yang lebih tinggi tingkatannya Dalam pasal 7 ayat (1) Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

49
Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, h.35.
50
Ibid h.26
63

undangan diatur mengenai hirerki peraturan perundang-undangan yang terdiri dari

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan

Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan hal-hal yang dapat

dijadikan asas-asas, sesuai dengan yang dkemukakan Montesquie antara lain :51

a. Gaya harus padat (concise) dan mudah (simple); kalimat-kalimat

bersifat kebesaran dan retorikal hanya tambahan yang membingungkan;

b. Istilah yang dipilih hendaknya sebisa mungkin bersifat mutlak dan

tidak relative, dengan maksud meminimalisasi kesempatan untuk

perbedaan pendapat dari individu;

c. Hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang riil dan actual,

menghindarkan sesuatu yang metaforik dan hipotetik;

d. Hukum hendaknya tidak halus (not be subtle), karena hukum dibentuk

untuk rakyat dengan pengertian yang sedang; bahasa hukum bukan

latihan logika, melainkan untuk pemahaman yang sederhana dari orang

rata-rata;

e. Hukum hendaknya, tidak merancukan pokok masalah dengan

pengecualian, pembatasan atau pengubahan kecuali hanya apabila

benar-benar diperlukan;

51
Yuliandri. Op.cit, h.128
64

f. Hukum hendaknya tidak bersifat argumentasi/ dapat diperdebatkan;

adalah berbahaya merinci alasan-alasan hukum, karena hal itu akan

lebih menumbuhkan pertentangan-pertentangan;

g. Lebih daripada semua itu, pembentukan hukum hendaknya

dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat praktis dan

hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar,

keadilan dan hakikat permasalahan, sebab hukum yang lemah, tdak

perlu dan tdak adil hanya akan membawa seluruh sistem perundang-

undangan kepada image yang buruk dan menggoyahkan kewibawaan

Negara.

Roger Catterrell dalam bukunya The Sociology of Law yang mengemukakan

bahwa

“Law secures social cohesion and orderly social change by balancing conflicting

interest-individual (the private interest of individual citizens), social (arising from

the common conditions of social life) and public (specifically the interest of the

state)”.52

Dapat diketahui bahwa Hukum mengamankan kohesi sosial dan perubahan

sosial yang tertib dengan menyeimbangkan konflik kepentingan-individu

(kepentingan pribadi warga negara), sosial (yang timbul dari kondisi umum

kehidupan sosial) dan masyarakat (khususnya kepentingan Negara).

Hukum merupakan alat utuk mengatur masyarakat, tugas pembentuk

peraturan perundang-undangan akan berhasil jika keseluruhan persyaratan bisa

52
Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, Butterworths, London, h.76.
65

terpenuhi. Hukum adalah suatu aturan yang sengaja diciptakan oleh masyarakat

agar tercapai kehidupan yang tertib, aman, damai dan tenteram. Hukum bisnis

adalah bagian dari hukum privat, hal ini dikemukakan oleh Peter Mahmud

Marzuki :53

“Business law is the body of law that governs business transactions. The word

business denotes an activity that generates profit. Non profit activity is not

business; rather, it is charity. Consequently, business law deals only with

activities that generate profit. Business law, therefore, belongs to private law

rather than public law”.

Dijelaskan bahwa Hukum bisnis adalah badan hukum yang mengatur

transaksi bisnis. Usaha kata menunjukkan aktivitas yang menghasilkan

keuntungan. Kegiatan non profit bukan bisnis, melainkan adalah amal. Akibatnya,

hukum bisnis hanya berkaitan dengan kegiatan yang menghasilkan keuntungan.

Hukum bisnis, oleh karena itu, milik hukum privat bukan hukum publik).

Persyaratan sesuai dengan asas-asas pembentukkan peraturan perundang-

undangan yang baik juga dikemukakan menurut Lon.L.Fuller :54

“The criteria which Fuller argues must be in order for something which can truly

be called a legal system to exist are generality, promulgation, non-retroactivity,

clarity, non-contradiction, not requiring the impossible, constancy throught time

and finally, congruence between official action and the declared rule”.

53
Peter Mahmud Marzuki, 2011, An Introducation To Indonesian Law, Setara Pers, Malang,
p.219.
54
Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies, University
of London, h. 105.
66

Kiranya diketahui bahwa kriteria yang dikemukakan Fuller harus dipenuhi

agar dapat disebut sistem hukum yang ada adalah umum, perundangan, non-

retroaktif, kejelasan, non-kontradisi, tidak memerlukan yang tidak mungkin,

keteguhan melalui waktu dan akhirnya, kesesuaian resmi tindakan dan aturan

diumumkan. Bila dikaitkan dengan pengaturan mengenai pencantuman disclaimer

yang terdapat dalam situs internet, harus ada aturan untuk kriteria pencantuman

suatu disclaimer didalam suatu situs internet agar tidak menguntungkan pihak

pelaku usaha pemilik situs saja namun juga harus melindungi hak-hak dari pada

konsumen. Di Indonesia pengaturan secara khusus (lex specialis derogate legi

generali) mengenai dunia internet diatur dalam undang nomor 11 tahun 2008

tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan

instrument hukum yang efektif melindungi konsumen, namun perlindungannya

terbatas, karena Undang-undang ini hanya berlaku terhadap subyek hukum yang

berdomisili dalam yurisdiksi hukum Indonesia. Secara a contrario dikatakan

bahwa pelaku usaha yang berdomisili di luar yurisdiksi hukum Indonesia tidak

tunduk pada UUPK. UUPK kehilangan efektivitasnya saat berhadapan dengan

persoalan pelanggaran hak konsumen oleh pelaku usaha yang berdomisili di

Negara asing.

Transaksi elektronik jarak jauh menimbulkan masakah baru terkait dengan

perlindungan hak kewajiban konsumen. Pengaturan mengenai pencantuman

klausula baku diatur dalam Pasal 1 angka 10 dijelaskan bahwa yang dimaksud
67

dengan klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang

telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak pleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat

dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Dalam penjelasan pasal 18 ayat (1) UU No.8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pengaturan mengenai pencantuman

klausula baku dimaksudkan oleh undang-undang sebagai usaha untuk

menempatkan kedudukan konsumen secara setara dengan pelaku usaha

berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Dalam hal hubungan pelaku usaha dan konsumen, maka pencantuman

klausula baku harus memperhatikan ketentuan Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999

tentang perlindungan konsumen, yang berbunyi sebagai berikut :

(1). Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat dan/atau mencantumkan kalusula baku

pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. menyatakan bahwa pelakuusaha berhak menolak menyerahkan

kembali barang yang dibeli konsumen;

c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh

konsumen;

d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada palaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen;


68

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemenfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya;

h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap

barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

mengungkapkannya sulit dimengerti.

(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

undang-undang ini.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka setiap perjanjian dalam hal hubungan antara

pelaku usaha dengan konsumen, yang mencantumkan klausula baku didalamnya

wajib memperhatikan ketentuan Pasal 18 UU No.8 Tahun 1999 tersebut.


69

Konsekuensi terhadap pelanggaran Pasal 18 adalah batal demi hukum terhadap

perjanjiannya, kecuali apabila dicantumkan klausula severability of provisions

(ketentuan yang terpisah) maka yang batal demi hukum hanyalah klausula yang

bertentangan dengan Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 saja.

Klausula Eksonerasi (exemption clause) dibedakan dengan istilah klausula

baku. Mariam Darus Badarulzaman menyebutkan dengan klausul eksonerasi,

sebagai terjemahan dari exoneratie clause. Remy Sjahdeni menyebutkan dengan

istilah klausul eksemsi, sedangkan Bernes menyebutkan dengan istilah

exculpatory clause. Exculpatory Clause menurut Bernes adalah

“ a provision in a contract that attempts to relieve one party‟s liability for the

consequences of his on her own negligence” 55

Dapat dijelaskan bahwa ketentuan dalam kontrak yang mencoba untuk

meringankan tanggung jawab satu pihak atas konsekuensi-nya pada kelalaian

sendiri.

Oleh karena UUPK hanya berlaku dalam yurisdiksi hukum Indonesia,

maka untuk mengatasi persoalan tersebut langkah pertama yang penting adalah

merujuk pada Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 2 UU ITE secara eksplisit menyebutkan

bahwa UU ITE berlaku untuk setiap perbuatan subyek hukum yang menimbulkan

implikasi hukum di Indonesia.

Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

55
N.H.T. Siahaan, 2005, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung jawab
produk, Panta Rei, Jakarta, h.17
70

Tujuan dari pembentukan UU ITE tercermin dari Pasal 4 UU ITE, yaitu untuk:

a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi

dunia;

b. Mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. Meningkatkan efektivitas dan pelayanan publik;

d. Membuka kesempatan seluas-luasnya pada setiap Orang untuk memajukan

pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi

Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab;dan

e. Memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan

penyelenggara Teknologi Informasi.

UU ITE mengimplementasikan prinsip-prinsip perlindungan konsumen

didalam pasal-pasalnya yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan

perlindungan bagi konsumen dalam melakukan transaksi elektronik. Pasal 9 UU

ITE mengatur bahwa :

“pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus

menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,

produsen dan produk yang ditawarkan.”

Dalam kenyataannya masih terdapat tindakan oknum pengguna internet

yang sangat merugikan konsumen. Salah satu contoh adalah kasus situs palsu

yang dungkap oleh Petrus Reinhard Goles, Kepala Unit Cyber Crime Mabes Polri.

Dalam kasus tersebut terungkap bahwa Chumpon Korp Phaibun, seorang Warga
71

Negara Thailand tertipu oleh sebuat situs Indonesia, yakni www.henbing.com,

dengan sarana situs tersebut Chumpon membeli sebuat jet ski seharga $19.520

(Sembilan belas ribu lima ratus dua puluh) dollar Amerika. Namun setelah

mengirim uang ke dua rekening Bank Mandiri, jet ski tidak dating, setelah

menerima laporan akhirnya penyidik Polri mendatangi Chumpon ke Bangkok.

Dari penyelidikan dan penyidikan polisi di Internet akhirnya mereka berhasil

menangkap pelaku.56

Pada pasal 3 UU ITE diatur mengenai asas dan tujuan sebagai alat untuk

menciptakan pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik yang baik,

antara lain :

1. Asas Kepastian Hukum, mengandung pengertian bahwa landasan hukum

dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik termasuk

segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan

pengakuan hukum;

2. Asas Manfaat, mengandung pengertian bahwa pemanfaatan teknologi

informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses

berinformasi;

3. Asas Kehati-hatian, mengandung pengertian bahwa landasan untuk

memperhatikan segenap potensi yang dapat mendatangkan kerugian dalam

pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik;

4. Asas Itikad Baik, mengandung pengertian bahwa para pihak baik iut pelaku

usaha maupun konsumen dalam melakukan transaksi elektronik tidak


56
95 Kompas, 2008, Kejahatan Cyber Tinggi, Polisi Menerima Laporan dari 17 Negara , diakses
dari URL : www.kompas.com, pada tanggal 29 November 2020
72

dilakukan dengan tujuan merugikan pihak lain baik secara sengaja dan tanpa

hak atau melawan hukum;

5. Asas Kebebasan Memilih Teknologi atau Netral Teknologi, megandung

pengertian bahwa pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik

tidak terfokus pada pemanfaatan teknologi tertentu sehingga diharapkan

mampu mengikuti perkembangan teknologi di masa yang akan datang.

Transaksi melalui internet antara pelaku usaha dengan konsumen dilakukan

melalui berkomunikasi terlebih dahulu, komunikasi dilakukan melalui email dan

menyetujui harga dan barang. Sepanjang telah memenuhi syarat-syarat sahnya

suatu perjanjian maka nantinya email yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai

kontrak elektronik. Ketika telah terjadi kesepakatan mengenai barang dan harga

maka telah ada perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen, oleh karena itu

konsumen dapat melakukan gugatan jika konsumen dirugikan atas dasar

wanprestasi. E-mail tersebut dapat djadikan alat bukti sesuai dengan yang

dimaksud dalam pasal 5 UU ITE yang menyebutkan bahwa :

1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

merupakan alat bukti hukum yang sah;

2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang

sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila

menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

Undang-Undang ini.
73

4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

i. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

ii. surat beserta dokumennya yang menurut Undang- Undang harus dibuat

dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan kewenangan

para pihak untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik

internasional yang dibuatnya, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 18 ayat 2 (UU

ITE). Akan tetapi jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi

elektronik internasional akan berlaku asas Hukum Perdata Internasional (Pasal 18

ayat 3 UU ITE).

Dalam transaksi elektronik para pihak yang terkait didalamnya melakukan

hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak

yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 17 (UU

ITE) disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam

dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. Dalam transaksi elektronik

para pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain tetapi berhubungan

melalui internet. Dalam transaksi elektronik pihak-pihak yang terkait antara lain :

1. Pelaku usaha sebagai penyelenggara sistem elektronik yang menawarkan

sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha;

2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-

undang, yang menerima penawaran dari pelaku usaha dan berkeinginan untuk

melakukan transaksi atas jual beli produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha;
74

3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari konsumen kepada pelaku usaha

karena pada transaksi jual beli secara elektronik, pelaku usaha dan konsumen

tidak berhadapan langsung karena mereka berada pada lokasi yang berbeda

sehingga pembayarannya dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini

bank;

4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.

Pihak-pihak dalam transaksi elektronik tersebut memiliki hak dan kewajiban.

