Anda di halaman 1dari 42

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN,

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA, THRIFTING, DAN E-

COMMERCE

A. Tinjauan Umum tentang Konsumen dan Pelaku Usaha

1. Pengertian Konsumen

Konsumen adalah istilah yang sering dipergunakan dalam

percakapan sehari-hari. Istilah Konsumen berasal dari Bahasa Belanda

yaitu Konsument yang berarti, “setiap orang yang menggunakan barang”.

Para Ahli hukum sepakat bahwa istilah Konsumen adalah Uiteindelijke

Gebruiker van Goerderen en Diensten dalam Bahasa Indonesia artinya,

Pemakai akhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh

Pengusaha. Maksud daripada arti demikian adalah setiap orang yang

mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan atau

diperjualbelikan lagi. Konsumen secara harfiah adalah orang yang

memerlukan, membelanjakan atau menggunakan; pemakai atau

pembutuh.1 Istilah lain yang agak dekat dengan Konsumen adalah

“pembeli”. Pengertian Konsumen jelas lebih luas daripada pembeli.

Luasnya pengertian Konsumen digambarkan secara langsung oleh

Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F. Kennedy yaitu, “Consumers by

definition include us all”.2


1
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Ctk. Pertama, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 23.
2
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2003, hlm. 2.

1
Menurut Ahli Perdata bernama Philip Kotler, mengatakan bahwa

Konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau

memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi. Kemudian, Ahli

Perdata lain bernama Wira Suteja, mengatakan bahwa Konsumen adalah

orang yang menciptakan pandangan tentang perusahaan kita, tentang baik

atau buruk pelayanan kita. Terakhir, Ahli Perdata pula bernama A.Z.

Nasution, mengatakan bahwa Konsumen adalah setiap orang yang

mendapatkan barang dan jasa digunakan untuk tujuan tertentu.3

A.Z. Nasution menambahkan bahwa pengertian Konsumen

sesungguhnya dapat terbagi ke dalam tiga macam. Pertama, Konsumen

dalam arti adalah setiap pemakai, pengguna atau pemanfaat barang dan

atau jasa untuk tujuan tertentu. Kedua, Konsumen antara adalah setiap

pemakai, pengguna dan/atau jasa pemanfaat barang dan/atau jasa

digunakan untuk membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk tujuan

komersial. Konsumen antara ini sama dengan Pelaku usaha. Ketiga,

Konsumen akhir adalah setiap pemakai pengguna atau pemanfaat barang

dan/atau jasa untuk digunakan sendiri, keluarga dan tidak untuk

diperdagangkan.4 Pada kepustakaan ekonomi dikenal istilah Konsumen

akhir dan Konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau

pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan Konsumen antara adalah

3
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
2002, hlm. 3.
4
Ibid.

2
Konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses

produksi suatu produk lainnya.5

Menurut Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen, Konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pengertian

Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen tidak hanya Konsumen

secara individu, tetapi juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan

makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas

pada individu pihak ketiga yang dirugikan atau menjadi korban akibat

penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang dan jasa.6

Unsur-unsur dalam pengertian atau definisi Konsumen adalah,

pertama, Setiap orang. Subjek dalam penyebutan Konsumen berarti setiap

orang yang memiliki status sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah

“orang” dalam pasal tersebut berbeda dengan pengertian yang diberikan

untuk “Pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen

yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas,

dengan menyebutkan kata-kata; “orang perseorangan atau badan usaha”.

Subjek yang disebut sebagai Konsumen berarti setiap orang yang berstatus

sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya

menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut

5
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut
Perjanjian Baku (Standar), dalam BPHN, Simposium Aspek-aspek Hukum Perlindungan
Konsumen, Binacipta, Bandung 1986. hlm. 57.
6
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3
natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon).

Berdasarkan pengertian UUPK tersebut yang dimaksud “orang”

merupakan orang alami dan bukan badan hukum. Sebab yang dapat

memakai, menggunakan dan/atau memanfaatkan barang dan/atau jasa

untuk memenuhi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, hanyalah orang alami

atau manusia.7

Kedua, Pemakai. Kata Pemakai menekankan bahwa Konsumen

merupakan jenis Konsumen akhir. Istilah Pemakai dalam hal ini tepat

digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan

barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta sebagai hasil dari

transaksi jual beli. Hal tersebut berarti bahwa dasar hubungan hukum

antara Konsumen dengan Pelaku usaha tidak perlu harus ada hubungan

kontraktual. Misal, ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut,

seseorang memperoleh paket hadiah atau parsel pada hari ulang tahunnya

isi paketnya makanan dan minuman kaleng yang dibeli si pengirim dari

swalayan. Konsumen tidak sekedar pembeli, tetapi semua orang

(perorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi barang dan/atau jasa.

Inti dalam suatu transaksi Konsumen, berupa peralihan barang dan/atau

jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya. Konsumen

diartikan secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang mempunyai

hubungan kontraktual pribadi dengan Produsen atau penjual adalah cara

7
Adrian Sutedi, Tanggung jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk.
Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 10-11.

4
pendefinisian Konsumen paling sederhana. Cara pandang demikian di

Amerika Serikat sudah lama tertinggal. Konsumen tidak lagi diartikan

sebagai pembeli dari suatu barang dan/atau jasa, tetapi bukan pemakai

langsung. Walaupun tidak sebagai pembeli atau tidak memiliki hubungan

kontraktual dengan pihak Pelaku usaha, orang tersebut sebagai Konsumen

dapat melakukan klaim atas kerugian yang diderita. Akan tetapi, syaratnya

memang pihak dimaksud merasa rugi akibat penggunaan suatu produk

dan/atau jasa tersebut.8

Ketiga, barang dan/atau jasa. Berkaitan dengan istilah barang

dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata

produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau jasa. Pada

perbankan, misalnya, istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-

jenis layanan perbankan. UU Perlindungan Konsumen mengartikan barang

sebagai setiap benda, baik yang berwujud maupun tidak berwujud; baik

yang bergerak maupun tidak bergerak; baik dapat di dihabiskan maupun

tidak dapat dihabiskan; yang dapat diperdagangkan; dipakai; dipergunakan

atau dimanfaatkan oleh Konsumen. UU Perlindungan Konsumen sendiri

tidak menjelaskan mengenai perbedaan istilah-istilah “dipakai,

dipergunakan atau dimanfaatkan”. Jasa diartikan sebagai setiap layanan

yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat

8
Janus Sidalabok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Medan, 2014, hlm. 14.

5
untuk dimanfaatkan oleh Konsumen. Pengertian “disediakan bagi

masyarakat” menunjukkan jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat.9

Keempat, yang tersedia dalam masyarakat. Barang dan/atau jasa

yang akan diperdagangkan telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat

tidak mengalami kesulitan untuk mengkonsumsinya. Namun, dalam

perdagangan yang semakin kompleks, syarat itu menjadi tidak mutlak lagi

dituntut oleh masyarakat Konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang

(developer) perumahan telah biasa mengadakan transaksi Konsumen

tertentu seperti futures trading, dimana keberadaan barang yang

diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.10

Kelima, bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan

makhluk hidup lain. Pada hal ini, terlihat adanya teori kepentingan pribadi

terhadap pemakaian suatu barang dan/atau jasa. Transaksi Konsumen

ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, dan

makhluk hidup. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan bagi untuk diri

sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan

bagi orang lain (di luar diri sendiri dan kelaurganya), bahkan untuk

makhluk hidup. Misalnya, hewan dan tumbuhan.11

Keenam, barang dan/atau jasa tidak untuk diperdagangkan.

