Anda di halaman 1dari 92

PEMENUHAN HAK ATAS INFORMASI KONSUMEN

DALAM PERJANJIAN JUAL BELI THRIFTING ONLINE MELALUI

APLIKASI SHOPEE

SKRIPSI

Oleh:

TANYA KHANSA GIANTA PRAMESWARI

No. Mahasiswa: 19410354

PROGRAM STUDI HUKUM PROGRAM SARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman di era milenial (industry 4.0) menimbulkan

berbagai dampak. Globalisasi menjadi tantangan utama bagi bangsa-bangsa di

dunia. Zaman yang sebelumnya serba manual berubah menjadi serba digital.

Tak pelak, hal tersebut berpengaruh terhadap sistem perdagangan dunia.

Perdagangan di era industri 4.0 telah mengalami perubahan yang pesat dan

dikenal dengan istilah electronic commerce (e-commerce).1 E-commerce

adalah perdagangan melalui media internet dan menggunakan media

elektronik. Realitanya e-commerce diartikan sebagai perdagangan dengan

internet. E-commerce dipahami sebagai kegiatan bertransaksi berupa barang

dan jasa secara elektronik.2

Keunggulan e-commerce adalah efisiensi. Ketika membahas hukum e-

commerce, maka berkaitan dengan hukum internet. Internet adalah dunia

virtual. Aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce dalam

konteks ini adalah interaksi bersama atau dengan internet. 3 Keuntungan jual

beli melalui media elektronik adalah tidak apa-apa untuk tidak mengunjungi

tempat. Pembeli cukup mengunjungi ke web yang dituju dan memilih barang

yang dikehendaki. Pemilihan barang bisa dari kediaman. Pembelian bisa

1
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1997, hlm.1.
2
Gunawan Wijaya, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2000, hlm. 59.
3
Ibid.

1
secara fleksibel. Selain itu, Penjual menekan ongkos dengan cukup bantuan

internet. Alasan ini membuat digemari oleh masyarakat Indonesia.4

E-commerce memiliki banyak kelemahan. Salah satu kelemahannya

adalah kualitas barang diminati mempunyai kualitas berbeda dengan yang

tercantum di website. Hal inilah yang menyebabkan sering dirugikannya para

Konsumen di dalam transaksi jual beli melalui media elektronik. Sebab, apa

yang seharusnya menjadi hak mereka tidak dapat terpenuhi sebagaimana

mestinya. Barang yang dibeli mudah rusak atau pecah karena media

pengiriman.5 Selain itu, rentan aksi penipuan sebagaimana banyak kasus

ketika Pembeli telah mengirim sejumlah uang yang disepakati, barang yang

dibeli tidak dikirim. Pembayaran yang dilakukan melalui internet juga

menyebabkan sering terjadinya aksi pembobolan terhadap rekening

Konsumen.6

Dewasa ini, e-commerce yang memiliki tingkat kepercayaan tinggi di

kalangan masyarakat ialah Shopee. Fitur gratis ongkir serta harga produk

yang dijual sangat terjangkau dari harga normal membuat masyarakat tertarik

untuk menggunakan platform tersebut. Aplikasi Shopee memberikan fitur-

fitur yang memudahkan Pembeli dalam bertransaksi. Selain itu, produk-

produk yang dipasarkan di Shopee pun sangat banyak mulai dari pakaian,

sepatu, tas, jam tangan dan masih banyak produk lainnya. Produk-produk

tersebut dijual dalam bentuk baru maupun bekas. Belakangan ini dalam

4
Ibid.
5
Ediko Waran, Belanja Daring. Perkembangan Teknologi Komunikasi Online, Universitas
Indonesia, Jakarta, 2009, hlm. 23.
6
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 155.

2
platform Shopee baru diramaikan dengan Penjualan pakaian bekas (thrifting).

Thrifting merupakan usaha yang menjual barang- barang bekas yang masih

berkualitas dan layak pakai, dimulai dari barang langka hingga barang dengan

brand yang terkenal.7

Kecenderungan generasi millenial untuk cepat bosan dalam memiliki

sebuah barang menjadi peluang bisnis yang kini semakin marak disebut

dengan thrifting. Bisnis ini semakin hits semenjak tren menjual barang

preloved yaitu di mana seseorang menjual barang pribadi miliknya yang

masih dalam kondisi baru karena berbagai alasan secara pribadi semakin

banyak dilakukan banyak orang. Akan tetapi hal tersebut tidak diimbangi para

pelaku usaha dalam memperhatikan hak-hak para Pembeli. Padahal

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen, di mana hak-hak yang dimiliki Konsumen

disebutkan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 salah

satunya ialah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa.8

Konsumen dalam “mengkonsumsi” produk (barang/jasa) selalu

menginginkan adanya kepuasan terhadap produk yang dikonsumsinya.