Pelaku usaha merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh

karena itu pelaku usaha wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas

barang yang ditawarkannya kepada konsumen. Pelaku usaha harus menawarkan

barang yang layak untuk diperjualbelikan tidak mengandung cacat tersembunyi,

rusak dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan

demikian transaksi tersebut tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen. Pelaku

usaha selain memiliki kewajiban juga memiliki hak yaitu hak untuk mendapat

pembayaran dari konsumen atas barang yang dijualnya. Konsumen memiliki

kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari pelaku usaha

sesuai dengan harga yang telah mereka sepakati. Selain hal tersebut, konsumen

wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir

penerimaan. Selain itu konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap

atas barang yang akan dibelinya dari pelaku usaha. Konsumen juga berhak

mendapatkan perlindungan hukum atas perbuatan pelaku usaha yang beritikad

tidak baik.
75

Bank sebagai pihak penyalur dana dalam transaksi elektronik atas

pembayaran yang dilakukan oleh konsumen atas suatu barang yang dibeli. Karena

jika berbelanja secara online melalui internet jarak antara pelaku usaha dengan

konsumen saling berjauhan sehingga sebagian besar pelaku usaha menggunakan

sistem transfer dari rekening konsumen kepada rekening pelaku usaha (account to

account). Kemudian provider juga merupakan pihak lain dalam transaksi

elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan

layanan akses 24 jam kepada calon konsumen untuk dapat melakukan transaksi

elektronik melalui media internet dengan pelaku usaha yang menawarkan

barangnya melalui media internet tersebut. Disini terdapat kerjasama antara

pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha online melalui internet.

Dalam transaksi jual beli online (e-commerce), penawaran merupakan

suatu “invitation to enter into a binding agreement”.57 Tawaran merupakan

sebuahtawaran jika orang lain menanggapinya sebagai suatu tawaran. Suatu

perbuatan seseorang beralasan bahwa perbuatan itu sendiri sebagai ajakan untuk

masuk ke dalam suatu ikatan perjanjian dapat dianggap sebagai tawaran. Dalam

transaksi jual beli elektronik khususnya jenis business to customer yang

melakukan penawaran adalah pelaku usaha. Para pelaku usaha tersebut

memanfaatkan website untuk menjajakan barang dan jasa pelayanan. Para pelaku

usaha menyediakan semacam storefront yang berisikan katalog barang dan

pelayanan yang diberikan dan para konsumen seperti berjalan-jalan di depan toko-

toko serta melihat barang-barang di dalam etalase/ keuntungan jika melakukan

57
Mariam Daruz Badrulzaman, 2001, E-commerce Tinjuan dari Hukum Kontrak Indonesia,
Hukum Bisnis XII, h.33
76

belanja di toko online adalah kita dapat melihat dan berbelanja kapan saja dan

dimana saja tanpa dibatasi oleh jam buka toko dan kita juga tidak akan rishi

dengan pandangan penjaga toko yang mengawasi kegiatan kita. Dalam website

tersebut biasanya ditampilkan barang-barang yang ditawarkan, harganya, nilai

rating atau poll otomatis tentang barang itu yang diisi oleh pembeli sebelumnya,

spesifikasi tentang barang tersebut dan menu produk lain yang berhubungan.

Penawaran ini terbuka bagi semua orang. Semua orang yang tertarik dapat

melakukan window shopping di toko-toko online ini dan jika ada barang yang

menarik perhatian maka dapatlah transaksi dilakukan.

Penawaran dan penerimaan saling terkait untuk menghasilkan suatu

kesepakatan. Dalam menentukan suatu penawaran dan penerimaan dalam

cybersystem ini digantungkan pada keadaan dari cybersystem tersebut.

Penerimaan dapat dinyatakan melalui website, electronic mail (surat elektronik)

atau juga melalui Electronic Data Interchange. Pelaku usaha biasanya bebas

menetukan suatu cara penerimaan. Pelaku usaha melakukan penawaran melalui

website atau news group maka dapat dianggap penawaran tersebut ditujukan

kepada khalayak ramai, dengan demikian maka setiap orang yang berminat dapat

membuat kesepakatan dengan penjual yang menawarkan. Dalam transaksi jual

beli melalui website, biasanya calon konsumen akan memilih barang tertentu yang

ditawarkan oleh pelaku usaha. Jika memang konsumen tertarik maka shopping

cart akan menyimpan terlebih dahulu barang yang calon konsumen inginkan

sampai calon konsumen yakin akan pilihannya. Setelah yakin dengan pilihannya

maka calon konsumen akan memasuki tahap pembayaran. Dengan menyelesaikan


77

tahapan transaksi ini maka dengan demikian konsumen telah melakukan

penerimaan, dengan demikian telah terciptalah kontrak online.

Bentuk pembayaran yang digunakan di internet umumnya berdasarkan pada

sistem keuangan nasional, tetapi ada juga beberapa yang bertumpu pada keuangan

local. Klasifikasi mekanisme pembayaran dapat dibagi menjadi lima mekanisme

utama, yaitu :58

1. Transaksi model ATM. Transaksi ini hanya melibatkan institusi finansial dan

pemegang account yang akan melakukan pengambilan uangnya dari account

masing-masing;

2. Pembayaran dua pihak tanpa perantara, transaksi dilakukan langsung antara

dua pihak tanpa perantara menggunakan uang nasionalnya;

3. Pembayaran dengan perantara pihak ketiga, umumnya proses pembayaran

yang menyangkut debit, kredit maupun cek masuk dalam kategori ini. Metode

yang digunakan adalah sistem pembayaran kartu kredit online dan sistem

pembayaran check online.

Apabila kedudukan pelaku usaha dengan konsumen berbeda, maka

pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau pemgalihan

dari rekening konsumen kepada rekening pelaku usaha sebagai penjual. Untuk

pembayaran secara langsung sulit untuk dilakukan karena adanya perbedaan

lokasi antara pelaku usaha dengan konsumen walaupun memungkinkan untuk

dilakukan.

58
Onno W. Purbo & Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Commerce, PT. Elex Media
Komputindo, h. 92
78

3.3 Eksistensi Disclaimer dalam Situs Internet (website) Relevansinya dengan

Pengaturan Klausula Baku

International Institute for the Unification of Private Law (UNIDROIT)

dalam Principles of International Commercial Contracts 1994 atau biasa disebut

UNIDROIT‟94 dalam Pasal 2.19 menjelaskan bahwa klausula baku (standard

terms) adalah “… provisions which are prepared in advance for general and

repeated use by one party and which are actually used without negotiation with

the other party”59, dijelaskan mengenai klausula baku merupakan aturan yang

telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan secara umum dan

berulang-ulang oleh salah satu pihak dan yang secara nyata digunakan tanpa

negosiasi dengan pihak lain.

Dalam penjelasan mengenai Pasal 2.19 tersebut, dijelaskan bahwa

penentuan suatu klausula baku bukan berdasarkan bentuk penampilan atau

formatnya, juga bukan berdasarkan pihak mana yang membuatnya, bahkan bukan

juga dari isinya, melainkan pada fakta atau kenyataan bahwa klausula tersebut

dibuat secara nyata tanpa dinegosiasikan dengan pihak lain. 60 Dalam pasal

2.20 UNIDROIT‟94 dijelaskan bahwa klausula baku haruslah wajar dalam artian

harus memperhatikan isi, bahasa dan cara penyajiannya. Suatu klausula baku

dianggap tidak wajar atau janggal apabila si dari klausula tersebut sedemikian

rupa sehingga orang yang sewajarnya tidak akan mungkin mengharapkan adanya

syarat tersebut. Sebagai contoh klausula baku tersebut adalah adanya suatu syarat

59
UNIDROIT 1994, 1994, Principles of International Commercial Contract 1994, International
Institute for the Unification of Private Law Article 2.19, diakses dari :URL :
http://www.lexmercatoria.org. pada tanggal 4 Juli 2021.
60
Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan : Tinjauan Atas Beberapa Aspek Hukum
dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG, Commentaries on the Article 2.19 of the
UNIDROIT‟94, PT.Citra Aditya Bakti, h.189
79

yang membatasi atau meniadakan tanggung jawab yang sudah sewajarnya

merupakan tanggung jawab dari pihak tertentu akibat kesalahan yang

diperbuatnya (liabilities based on faults).

Ketidakwajaran suatu klausula baku dilihat dari segi bahasa, terutama dalam

bahasa asing adalah apabila bahasa yang dituliskan atau dituangkan dalam kontrak

tidak jelas, tidak sesuai definisi umum atau diterjemahkan secara salah atau tidak

tepat, misalnya dalam perjanjian terdapat klausula ganti rugi tetapi diterjemahkan

sebagai klausula wanprestasi sebagai contoh yang salah : Ganti rugi (events of

default) , contoh yang benar : Ganti rugi (liquidated damages).61 Ketidakwajaran

dari segi penyajian adalah apabila penyajian suatu klausula baku dalam bentuk

cetakan huruf yang kecil-kecil dan nyaris tidak terbaca, tersembunyi pada suatu

bagian sehingga tidak dapat disadari bahwa persyaratan tersebut sebenarnya ada

dan atau penyajiannya tidak dapat dimengerti.

Selanjutnya dalam UNIDROIT 1994, pada pasal 7.16 menjelaskan bahwa

klausula eksonerasi (exemption clause) adalah “A clause which limits or excludes

one party‟s liability for non-performance or which permits one party to tender

performance substantially different from what the other party reasonably

expected…” ( suatu klausula yang membatasi atau meniadakan tanggung jawab

pihak yang satu terhadap tidak terlaksananya suatu kewajiban atau yang

mengizinkan pihak yang satu untuk menawarkan pelaksanaan suatu kewajiban

yang secara substansi berbeda secara akal sehat dari apa yang diharapkan pihak

yang satunya).

61
Ibid
80

Menurut Shidarta antara klausula baku dengan klausula eksonerasi letak

pembedaannya adalah jika dalam klausula baku lebih menekankan kepada

prosedur pembuatannya yang sepihak dan bukan mengenai isinya, sedangkan

dalam hal eksonerasi yang dipermasalahkan adalah menyangkut substansinya

yaitu mengalihkan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.62 Terlepas dari

istilah yang dipergunakan oleh pakar hukum, klausula eksonerasi adalah klausula

yang digunakan dengan tujuan yang pada dasarnya untuk membebaskan atau

membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya,

dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan

kewajibannya yang ditentukan dalam suatu perjanjian.

Nik Ramlah Mahmood menanggapi keberadaan klausula eksonerasi dalam

hubungannya dengan perlindungan konsumen dalam bukunya Unfair Term in

Malaysian Consumer Contracts – The Need Increased Judicial Creativity

menyatakan :

Clauses in standard form contracts which exempt or limit a contracting party‟s

liability for certain breaches of the expressed or implied terms of the contracts or

for the commission of a tort, operate extremely harshly against and to the

detriment of consumers. Such clauses are found at the back of tickets of public

transport on receipt and other types of standard form consume contracts.63

Sekiranya dapat diketahui bahwa Klausul dalam bentuk kontrak standar

yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab pihak kontraktor untuk

pelanggaran tertentu dari tersurat maupun tersirat ketentuan dalam kontrak atau

62
N.H.T Siahaan, Op.cit. h.114
63
Taqyuddin Kadir, 2006, Klausula Baku diakses dari : URL : http://taqlawyer.com pada tanggal
20 Agustus 2021
81

komisi dari perbuatan melawan hukum, beroperasi sangat keras menentang dan

merugikan konsumen. Klausul semacam itu ditemukan di bagian belakang tiket

angkutan umum pada penerimaan dan jenis-jenis kontrak mengkonsumsi bentuk

standar.

Ada tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan klausula eksonerasi yang

disebutkan oleh R.H.J Engels yaitu sebagai berikut :64

1. Tanggung jawab untuk akibat-akibat hukum, oleh karena kurang baiknya

dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam perjanjian;

2. Kewajiban-kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk

mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian keadaan

darurat);

3. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat-syarat pembebasan) oleh salah satu

pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab yang lain yang

mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.

Perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi membebaskan tanggung jawab

seseorang pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan

kewajiban-kewajibanyang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain

tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar janji. Ganti rugi tidak

dijalankan apabila persyaratan eksonerasi mencantumkan hal tersebut. Apabila

ditelaah secara lebih cermat didalam perjanjian yang mengandung klausula

eksonerasi beban tanggung jawab konsumen lebih ditonjolkan daripada beban

64
Az.Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta,
h.100
82

tanggung jawab pelaku usaha, tersirat bahwa pelaku usaha berusaha supaya bebas

dari tanggung jawab.

Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa klausula eksonerasi adalah

syarat yang secara khusus membebaskan pengusaha dari tanggung jawab terhadap

akibat yang merugikan, yang timbul dari pelaksanaan perjanjian. Klausula

eksonerasi dapat berasal dari rumusan pelaku usaha secara sepihak dapat juga

berasal dari rumusan undang-undang.65 Klausula eksonerasi hanya dapat

digunakan dalam pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik. Eksonerasi terhadap

kerugian yang timbul karena kesengajaan pengusaha adalah bertentangan dengan

kesusilaan, oleh karena itu pengadilan dapat mengesampingkan klausula

eksonerasi tersebut.66 Klausula eksonerasi hanya dapat digunakan jika tidak

dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan dengan

kesusilaan dan apabila terjadi sengketa mengenai tanggung jawab tersebut,

konsumen dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk menguji

apakah eksonerasi yang ditetapkan oleh pelaku usaha tersebut adalah layak, tidak

dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.

Klausula eksonerasi dapat saja dirumuskan dalam suatu perjanjian karena

terdapat keadaan memaksa, karena perbuatan para pihak dalam perjanjian.

Pebuatan para pihak tersebut dapat mengenai kepentingan pihak kedua dan pihak

ketiga. Terdapat tiga kemungkinan eksonerasi yang dapat dirumuskan dalam

syarat-syarat perjanjian:67

65
Abdulkadir Muhammad, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan Perdagangan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.20
66
Ibid
67
Ibid, h.21-22
83

a. Eksonerasi karena keadaan memaksa (force majeur) ;

Kerugian yang timbul karena keadaan memaksa bukan tanggung jawab para

pihak, tetapi dalam syarat-syarat perjanjian dapat dibebankan kepada konsumen

sehingga dibebaskan dari beban tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian jual-

beli, barang objek perjanjiannya musnah karena terbakar. Sebab kebakaran bukan

kesalahan para pihak, tetapi dalam hal ini pembeli diwajibkan melunasi harga

yang belum dibayar lunas berdasarkan klausula eksonerasi.

b. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak kedua dalam

perjanjian ;

Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi

tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini dapat terjadi karena tidak baik atau lalai

melaksanakan prestasi terhadap pihak kedua. Tetapi dalam syarat-syarat

perjanjian, kerugian dibebankan kepada konsumen dan pengusaha dibebaskan dari

tanggung jawab. Misalnya dalam perjanjian pengangkutan ditentukan bahwa

barang bawaan yang rusak atau hilang bukan merupakan tanggung jawab

pengangkut.

c. Eksonerasi karena kesalahan pelaku usaha yang merugikan pihak ketiga;

Kerugian yang timbul karena kesalahan pelaku usaha seharusnya menjadi

tanggung jawab pelaku usaha, namun dalam syarat-syarat perjanjian, kerugian

yang timbul dibebankan kepada pihak kedua, yang ternyata menjadi beban pihak

ketiga. Dalam hal ini pengusaha dibebaskan dari tanggung jawab, termasuk juga

terhadap tuntutan pihak ketiga.