Pengertian Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen dipertegas

hanya Konsumen akhir yang menggunakan barang atau jasa untuk

9
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafik, Jakarta, 2008,
hlm. 27.
10
Ibid.
11
Janus Sidalabok, Loc.Cit.

6
memenuhi kebutuhannya, keluarganya, atau pada umumnya untuk

memenuhi kebutuhan rumah tangganya (keperluan non-komersial).

Pengertian Konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen

seperti yang sudah dijelaskan di atas, menyatakan bahwa pengertian

Konsumen dalam Undang-Undang tersebut adalah Konsumen akhir. Dapat

disimpulkan bahwa Konsumen merupakan Konsumen akhir, karena

barang dan/atau jasa yang dipakai tersebut tidak untuk diperdagangkan

lagi.12

Konsumen sebagai sosok pembeli barang/jasa mempunyai hak dan

kewajiban dalam dirinya. Menurut hukum, hak merupakan kepentingan

hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri berarti tuntutan

yang diharapkan untuk dipenuhi. Dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu

tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum. Pada dasarnya, hak

bersumber dari tiga hal. Pertama, hak manusia dikarenakan kodratnya.

Hak diperoleh sejak lahir, Seperti, hak untuk hidup dan hak untuk

bernafas. Hak ini tidak boleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan

negara wajib menjamin pemenuhannya. Hak inilah yang disebut hak

asasi.13

Kedua, hak yang lahir dari hukum. Pengertiannya adalah hak-hak

yang diberikan oleh hukum negara kepada manusia dalam kedudukannya

sebagai warga negara/warga masyarakat. Ketiga, hak yang lahir dari

hubungan hukum antara seseorang dan orang lain melalui sebuah


12
N.H.T. Siahaan, Op.Cit., hlm. 26.
13
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005,
hlm. 40.

7
kontrak/perjanjian. Definisi demikian adalah hak yang didasarkan pada

perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan yang lain. Contohnya

peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerima barang, sedangkan hak

penjual adalah menerima uang.14

Menurut Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, dijabarkan bahwa

hak-hak daripada seorang Konsumen adalah hak atas kenyaman,

keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa;

hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/ atau jasa sesuai dengan

nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi

yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/

atau jasa; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/

atau jasa yang digunakan; hak untuk memdapatkan advokasi,

perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan Konsumen

secara patut; hak untuk memdapat pembinaan dan pendidikan Konsumen;

hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan hak-hak yang

diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.15

Selanjutnya, kewajiban Konsumen yang diatur dalam Pasal 5 UU

Perlindungan Konsumen ada empat. Pertama, membaca atau mengikuti

petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang

14
Ibid.
15
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

8
dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. Adapun pentingnya

kewajiban ini karena sering Pelaku usaha menyampaikan peringatan

secara jelas pada label suatu produk, namun Konsumen tidak membaca

peringatan yang telah disampaikan kepadanya. Kedua, beriktikad baik

dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu

saja disebabkan karena bagi Konsumen, kemungkinan untuk dapat

merugikan Produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan

Produsen. Berbeda dengan Pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian

bagi Konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh Produsen

(Pelaku usaha). Ketiga, membayar sesuai dengan nilai tukar yang

disepakati. Kewajiban Konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar

yang disepakati dengan Pelaku usaha, adalah hal yang sudah biasa dan

sudah semestinya demikian. Keempat, mengikuti upaya penyelesaian

hukum sengketa perlindungan Konsumen secara patut. Adanya kewajiban

seperti ini diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dianggap tepat, sebab

kewajiban ini adalah untuk mengimbangi hak Konsumen untuk

mendapatkan upaya penyelessaian sengketa perlindungan Konsumen

secara patut.16

2. Pengertian Pelaku Usaha

Pelaku usaha diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang

dan/atau jasa. Pada pengertian ini, termasuk di dalamnya pembuat, grosir,

dan pengecer. Produsen tidak hanya diartikan sebagai pelaku usaha

pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang


16
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

9
terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan

konsumen. Konteks perlindungan konsumen, produsen-pelaku usaha

diartikan secara luas. Sebagai contoh, dalam hubungannya dengan produk

makanan hasil industri (pangan olahan), maka produsennya adalah mereka

yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri (pangan

olahan) itu hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka itu adalah pabrik

(pembuat), distributor, eksportir, importer, dan pengecer.17

UU Perlindungan Konsumen memberikan definisi Pelaku usaha

dalam Pasal 1 angka. Definisi tersebut berupa Pelaku usaha adalah setiap

orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.18

Pelaku usaha dalam melakukan kegiatan jual beli mempunyai

kewajiban yang diatur menurut Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen.

Beberapa kewajiban Pelaku usaha adalah sebagai berikut:19

a. Beriktikad baik. Kewajiban beritikad baik berarti produsen-pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya wajib melakukannya

dengan itikad baik, yaitu secara berhati-hati, mematuhi dengan aturan-

aturan, serta dengan penuh tanggung jawab.

17
Janus Sidalabok, Op.Cit., hlm. 13.
18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
19
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm.
25-26.

10
b. Memberi informasi. Kewajiban memberi informasi berarti produsen-

pelaku usaha wajib memberi informasi kepada masyarakat konsumen

atas produk dan segala hal sesuai mengenai produk yang dibutuhkan

konsumen. Informasi itu adalah infornasi yang benar, jelas, dan jujur.

c. Melayani dengan cara yang sama. Kewajiban melayani berarti

produsen-pelaku usaha wajib memberi pelayanan kepada konsumen

secara benar dan jujur serta tidak membedabedakan cara ataupun

kualitas pelayanan secara diskriminatif.

d. Memberikan kesempatan mencoba. Kewajiban memberi kesempatan

berarti produsen-pelaku usaha wajib memberi kesempatan kepada

konsumen untuk menguji atau mencoba produk tertentu sebelum

konsumen memutuskan membeli atau tidak membeli, dengan maksud

agar konsumen memperoleh keyakinan akan kesesuaian produk

dengan kebutuhannya.

e. Memberikan kompensasi. Kewajiban memberi kompensasi berarti

produsen-pelaku usaha wajib memberi konpensasi, ganti rugi, dan/atau

penggantian kerugian akibat tidak atau kurang bergunanya produk

untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan fungsinya dan karena tidak

sesuainya produk yang diterima dengan yang diperjanjikan.

Kewajiban-kewajiban yang sudah dijabarkan di atas, harus dipatuhi

oleh Pelaku usaha. Hal demikian demi kenyamanan Konsumen dalam

bertransaksi dengan Pelaku usaha. Selain itu, Pelaku usaha juga memiliki

11
larangan sebagaimana dalam Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen yaitu

berupa:20

a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar dipersyaratkan;

tidak sesuai dengan netto; tidak sesuai dengan timbangan; tidak sesuai

dengan kondisi; tidak sesuai dengan mutu; tidak sesuai dengan janji

yang dinyatakan dalam label; tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa;

tidak mengikuti ketentuan berproduksi; tidak memasang label; dan

tidak mencantumkan informasi penggunaan barang.

b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak atau

bekas tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas

barang dimaksud.

c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberi

informasi secara lengkap dan benar.

d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

Bentuk-bentuk tanggung jawab Pelaku usaha dalam UU

Perlindungan Konsumen antara lain:21

a. Product liability. Product liability adalah tanggung jawab perdata

terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang
20
Ibid.
21
Sylvia Diansari dkk, “Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha dalam Hukum
Perlindungan Konsumen”, Makalah, Universitas Pelita Harapan, 2020, hlm. 5.