Sedangkan pelaku usaha cenderung menginginkan untuk memperoleh

keuntungan ekonomis dari hubungan itu. Keinginan kedua belah pihak

tersebut akan mudah untuk dicapai apabila keduanya melaksanakan

kewajiban secara benar dan dengan dilandasi itikad baik. Kenyataan yang

7
Ibid.
8
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3
muncul adalah seringkali Konsumen tidak memperoleh informasi

sebagaimana mestinya mengenai barang yang akan dibelinya, hal tersebut

berakibat barang yang diterima oleh Konsumen tidak sesuai dengan gambar

atau deskripsi yang telah dicantumkan oleh para pelaku usaha dan merugikan

para konsumen berkaitan atau berkenaan. Oleh karena itu, dibuat ketentuan di

semua negara untuk lindungi konsumen.9

Pasal 9 UU ITE menyebutkan bahwa pelaku usaha yang menawarkan

produk melalui Sistem Elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap

dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan produk yang

ditawarkan. Informasi yang dibuat oleh pelaku usaha untuk menarik

Konsumen harus benar-benar sesuai dengan barang/jasa yang ditawarkannya

agar tidak memunculkan ekspektasi yang berbeda dari pihak Konsumen. 10

Berdasarkan perspektif perlindungan Konsumen, tahap-tahap dalam transaksi

antara pelaku usaha dan Konsumen, maka hak yang paling penting adalah hak

atas informasi, yang diatur dalam Pasal 4 huruf c dan Pasal 7 huruf b

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar,

jelas dan jujur mengenai kondisi barang yang hendak diperjualbelikan. Hak

atas informasi ini penting, karena informasi yang diperoleh menjadi dasar

bagi Konsumen dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan transaksi

9
Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka Bani Quraisy,
Bandung, 2004, hlm.166.
10
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

4
atau keputusan hendak menggunakan atau tidak menggunakan suatu produk

barang dan jasa.11

Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar Konsumen

dapat memperoleh gambaran baik tentang suatu produk. Terutama produk

thrifting karena dengan informasi tersebut Konsumen dapat memilih produk

yang diinginkan serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam

penggunaan produk. Sebagai contoh kasus, Penulis menemukan salah seorang

mahasiswa pada sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Yogyakarta yang

merupakan Konsumen transaksi jual beli online di Shopee yaitu Ahyaul

Maghfiroh. Pada September 2021, Ahya berniat untuk membeli salah satu

produk pakaian bermerek Supreme. Toko tersebut tidak hanya menjual

pakaian saja, akan tetapi banyak bentuk produk-produk thrifting lain, seperti

sepatu maupun jam tangan bermerek juga turut dipublikasikan. Setelah

melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Ahya pun merasa yakin dan

membeli di toko tersebut. Ahya merasa beruntung mendapatkan pakaian

bermerek Supreme dengan harga yang terjangkau. Terdapat pula informasi

yang menyebutkan bahwa pakaian Supreme tersebut asli buatan pabrik

Indonesia. Setelah bernegoisasi terjadilah kesepakatan mengenai harga dan

waktu pengiriman. Barang yang dibeli oleh Ahya pun sampai, tentu terdapat

perasaan senang karena barang yang didambakannya telah sampai dengan

aman. Akan tetapi, rasa kecewa muncul karena barang thrifting yang

dibelinya tidak sesuai dengan apa yang diinformasikan Penjual. Barang yang

11
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

5
dibeli Ahya ternyata bukan pakaian thrifting bermerek Supreme produksi

melainkan pakaian Supreme impor produksi dari USA.12

Berdasarkan kasus tersebut, pelaku usaha dalam jual beli online tersebut

telah melanggar kewajibannya untuk menyampaikan informasi yang benar

kepada Konsumen. Hal demikian mengarahkan pelaku usaha kepada

pelanggaran terhadap Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, yang menyebutkan bahwa hak Konsumen adalah

hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/ atau jasa.13 Selain itu, perbuatan impor pakaian bekas untuk

dijual kembali dalam bisnis thrifting tidak diperbolehkan sebagaimana diatur

dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 Tentang

Barang-Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.14

Idealitanya pada ilustrasi di atas, Konsumen dalam hal ini Ahya, yang

baru mendapat barang thrifting tidak sesuai informasi, wajib mendapat

perlindungan hukum. Sebab, Konsumen mempunyai hak untuk mendapat

barang yang sesuai karena sudah menunaikan kewajibannya membayar.

Namun, realita yang terjadi justru mengarah kepada ketidak-pemenuhan hak

Ahya selaku Konsumen. Ahya sebagai Konsumen belum mendapat

perlindungan hukum yang layak, sesuai musibah yang dia alami.

Idealitanya pada ilustrasi sebelumnya, Pelaku usaha seharusnya

bertanggung jawab atas deskripsi yang ditulis pada laman Shopee. Sebab,

12
Wawancara dengan Ahyaul Maghfiroh, Pembeli, di Yogyakarta, 10 Oktober 2022.
13
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
14
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan
Barang Dilarang Impor.