84

Dalam hal ini mengenai pencantuman disclaimer dalam situs internet

(website) belum diatur secara khusus didalam Peraturan Perundang-undangan di

Indonesia. Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK), apabila ditinjau dari pengertian klausula baku yang telah dijelaskan

dalam pembahasan sebelumnya, maka disclaimer termasuk dalam ketentuan dan

syarat-syarat yang telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen elektronik yang didalamnya terdapat

unsur pengalihan tanggung jawab (klausula eksonerasi) dari pelaku usaha kepada

konsumen, bersifat mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. UUPK tidak

mengatur mengenai pencantuman klausula baku dalam lingkup transaksi secara

elektronik. Peraturan yang mengatur ruang lingkup Transaksi Elektronik di

Indonesia adalah Undang-undang No. 11 Tahun 2008. Oleh karena itu masih

terdapat kekosongan norma dalam pengaturan disclaimer dalam situs internet

(website).

Berkaitan dengan adanya kekosongan norma harus diisi dengan suatu

pengaturan dalam perundang-undangan. Suatu pembentukan peraturan

perundang- undangan berpedoman dengan Teori tentang Azas-azas

Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan dimana menurut Fuller hukum

harus dapat merespon setiap perubahan yang terjadi kehidupan masyarakat. Jadi

fenomena kemunculan disclaimer dalam situs internet (website) harus direspon

oleh hukum melalui pengaturan secara tegas agar dapat melindungi seluruh

masyarakat dalam hal ini sebagai konsumen. Apa yang dikemukakan Fuller juga

berkaitan dengan Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman yang

mengemukakan bahwa pembentukkan suatu perundang-undangan juga sangat


85

dipengaruhi oleh sistem hukum suatu Negara. Dalam pembentukkan perudnang-

undangan haruslah melihat sistem hukumnya melalui 3 aspek untuk mengkaji

pembentukan undang- undang secara komprehensif yaitu Struktur hukum,

subtansi hukum dan budaya hukum, ketiga hal tersebut harus sinkron karena

saling berhubungan. Jika tidak ada substansi hukum yang merupakan peraturan

perundang-unangan maka tidak ada pedoman yang akan digunakan bagi lembaga

pemerintahan yang termasuk dalam struktur hukum untuk menindaklanjuti

permasalahan yang timbul di dalam kehidupan masyarakat yang dimana

masyarakat merupakan perwujudan dari suatu budaya hukum.

Bedasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) :

Membahas mengenai transaksi elektronik tidak terlepas juga dari konsep

perjanjian secara mendasar sebagaimana termuat didalam Pasal 1313 KUHPerdata

yang menegaskan bahwa perjanjian merupakan suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian terdapat dalam Buku III

KUHPerdata, yang memiliki sifat terbuka dalam artian ketentuan-ketentuannya

dapat dikesampingkan dan hanya berfungsi mengatur saja. Keterbukaan sifat dari

KUHPerdata ini tercermin dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang

mengandung asas kebebasan berkontrak yang artinya setiap orang bebas

menentukan bentuk, macam dan isi perjanjian asalkan tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, kesusilaan dan ketertiban umum,

serta selalu memperhatikan syarat sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa syarat sahnya perjanjian

dengan adanya kesepakatan para pihak dalam perjanjian, yang berarti adanya
86

persesuaian kehendak dari para pihak yang membuat perjanjian, sehingga dalam

melakukan perjanjian tidak boleh ada paksaan, kehilapan dan penipuan,

kecakapan para pihak dalam perjanjian, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang

halal.

Dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini juga

menganut asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak menyatakan

bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak atau perjanjian yang

berisi dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban umum.68

Selanjutanya kebebasan berkontrak juga memberikan kebebasan untuk

menentukan isi serta persyaratan dari suatu perjanjian asalkan tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan69, dapat disimpulkan dari

Pasal 1337 KUHPerdata bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh

undang-undang. Hal ini juga yang menjadi dasar pemikiran mengapa pemilik situs

di internet mencantumkan substansi daripada suatu disclaimer dengan bebas

sesuai dengan kehendaknya, namun yang menjadi permasalahan adalah mengenai

kesepakatan kedua belah pihak karena isi dari disclaimer tidak dinegosiasikan

terlebih dahulu dengan masing-masing konsumen. Dengan konsumen setuju untuk

berbelanja dan memanfaatkan isi suatu website itu juga berarti konsumen telah

setuju dengan seluruh syarat yang telah pemilik situs cantumkan dalam

disclaimer, sedangkan letak dari disclaimer pun terkadang tidak terbaca dan tidak

disadari konsumen oleh karena letaknya dibawah homepage website. Sesuai


68
Ridwan Syahrani, 1985, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, h.212
69
Herlien Budiono, 2010, Ajaran Umum HukumPerjanjian dan Penerapannya di bidang
kenotariatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, h.31
87

dengan Pasal 19 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang

menyebutkan bahwa:

“Para Pihak yang melakukan Transaksi Elektronik harus menggunakan Sistem

Elektronik yang disepakati”.

Suatu Perjanjian baku yang dibuat pelaku usaha online dibuat secara

sepihak dan bersifat menguntungkan pelaku usaha terutama dalam hal : efisiensi

biaya dan waktu, praktis, penyelesaiannya cepat karena konsumen hanya tinggal

menyetujui dan pembebasan tanggung jawab. Berdasarkan beberapa ciri tersebut ,

maka perjanjian baku tersebut termasuk Perjanjian Baku Sepihak. Jika dikaitkan

dengan teori dalam KUHPerdata ,perjanjian seperti ini termasuk dalam jenis

perjanjian Innominaat (Diluar KUHPerdata). KUHPerdata tidak mengatur

mengenai perjanjian baku secara khusus, KUHPerdata hanya mengatur mengenai

perjanjian atau perikatan secara umum. Apabila hendak meninjau perjanjian baku

dalam website berdasarkan KUHPerdata maka perjanjian tersebut harus

memenuhi asas kebebasan berkontrak, konsensualisme dan keseimbangan demi

sahnya perjanjian online tersebut.

Dalam melihat suatu perjanjian baku apakah melanggar kebebasan

berkontrak atau tidak maka dapat dilihat melalui 2 paham yaitu : pertama, secara

mutlak memandang bahwa perjanjian baku bukanlah suatu perjanjian, sebab

kedudukan pelaku usaha di dalam perjanjian adalah seakan-akan sebagai

pembentuk undang- undang swasta. Syarat yang diberikan oleh pelaku usaha di

dalam perjanjian tersebut menjadi undang-undang bukan perjanjian. Kedua,

mengemukakan paham bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian,


88

berdasarkan fiksi bahwa adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan

kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian tersebut.

Dengan konsumen menerima penawaran berarti konsumen secara sukarela

setuju pada isi perjanjian tersebut. Konsumen telah sepakat secara diam-diam/

takluk terhadap pelaku usaha dengan catatan takluknya ia dikarenakan itikad baik

dari pelaku ushaa demi terciptanya efisiensi dalam hubungan pelaku usaha dan

konsumen.

Sifat unilateral/sepihak dalam perjanjian baku membawa pada kenyataan

bahwa perjanjian ini belum dapat dianggap sebagai suatu kesepakatan yang

melahirkan perjanjian bagi yang membuatnya. Perjanjian baku dapat dikatakan

sebagai persetujuan (consent)70 dan bukan kesepakatan bilateral (bilateral

agreement) yang melahirkan perjanjian sebagai hukum yang mengikat

kedua belah pihak. Oleh karena sifat perjanjian ini telah melumpuhkan unsur

penting dalam membuat suatu perjanjian yaitu kesepakatan (konsensus). Dapatlah

dikatakan bahwa perjanjian baku termasuk dalam kategori persetujuan sukarela

dari pihak yang mengadakannya.

Perjanjian baku pada transaksi elektronik membawa akibat hukum

terhadap dua hal : Pertama, sifat perjanjian baku tersebut menempatkan pelaku

usaha dala posisi yang monopolis, sehingga konsumen tidak memiliki alternative

lain kecuali harus menerima dan tunduk pada substansi perjanjian. Kedua, pelaku

usaha mengambil keuntungan dari kondisi ini dengan cara mengalihkan seluruh

resiko yang timbul dari perjanjian kepada konsumen.

70
Imam Sjahputra, 2010, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, PT.Alumni,
Bandung, h.127
89

Berkaitan dengan pencantuman disclaimer dalam situs internet (website)

belum secara jelas diaur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia,

oleh karena itu memerlukan penafsiran. Setiap peraturan hukum itu bersifat

abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak

akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa

hukum yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat

diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode

untuk melakukan suatu penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai

Undang-undang agar ruang lingkup kaedah tersebut diterapkan kepada

peristiwanya. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam suatu perjanjian cukup jelas

kiranya tidak perlu dijelaskan. Bahwa penjelasan itu tidak boleh ditafsirkan

menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut “Sens Clair” tercantum

dalam pasal 1342 KUHPerdata : “Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas

maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.
90

BAB IV

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN BERKAITAN

DENGAN DICANTUMKANNYA DISCLAIMER OLEH PELAKU USAHA

4.1 Pelanggaran terhadap Hak Konsumen Berkaitan dengan Pencantuman

Disclaimer dalam Situs Internet (website)

Pada era globalisasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

khususnya dunia internet semakin pesat. Banyak kegiatan-kegiatan bisnis yang

berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang bermunculan. Kemajuan

teknologi sering kali disalahgunakan oleh beberapa pihak yang tidak bertanggung

jawab. Adanya interaksi atau hubungan satu sama lain diantara pihak-pihak yang

terlibat didalam banyaknya kepentingan bisnis berkaitan dengan dunia internet

tentu saja dimungkinkan terjadi permasalahan. Permasalahan terjadi apabila telah

merugikan kepentingan pihak lain sedangkan dalam posisi tersebut para pihak

membutuhkan rasa aman dalam melaksanakan kepentingannya agar dapat

melaksanakan segala kegiatan dengan tenang. Dalam menyongsong perdagangan

bebas permasalahan menyangkut perlindungan konsumen saat ini terjadi demikian

kompleksnya.71

Permasalahan yang terjadi didalam kegiatan bisnis di situs internet adalah

berkaitan dengan pelanggaran hak konsumen oleh karena kesadaran pihak pelaku

usaha untuk bertanggung jawab atas barang atau jasa yang diberikan kepada

konsumen masih kurang dan konsumen masih segan untuk memperjuangkan hak-

71
Sri Rejeki Hartono, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, h. 33
91

haknya. Ketidakberdayaan ini makin jelas dengan munculnya format perjanjian

yang dibakukan. Dalam suatu perjanjian selalu ada kebebasan berkontrak bagi

para pihak yang terlibat, dengan adanya perjanjian baku nampaknya asas

kebebasan berkontrak telah digerogoti. Konsumen hanya tinggal menerima atau

menolak (take it or leave it) atas perjanjian yang ditawarkan pelaku usaha. Secara

garis besar, dapat ditemukan beberapa permasalahan yang timbul berkenaan

dengan hak-hak konsumen, antara lain :

1. konsumen tidak dapat langsung mengidentifikasi, melihat atau menyentuh

barang yang akan dipesan;

2. ketidakjelasan informasi tentang produk (barang dan jasa) yang ditawarkan

dan/atau tidak ada kepastian apakah konsumentelah memperoleh berbagai

informasi yang laya diketahui atau yang sepatutnya dibutuhkan untuk

mengambil suatu keputusan dalam bertransaksi;

3. tidak jelasnya status subyek hukum dari si pelaku usaha;

4. tidak ada jaminan keamanan bertransaksi dan privasi serta penjelasan

terhadap resiko-resiko yang berkenaan dengan sistem yang digunakan,

khususnya dalam hal pembayaran secara elektronik baik dengan credit card

ataupun electronic cash;

5. pembebanan resiko yang tidak berimbang karena umumnya terhadap jual beli

di Internet, pembayaran telah lunas dilakukan dimuka oleh si konsumen,

sedangkan barang belum tentu diterima atau akan menyusul kemudan karena

jaminan yang ada adalah jaminan pengiriman barang bukan penerimaan

barang;
92

6. transaksi bersifat lintas batas Negara borderless menimbulkan pertanyaan

mengenai yursdiksi hukum Negara mana yang sepatutnya diberlakukan;

7. Kerugian yang diakibatkan oleh perilaku pelaku usaha yang memang secara

tidak bertanggung jawab merugikan konsumen;

8. Kerugian konsumen yang terjadi karena tindakan melawan hukum yang

dilakukan oleh pihak ketiga, sehingga konsumen disesatkan dan kemudian

dirugikan.

Pelaku Usaha merasa secara social, ekonomis, psikologis dan politis berada diatas

konsumen, walaupun konsumen mencari pelaku usaha lain tetap saja akan

menghadapi kondisi yang sama dan berhadapan dengan perjanjian yang

dibakukan. Pencantuman disclaimer di situs internet merupakan salah satu bagian

dari format klausula baku yang dicantumkan pelaku usaha. Salah satu karakter

klausula baku yang dicantumkan di situs internet dalam bentuk disclaimer

mengandung syarat eksonerasi yang mengalihkan tanggung jawab. Untuk

mengatakan suatu disclaimer sebagai suatu perjanjian standar yang berklausula

baku, terhadap disclaimer tersebut harus memenuhi unsur-unsur yang terdapat

dalam pengertian klausula baku yang dipenuhi oleh disclaimer :

1. Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat.