12
dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.

Pertanggungjawaban produk tersebut didasarkan pada Perbuatan

Melawan Hukum (tortius liability). Unsur-unsur dalam tortius liability

antara lain adalah unsur perbuatan melawan hukum, kesalahan,

kerugian, dan hubungan kasualitas antara perbuatan melawan hukum

dengan kerugian yang timbul. Product liability akan digunakan oleh

konsumen untuk memperoleh ganti rugi secara langsung dari produsen

sekalipun konsumen tidak memiliki kontraktual dengan pelaku usaha

tersebut. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 19 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa Pelaku usaha

bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran

dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang yang

dihasilkan atau diperdagangkan.

b. Criminal liability. Criminal liability merupakan pertanggungjawaban

pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku usaha

dengan negara. Dalam hal pembuktian, yang dipakai adalah

pembuktian terbalik seperti yang diatur dalam Pasal 22 UU

Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa pembuktian

terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen,

yaitu kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian yang dialami

konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha, tanpa

menutup kemungkinan dalam melakukan pembuktian. Jadi, kedudukan

13
tanggung jawab perlu diperhatikan, karena mempersoalkan

kepentingan konsumen harus disertai pula analisis mengenai siapa

yang semestinya dibebani tanggung jawab dan sampai batas mana

pertanggungjawaban itu dibebankan kepadanya.

B. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Jual Beli

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

sesuatu hal. Melalui peristiwa tersebut, timbul suatu hubungan antara dua

orang tersebut yang dinamakan perikatan. Maka, perikatan adalah hubungan

hukum dalam lapangan hukum kekayaan yang menimbulkan hak di satu pihak

dan kewajiban di lain pihak. Menurut Pasal 1233 ayat (1) KUHPer, tiap-tiap

perikatan dilahirkan, baik karena suatu perjanjian maupun karena undang-

undang. Dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber

lahirnya perikatan, dengan membuat perjanjian maka salah satu atau lebih

pihak dalam perjanjian tersebut mengikatkan dirinya untuk memenuhi

kewajiban sebagaimana yang dijanjikan.22

Menurut Wirjono Prodjodikoro, suatu perjanjian diartikan sebagai suatu

perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam

mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal

atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut

pelaksanaan janji itu. Kemudian, menurut Subekti, perjanjian itu adalah suatu

peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang

22
Satrio J, Hukum Perikatan tentang Hapusnya Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hlm. 2.

14
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Kata “perjanjian” secara

umum dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Secara arti luas suatu

perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai

yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di

dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lan. Secara arti sempit

“perjanjian” di sini hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum

dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti yang dimaksudkan oleh

KUHPer.23

Jual beli adalah perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (si

penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang

pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri

atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.

Menurut Pasal 1457 KUHPer, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,

dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Kemudian,

menurut Pasal 1458 KUHPer, jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua

belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan

harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum

dibayar, sehingga dengan lahirnya “kata sepakat” maka lahirlah perjanjian itu

dan sekalian pada saat itu menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Oleh

karena itu, perjanjian jual beli dikatakan juga sebagai perjanjian konsensuil

dan sering juga disebut “perjanjian obligatur”.24


23
Ibid.
24
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 23.

15
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian antara pihak penjual dan

pihak pembeli, dimana pihak penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan

hak miliknya atas sesuatu barang kepada pembeli, dan pembeli mengikatkan

dii untuk membayar harga barang itu dengan uang, sesuai dengan yang telah

disepakati dalam perjanjian mereka. Objek dari suatu perjanjian jual beli

adalah hak milik suatu barang, dengan kata lain tujuan pembeli adalah

pemilikan suatu barang.25

Beberapa asas utama dari hukum perjanjian menurut KUHPer yaitu

adalah sebagai berikut:26

a. Asas konsesualisme pada prinsipnya merujuk pada adanya kesepakatan

para pihak mengenai hal-hal pokok sehingga pada detik itulah perjanjian

itu lahir.

b. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang mengajarkan bahwa para

pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau

tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur isi

kontrak tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang

berlaku yang bersifat memaksa.

c. Asas obligatoir adalah asas yang mengajarkan bahwa jka suatu kontrak

telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya

sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, dan haknya belum

beralih sebelum penyerahan.

25
Djohari Santoso, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, 2000, hlm. 32.
26
Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hlm. 50.

16
d. Asas Pacta sunt servanda merupakan bahwa jika suatu kontrak sudah

dibuat secara sah oleh para pihak, maka kontrak tersebut sudah mengikat

para pihak. Bahkan mengikatnya kontrak yang dibuat oleh para pihak

tersebut memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan undang-undang

yang dibuat oleh pemerintah.

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan

harga, sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian

KUHPer bahwa perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik

tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga yang kemudian lahirlah

perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensuil dari jual beli tersebut dapat

dilihat dari Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang isinya

jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah

mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu

belum diserahkan maupun harganya belum dibayar. Menurut Abdulkadir

Muhammad, Beliau merincikan unsur-unsur dalam perjanjian jual beli ke

dalam empat unsur sebagai berikut:27

a. Subyek jual beli adalah pihak-pihak dalam perjanjian. Sekurangkurangnya

ada dua pihak, yaitu penjual yang menyerahkan hak milik atas benda dan

pembeli yang membayar harga dari benda tersebut. Subyek dari perjanjian

jual beli adalah penjual dan pembeli, yang masing-masing pihak

mempunyai hak dan kewajiban. Subyek yang berupa orang atau manusia

ini telah diatur oleh Undang-Undang yaitu harus memenuhi syarat umum

untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum antara lain, ia harus


27
Ibid.

17
dewasa, sehat pikirannya, dan tidak dilarang atau dibatasi di dalam

melakukan suatu perbuatan hukum yang sah oleh Undang-undang.

b. Status pihak-pihak berupa penjual atau pembeli dapat berstatus pengusaha

atau bukan pengusaha. Pengusaha adalah penjual atau pembeli yang

menjalankan perusahaan, sedangkan penjual atau pembeli yang bukan

pengusaha adalah pemilik atau konsumen biasa. Penjual atau pembeli

dapat juga berstatus kepentingan diri sendiri, atau kepentingan pihak lain

atau kepentingan badan hukum.

c. Peristiwa jual beli adalah saling mengikatkan diri berupa penyerahan hak

milik dan pembayaran harga. Peristiwa jual beli di dasari oleh persetujuan

dan kesepakatan anatara penjual dan pembeli. Apa yang dikehendaki oleh

penjual, itulah yang dikehendaki pembeli.

d. Objek jual beli adalah barang dan harga. Barang adalah harta kekayaan

yang berupa benda materialm benda immaterial, baik bergerak maupun

tidak bergerak. Sedangkan harga ialah sejumlah uang yang senilai dengan

benda. Objek persetujuan jual beli adalah barang yang diperjualbelikan

tersebut. karena barang adalah essensial pada perjanjian jual beli, maka

tentunya tidak ada perjanjian jual beli, maka tentunya tidak ada perjanjian

jual beli apabila tidak ada barang yang diperjualbelikan.

Menurut Pasal 1457 KUHPer, hak penjual adalah menuntut harga

pembayaran atas barang-barang yang diserahkannya kepada pembeli,

sedangkan kewajiban penjual adalah menyerahkan barang ke dalam kekuasaan

dan kepunyaan si pembeli dan menanggung terhadap barang yang dijual itu.