Dikatakan disclaimer memenuhi unsur ini karena disclaimer sendiri merupakan

aturan atau ketentuan dan syarat yang diajukan oleh pemilik situs internet yang

bersangkutan kepada pengguna akhir atau konsumen. Didalam isi disclaimer itu

sendiri kebanyakan terdapat aturan, ketentuan dan syarat yang harus diperhatikan

oleh pengguna, seperti suatu Term and Conditons (ketentuan dan syarat).
93

2. Dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku

usaha.

Ciri bahwa disclaimer telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh pelaku usaha dapat dilihat dalam bentuk atau format dan isinya serta

tampilan dalam layar yang tidak dapat diubah, dinegosiasikan dan sudah tercetak.

3. Dituangkan dalam suatu dokumen.

Disclaimer ditampilkan secara digital (digital printed) dalam layar, yang

merupakan suatu sistem elektronik yang didalamnya terdapat informasi

elektronik. Menurut Pasal 1 angka 5 Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik, Sistem Elektronik adalah serangkaian

perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan,

mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,

mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.

Sedangkan yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau

sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara,

gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik

(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,

Kode Akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau

dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminta (Pasal 1 angka 1 Undang-

undang No.11 Tahun 2008). Dalam hubungannya dengan dokumen digital ini,

merujuk pada pengertian dokumen (elektronik) menurut UU No.11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Elektronik dalam Pasal 1 angka 4, yaitu :


94

Dokumen Elektronik adalah setiap informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,

dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,

elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan,

dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, Kode Akses, symbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti

atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dengan demikian disclaimer merupakan suatu dokumen elektronik seperti

yang dimaksudkan pada pengertian di atas.

4. Pernyataan klausula eksonerasi dalam disclaimer.

Banyak ditemukan pelaku usaha yang menjual produknya melalui situs internet

membatasi dengan ketat atau melepaskan tanggung jawab mereka. Konsumen

yang masih awam yang membeli suatu produk dari pelaku usaha yang benar-benar

memiliki monopoli dalam harga produk mempunyai sedikit pilihan kecuali

menerima dan meyetujui syarat-syarat yang dibebankan kepadanya.

Bentuk kerugian konsumen yang kerap muncul akibat dari klausula

eksonerasi dalam transaksi elektronik antara lain (a) karena barang atau jasa yang

sudah dibeli tidak sampai ke tangan konsumen, (b) barang atau jasa yang sudah

dibeli ternyata tidak sesuai dengan promosi yang diberikan kepada konsumen, (c)

keterlambatan waktu pengiriman barang atau jasa yang sudah dibeli oleh

konsumen.

Dalam hal adanya pernyataan klausula eksonerasi yang tercantum

dalam disclaimer suatu website, dapat dilihat dalam pernyataan berikut ini :
95

1. Disclaimer dalam online shop Okley indonesia : Semua produk-produk yang

dijual adalah final. TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN ATAU DITUKAR

DENGAN UANG.

2. Disclaimer pada online shop : Nakimori menganggap anda telah mengerti,

memahami serta menyetujui segala sistem BARANG YANG SUDAH

DIBELI TIDAK DAPAT DITUKAR/DIKEMBALIKAN.

3. Disclaimer pada online shop software house : Software yang sudah dibeli

TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN DALAM BENTUK APAPUN.

4. Disclaimer pada online shop ponsel : Dengan memesan barang dari kami,

anda dianggap sudah membaca dan/atau menyetujui syarat-syarat ini

BARANG YANG TELAH DIBELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN

ATAU DITUKAR DENGAN BARANG LAIN.

5. Disclaimer pada situs berita online : menyebutkan disclaimer sebagai pasal

sanggahan yang bunyinya TIDAK BERTANGUNG JAWAB atas segala

kesalahan dan keterlambatan memperbarui data atau informasi atau segala

kerugian yang timbul karena tindakan yang berkaitan dengan data/informasi

yang disajikan.

6. Disclaimer pada Korean Online Shop yang dibuat oleh orang Indonesia,

menyebutkan BARANG TIDAK DAPAT DI RETUR DENGAN ALASAN

APAPUN DAN PEMBELI YANG MEMBATALKAN PESANANNYA

AKAN DIMASUKKAN DALAM DAFTAR HITAM

KONSUMEN/BLACKLIST.
96

Dari beberapa pernyataan klausula eksonerasi diatas dapat disimpulkan

bentuk klausula eksonerasi yang biasanya dicantumkan dalam suatu disclaimer

dalam website adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan pengalihan dan atau mengindarkan diri dari tanggung jawab,

bahwa pihak pelaku usaha yang memasarkan produknya melalui website tidak

bertanggung jawab atas kegagalan, kerusakan, kecacatan produk dan kerugian

yang diderita oleh konsumen selama memanfaatkan produk / informasi

tersebut. Sekalipun sebelumnya telah diberi tahu mengenai adanya

kemungkinan adanya kerugian tersebut dan juga apabila solusi yang

disediakan gagal memenuhi tujuan utamanya. Bahkan mengalihkan tanggung

jawab dengan menyatakan bahwa konsumen mengambil seluruh tanggung

jawab dan resiko atas pilihannya menggunakan produk / memperoleh

informasi yang bersangkutan. Hampir semua disclaimer memuat klausula

seperti ini. Setiap penyelenggara sistem elektronik seharusnya

menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta

bertanggung jawab terhadap beroperasinya sistem elektronik sebagaimana

mestinya dan penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap

penyelenggara sistem elektroniknya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

ayat (1) dan (2) Undang-undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

2. Menyatakan bahwa pelaku usaha menolak penyerahan kembali barang yang

dibeli oleh konsumen. Pada dasarnya dalam hal membeli produk seperti

software dan handphone konsumen juga telah membeli

keseluruhan perangkat yang disertakan termasuk jaminan dan layanan


97

(support) tetapi seringkali ditemukan pada pelaku usaha online menolak

penyerahan kembali oleh konsumen untuk memperoleh jaminan dan layanan.

Begitupula dengan produk yang dijual secara online lainnya seperti misalnya

produk sandang dan pangan, sebagian besar pelaku usaha ditemukan

mencantumkan klausula eksonerasi yang menyatakan produk yang sudah

dibeli tidak bisa dikembalikan.

Demikian pernyataan-pernyataan yang menunjukkan bahwa disclaimer

tersebut mengandung suatu klausula-klausula yang bersifat eksonerasi.

Keberadaan disclaimer juga dilihat lebih menguntungkan pihak pemilik situs

online shop selaku pelaku usaha, seperti contoh disclaimer korean online shop ,

Dimasukkannya seorang konsumen ke dalam daftar hitam artinya bahwa jika

konsumen ingin memesan barang lagi suatu hari nanti maka konsumen tersebut

tidak akan dilayani dan ditanggapi, hal tersebut tentu saja bertentangan juga

dengan Pasal 4 UUPK butir (c) yaitu hak atas informasi yang benar, jelas dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa dan butir (g) yaitu hak

diperlakukan secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif dan butir (h) yaitu

hak untuk medapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya.

Berkaitan juga dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (2) Undang-undang

Perlindungan Konsumen, yang menyatakan “Pelaku Usaha dilarang

mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak

dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti”. Dalam

disclaimer di situs internet terdapat beberapa masalah mengenai hal ini. Pertama,
98

mengenai letak daripada suatu disclaimer biasanya terletak pada bagian yang sulit

terlihat yaitu dibagian bawah situs yang dituliskan dengan ukuran font hurufnya

sedemikian kecil, jauh dibawah besar huruf yang normal digunakan surat kabar

atau buku-buku bacaan, sepert contoh dibawah ini :

Gambar 6.tampilan disclaimer website Indonesia pada bagian paling bawah

homepage
99

Gambar 7. tampilan disclaimer website singapura ( diatas homepage)

Oleh karena letak disclaimer sesuai yang terlihat dalam contoh gambar website

Indonesia seperti pada gambar diatas tentu saja akan sangat mudah untuk

mengecoh konsumen, tidak semua konsumen tanggap atas keberadaan disclaimer

tersebut padahal sebenarnya disclaimer tersebut patut diketahui oleh konsumen

terlebih dahulu sebelum konsumen membaca isi website dan juga sebelum

konsumen melakukan transaksi pembelian produk jika website itu adalah sebuat

penyedia layanan online shop. Namun demikian, seandainya huruf-hurufnya

sedemikian tebal dan terang tercetak (seperti dalam contoh gambar disclaimer

website singapura), hal tersebut tidak mengurangi makna bahwa konsumen

(pengguna akhir) tidak dalam posisi seimbang antara hak-hak dan kewajibannya

dengan pelaku usaha. Kondisi take it or leave it adalah karakteristik nyata sejak

konsumen memutuskan untuk memanfaatkan transaksi melalui internet.


100

Selain letak atau bentuknya yang sulit terlihat, masalah yang kedua yang

bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (2) UUPK adalah mengenai

pengungkapannya dari disclaimer yang menggunakan bahasa asing (bahasa

inggris), tentunya jika konsumen internet yang tidak mengerti maksud dari isi

disclaimer yang bersangkutan, akibatnya konsumen tidak akan mengetahui apa

yang menjadi hak dan kewajibannya serta pembatasan-pembatasan yang boleh

dan tidak boleh dilakukan dalam memanfaatkan produk yang mereka beli dari

pelaku usaha yang memasarkan produknya di dunia maya. Sebagian disclaimer

juga ada menggunakan bahasa Indonesia, tetapi hal tersebut pun tidak menjamin

bahwa konsumen akan mengerti isi dari pada disclaimer tersebut karena

kebanyakan susunan kata-kata yang digunakan sulit untuk dimengerti.

4.2 Tanggung jawab Pelaku Usaha terhadap Konsumen Berkaitan dengan

Pencantuman Disclaimer Menurut Perspektif Hukum Indonesia

Di dalam hukum perlindungan konsumen konsep tanggung jawab merupakan

bagian dari konsep kewajiban hukum yang sangat penting. Dari beberapa sumber

hukum formal, seperti peraturan perundang-undangan dan klausula eksonerasi

dalam situs internet sering memberikan pembatasan-pembatasan tanggung jawab

yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen.

Dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,

mengenai tanggung jawab pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 yang bunyinya :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atau kerusakan

pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan;


101

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian

uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara

nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 ( tujuh ) hari

setelah tanggal transaksi;

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasatkan pembuktian

lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku

apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan

kesalahan konsumen.

Beberapa prinsip-prinsip tanggung jawab yang berkaitan dengan kegiatan pelaku

usaha selaku penyelenggara transaksi elektronik adalah :72

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability / liability

based on fault)

Prinsip ini diterapkan dalam beberapa ketentuan dalam Kitab Undang- Undang

Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu pada pasal 1365, 1366, 1367 KUH Perdata.

Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan

perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan

orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang

72
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen : Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab
Mutlak, Universitas Indonesia, Jakarta, h. 71-80.
102

yang berada dibawah pengawasannya. Asas tanggung jawab ini dapat diterima

karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi

pihak konsumen yang dalam hal ini menjadi korban.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability

principle)

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

sampai konsumen dapat membuktikan dirinya tidak bersalah. Jadi, beban

pembuktian ada pada si tergugat. Terlihat adanya penerimaan atas beban

pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) yang jika diterapkan dalam kasus

konsumen akan tampak bahwa asas ini sangan membantu konsumen pada saat

berhadapan dengan pelaku usaha dalam sengketa hukum.73 Prinsip ini merupakan

asas pembuktian terbalik yang sangat membantu dalam kasus konsumen dimana

pembuktian ada pada pelaku usaha. Dalam ketentuan pasal 19, 22, 23 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menegaskan bahwa beban pembuktian (ada tidaknya kesalahan) merupakan

tanggung jawab pelaku usaha.

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non-

liability)

Prinsip ini adalah kebalikan daripada prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak

selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang

sangat terbatas dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat

73
Edmon Makarim, Op.cit. h.370-371
103

dibenarkan.74 Misalnya pada kejadian pelaku usaha yang memiliki usaha pabrik

didekat wilayah sungai, kemudian pihak tertentu yang tinggal disekitar

wilayah sungai tersenut mengalami sakit karena mengkonsumsi air sungai untuk

kebutuhan sehari-harinya. Hal ini belum tentu menjadi kesalahan pelaku usaha

pemilik pabrik bisa saja pihak warga tidak menerapkan hidup sehat dengan

mengkonsumsi air sungai tanpa memasaknya dengan baik terlebih dahulu

sehingga airnya tidak higienis dan mengandung kuman penyakit.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)

Strict liability dapat diberikan dari pelaku usaha atas kerugian yang dialami

konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.75 Prinsip tanggung

jawab produk lebih kepada tanggung jawab produsen (pabrik atau manufactures)

dan pemasok-pemasok (supplier) secara bersama-sama atau kelompok terhadap

kerugian yang ditimbulkan oleh barang yang cacat (defective products) atas

kerugian yang diderita konsumen. Prinsip ini menyatakan bahwa pelaku usaha

harus secara mutlak bertanggung jawab atas produknya. Prinsip tanggung jawab

ini menetapkan bahwa suatu tindakan dapat dihukum atas dasar prilaku berbahaya

yang merugikan (harmful conduct), tanpa mempersoalkan ada tidaknya

kesengajaan (intention) atau kelalaian (negligence). Jadi kesalahan bukan sebagai

faktor yang menentukan, namun adanya pengecualian-pengecualian yang

memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya adanya force

majeure. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen belum mengatur

prinsip strict liability. Pada pasal 28, pembuktian ada atau tidaknya unsur

74
Ibid
75
Chatamarrasjid Ais, 2004, Penerobosan Cadar Perusahaan dan Soal-soal Aktual Hukum
Perusahaan, PT.Citra Aditya Bakti Bandung, h.179
104

kesalahan merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha. Jadi dapat dikatakan

bahwa pembuktian terbalik terbatas pada unsur kesalahan , sedangkan

pertanggungjawaban hukum (pertanggungjawaban perdata) mencakup termasuk

unsur hubungan sebab akibat (causal link), sehingga perlu dibuktikan kerugian

yang ditanggung konsumen karena diakibatkan oleh barang atau jasa yang

dihasilkan pelaku usaha disamping unsur kesalahan tersebut.

5. Prinsip tanggung jawab dengan batasan (limitation of liability)

Prinsip yang sangat menguntungkan pelaku usaha karena para pelaku usaha dapat

dengan bebas untuk membatasi beban tanggung jawab yang seharusnya

ditanggung. Dalam perjanjian baku, klausula ini disebut klausula eksonerasi.

Namun dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen prinsip ini dilarang pada

pasal 18 ayat 1 yang menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang untuk

mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang mengatur pernyataan

pengalihan tanggung jawab pelaku usaha maupun agar konsumen tunduk pada

peraturan baru, tambahan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh

pelaku usaha.

6. Prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi (breach of warranty)

Prinsip ini menerapkan bahwa tanggung jawab dari pelaku usaha adalah mutlak

(strict obligation), kewajiban didasarkan pada upaya yang telah dilakukan pelaku

usaha untuk memenuhi tanggung jawabnya berdasarkan kontrak (contractual

liability). Dalam hal terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara

pelaku usaha dengan konsumen mengenai barang dan/atau jasa, tanggung jawab
105

pelaku usaha di sini didasarkan pada Contractual Liability (pertanggungjawaban

kontraktual).

Dari perkembangan tanggung jawab produk dibeberapa negara, tanggung jawab

produk merupakan lembaga hukum yang menggunakan konstruksi hukum

perbuatan melawan hukum (tort) dengan beberapa modifikasi, yaitu sebagai

berikut:76

a) Pelaku usaha langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability

sehingga dianutlah prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan.

b) Karena pelaku usaha dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus

bertanggung jawab untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak

konsumen yang menderita kerugian (strict liability).

c) Karena pelaku usaha sudah dianggap bersalah, konsumen yang menjadi

korban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan pelaku usaha. Berbeda

dengan konstruksi dalam tort yang mengharuskan pihak konsumen untuk

membuktikan kesalahan pelaku usaha (unsur pembuktian terbalik).

Meskipun dalam bentuk tanggung jawab dapat bersifat kontraktual

(perjanjian) ataupun berdasarkan undang-undang (gugatannya berdasarkan

perbuatan melawan hukum), namun demikian dalam tanggung jawab produk,

penekanannya ada pada yang terakhir (tortious liability). Jadi, pihak konsumen

masih harus membuktikan ketiga unsur lainnya, yaitu adanya perbuatan melawan

hukum, telah timbul kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan

hukum dengan kerugian yang timbul.


76
Johanes Gunawan, 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia Tahun
XXI Nomor 2, April 1994, h.
106

Menurut Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) para pihak yang menyelenggarakan transaksi

elektronik dalam lingkup publik atau pun privat yang melakukan transaksi

elektronik wajib beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran

Informasi Elektronik dan/atau dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung

(Pasal 17 UU ITE). Pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum

dalam pelaksanaan Transaksi Elektronik baik sendiri, melalui pihak yang

dikuasakan olehnya atau melalui agen elektronik diatur dalam Pasal 21 ayat 2

huruf a,b,c UU ITE yang bunyinya sebagai berikut :

a. Jika dilakukan sendiri, segala akibat hukum dalam pelaksanaan Transaksi

Elektronik menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;

b. Jika dilakukan melalui pemberian kuasa, segala akibat hukum dalam

pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab pemberi kuasa;

atau

c. Jika dilakukan melalui agen elektronik, segala akibat hukum dalam

pelaksanaan Transaksi Elektronik menjadi tanggung jawab penyelenggara

agen elektronik.

Dalam penerapan prinsip tanggung jawab pelaku usaha harus sangat selektif

sehingga tidak merugikan stakeholders terkait, karena dalam hal tanggung jawab

pelaku usaha ini berkaitan erat dengan stakeholder theory . Perusahaan tidak

hanya sekedar bertanggungjawab terhadap pemilik (shareholder) namun menjadi

lebih luas ke ranah kemasyarakatan (stakeholder). Stakeholder theory yang

menyatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk


107

kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholder-nya

(shareholders, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan

pihak lain).

Keberadaan suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh dukungan yang

diberikan oleh stakeholder kepada perusahaan tersebut. Kelangsungan hidup

suatu perusahaan bergantung pada dukungan stakeholder dan dukungan tersebut

harus dicari sehingga aktivitas perusahaan adalah untuk mencari dukungan

tersebut. Makin banyak dan kuat stakeholder, makin besar usaha perusahaan

tersebut untuk beradaptasi. Tanggung jawab sosial perusahaan yang berdasarkam

stakeholder theory berkaitan langsung dengan perbaikan kondisi sosial ekonomi

yang semakin sejahtera, adil dan merata. Di dalam pelaksanaan kegiatan bisnis di

internet secara online tentu saja konsumen sebagai stakeholder harus diperhatikan

oleh pelaku usaha yang memasarkan produknya melalui situs internet (website).

Hal ini diperlukan agar kegiatan bisnis elektronik dapat dibangun berdasarkan

konsep kebermanfaatan yang saling menguntungkan dan adil.

4.3 Perlindungan Konsumen dalam Kaitannya dengan Pencantuman

Disclaimer dalam Situs Internet (website) oleh Pelaku Usaha

Suatu stabilitas sosial yang akan menunjang kegiatan bisnis akan tercipta

jika suatu keadilan terwujud. Dalam hal ini berkaitan dengan teori keadilan,

dimana keadilan merupakan sebuah kebutuhan mutlak bagi setiap manusia di

dunia dan menjadi salah satu topik penting dalam etika bisnis. Keadilan

merupakan lawannya kebohongan dan kecurangan. Segala sesuatu perbuatan

yang tidak baik dan tidak jujur sangat berseberangan dengan keadilan.
108

Berdasarkan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang

adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Tidak lengkap jika suatu

keadilan tidak diikuti dengan adanya hukum. Menurut teori keadilan yang

dikemukakan Adam Smith salah satunya terdapat prinsip No Harm yang

merupakan prinsip tidak merugikan orang lain, khususnya tidak merugikan hak

dan kepentingan orang lain. Dalam bisnis, tidak boleh ada pihak yang dirugikan

hak dan kepentingannya, baik sebagai konsumen, pelaku usaha, karyawan,

investor, maupun masyarakat luas.

Hal tersebut berarti bahwa semua orang harus dilindungi dan tunduk pada

hukum yang ada. Seluruh masyarakat dijamin untuk memperoleh perlakukan yang

sama, sesuai dengan hukum yang berlaku. Hukum sebagai kaedah yang berfungsi

untuk melindungi hak-hak yang dimiliki masyarakat termasuk hak kebendaannya.

Untuk melindungi hak-hak masyarakat tentu saja dibutuhkan suatu upaya melalui

perlindungan hukum.

Apabila dilihat dari aspek ekonomi perusahaan, selama ini sebagian besar

perusahaan masih menganut doktrin ekonomi klasik yaitu “maximization profit” ,

sebagaimana dinyatakan oleh Adam Smith yang menegaskan bahwa “tujuan

utama dari perusahaan adalah menekan biaya serendah mungkin dan

meningkatkan efisiensi setinggi mungkin demi memaksimalkan laba”. Di era

global dan pasar bebas , doktrin tersebut sudah usang, sehingga dibutuhkan

paradigm baru dalam berusaha yaitu bagaimana perusahaan mampu menciptakan

“positive image” terhadap stakeholders-nya. Salah satu cara adalah dengan

menerapkan prinsip-prinsip CSR (Coorporate Social Responsibility/ tanggung


109

jawab sosial) dalam aktivitas dunia usaha sebagai bagian dari penerapan prinsip

tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance, selanjutnya

disingkat GCG).

Terdapat empat prinsip dasar dari GCG yaitu fairness, transparency,

accountability dan responsibility. CSR sendiri merupakan penerapan dari prinsip

pertanggungjawaban (responsibility). Keempat prinsip GCG tersebut dijabarkan

oleh Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI) sebagai berikut :77

1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses

pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi

materiil dan relevan mengenai perusahaan;

2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan

pertanggungjawaban Manajemen perusahaan sehingga pengelolaan

Perusahaan terlaksana secara efektif ;

3. Responsibilitas (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan

perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;

4. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-

hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Dalam memberikan perlindungan hukum bagi konsumen dalam situs

internet (website) dapat disesuaikan dengan keempat prinsip GCG tersebut, yang

terpenting berkaitan dengan pencantuman disclaimer website adalah prinsip

kewajaran (fairness). Berdasarkan prinsip kewajaran tersebut harus dilindungi dan

77
Busyra Azheri, Op.cit, h.12
110

dipenuhi. Oleh karena itu pencantuman syarat-syarat baku yang sepihak dalam

bentuk disclaimer harus disesuaikan dengan hak-hak konsumen sebagai

stakeholder dari pelaku usaha yang menjalankan usahanya dengan media situs

internet (website) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar

tercipta keadilan dan keseimbangan bagi masing-masing pihak (konsumen dan

pelaku usaha). Perlindungan tidak hanya berdasarkan pada hukum tertulis tetapi

juga hukum tidak tertulis dengan harapan ada jaminan terhadap benda yang

dimiliki dalam menjalankan hak dan kewajiban.78

Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum bagi konsumen internet

tersebut, menurut Philipus M.Hadjon bahwa dapat diuraikan menurut jenis

perlindungan hukum ada 2 bentuk yaitu :79

1. Perlindungan Hukum Preventif

Perlindungan hukum secara preventif diberikan oleh pemerintah yang

bertujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat di

dalam peraturan perundang-undangan dengan tujuan untuk mencegah pelanggaran

yang dilakukan oleh pelaku usaha dan dapat memberikan aturan-aturan sebagai

batasan kepada pelaku usaha dalam melakukan kewajibannya. Permasalahan

pencantuman disclaimer yang isinya sebagian besar membebaskan pelaku usaha

internet dari tanggung jawab yang termasuk dalam klausula eksonerasi tentu saja

semakin memperlemah posisi konsumen. Disini nampak jelas terdapat

ketimpangan posisi konsumen dengan pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya

78
Jimly Asshiddiqie, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuatan Legislatif Eksekutif,
Universitas Indonesia, Jakarta, h.97
79
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Percetakan M2 Print,
Edisi Khusus, Surabaya, h.2
111

di internet. Perlindungan preventif dalam hal pencantuman disclaimer ini

berfungsi untuk mencegah agar konsumen berada dipihak yang lemah dan tidak

semata-mata dirugikan. Bentuk perlindungan hukum secara preventif bagi

konsumen internet dapat sebaiknya diwujudkan dengan pengaturan mengenai

kriteria-kriteria isi dari disclaimer yang berbentuk perjanjian baku dalam suatu

situs internet agar konsumen sebagai pengguna internet dapat terlindungi dan

juga mengenai letak pencantuman disclaimer juga perlu diperhitungkan dengan

menampilkan di halaman utama dari website sehingga disadari keberadaan

daripada disclaimer tersebut oleh konsumen sebelum memutuskan utuk membaca

substansi situs dan melakukan transaksi barang dan/atau jasa.

Dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi elektronik diatur dalam BAB III mengenai Informasi, dokumen dan

tanda terima elektronik yaitu dalam mengatur mengenai kewajiban pelaku usaha

dalam menawarkan produknya melalui sistem elektronik (dalam hal ini internet)

harus menyediakan secara lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak,

produsen dan produk yang ditawarkan (Pasal 9 UU ITE). Selanjutnya, setiap

pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh

Lembaga Sertifikasi Keandalan (Pasal 10 UU ITE).

Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) ini diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi

Elektronik (PP PSTE). Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) adalah lembaga

independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi

oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan

Sertifikat Keandalan dalam Transaksi Elektronik (Pasal 1 angka 24 PP PSTE). Di


112

Indonesia secara formal belum ada satupun LSK yang diakui dan disahkan oleh

pemerintah. Beberapa contoh LSK asing yang telah ada secara resmi adalah

GeoTrust, Hacker Safe, Trust Guard, VerySign, McAfee Secure dan Trustweb.

Tentu saja jika LSK ini terwujud dan sistem transaksi elektronik di dunia maya

(cyberspace) tetap diawasi dengan jujur, maka konsumen akan merasa lebih

tenang untuk memanfaatkan dunia internet untuk bertransaksi dan mencari

informasi. Selanjutnya dalam Bab VII UU ITE juga diatur mengenai perbuatan

yang dilarang berkaitan dengan larangan daripada muatan yang ada didalam suatu

situs internet yaitu berkaitan dengan aktivitas informasi dan transaksi elektronik di

media internet antara lain setiap orang dilarang dengan sengaja menyebarkan

berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam

Transaksi Elektronik (Pasal 28 UU ITE).

Dalam lingkup ruang dunia maya (cyberspace), negara-negara yang

tergabung dalam ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan

Indonesia telah memiliki formulasi kebijakan tersendiri yang mengatur transaksi

melalui media elektronik. Diantara negara-negara tersebut, Singapura sebagai

Negara maju di Asia Tenggara memiliki visi untuk menjadi Pusat E-commerce

Internasional ( International Electronic Commerce Hub), yaitu negara dimana

seluruh transaksi perdagangan elektronik regional maupun internasional diproses.

The Electronic Transaction Act 1998 merupakan Undang-undang khusus di

singapura yang mengatur mengenai transaksi elektronik. Singapura memiliki

perangkat regulasi mengenai kegiatan transaksi elektronik yang lengkap dan

memadai. Sementara itu, dengan bekal 237 juta penduduknya, Indonesia menjadi

negara Asia Tenggara yang diproyeksi memiliki prospek menjanjikan dalam


113

bidang perdagangan melalui internet. Salah satu indikatornya ialah melalui

belanja di internet yang pertumbuhannya mencapai 200% dari tahun ke tahunnya.