18
Mengenai “menanggung”, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1491 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata, yang mengatakan bahwa kewajiban dari penjual

adalah menjamin bahwa penguasaan benda yang dijual oleh si pembeli

berlangsung secara aman dan menjamin terhadap adanya cacat tersembunyi.

Sedangkan, hak pembeli adalah menuntut penyerahan barang yang telah

dibelinya dari si penjual, sedangkan kewajibannya adalah membayar harga

pembelian pada waktu dan tempat sebagaimana yang ditetapkan di dalam

perjanjian mereka. Menurut Pasal 1514 KUHPer, jika pada waktu membuat

persetujuan tidak ditetapkan tentang itu, pihak pembeli harus membayar di

tempat dan pada waktu di mana penyerahan harus dilakukan.28

Berakhirnya jual beli secara normal adalah setelah penjual dan pembeli

memenuhi kewajiban masing-masing sesuai dengan kesepakatan mereka.

Teteapi secara tidak normal ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan

perjanjian jual beli berakhir atau putus. Hal-hal tersebut adalah segala hak dan

kewajiban dari masing-masing pihak terpenuhi sesuai dengan perjanjian;

kedua belah pihak sepakat untuk memutuskan perjanjian setelah adanya

pengiriman atau penerimaan barang di tempat pembeli; dan pemutusan

perjanjian secara sepihak. Pada perjanjian jual beli, umumnya jual beli barang

sudah diserahkan dan diterima oleh si pembeli, di mana pembeli melakukan

pembayaran sesuai dengan perjanjian dan penjual harus mengirimkan barang

sampai di rumah dengan keadaan yang baik seperti pada sedia kala saat di

toko.29
28
Ibid.
29
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
34.

19
C. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Jual Beli Thrifting

Kata Thrifting sebenarnya terbentuk dari istilah thrift yang berarti hemat.

Sedangkan bisnis Thrifting lebih dikenal dengan usaha yang menjual barang-

barang bekas yang masih berkualitas dan layak pakai. Sejak tahun 2013,

perdagangan barang bekas mulai masuk ke Indonesia, dimulai dari barang

langka hingga barang dengan brand yang terkenal. Kecenderungan generasi

millenial untuk cepat bosan dalam memiliki sebuah barang menjadi peluang

bisnis yang kini ngetren disebut dengan Thrifting.30

Bisnis ini semakin hits semenjak tren menjual barang preloved yaitu

dimana seseorang menjual barang pribadi miliknya yang masih dalam kondisi

baru karena berbagai alasan secara pribadi semakin banyak dilakukan banyak

orang. Tren ini terus berlanjut hingga adanya sejumlah orang yang mulai

membuat akun media sosial, seperti instagram dan facebook untuk

menawarkan jasa penjualan barang preloved dengan menggunakan sistem

bagi hasil.31

Thrifting dalam bahasa Indonesia lebiih dikenal dengan toko yang

menjual barang bekas. Di Indonesia sendiri thrifting ini dikenal dengan toko

yang menjual pakaian bekas impor, dari mulai baju, celana, sepatu, aksesoris.

Bahwa barang bekas dapat dapat ditemui dimana saja selama adanya

pembelian. Di negara maju dapat menghasilkan banyak barang bekas dimana

siklus pembelian negara maju sangatlah cepat. Maka dari itu, barang bekas ini

30
O. Hasbiansyah, “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu
Sosial”, Jurnal Hukum, Vol. 9 No. 1, Juni 2008, hlm. 58.
31
Moustakas Clark, Phenomenological Research Methods, Sage, California, 2000, hlm. 27.

20
di ekspor ke negara berkembang. Maksud barang bekas disini merupakan

barang yang tidak terpakai dan masih dapat digunakan.32

Pakaian bekas yang terdapat di thrift shop di pasaran umumnya khas

dengan gaya vintage. Maka konsumen thrift shop di Indonesia sendiri ratarata

merupakan kalangan anak muda. Harga pakaian bekas di thrift shop memang

lebih murah. Terdapat tiga hal yang mendorong konsumen dalam melakukan

pembelian baju bekas di thrift shop, yaitu:33

1. Aspek ekonomi. Harga pakaian bekas jauh lebih murah dibandingkan

dengan pakaian baru. Dengan adanya thrift shop dapat membantu

pengeluaran individu dalam memenuhi kebutuhan pakaiannya. Hal

lainnya, thrift shop ini juga memberikan kesempatan kepada konsumen

untuk mendapatkan pakaian bermerek dengan harga yang murah.

2. Aspek lingkungan alam. Adanya thrift shop bertujuan untuk menggunakan

kembali suatu pakaian dalam upaya memperpanjang umur pakaian dan

mengurangi sampah pakaian.

3. Aspek individu. Pakaian bekas yang terdapat di thrift shop bersifat unik

dan memiliki ciri khasnya tersendiri. Pakaian bekas yang dijual di pasaran

hanya memiliki satu model untuk satu buah pakaian. Dari keunikan

terebutlah yang menjadi salah satu pendorong bagi konsumen yang

menyukai gaya pakaian yang berbeda dari orang kebanyakan.

Thrift shop menjual pakaian yang beragam, hal tersebut membuat

konsumennya merasa mendapatkan pengalaman baru untuk mendapatkan


32
Angela, Posmodernisme dan Budaya Pop, Kreasi Wacana, Bantul, 2018, hlm. 239.
33
Dara Teresia, “Daya Tarik Trend Fashion Korea Sebagai Budaya Populer di Kalangan
Mahasiswa”, Skripsi, Universitas Komputer Indonesia, 2012, hlm. 41.

21
pakaian bekas yang sesuai dengan selera individu masing-masing. Seiring

berkembangnya teknologi saat ini thrift shop dapat ditemui tidak hanya di

secara offline, namun juga terdapat thrift shop secara online.34

Berbagai macam produk dapat diperjualbelikan dalam bisnis Thrifting,

yang paling mudah tentu menjual pakaian bekas, celana, topi hingga sepatu.

Berikut adalah produk yang bisa dijual belikan dalam usaha thrift shop:35

1. Pakaian. Sebagai salah satu kebutuhan primer, pakaian pasti jadi komoditi

yang akan selalu dicari orang-orang. Ada banyak jenis pakaian bekas yang

bisa dijual, seperti kemeja floral, hoodie, sweater, celana jeans, celana

bahan, dan sebagainya. Jika pandai membeli, maka baju bekas branded

yang masih layak pakai seperti dari brand Uniqlo, H&M, Supreme, dan

lain-lain bisa menjadi pilihan. Bagi mereka, hal ini sudah menjadi bagian

dari gaya hidup mereka.

2. Sepatu. Menjual sepatu bekas branded dengan kondisinya masih bagus

bisa menjadi ladang bisnis yang menggiurkan untuk kamu yang mau

mencoba bisnis ini. Apalagi jika sepatu itu tergolong edisi terbatas seperti

sepatu merk Air Jordan, atau menjual sepatu yang punya sejarah karena

pernah dipakai orang terkenal. Ini akan jadi poin penting untuk memikat

konsumen.

3. Tas. Produk lain yang bisa dijual dalam usaha thrifting adalah tas,

umumnya mereka yang menggemari jenis produk ini adalah kaum hawa,

34
Rivaldi L. Saputro, “Thriftstore Surabaya (Studi Deskriptif Tentang Upaya
Mempertahankan Eksistensi Pakaian Bekas Sebagai Budaya Populer di Surabaya)”, Jurnal Fisip,
Vol. 7 No. 3, Oktober 2018, hlm. 346.
35
Ibid, hlm. 347.

22
biasanya mereka mencari tas bekas dari brand ternama seperti, Louis

Vuitton, Gucci, Chanel dan merk lain.

4. Jam tangan. Jam tangan yang dijual biasanya adalah jam tangan yang

bermerek maupun jam tangan yang dijual dengan edisi terbatas, jam yang

sering dijumpai dalam thrifting adalah merk dari Rolex, G-shock, Casio,

dan lain sebagainya.

Bisnis thrifting yang berpotensi mendatangkan keuntungan telah dicoba

oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Melihat traffic barang bekas

berkualitas dapat lebih efisien jika dibeli dibandingkan barang baru dapat

dicoba oleh masyarakat untuk dijadikan sebuah bisnis. Berikut beberapa

langkah dalam memulai bisnis thrifting:36

1. Menentukan modal. Memulai bisnis ini tidak membutuhkan modal besar,

cukup dengan modal Rp500.000 sudah bisa dilakukan. Misalnya, produk

yang akan dijual adalah baju bekas yang harganya cukup murah dan

tentunya masih layak pakai serta berkualitas. Hanya perlu waktu dan

energi dalam membeli barang bekas yang akan dijual. Sabar dalam

mencari barang yang masih bagus dan teliti memilihnya.

2. Menentukan jenis produk. Banyak jenis produk thrifting yang bisa dijual.

Namun, kuncinya adalah inovasi dari produk tersebut. Jika ingin

mempunyai karakter/ciri khas yang berbeda dari toko lain, maka bisa

mencoba memikirkan keunikan toko. Misalnya, pakaian bekas yang dijual

khusus bertemakan vintage.

36
Rivaldi L. Saputro, Loc.Cit.

23
3. Pemasaran. Pada era serba digital saat ini, dapat mengandalkan platform

seperti e-commerce dan media sosial untuk memasarkan produk. Hukum

jual beli dalam bisnis ini adalah semakin bagus kondisi barang dan

semakin terkenal brand yang dijual akan membuat harga jual barang

menjadi lebih bagus. Kelengkapan barang juga sering kali membuat harga

barang menjadi lebih mahal. Misal, sepatu bekas yang dijual masih

lengkap dengan dusnya. Selain itu, permisalan lain adalah saat menjual tas

dengan paper bag beserta price tag jika ingin harga jual tetap tinggi.

Tanpa ini, harga jual barang akan lebih rendah karena dianggap

kelengkapan barang tidak utuh.

D. Tinjauan Umum tentang E-Commerce

Istilah electronic commerce dapat dikatakan masih terdengar asing

disebagian besar masyarakat Indonesia. Pada umumnya transaksi e-commerce

diterapkan oleh golongan menengah ke atas. Sampai dengan saat ini, masih

belum ada suatu pendefinisian yang baku tentang keberadaannya dikenal juga

sebagai transaksi electronic commerce (e-commerce). E-commerce berasal

dari bahasa Inggris, penggabungan dua buah kata, yaitu kata E yang

merupakan kepanjangan dari Electronic dan kata Commerce. Menurut bahasa

(etimologi) adalah sebagai berikut (E) electronic adalah ilmu elektronik

(muatan listrik), alat-alat elektronik, atau semua hal yang berhubungan dengan

dunia elektronika dan teknologi. Sedangkan, (C) commerce adalah

perdagangan dan perniagaan. Adapun menurut istilah pengertian E-Commerce

24
adalah transaksi perdagangan melalui media elektronik yang terhubung

dengan internet.37

Menurut (terminologi) adalah menurut pandangan WTO (World Trade

Organization), e-commerce ini menyangkut semua kegiatan seperti produksi,

distribusi, pemasaran, penjualan, pengiriman barang atau jasa melalui cara

elektronik. Sementara, Alliance For Global Business mengartikan e-

commerce sebagai seluruh transaksi nilai yang melibatkan transfer informasi,

produk, jasa atau pembayaran melalui jaringan elektronika sebagai media.

Melalui media tersebut barang dan jasa yang bernilai ekonomi yang diracang,

dihasilkan, diiklankan, dikatalogkan, diinventarisasi, dibeli atau dikirimkan.38

Menurut Kalakota dan Whinston meninjau pengertian e-commerce dari

empat perspektif, yaitu:39

1. Perspektif komunikasi. Pada perspektif e-commerce merupakan sebuah

proses pengiriman barang, layanan, informasi, atau pembayaran melalui

komputer ataupun peralatan elektronik lainnya.

2. Perspektif proses bisnis. Pada perspektif ini e-commerce merupakan

sebuah aplikasi dari suatu teknologi menuju otomatisasi dari transaksi-

transaksi bisnis dan alur kerja (work flow).

3. Perspektif layanan. Pada perspektif ini e-commerce ialah suatu alat yang

memenuhi keinginan yang memenuhi keinginan perusahaan, manajemen,

dan konsumen untuk menurunkan biaya-biaya pelayanan di satu sisi dan

37
Adi Sulistyo Nugroho, E-commerce: Teori dan Implementasi, Ekuilibria, Yogyakarta,
2016, hlm. 3.
38
Ibid, hlm. 18-19.
39
Putu Agus Eka Pratama, E-commerce, E-business, dan Mobile Commerce, Informatika,
Bandung, 2015, hlm. 14.

25
untuk meningkatkan kualitas barang dan meningkatkan kecepatan layanan

pengiriman.

4. Perspektif online. Pada perspektif ini e-commerce menyediakan

kemampuan untuk membeli dan menjual produk atau barang serta

informasi melalui layanan internet maupun sarana online yang lainnya.

Definisi lain dikemukakan oleh Amir Hartman secara lebih terperinci

lagi mendefinisikan, “sebagai suatu jenis dari mekanisme bisnis secara

elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu

dengan menggunakan internet sebagai medium pertukaran barang atau jasa

baik antar dua buah institusi (B-to-C) maupun antarinstitusi dan konsumen

langsung (B-to-c).40

Selain itu, menurut Onno W. Purbo dan Aang Arif bahwa e-commerce

merupakan satu set dinamis teknologi, aplikasi, dan proses bisnis yang

menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas tertentu melalui

transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan, dan infomasi yang

dilakukan secara elektronik.41

Definisi e-commerce yang lain dapat ditemukan di dalam website Uni

Eropa, yaitu “e-commerce merupakan sebuah konsep umum yang

mencangkup keseluruhan bentuk transaksi bisnis atau pertukaran informasi

yang dilaksanakan dengan menggunakan/memanfaatkan teknologi informasi

40
Ibid.
41
Onno W. Purbo, Mengenal E-commerce, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001, hlm.
40.

26
dan komunikasi, yang terjadi antara perusahaan dan konsumen, atau antara

perusahaan dan lembaga-lembaga administrasi publik”.42

E-commerce adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut

konsumen (consumers), manufaktur (manufacture), service providers, dan

pedagang perantara (intermediaries) dengan menggunakan jaringan-jaringan

computer (computer networks), yaitu internet. E-commerce ini sudah meliputi

seluruh spektrum kegiatan komersial.43

Pengertian transaksi (e-commerce) yang dikemukakan oleh Julain Ding

bahwa ini adalah transaksi dagang antara penjual dan pembeli untuk

menyediakan barang, jasa, atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan

dengan media elektronik (digital medium) di mana para pihak tidak hadir

secara fisik. Media ini terdapat di dalam jaringan umum dengan sistem

terbuka yaitu Internet atau World Wide Web.44

Menurut Pasal 1 angka (2) UU ITE, transaksi elektronik adalah

perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan

komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Selain itu, menurut Adi

Nugroho mendefinisikan transaksi elektronik (e-commerce) adalah

persetujuan jual beli antara pihak pembeli dengan penjual secara elektronik

yang biasanya menggunakan jaringan komputer pribadi. Pada hal ini,

konsumen yang menggunakan browser web untuk melakukan pemesanan dan

42
Ibid.
43
Ibid.
44
Sugeng Santoso, “Sistem Transaksi E-Commerce dalam Perspektif KUHPerdata dan
Hukum Islam”, Jurnal Ahkam, Vol. 4 No. 2, November 2016, hlm. 223.