Tetapi sangat disayangkan aturan mengenai transaksi elektronik di Indonesia

belum selengkap dan sememadai Singapura.

Sebagai perbandingan dengan Negara tetangga, pada tahun 1999 di

Singapura didirikan sebuah organisasi nonprofit oleh CommerceNet Singapore

yang dikenal sebagai CASE (Consumers Association of Singapore). CASE

memiliki tujuan untuk memberikan informasi, edukasi perlindungan bagi

konsumen dan juga memberikan nasihat jika konsumen mengalami

permasalahan dan membantu konsumen untuk melakukan klaim kepada pelaku

usaha secara online. Di Singapura juga dikenal adanya Case Trust 80


yang

merupakan sistem untuk melindungi konsumen dalam transaksi perdagangan

dengan tatap muka dan konsumen dalam transaksi melalui website. Selain alat-

alat teknologi yang dikembangkan untuk menciptakan keamanan dalam

bertransaksi diperlukan pula pembentukkan lembaga dan mekanisme hukum

untuk mendukung perkembangan transaksi melalui internet. Case Trust juga

bertujuan untuk meyakinkan konsumen bahwa pelaku usaha akan mematuhi

peraturan yang dikeluarkan oleh organisasi perdagangan tersebut dan memberikan

hak kepada pelaku usaha untuk menggunakan cap yang di singapura dikenal

sebagai „trustmark”. Untuk perdagangan dengan tatap muka akan

dikeluarkan “physical certification” sedangkan untuk perdagangan melalui

internet akan dikeluarkan “web certification”.

80
Assafa Endeshaw, 2007 ,Hukum E-Commerce dan Internet dengan focus di Asia Pasifik,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h.50
114

Case Trust menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh

pelaku usaha yang memasarkan produknya secara elektronik. Pelaku usaha online

harus mencantumkan sistem pemesanan online kepada konsumen. Dalam sistem

tersebut harus pula mancantumkan informasi yang terperinci tentang produk yang

dipasarkan. Cara ini ditempuh agar konsumen dapat melakukan transaksi secara

efisien tanpa mengalami kesulitan.Untuk pelaku usaha online Case Trust

menerbitkan satu jenis akreditasi yang disebut Case Trust Basic. Agar dapat

memperoleh akreditasi tersebut pelaku usaha pemohon harus lolos uji penilaian

(pass assessment) yang dilakukan oleh Case Trust. 81


Jika pelaku usaha online

berhasil lolos dari tahap uji penilaian tersebut , maka berhak memperoleh stempel

atau logo TrustSg sebagai tanda keandalan sehingga konsumen dapat yakin bahwa

konsumen berbelanja ditempat yang benar. Jangka waktu keanggotaan akredtasi

adalah 4 (empat) tahun, tetapi harus diperbarui setiap tahunnya.

Di Indonesia, seleksi terhadap pelaku usaha online sangat penting dilakukan

untuk transaksi melalui internet agar hak-hak konsumen dilindungi khususnya

untuk menghindari adanya pelaku usaha online yang palsu, fiktif dan juga agar

lebih menjamin agar barang yang dikirim ke konsumen sesuai dengan spesifikasi

yang ditawarkan melalui internet. Undang-undang No. 11 tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik telah mengatur bahwa pemerintah atau

masyarakat dapat membentuk lembaga sertifikasi keandalan yang berfungsi

memberikan sertifikasi terhadap pelaku usaha dan produk yang ditawarkannya

secara elektronik (Pasal 10 ayat 1). Sertifikasi keandalan tersebut dapat sebagai

81
CaseTrust Be Sure, 2008, CaseTrust Accreditation Scheme, Information & Application Kit-
Webfront, CaseTrust Departement, diakses dari URL : http://www.case.org.sg, pada tanggal 29
November 2013, h.9-10
115

bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak

melakukan usahanya setelah melalui penilaian dan audit dari suatu badan yang

berwenang. Telah dilakukannya sertifikasi keandalan atas sebuah website tersebut

ditunjukkan dengan adanya logo sertifikasi berupa trust mark pada home page

pelaku usaha tersebut.

2. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif adalah perlindungan hukum yang bertujuan untuk

menyelesaikan suatu sengketa yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat akibat

perbedaan kepentingan. Bentuk perlindungan hukum represif untuk para pihak,

baik pemilik situs sebagai pelaku usaha maupun konsumen. Pola penyelesaian

sengketa dapat dibagi menjadi dua, yaitu melalui jalur Pengadilan (Litigasi) dan

melalui jalur penyelesaian sengketa di luar Pengadilan / Alternatif penyelesaian

sengketa (non litigasi).

1. Melalui jalur Litigasi

a. Berdasarkan Undang-undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE)

Sebagai bentuk perlindungan hukum yang diberikan pemerintah dalam hal

pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan

pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman

dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.

Perlindungan dalam hukum diperlukan pada setiap perbuatan yang

merugikan pihak lainnya harus bertanggung jawab degan membayar ganti rugi /
116

kompensasi.82 UU ITE memuat sanksi yang diberlakukan kepada penyelenggara

sistem elektronik (pemanfaatan sistem elektronik oleh penyelenggara Negara,

orang, badan usaha, dan/atau masyarakat) pada bab VIII Pasal 38 dan 39 UU ITE

yaitu dalam Pasal 38 ayat (1) menyatakan :

“setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelanggarakan

sistem elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan

kerugian”.

Dapat diartikan bahwa setiap orang tersebut sebagai konsumen internet

yang mengalami kerugian dapat mengajukan gugatan terhadap peyelenggara

sistem elektronik yaitu pelaku usaha yang memiliki situs internet sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Jika yang dirugikan adalah masyarakat sesuai

Pasal 38 ayat UU ITE juga memperbolehkan untuk diadakannya gugatan secara

perwakilan terhadap pihak penyelenggara sistem elektronik yang berakibat

merugikan masyarakat. Dalam Pasal 45 UU ITE memberikan ancaman pidana

paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu

miliar rupiah) terhadap setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (1)

mengenai penyebaran berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan

kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.

Sejak diberlakukannya UU ITE, untuk website yang isinya mengenai

opini, berita, diskusi dan lain sebagaunya harus menyesuaikan dengan aturan

yang ada dalam UU ITE, pemilik situs internet yang dianggap menghina orang

atau institusi dapat dijerat dengan Pasal 27 UU ITE tentang Pencemaran nama

82
Huala Adolf, 2002, Apek-aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III, Rajawali Pers,
Jakarta, h.87
117

baik melalui media elektronik. Pelaku dapat terkena hukuman penjara selama

enam tahun dan denda maksimal satu miliar rupiah. Dengan adanya Pasal 27 UU

ITE ini tentu saja harus kebih diperhatikan oleh pemilik situs yang tidak bisa

kabur dari tanggungjawab hanya dengan mencantumkan disclaimer yang

menyatakan tidak bertanggung jawab atas keakuratan isi website-nya.83

Tahap-tahap penyidikan terhadap kasus pidana yang berkaitan dengan

transaksi elektronik juga diatur dalam pada pasal 43 UU ITE, Penyidaikan dapat

dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan

tanggung jawabnya di bidang Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dalam Pasal 43 ayat (5) diatur mengenai wewenang penyidik yang diantaranya

adalah :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak

pidana berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini;

b. memanggil setiap barang atau pihak lainnya untuk didengar dan/atau

diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan

tindak pidana di bidang terkait dengan ketentuan Undang- Undang ini;

c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan

dengan tindak pidana berdasarkan ketentuan Undang- Undang ini;

d. melakukan pemeriksaan terhadap Orang dan/atau Badan Usaha yang patut

diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;

83
Merry Magdalena, 2009, UU ITE : don‟t be the next victim, PT.Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, h.29
118

e. melakukan pemeriksaan terhadap alat dan/atau sarana yang berkaitan

dengan kegiatan Teknologi Informasi yang diduga digunakan untuk

melakukan tindak pidana berdasarkan Undang-Undang ini;

f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan

sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana berdasarkan ketentuan

Undang-Undang ini;

g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan

Teknologi Informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari

ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak

pidana berdasarkan Undang-Undang ini; dan/atau

i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana berdasarkan Undang-

Undang ini sesuai' dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.

j. Dalam hal melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik melalui

penuntut umum wajib meminta penetapan ketua pengadilan negeri setempat

dalam waktu satu kali dua puluh empat jam.

k. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berkoordinasi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia

memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasilnya kepada

penuntut umum.
119

l. Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi

Elektronik, penyidik dapat bekerja sama dengan penyidik negara lain untuk

berbagi informasi dan alat bukti.

Jika dibandingan dengan Negara Inggris, menurut Unfair Terms in Consumer

Contracts Regulations, lembaga pemerintah semacam lembaga perdagangan

berwenang untuk mengentikan bisnis atau kegiatan usaha apabila penggunaan

unfair terms telah digunakan sebagai kebiasaan pelaku usaha dalam menjalankan

usahanya. Sedangkan di Indonesia sanksi seperti ini tidak ada. Peraturan

perundang-undangan di Indonesia tidak mengatur penggunaan sanksi berupa

penutupan kegitan usaha apabila ada pelaku usaha yang menggunakan klausula

baku seperti yang ada dalam disclaimer suatu website.

b. Secara Perdata

Jenis-jenis gugatan yang lazim diajukan di Peradilan Umum yaitu gugatan

wanprestasi dan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Gugatan

wanprestasi dan PMH terdapat perbedaan prinsip yaitu:

1. Gugatan wanprestasi (ingkar janji)

Ditinjau dari sumber hukumnya, wanprestasi menurut Pasal 1243 Kitab Undang-

undang Hukum Perdata timbul dari perjanjian (agreement). Oleh karena itu,

wanprestasi tidak mungkin timbul tanpa adanya perjanjian yang dibuat terlebih

dahulu diantara para pihak. Hak menuntut ganti kerugian karena wanprestasi

timbul dari Pasal 1243 KUHPerdata, yang pada prinsipnya membutuhkan

penyataan lalai dengan surat peringatan (somasi). KUHPerdata juga telah


120

mengatur tentang jangka waktu perhitungan ganti kerugian yang dapat dituntut,

serta jenis dan jumlah ganti kerugian yang dapat dituntut dalam wanprestasi.

2. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum

Menurut Pasal 1365 KUH Perdata, PMH timbul karena perbuatan

seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang lain. Hak menuntut ganti

kerugian karena PMH tidak perlu somasi. Apabila terjadi PMH, pihak yang

dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi tersebut. KUH

Perdata tidak mengatur bagaimana bentuk dan rincian ganti rugi. Dengan

demikian, bisa digugat ganti kerugian yang nyata-nyata diderita dan dapat

diperhitungkan (material) dan kerugian yang tidak dapat dinilai dengan uang

(immaterial).

Perlindungan hukum secara perdata untuk melindungi hak konsumen

dalam kaitannya dengan pencantuman klausula baku yang dilarang oleh undang-

undang. Hukum Indonesia yang menjadi dasar hukum tata cara pengajuan

gugatan yaitu berdasarkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), yaitu

gugatan ganti rugi karena adanya suatu Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang

mengakibatkan kerugian pada orang lain. Untuk dapat menuntut ganti rugi

berdasarkan PMH, maka unsur yang harus dipenuhi adalah:

1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud perbuatan ini baik yang

bersifat positif maupun bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku

berbuat atau tidak berbuat;


121

2. Perbuatan tersebut harus melawan hukum. Istilah Melawan Hukum

telah diartikan secara luas, yaitu tidak hanya melanggar peraturan

perundang- undangan tetapi juga dapat berupa:

1. Melanggar hak orang lain.

2.

3. Bertentangan dengan kesusilaan.

4. Bertentangan dengan kepentingan umum.

5. Adanya kesalahan;

6. Ada kerugian, baik materil maupun immaterial;

7. Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan ,melawan

hukum tersebut dengan kerugian.

c. Secara Pidana

Perlindungan secara pidana dari adanya penipuan yang dilakukan oleh

pelaku usaha/ pemilik website juga dapat dikenakan sanksi pidana jika terbukti

adanya penipuan tersebut sesuai pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP). Penipuan secara online pada prinsipnya sama dengan penipuan

konvensional, yang membedakan hanyalah pada sarana perbuatannya yakni

menggunakan Sistem Elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi).

Dengan sanksi pidana diharapkan pelaku jera dan terjadi keseimbangan hukum

karena pelaku diberikan sanksi. Sanksi pidana sangat diperlukan, tetapi harus
122

diikuti peraturan-peraturan lain yang efektif untuk mengatur kegiatan ekonomi. 84

Tindak pidana penipuan berdasarkan Pasal 378 KUHP yang berbunyi :

“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat

(hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau

supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena

penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

Kepolisian Republik Indonesia (Polri), khususnya Unit Cyber Crime, telah

memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkait

Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional

yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of

Investigation (FBI) di Amerika Serikat. Oleh karena terdapat banyak perbedaan

antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam

proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli

digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri.

Mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:

1. Proses Acquiring dan Imaging

Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses

Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat

dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik

84
Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global & Kebijakan Hukum Pidana, PT.Alumni, Bandung,
h. 162.
123

dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti

digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.

2. Melakukan Analisis

Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk

menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di- enkripsi,

dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti digital

tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya

dibawa ke pengadilan. Menurut teori yang berlaku di Amerika Serikat dalam

menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindakan cyber crime

yaitu :85

a. Theory of The Uploader and the Downloader, teori ini menekankan bahwa

dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang

memberikan informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang

mengakses informasi)

b. Theory of Law of the Server, dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan

server di mana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau

disimpan sebagai data elektronik.

c. Theory of International Space, menurut teori ini, cyber space dianggap

sebagai suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional

di mana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama.