27
menyediakan informasi dengan bentuk pembayaran seperti kartu kredit, digital

cash atau cek elektronik.45

Terlepas dari berbagai definisi yang ditawarkan dan dipergunakan oleh

berbagai kalangan, terdapat kesamaan dari masing-masing definisi tersebut.

Kesamaan tersebut memperlihatkan bahwa e-commerce memiliki karakteristik

sebagai berikut:46

1. Terjadinya transaksi antara dua belah pihak.

2. Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi.

3. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme

perdagangan tersebut.

Jadi, dapat dipahami bahwa secara garis besar e-commerce itu mengacu

pada jaringan internet untuk melakukan belanja online dan cara transaksinya

melalui transfer uang secara digital. Jenis-jenis e-commerce dapat dibedakan

menjadi beberapa jenis yaitu:47

1. Bisnis ke Bisnis (Business to Business). Disingkat dengan B2B adalah

transaksi secara elektronik antara entitas atau obyek bisnis yang atau ke

obyek bisnis lainnya. Transaksi B2B merupakan sistem komunikasi

bisnis online antar pelaku bisnis. Aktivias e-commerce dalam ruang

lingkup ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu

sendiri. Pebisnis yang mengadakan perjanjian tentu saja adalah para pihak

yang bergerak dalam bidang bisnis yang dalam hal ini meningkatkan

45
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
46
Adi Sulistyo Nugroho, Loc.Cit.
47
Arsyad Sanusi, Hukum E-commerce, Dian Ariesta, Jakarta, 2004, hlm. 252.

28
dirinya dalam suatu perjanjian untuk melakukan usaha dengan pihak

pebisnis lainnya. Pihak yang mengadakan perjanjian dalam hal ini adalah

Internet Service Provide (ISP) dan Website atau Keybase (ruang

elektronik). ISP itu sendiri adalah pengusaha yang menawarkan akses

kepada internet. Karakteristik dari B2B sebagai berikut:48

a. Trading partner yang sudah saling mengetahui dan antar mereka

sudah saling terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama.

Pertukaran informasi yang dilakukan antar pembisnis tersebut atas

dasar kebutuhan dan kepercayaan.

b. Pertukaran informasi yang dilakukan dengan format yang sudah

disepakati. Jadi, service sistem yang digunakan antar kedua pembisnis

juga menggunakan standar yang sama.

c. Salah satu pelaku bisnis tidak harus menunggu rekan bisnisnya untuk

mengirimkan datanya.

d. Sarana yang digunakan EDI (Electronic Data Interchange) dan model

yang umum digunakan adalah peer-to-peer, dengan model ini antar

pelaku bisnis lebih mudah untuk mendistribusikan informasi yang

dimilikinya. EDI adalah sebuah metode pertukaran dokumen bisnis

antar aplikasi komputer–antar perusahaan/instansi secara electronis

dengan menggunakan format standar yang telah disepakati.

Perkembangan B2B lebih pesat jika dibandingkan dengan

perkembangan jenis transaksi e-commerce lainnya. Contoh dari B2B

48
Endang Wahyuni, Aspek Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 90.

29
adalah Global Market Grup (GMC). Global Market Group adalah

sebuah perusahaan perdagangan internasional pemasaran.

2. Bisnis ke Konsumen (Business to Consumer). Salah satu bagian dari

proses E-Commerce Retail atau E-Commerce Businness to Customer

(B2C) ini adalah proses dropship, yaitu proses pemesanan barang oleh

konsumen untuk kemudian dilakukan proses pengiriman barang pesanan

tersebut sesuai dengan alamat yang diberikan oleh konsumen. Adapun

karakteristik dari B2C sebagai berikut:49

a. Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan untuk umum.

b. Servis yang diberikan bersifat umum dengan menggunakan layanan

sudah dinikmati masyarakat secara ramai.

c. Servis diberikan berdasarkan permohonan. Konsumen

melakukaninisiatif dan produser harus siap memberikan respon sesuai

dengan permohonan.

d. Pendekatan yang dilakukan adalah Client Server, dimana konsumen

berada pada sisi Client, dengan menggunakan Web Browser untuk

mengaksesnya, dan pelaku usaha berada pada sisi server.

3. Konsumer ke Konsumen (Consumer to Consumer). Konsumen ke

Konsumen merupakan tradisi bisnis secara elektronik yang dilakukan

antar konsumen untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Contohnya,

tokopedia.com dan bukalapak.com. Adapun karakteristik dari C2C

(Consumer to Consumer) sebagai berikut:50

49
Ibid, hlm. 95.
50
Joko Salim, Step by Step Online, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2009, hlm. 23.

30
a. Pada lingkup konsumen ke konsumen bersifat khusus karena transaksi

yang dilakukan hanya antar konsumen saja, seperti Lelang Barang.

b. Internet dijadikan sebagai saran tukar menukar informasi tentang

produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya.

c. Konsumen juga membentuk komunitas pengguna atau penggemar

suatu produk.

Selain ketiga jenis e-commerce di atas, juga terdapat beberapa jenis

transaksi e-commerce lainnya yang telah dikenal diantaranya:51

1. Konsumen ke Bisnis (Consumer to Business) adalah transaksi yang

memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan yang

membutuhkan. Contohnya, EBay (www.ebay.com) dan lapak kaskus

(www.kaskus. co.id).

2. Pemerintah ke Bisnis (Government to Business) adalah bentuk dari e-

commerce yang melibatkan pemerintah dengan pihak bisnis (perusahaan).

Contohnya, transaksi G2C adalah perusahaan membayar pajak secara

online kepada pemerintah.

3. Government to Citizen (G2C) merupakan e-commerce yang melibatkan

pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) dengan

masyarakat umum (baik pribadi maupun kelompok, namun bukan dalam

bentuk perusahaan). Contoh, pemerintah suatu wilayah ingin melelang

sejumlah peralatan kantor dan beberapa buah gedung kepada masyarakat

umum, baik perorangan maupun kelompok (bukan perusahaan).

51
Ibid, hlm. 66.

31
Secara umum dalam penggunaan teknologi lainnya, e-commerce

mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Berikut ini diuraikan

beberapa keuntungan dan kerugian e-commerce terhadap individu, masyarakat

dan negara.52

1. Bagi Individu (penjual dan pembeli). Bagi penjual memudahkan dalam

pemasaran produk karena sudah terdapat banyak media sosial yang

membantu para pebisnis online dalam pemasarannya. Memudahkan

penjual dalam mengontrol semua aktivitas aliran produknya sehingga

meminimalisir pencurian produk oleh beberapa oknum tidak brtanggung

jawab. Banyak pebisnis e-commerce membuka jam pemesanan lebih lama

bahkan dapat mencapai waktu 24 jam dalam sehari. Bagi pembeli juga e-

commerce memudahkan dalam pencarian berbagai macam produk yang

dilakukan dengan mudah tanpa harus mengunjungi toko yang menjual

produk tersebut. Home shopping, pembeli dapat melakukan transaksi dari

rumah sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan

jangkauan toko-toko yang jauh dari lokasi pembeli. Product on demand,

Pembeli dapat mencari produk sesuai dengan keinginan dan

mendapatkannya. Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau

sulit diperoleh di outlet-outlet atau pasar tradisional.