85
Radian Adi , 2012, Cara pembuktian Cyber Crime menurut Hukum Indonesia, diakses dari URL
: http://www.hukumonline.com pada tanggal 29 November 2013.
124

Dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara suatu tindakan

cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang

berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu

sistem komputer. Aparat Penegak Hukum di Indonesia saat ini memiliki kendala

dalam penyelidikan maupun penyidikan kasus-kasus penipuan (fraud) secara

online. Kendala tersebut terkadang bersifat teknis, keterbatasan sumber daya,

maupun kesulitan mengidentifikasi pelaku yang berada di luar wilayah Indonesia.

Saat ini, kasus penipuan (fraud) secara online merupakan salah satu kasus

terbanyak dalam cyber crime yang dilaporkan di Indonesia. Langkah yang

biasanya dilakukan oleh penyidik adalah berkoordinasi dengan aparat penegak

hukum negara setempat. Dalam hal penyidikan dilakukan oleh penyidik

Indonesia, maka penyidik melalui Interpol akan meminta bantuan kepada aparat

setempat dalam proses penyidikan.

Sebagai contoh penanganan pengaduan (complaint) pada Serious Fraud

Office (SFO) di Inggris didasarkan pada kriteria kecukupan informasi (suffecient

information) yang diperoleh dari laporan maupun klarifikasi pelapor. Jika laporan

memenuhi kriteria kecukupan informasi untuk ditindaklanjuti, maka laporan

tersebut akan ditangani sesuai prosedur SFO. Jika laporan mengarah pada

kriminal, SFO akan menunjuk reviewer independen yang berasal dari luar SFO

untuk melakukan investigasi. Jika memungkinkan dilakukan di luar jalur pidana,

SFO akan mengusahakan penyelesaian secara informal. Apabila cara tersebut

tidak memuaskan pelapor, pengaduan tersebut akan diteruskan kepada Kejaksaan

(the Attorney General's Office /AGO). Lamanya waktu respon atas pengaduan

tergantung jenis pengaduan, jika yang berkaitan dengan dugaan kriminal dan
125

ditangani oleh reviewer independen, maka waktu respon yang dibutuhkan adalah

40 (empat puluh) hari setelah surat pengaduan diterima. Meski demikian, dalam

praktiknya mungkin saja terdapat kendala teknis maupun non teknis untuk

menindaklanjuti suatu laporan/pengaduan.

d. Penggabungan sanksi pidana dan perdata

Pengertian ganti rugi dari sudut pandang hukum pidana dan hukum perdata.

Dalam hukum pidana, makna ganti rugi dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 22

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana / Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang isinya:

“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya

yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun

diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan

mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini.”

Dalam Hukum Perdata tidak memberikan definisi tegas mengenai arti

ganti rugi, namun Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) menjelaskan ganti kerugian sebagai berikut:

“Penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,

barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi

perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau

dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah

dilampaukannya”
126

Berdasarkan kedua pasal mengenai ganti kerugian tersebut diatas, maka

jelas bahwa hukum pidana mengarahkan ganti kerugian untuk kepentingan

tersangka. Sedangkan hukum perdata mengarahkan ganti kerugian untuk

kepentingan pihak yang dirugikan atas terjadinya tindakan melawan hukum atau

ingkar janji. Berkaitan dengan konsumen yang hendak mengajukan ganti kerugian

kepada tersangka, ada 2 (dua) cara, yaitu:

1. Mengajukan gugatan ganti kerugian (perdata) yang terpisah dari perkara

pidana; dan

2. Menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara pidana.

3. Mengajukan gugatan ganti kerugian (perdata) yang terpisah dari perkara

pidana; dan

4. Menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara pidana.

Pertama, jika ingin mengajukan gugatan ganti kerugian yang terpisah dengan

perkara pidana, maka sebaiknya konsumen menunggu terlebih dahulu putusan

terhadap perkara pidana tersebut. Oleh karena apabila terdakwa terbukti bersalah,

maka putusan tersebut adalah dasar yang kuat bagi konsumen untuk mengajukan

gugatan ganti kerugian. Namun konsumen juga dapat mengajukan gugatan ganti

kerugian tanpa menunggu putusan terhadap perkara pidana. Konsumen harus

memiliki alasan-alasan yang kuat dan nyata bahwa konsumen telah mengalami

kerugian akibat tindakan yang dilakukan oleh orang lain.

Kedua, menggabungkan gugatan ganti kerugian (perdata) dengan perkara pidana.

KUHAP memberikan dasar hukum melalui ketentuan Pasal 98, yang isinya

sebagai berikut:
127

(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan

perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain,

maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk

menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan

selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana.

Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-

lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan.

Berdasarkan pasal 98 tersebut, maka konsumen dapat menggabungkan gugatan

ganti kerugian dengan perkara pidana yang sedang berjalan. Penggabungannya

wajib dimintakan Kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara a quo paling

lambat sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Mengingat perkara

pidana tersebut masih dalam tahap pemeriksaan Kepolisian, maka konsumen

harus menunggu hingga pemeriksaan dilakukan di Pengadilan untuk dapat

mengajukan gugatan tersebut. Sekalipun melalui proses yang berbeda, kedua cara

tersebut didasarkan pada satu dasar hukum yang sama, yaitu Pasal 1365

KUHPerdata. Asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi

orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak konsumen yang

dalam hal ini menjadi korban.

Keberadaan lembaga litigasi yang juga disebut first and the last resort

dalam penyelesaian sengketa, dimana sebagai first and the last resort diharapkan

keberadaan lembaga litigasi yaitu pengadilan menjadi tujuan utama pencarian

keadilan, yang dapat menghasilkan kepastian hukum dalam menyelesaikan


128

sengketa yang ada. Peran hakim di pengadilan, maupun lembaga yang bergerak di

bidang penyelesaian sengketa kontrak elektronik adalah penting. Keberadaan

pedoman putusan hakim ini juga dipandang dapat memberikan pembaruan atas

hukum yang ada, termasuk manakala belum ada peraturan hukum yang secara

spesifik mengatur tentang hal yang ada. Namun demikian dalam model

penyelesaian sengketa jalur litigasi ini belum dapat mengakomodasi efektivitas

dan efisiensi dalam proses penyelesaian sengketa, karena lambatnya proses

penyelesaian sengketa, biaya yang mahal khususnya dalam sengketa transaksi

perdagangan. Namun demikian hukum tetap memiliki kewajiban dalam

mengakomodasikan terpenuhinya perlindungan hukum, sebagai bentuk dari

tanggung jawab hukum terhadap hak subjek hukum, dimana dalam hal ini ialah

para pelaku kontrak elektronik dalam penyelesaian sengketa kontrak elektronik.

Oleh karenanya, karena terdapat keprihatinan atas persoalan yang dihadapi oleh

lembaga litigasi, melatarbelakangi adanya lembaga non litigasi alternatif

penyelesaian sengketa, yang menggunakan mekanisme yang hidup dalam

masyarakat dimana bentuk dan macamnya bervariasi baik secara musyawarah,

perdamaian, penyelesaian adat dan cara-cara lain yang disesuaikan dengan

wilayah masyarakat tersebut berada.

II Melalui Jalur Non Litigasi

Penyelesaian sengketa transaksi bisnis secara elektronik di Indonesia

menggunakan beberapa prinsip yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan

yaitu :
129

1. Prinsip kesepakatan para pihak, tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa

dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan

diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang,

maka arbiter berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan

kewajiban para pihak jika hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka. Pasal

56 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa para pihak berhak

menentukan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa

yang mungkin atau telah timbul antara para pihak.

2. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa, terdapat dalam

Pasal 18 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (UU ITE) menyatakan bahwa para pihak memiliki kewenangan

untuk menetapkan forum atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif.

Penerapan pilihan hukum tersebut adalah tidak mungkin dilakukan mengingat

sifat dasar dari transaksi elekronik yang secara mayoritas menggunakan jenis

kontrak baku.

3. Prinsip kebebasan memilih hukum, yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (2) UU

No.11 Tahun 2008 menyatakan bahwa para pihak memiliki

kebebasan dalam menyelesaiakn sengketa. Apabila dilihat dari sifatnya,

penyelesaian sengketa secara damai ini merupakan hal yang ideal mengingat

keadilan muncul dari para pihak.

Sengketa pada transaksi elektronik cenderung berkaitan dengan masalah

harga, kualitas barang dan jangka waktu pengiriman. Produk yang menjadi obyek
130

sengketa apabila jumlahnya relative kecil, maka para pihak cenderung tidak

memerlukan bantuan pihak ketiga untuk penyelesaiannya mengingat biaya yang

dikeluarkan untuk membayar jasa pihak ketiga akan lebih besar daripada obyek

yang disengketakan. Dalam hal ini proses negosiasi tepat digunakan dan

dilakukan secara langsung antara penjual dan pembeli, baik melalui pertemuan

secara fisik apabila domisili keduanya saling berdekatan maupun melalui surat

menyurat (e-mail) jika kedua belah pihak berjauhan. Penyelesaian sengketa secara

damai harus disertau kesukarelaan dari para pihak, tanpa kesukarelaan tidak

mungkin penyelesaian sengketa secara damai dapat berjalan lancar.

Penyelesaian sengketa juga dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase, hal

ini termasuk dalam penyelesaian sengketa secara adversarial yang melibatkan

suatu lembaga. Arbitrase pada dasarnya berbentuk lembaga non Negara atau

swasta untuk menyelesaiakn sengketa secara cepat. Hukum di Indonesia yang

mengatur tentang Arbitrase adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada prinsipnya

pemeriksaan perkara di arbitrase melalui 3 tahapan, yaitu : pertama, tahap

persiapan untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang pemeriksaan

perkara, kedua tahap pemeriksaan tahap mengenai jalannya sidang

pemeriksaan perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses

pembuktian sampai dijatuhkan putusan oleh arbiter dan tahap ketiga pelaksanaan

tahap untuk merealisir putusan arbiter yang final dan mengikat.86

86
Bambang Sutiyoso, 2006, Peneylesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, h.120
131

“Arbitration is a procedur whereby a controversy is a submitted to a person or

person other than courts of a final, a binding decision.”87

Dapat diketahui pengertian arbitrase adalah prosedur dimana sebuah

sengketa yang disampaikan kepada seseorang atau orang lain dari pengadilan

keputusan final, mengikat). Arbitrase juga merupakan penyerahan sengketa secara

sukarela kepada pihak ketiga yang netral. Pihak ketiga ini bisa individu, arbitrase

terlembaga atau arbitrase sementara (adhoc). Badan arbitrase dewasa ini semakin

popular. Arbitrase semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa

dagang nasional maupun Internasional.

Kekurangan dari digunakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase

diantaranya adalah mahal. Hal ini disebabkan pihak yang bersengketa harus

membayar honor dari arbiter yang menyelesaikan sengketa. Proses dan prosedur

arbitrase tidaklah mudah, oleh karena itu hanya masyarakat pada stratifikasi sosial

tertentu yang dapat memanfaatkan. Di Indonesia penyelesaian sengketa melalui

arbitrase hanya bisa dilakukan pada sengketa yang bersifat dagang (commercial

dispute) hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU No.30 Tahun 1999.

Lembaga alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia yang dapat

digunakan adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian

sengketa selain melalui arbitrase juga dapat dilakukan melalui Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana diatur dalam UU No.8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang merupakan salah satu

senjata sah konsumen yang paling kuat selain UU ITE. BPSK dibentuk oleh

87
Corley Holmes & Robert, 1982, Fundamentals of Business Law, Third Edition, Prentice- Hall,
Inc, USA,p-16.
132

pemerintah tetapi bukan merupakan bagian dan institusi kekuasaan kehakiman.

Didalam transaksi elektronik selalu berkaitan dengan pelaku usaha dan konsumen.

BPSK merupakan salah satu model penyelesaian sengketa yang cenderung

digunakan dalam hal sengketa konsumen. Dalam menyelesaikan sengketa

konsumen dibentuk Majelis minimal 3 (tiga) dengan dibantu seorang panitera dan

putusan BPSK bersifat final dan mengikat. BPSK wajib menjatuhkan putusan

selama-lamanya 21 (duapuluh satu) hari sejak gugatan diterima dan keputusan

BPSK wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah

putusan diterimanya atau apabila keberatan dapat mengajukan kepada pengadilan

negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas hari). Pengadilan Negeri yang

menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara tersebut dalam jangka waktu

21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut. Selanjutnya kasasi pada putusan

pengadilan negeri ini diberi jangka waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi

kepada Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan

dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi.88

Pemberian sanksi administratif diatur dalam Pasal 60 UUPK yang

merupakan suatu hak khusus yang diberikan UUPK kepada BPSK atas tugas

dan/atau kewenangan yang diberikan untuk menyelesaikan sengketa

konsumen diluar pengadilan. Menurut ketentuan Pasal 60 ayat (2) jo Pasal 60

ayat (1) UUPK, sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah

berupa penetapan ganti rugi sampai setinggi-tingginya Rp.200.000.000,- (dua

ratus juta rupiah). Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/ dalam

rangka salah satunya adalah tidak dilaksanakannya pemberian ganti rugi oleh

88
Gunawan Widjaja, 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa,, Jakarta, PT.Raja Grafindo
Persada, h.79
133

pelaku usaha kepada konsumen dalam bentuk pengembalian uang atau

penggantian barang dan/jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau

pemberian santunan atas kerugian yang diderita konsumen.

Dalam dunia internasional juga terdapat arbitrase institusional yang berada

di luar negeri diantaranya adalah International Chamber of Commerce (ICC) yang

berkedudukan di Paris, London Court of International Arbitration (LCIA),

America Arbitration Association (AAA), dan Singapore International Center for

Arbitration (SIAC). Pelaksanaan putusan arbitrase didalam negeri

(nasional/domestik) berlaku ketentuan Pasal 59 sampai dengan Pasal 64 UU

No.30 Tahun 1999. Sementara untuk putusan arbitrase internasional berlaku

ketentuan Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU No.30 Tahun 1999. Diakuinya

putusan internasional di Indonesia didasarkan pada keikutsertaan Indonesia dalam

sebuah perjanjian internasional yaitu Konvensi New York 1959. Konvensi ini

menegaskan bahwa Negara yang menjadi peserta harus mengakui dan

melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat diluar negeri sepanjang Negara

tempat dimana arbitrase dilangsungkan termasuk juga menjadi peserta konvensi.