2. Bagi Masyarakat, e-commerce memungkinkan banyak orang yang untuk

bekerja di rumah mereka sendiri dan untuk mengurangi frekuensi

perjalanan yang harus mereka lakukan untuk berbelanja keluar rumah. E-

52
Abdul Halim Barakatullah, Bisnis EcCommerce: Studi Sistem Keamanan dan Hukum di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 2.

32
commerce memungkinkan sejumlah pedagang untuk menjual barang-

barang atau jasa-jasa mereka dengan harga yang lebih murah, sehingga

jumlah orang yang dapat membeli produk atau jasa mereka akan menjadi

lebih banyak, sekaligus dapat meningkatkan standar hidup mereka.

Memungkinkan masyarakat mendapatkan pemerataan produk karena

banyak pebisnis online yang mencangkup pengiriman seluruh dalam

negeri ataupun luar negeri. E-commerce dapat memfasilitasi pemberian

layanan-layanan publik, seperti perawatan kesehatan, pendidikan,

pendistribusian layanan-layanan sosial dari pemerintah dengan biaya yang

lebih murah dan/atau dengan kualitas yang lebih baik.

3. Bagi Negara, banyak keuntungan untuk berbagai macam pajak penjualan

dan pajak ekspok impor produk-produk tersebut. Tarif ekonomi negara

dapat meningkat karena jika suatu negara sudah mempunyai produk yang

berkualitas dan banyak digemari maka akan banyak masyarakat terutama

masyarakat luar negeri yang ingin membeli produk tersebut.

Pemaparan keuntungan di atas tidak terlepas dari kerugian yang dialami

oleh e-commerce selama melabuhkan aktivitasnya. Berikut beberapa

kerugian dimaksud:53

1. Bagi Individu, rentannya terjadi penipuan online oleh para pebisnis online

palsu. Membuat individu menjadi lebih malas untuk mendatangi langsung

dan melihat kualitas barang secara langsung. Pembeli tidak semuanya

mempergunakan teknologi yang sama. Tidak semua orang memiliki akses

53
Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit.

33
terhadap internet. Organisasi/manajer butuh untuk meningkatkan

pengetahuan mengenai teknologi informasi.

2. Bagi Masyarakat, membuat masyarakat lebih konsumtif karena dengan

mudahnya melihat dan mencari produk-produk yang sedang trending

mendorong masyarakat ingin memiliki semua produk-produk tersebut

karena dapat didapatkan dengan mudah. Mendorong perilaku egoisme

karena terkadang masyaarakat lebih mengutamakan atau meninggikan

dirinya sendiri dari lingkungannya karena ingin tampil lebih dengan

produk-produk yang sedang trending.

3. Bagi Negara, sering dirugikan oleh produk-produk hasil ilegal dan

berbagai macam aktivitas penggelapan barang yang terjadi dalam bisnis

e-commerce. Negara juga akan mendapatkan pencemaran nama baik

apabila terdapat oknum-oknum penjual dalam negeri yang memalsukan

ataupun melakukan kejahatan dalam aktivitas e-commerce.

E. Perjanjian Jual Beli dalam Perspektif Islam

Menurut hukum Islam, perjanjian berasal dari kata aqad yang secara

etimologi berarti “menyimpulkan”. Menurut Abdul Aziz Muhammad, kata

aqad dalam bahasa berarti ikatan dan tali pengikat, maka secara bahasa makna

aqad sebagai menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya

janji dan sumpah demi menguatkan biat berjanji untuk melaksanakannya isi

sumpah atau meninggalkannya, demikian juga dengan janji sebagai perekat

hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkannya.54

54
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, CV. Penerbit
Diponegoro, Bandung, 2000, hlm. 48.

34
Berdasarkan permasalahan yang dikaji menyangkut masalah hidup dan

kehidupan ini, tentunya tidak terlepas dari dasar hukum yang akan kita jadikan

sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasahan yang akan dihadapi. Jual

beli sudah dikenal masyarakat sejak dahulu yaitu sejak zaman para Nabi.

Sejak zaman itu, jual beli dijadikan kebiasaan atau tradisi oleh masyarakat

hingga saat ini. Adapun dasar hukum yang disyari’atkannya jual beli dalam

Islam yaitu:55

1. Al-Quran

Manusia hidup di dunia secara individu mempunyai kebutuhan-

kebutuhan yang harus dipenuhi, baik itu berupa sandang, pangan, papan,

dan lain sebagainya. Kebutuhan seperti itu tidak pernah terputus dan tidak

pernah terhenti selama manusia itu hidup. Oleh karena itu, tidak ada satu

hal pun yang lebih sempurna dalam memenuhi kebutuhan itu selain

dengan cara pertukaran, yaitu dimana seorang memberikan apa yang ia

miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang

lain sesuai kebutuhan. Jual beli adalah suatu perkara yang telah dikenal

masyarakat sejak zaman dahulu yaitu sejak zaman para Nabi hingga saat

ini. Maka, Allah Swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan

dan keleluasaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya itu dalam Q.S. al-

Baqarah ayat 275 tentang diperbolehkan jual beli yang berbunyi:

‫ٱَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن ٱلِّر َبٰو ۟ا اَل َيُقوُم وَن ِإاَّل َك َم ا َيُقوُم ٱَّلِذ ى َيَتَخَّبُطُه ٱلَّش ْيَٰط ُن ِم َن ٱْلَم ِّس ۚ َٰذ ِلَك ِبَأَّنُهْم َقاُلٓو ۟ا ِإَّنَم ا ٱْلَبْيُع ِم ْثُل‬
‫َٰٓل‬
‫ٱلِّر َبٰو ۟ا ۗ َو َأَح َّل ٱُهَّلل ٱْلَبْيَع َو َح َّر َم ٱلِّر َبٰو ۟ا ۚ َفَم ن َج ٓاَء ۥُه َم ْو ِع َظٌة ِّم ن َّرِّبِهۦ َفٱنَتَهٰى َفَل ۥُه َم ا َس َلَف َو َأْم ُر ٓۥُه ِإَلى ٱِهَّللۖ َو َم ْن َعاَد َفُأ۟و ِئَك‬

‫َأْص َٰح ُب ٱلَّناِر ۖ ُهْم ِفيَها َٰخ ِلُد وَن‬

55
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam, Kairo, 2000, hlm. 548.

35
Artinya: Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

Ayat di atas bermakna yaitu bisa jadi merupakan bagian dari

perkataan mereka (pemakan riba) dan sekaligus menjadi bantahan

terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka mengatakan hal tersebut

(innam al-bai’u matsalu al-riba) padahal sebenarnya mereka mengetahui

bahwasanya terdapat perbedaan antara jual beli dan riba. Dia maha

mengetahui lagi maha bijaksana, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-

Nya dan Allah tidak dimintai pertanggungjawaban. Dialah yang maha

mengetahui segala hakikat dan kemaslahatan persoalan apa yang

bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya. Maka, Dia akan membolehkannya

bagi mereka. Kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya lebih besar

daripada sayangnya seorang ibu kepada anak bayinya.

Melalui ayat tersebut, Allah Swt memperbolehkan kepada manusia

untuk melaksanakan transaksi jual beli demi memenuhi kebutuhan

hidupnya. Akan tetapi, tentu saja transaksi jual beli itu harus sesuai dengan

koridor atau ketentuan yang telah Allah Swt berikan. Kemudian, Allah

Swt menyerukan kepada manusia agar mencari karuniannya dan selalu

ingat kepadanya.

2. Hadits

Hadits yang menerangkan tentang jual beli adalah HR. Bukhori yang

berbunyi:

36
Artinya: Dari Jabir bin Abdullah r.a bahwasanya ia mendengar Rasululloh

bersabda pada tahun kemenangan di Mekah: Sesungguhnya Allah dan

Rasul-Nya mengharamkan menjual minuman yang memabukkan (Khamr),

bangkai, babi dan berhala. Lalu ada orang bertanya, “ya, Rasululloh bagai

manakah tentang lemak bangkai, karena dipergunakan mengecat perahu-

perahu supaya tahan Air, dan meminyaki kulit-kulit, dan orang-orang

mempergunakannya, untuk penerangan lampu? Beliau menjawab, “ tidak

boleh, itu haram” kemudian diwaktu itu Rasulullah saw., bersabda: Allah

melaknat orang-orang yahudi, sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan

lemaknya bagi mereka, mereka cairkan lemak itu kemudian dijualnya

kemudian mereka makan harganya (HR. Bukhori).

Melalui uraian hadits di atas dapat di simpulkan bahwa manusia

yang baik memakan suatu makanan adalah memakan hasil usaha

tangannya sendiri. Maksudnya, apabila kita akan menjual atau membeli

suatu barang, yang diperjual belikan harus jelas dan halal, dan bukan milik

orang lain, melainkan milik kita sendiri. Allah melarang menjual barang

37
yang haram dan najis, maka Allah melaknat orang-orang yang melakukan

jual beli barang yang diharamkan, seperti menjual minuman yang

memabukkan (Khamr), bangkai, babi lemak bangkai dan berhala.56

Syarat sah perjanjian menurut hukum Islam adalah sebagai berikut:57

a. Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidam) melakukan ijab dan qabul

dinyatakan oleh sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz

yakni bisa menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan,

hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya.

b. Pernyataan kehendak para pihak (shighatul-‘aqad) syaratnya ada

persetujuan ijab (penawaran) dan qobul (penerimaan) dan kesatuan

majelis akad. Hak ini harus dicapai tanpa adanya paksaan atau secara

bebas.

c. Objek akad, syaratnya harus sudah ada ketika berlangsung akad, objek

akad dapat menerima hukum akad, objek akad harus dapat ditentukan

dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad dan objek

akad dapat ditransaksikan.

3. Dasar Ijma’

Para ulama fiqih dari dahulu sampai dengan sekarang telah sepakat

bahwa pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali

ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah yang telah diuraikan di atas

dapat dijadikan dasar atau hujjah dalam menetapkan hukum berbagai

56
Muhammad Abdullah Abu Al-Imam Al-Bukhori, Kitab Shahih Bukhori, Dahlan,
Bandung, 2008, hlm. 1223.
57
Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, Amzah,
Jakarta, 2010, hlm. 15.

38
masalah berkenaan dengan keuangan syariah. Dari dasar hukum

sebagaimana tersebut di atas bahwa jual beli itu adalah hukumnya mubah.

Artinya, jual beli itu diperbolehkan asal saja di dalam jual beli tersebut

memenuhi ketentuan yang telah ditentukan di dalam jual beli dengan

syarat-syarat yang sesuaikan dengan hukum Islam.58

Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat

urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang

orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syari’at. Oleh karena

itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah

Saw hingga saat ini menunjukan bahwa umat telah sepakat akan

disyariatkannya jual beli.59

Agama Islam melindungi hak manusia dalam pemilikan harta yang

dimilikinya dan memberi jalan keluar untuk masing-masing manusia

untuk memiliki harta orang lain dengan jalan yang telah ditentukan,

sehingga dalam Islam perinsip perdagangan yang diatur adalah

kesepakatan keduabelah pihak yaitu penjual dan pembeli. Sebagaimana

yang telah digariskan oleh prinsip muamalah adalah sebagai berikut:60

a. Prinsip kerelaan.

b. Prinsip bermanfaat.

c. Prinsip tolong-menolong.

d. Prinsip tidak terlarang.

F. E-commerce dalam Perspektif Islam


58
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Al-Ma’arif, Bandung, 2007, hlm. 46.
59
Ibid, hlm. 50.
60
H.M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 144.

39
Apabila dilihat dari sistemnya serta prinsip operasionalnya, Berdasarkan

pendapat yang membolehkan transaksi e-commerce, menurut Setiwan Budi

Utomo menyatakan bahwa e-commerce menurut fiqih kontemporer

sebenarnya merupakan alat, media, metode teknis ataupun sarana (wasilah)

yang dalam kaidah syariah bersifat fleksibel, dinamis dan variabel. Hal ini

termasuk dalam kategori umuriddunya (persoalan teknis keduniawian) yang

Rasulullah Saw pasrahkan sepenuhnya selama dalam koridor syariah kepada

umat Islam untuk menguasai dan memanfaatkannya demi kemakmuran

bersama. Namun, dalam hal ini ada yang tidak boleh berubah atau bersifat

konstan dan prinsipil, yakni prinsip-prinsip syariah dalam muamalah tersebut

di atas tidak boleh dilanggar dalam mengikuti perkembangan. Menurut

Wahbah Az-Zuhaili, prinsip dasar dalam transaksi muamalah dan

persyaratannya yang terkait dengannya adalah boleh selama tidak dilarang

oleh syariah atau bertentangan dengan dalil (nash) syariah.61

Hukum transaksi dengan menggunakan media e-commerce adalah boleh

dilihat dari segi kemaslahatan dan kebutuhan manusia akan kemajuan

teknologi yang cepat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.62 Landasan

syariah tentang transaksi e-commerce adalah QS. an-Nisa ayat 29 yang

berbunyi:

ۚ ‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َتْأُك ُلٓو ۟ا َأْم َٰو َلُك م َبْيَنُك م ِبٱْلَٰب ِط ِل ِإٓاَّل َأن َتُك وَن ِتَٰج َر ًة َعن َتَر اٍض ِّم نُك ْم ۚ َو اَل َتْقُتُلٓو ۟ا َأنُفَس ُك ْم‬
‫ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبُك ْم َر ِح يًم ا‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
61
Sugeng Santoso, Loc.Cit.
62
Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 22.

40
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu

membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus

kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Dalam ayat ini Allah

mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan

harta orang lain dengan jalan yang bathil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh

syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan

jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas. Dalam ayat ini

Allah juga melarang untuk bunuh diri sendiri maupun saling membunuh. Dan

Allah melarang semua ini, sehingga wujud dari kasih sayang-Nya, karena

Allah itu Maha Kasih Sayang. Selanjutnya, terdapat juga Hadits Rasulullah

Saw mengenai e-commerce yang berbunyi:

Artinya: Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a., Bahwasannya Nabi s.a.w.

ditanya:”Pekerjaan apakah yang terbaik?” Beliau menjawab:”Ialah orang yang

bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih (HR.

Hakim).

Hadits di atas menjelaskan ketika Rasulullah Saw ditanya tentang usaha

yang paling baik, maka ia menjawab, bahwa usaha yang baik ialah usaha yang

paling halal dan paling berkah, mengusahakan dari jual beli yang bersih dari

41
tipu daya. Jadi berdagang adalah suatu usaha yang paling baik, akan tetapi di

dalam pelaksanaannya haruslah jujur agar tidak ada pihak yang dirugikan.

42

Anda mungkin juga menyukai