BAB V
134

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Pengaturan disclaimer dalam situs internet (website) di Indonesia

belum jelas dalam Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur secara

khusus kegiatan transaksi elektronik di dunia maya (cyberspace).

Banyak disclaimer yang menyatakan pengalihan tanggung jawab

dari pelaku usaha kepada konsumen dan letaknya pada bagian

bawah homepage website sehingga tidak semua konsumen tanggap

atas keberadaan disclaimer tersebut. Apabila ditinjau dari Undang-

undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),

beberapa substansi dari disclaimer dalam situs internet (website)

dapat dikategorikan sebagai klausula eksonerasi. Namun UUPK

hanya berlaku secara limitatif dalam yurisdiksi nasional untuk

transaksi secara konvensional (offline).

2. Bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen mengacu pada

pencantuman disclaimer dalam website, masih lemah. Adapun saat

ini perlindungan hukum konsumen yang dapat diberikan, ada 2 (dua)

yaitu secara preventif yakni disyaratkan dengan adanya suatu

Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) berdasarkan Pasal 10 ayat (2)

Undang- undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (UU ITE) dan secara represif penyelesaian

sengketa melalui jalur litigasi dapat dilakukan dengan pengajuan

gugatan perdata, sanksi pidana dan melalui jalur Non Litigasi yang
135

ideal dengan filosofi lahirnya transaksi elektronik dengan media

situs internet (website) adalah melalui Alternatif Penyelesaian

Sengketa.

5.2 Saran

1. Untuk Pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informasi

(Depkominfo) segera mengambil tindakan dalam rangka kepastian

pengaturan yaitu peraturan Perundang-undangan tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik materi yang diatur haruslah jelas dan

lengkap agar dapat melindungi hak-hak konsumen yang melakukan

transaksi bisnis secara elektronik.

2. Untuk Pemerintah, agar melegalisasi setiap website resmi yang

melakukan transaksi bisnis secara elektronik dengan cara segera

membentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan (LSK) seperti Case

Trust dengan logo TrustSg di Singapura agar dapat memberikan

sertifikasi untuk setiap situs internet (website), sehingga dapat

melindungi hak-hak konsumen internet di Indonesia.


136

DAFTAR PUSTAKA

I Buku-Buku

Adolf, Huala, 2002, Apek-aspek Negara dalam Hukum Internasional cetakan III,

Jakarta : Rajawali Pers

Ais, Chatamarrasjid, 2004, Penerobosan Cadar Perusahaan dan Soal-soal Aktual

Hukum Perusahaan, Bnadung : PT.Citra Aditya Bakti

Ardianto, Elvinard dan Dindin M.Machfudz, 2011, Efek Kedermawanan Pebisnis dan

CSR Berlipat-lipat, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Arrasjid, Chainur, 2006, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika

Asshiddiqie, Jimly, 2000, Pergeseran-pergeseran Kekuatan Legislatif Eksekutif, Jakarta :

Universitas Indonesia

Azheri, Busyra 2011, Corporate Social Responsibility (Dari Voluntary Menjadi

Mandatory), Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada

Azwar,Azrul, 1989, Pengantar Administrasi Kesehatan, Jakarta : PT. Binarupa Aksara

Badrulzaman , Mariam Daruz, 2001, E-commerce Tinjuan dari Hukum Kontrak

Indonesia, Hukum Bisnis XII

Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum HukumPerjanjian dan Penerapannya di bidang

kenotariatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti

Endeshaw, Assafa , 2007 ,Hukum E-Commerce dan Internet dengan focus di Asia

Pasifik, Jakarta : Pustaka Pelajar

Friedman , Lawrence M.,2009, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial (The Legal System :

A Social Science Perspektive), (M.Khozim, Pentj), Bandung : Nusa Media


137

Gunawan, Johanes 1994, Product Liability Dalam Hukum Bisnis Indonesia, Pro Justitia

Tahun XXI Nomor 2, April 1994.

Hadi,Nor, 2012, Corporate Social Responsibility, Yogyakarta : Graha Ilmu Hadjon,

Philipus M., 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia,

Surabaya : Percetakan M2 Print (edisi khusus)

---------------------------, dkk , 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah

Mada University Press, Yogyakarta

Handoyo , B.Hestu Cipto , 2008, Prinsip-prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah

Akademik, Yogyakarta, Universitas Atmajaya

Hartono, Sri Rejeki, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : Mandar Maju

Hernoko, Agus Yudha,2008, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,

Yogyakarta : Laksbang Mediatama

Kartini, Dwi, 2009, Coorporate Social Responsibility Transformasi Konsep

Sustainability Management dan Implementasi di Indonesia, Bandung : Refika Aditama

Kristiyanti, Celina Tri Siwi , 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : Sinar

Grafika

Makarim, Edmon, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Jakarta : PT.RajaGrafindo

Persada

----------------------, 2005, Pengantar Hukum Telematika, Jakarta : PT.RajaGrafindo

Persada

Magdalena, Merry, 2009, UU ITE : don‟t be the next victim,Jakarta : PT.Gramedia

Pustaka Utama

Manan, Abdul, 2005, Apek-aspek Pengubah Hukum,Jakarta : Kencana


138

Marzuki , Peter Mahmud, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta

Mertokusumo , Sudikno,2012, Teori hukum (edisi revisi), Cahaya atma pustaka,

Yogyakarta

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :

PT.RajaGrafindo Persada

Muhammad, Abdulkadir, 1992, Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan

Perdagangan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti

-----------------------------, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung : PT.Citra

Aditya Bakti

Nasution , Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung : CV. Mandar

Maju

Nasution, Az, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Daya

Widya

Nugroho , Susanti Adi, 2008, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari

Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Purbo, Onno W. & Aang Arif Wahyudi, 2001, Mengenal E-Commerce, Jakarta : PT.

Elex Media Komputindo

Rahardjo, Satjipto, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, Yogyakarta : Genta Publishing

Samsul, Inosentius, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung

Jawab Mutlak, Jakarta : Universitas Indonesia


139

Saliman, Abdul Rasyid et.Al. 2008, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh

Kasus) Edisi 2 Cetakan 4, Jakarta : Kencana Renada Media Group

Salman, Otje, 2008, Teori Hukum – Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali,

Jakarta : Refika Aditama

Soekanto, Soerjono, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada

--------------------------- dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Nornatif Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada.

Soenandar, Taryana, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan : Tinjauan Atas Beberapa

Aspek Hukum dari Prinsip-Prinsip UNIDROIT dan CISG, Commentaries on the Article

2.19 of the UNIDROIT‟94, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti

Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : PT.RajaGrafindo

-----------, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi 2006),

Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.

Siahaan, N.H.T., 2005, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggung

Jawab Produk), Jakarta : Panta Rei.

Sidabalok, Janus, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung : PT Citra Aditya

Bakti.

Sidharta, Arief, 2009, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum dan Filsafat Hukum, Bnadung : Refika Aditama

Sinamo, Nomensen, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : PT.Bumi Intitama

Sejahtera.

Sjahputra , Imam,2010, Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Elektronik, Bandung :

PT.Alumni
140

Supanto, 2010, Kejahatan Ekonomi Global & Kebijakan Hukum Pidana, Bandung

: PT.Alumni

Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Jakarta : PT.Citra Aditya Bakti

----------, 2001, Hukum Perjanian, Jakarta : Intermasa

Suparni, Niniek, 2009, Cyberspace Problematika & Antisipasi

Pengaturannya,Jakarta : Sinar Grafika

Susanto, Happy, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika dirugikan, Jakarta : Visimedia Sutiyoso,

Bambang, 2006, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Yogyakarta : Citra

Media

-----------------------, 2008, Penyelesaian Sengketa Bisnis Melalui Online Dispute

Resolution dan Pemberlakuannya di Indonesia, Mimbar Hukum, Vol. 20 No.2,

Yogyakarta : FH.UGM

Syahrani, Ridwan , 1985, Seluk beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Bandung : Alumni

Wahyono, Teguh, 2009, Etika Komputer + Tanggung jawab Profesional di

Bidang Teknologi Informasi, Yogyakarta : ANDI.

Widjaja, Gunawan & Ahmad Yani, 2000, Hukum tentang Perlindungan Konsumen,

Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama

------------------------ , 2002, Alternatif Penyelesaian Sengketa,

Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada

Yuliandari, 2009, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik,

Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada

Zulham, 2013, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta :Kencana Prenada Media Group.
141

Anne Fitzgerald, 1999, Inteleectual Property, NSW, Sydney : LBC Information Services,

Corley Holmes & Robert, 1982, Fundamentals of Business Law, Third Edition,

USA : Prentice-Hall, Inc

G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 th Edition , Sweet & Maxwell Ltd, London

Ian Mcleod, 2003, Legal Theory, Queen Mary Centre for Commercial Law Studies,

University of London

John D.Ashcroft & Janet E. Ashcroft, 1981, College Law for Business, United States of

America : South-Western Publishing Co.

Roger Catterrell, 1984, The Sociology of Law : An Introduction, London : Butterworths

Turban, Efraim, et.al., ,2010, Electronic commerce 2010 (a managerial perspective)

sixth edition, United State of America : Pearson.

III. Kamus, Jurnal, Skripsi

Made Maharta Yasa, 2010, Validasi Digital Signature Pada Dokumen Elektronik Dalam

Transaksi Komersial , Skripsi, Universitas Udayana.

Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia,

Surakarta : Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

IV. Artikel dalam Format Elektronik (Internet)

Agung Setiawan, 2012, Digital dan Social Media Indonesia 2012, diakses dari URL :

http://www.asm-digital.com, pada tanggal 19 September 2021.

Am Badar, 2009, Perlindungan HKI di Jaringan Internet, diakses dari : URL : http

://www.kompasiana.com pada tanggal 8 Agustus 2021.

Anggia Dyarini M,2011, Tanggung Jawab Hukum Pelaku Usaha Perangkat Lunak

Kepada Konsumen : Kajian Perbandingan Liensi Standard Sofware, Bespoke Software


142

dan Customized Software, diakses dari : URL : www. lontar. ui. ac. id, pada tanggal 11

Maret 2021.

Bagus Hanindoyo Mantri, 2007, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam

Transaksi E-commerce, diakses dari URL : eprints

.undip.ac.id/16674/1/Bagus_Hanindyo_Mantri.pdf ,pada tanggal 12 Maret 2021.

Budi Rahardjo, 2003, Pernak pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia

(Serial Online) , diakses dari : URL: http://www.budi.insan.co.id, pada tanggal 20

Januari 2021.

Diana Kusumasari, 2011, status hukum pencantuman disclaimer, diakses dari URL :

http://www.hukumonline.com, pada tanggal 12 September 2021

Lia Catur Mastuti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Jual

Beli melalui Media Internet, diakses dari URL :

eprints.undip.ac.id/23920/1/Lia_Catur_Muliastuti.pdf, pada tanggal 12 Maret 2021.

Matt Junior, 2013, Mengenal Jenis-jenis website, diakses dari : URL :

http://www.mattjunior.com, pada tanggal 19 Juni 2021

Mustadafin, 2012, Standar Ganda Copyright pada Website, diakses dari :

http://www.kaskus.co.id, pada tanggal 20 Juni 2021

Purwono, 1992, Studi Kepustakaan (online), Diakses dari URL : http://adab.uin-

suka.ac.id, pada tanggal 21 Juni 2021.

Radian Adi , 2012, Cara pembuktian Cyber Crime menurut Hukum Indonesia, diakses

dari URL : http://www.hukumonline.com pada tanggal 29 November 2020.

Reza Wahyudi, Tri Wahono, 2011, Pengguna Internet Indonesia, diakses dari URL : http

: // tekno.kompas.com/read/2011, pada tanggal 12 Maret 2021.


143

-------------------, 2012 ,Pengguna Internet di Indonesia Capai 55 Juta, diakses dari :

http://tekno.kompas.com, pada tanggal 12 September 2021

Richard A. Chapo, 2012, Disclaimer For Website, diakses dari : URL :

www.socalinternetlawyer.com, G.H Treitel, 1995, The law of contract, 9 th Edition ,

Sweet & Maxwell Ltd, London, h.1969 pada tanggal 1 Mei 2021.

SEQ Legal LLP, 2013, More information about website disclaimers, diakses dari : URL :

http://www.seqlegal.com, , pada tanggal 20 Oktober 2020

Simon Davey, 2011, Website disclaimers, diakses dari : URL

:http://www.ictknowledgebase.org.uk, pada tanggal 17 Juni 2021

Sylvia Christina Aswin, 2006, Keabsahan Kontrak Dalam Transaksi Komersial

Elektronik, diakses dari URL : eprints.undip.ac.id/17823/1/Sylvia_Christina_Aswin.pdf.

pada tanggal 12 Maret 2012.

Taqyuddin Kadir, 2006, Klausula Baku , diakses dari : URL : http://taqlawyer.com pada

tanggal 20 Agustus 2021

Teguh Arifiyadi, 2013, Sertifikasi Pelaku Usaha Online,diakses dari :URL :

www.hukumonline.com , pada tanggal 9 Oktober 2020

Toto Adhitama, 2011, about gadget, diakses dari URL : http://asia.groups.yahoo.com/,

pada tanggal 12 Januari 2021

CaseTrust Be Sure, 2008, CaseTrust Accreditation Scheme, Information & Application

Kit-Webfront, CaseTrust Departement, diakses dari URL : http://www.case.org.sg, pada

tanggal 29 November 2020

Kompas, 2008, Kejahatan Cyber Tinggi, Polisi Menerima Laporan dari 17 Negara ,

diakses dari URL : www.kompas.com, pada tanggal 29 November 2020


144

UNIDROIT 1994, 1994, Principles of International Commercial Contract 1994,

International Institute for the Unification of Private Law Article 2.19, diakses dari :

URL : http://www.lexmercatoria.org. pada tanggal 4 Juli 2021.

V. Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik.

Anda mungkin juga menyukai