6
kesesuaian antara barang dengan deskripsi harus sama. Hal ini untuk

kepentingan Ahya sebagai Konsumen dan Pelaku usaha dalam menjaga nama

baiknya. Namun, realita yang terjadi, setelah barang sampai kepada Ahya,

Pelaku usaha seketika menghilangkan jejak. Selaku Konsumen, Ahya

menanggung kerugian tersebut secara sendiri.

Berangkat dari permasalahan di atas, penelitian ini mengangkat judul,

“Pemenuhan Hak atas Informasi Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli

Thrifting Online melalui Aplikasi Shopee”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat

dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemenuhan

hak atas informasi dalam perjanjian jual beli thrifting online melalui

aplikasi Shopee?

2. Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha ketika barang yang dijual tidak

sesuai dengan informasi yang tertera pada perjanjian jual beli thrifting

melalui aplikasi Shopee?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Mengetahui perlindungan hukum bagi Konsumen terhadap pemenuhan

hak atas informasi dalam perjanjian jual beli thrifting online melalui

aplikasi Shopee.

7
2. Mengetahui tanggung jawab pelaku usaha ketika barang yang dijual tidak

sesuai dengan informasi yang tertera pada perjanjian jual beli thrifting

melalui aplikasi Shopee.

D. Orisinalitas Penelitian

Penulis melakukan penelusuran dengan beberapa penelitian sebelumnya

yang memiliki kesamaan dan juga perbedaan untuk mengetahui keaslian

penelitian yang disajikan dalam tabel sebagai berikut:

Penulis Judul & Perbedaan Persamaan


Tahun
Dewa Legalitas Perbedaan fokus kajian Persamaan adalah
Angga Thrift shop dengan penelitian ini membahas
dan Preloved adalah membahas bagaimana jual
di Indonesia bagaimana hak beli thrifting
– 2021. pemenuhan atas berjalan di
informasi didapatkan Indonesia.
oleh Konsumen yang
membeli pakaian bekas
sesuai dengan regulasi
hukum positif.
Henita Optimalisasi Perbedaan fokus kajian Persamaan adalah
Saputri Pengawasan dengan penelitian ini memberikan
Penjualan adalah mengenai pandangan
Thrifting pemenuhan hak atas terhadap
(Baju Bekas) informasi bagi perlindungan
Paketan Konsumen yang Konsumen yang
Secara membeli baju bekas di menjual-belikan
Online di aplikasi Shopee. pakaian bekas.
Kota Pangkal

8
Pinang –
2022.
M. Herman Perlindungan Perbedaan fokus kajian Persamaan adalah
Effendi Konsumen dengan penelitian ini pelaksanaan jual
dalam Jual adalah membahas beli dilakukan
Beli Pakaian mengenai pemenuhan melalui aplikasi e-
Bekas Impor hak atas informasi bagi commerce.
Melalui Konsumen yang
Aplikasi menjual dan membeli
Sosial Media pakaian bekas melalui
Instagram di aplikasi Shopee.
Indonesia –
2022.
Dyah Ayu Perlindungan Perbedaan fokus kajian Persamaan adalah
P. Konsumen dengan penelitian ini pelaksanaan jual
Terhadap adalah aplikasi yang beli dilakukan
Jual Beli digunakan. Penelitian melalui aplikasi e-
Thrifting ini menggunakan commerce.
Melalui Shopee, sedangkan
Aplikasi penelitian dalam
Tiktok di orisinalitas
Indonesia - menggunakan Tiktok.
2021
Sar Hak Atas Perbedaan fokus kajian Persamaan adalah
Nicholas Perlindungan dengan penelitian ini pelaksanaan jual
Konsumen adalah penelitian ini beli dilakukan
Terhadap menggunakan Shopee, melalui aplikasi e-
Barang yang sedangkan penelitian commerce.
Rusak dalam dalam orisinalitas
Jual Beli menggunakan
Thrifting

9
Online Tokopedia.
Melalui
Tokopedia -
2021

Berdasarkan uraian pada tabel di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

penelitian yang dilakukan oleh Penulis adalah orisinal. Penelitian ini belum

dikaji oleh pihak lain. Penelitian bersumber dari pemikiran, sehingga dapat

dipertanggungjawabkan keasliannya demi menghormati asas keilmuan

berupa kejujuran, rasional, terbuka, dan objektif.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Kata konsumen merupakan istilah yang digunakan masyarakat

untuk seorang pengonsumsi atau pemanfaat suatu barang atau jasa.

Selain itu, sebagian orang juga memberi batasan pengertian konsumen

yaitu orang yang memiliki hubungan langsung antara pelaku usaha dan

konsumen. Pengertian demikian dapat dibenarkan bahwa setiap orang

yang menggunakan jasa atau mengkonsumsi antara pelaku usaha dengan

konsumen dan hanya mengkonsumsi dapat dikatakan sebagai

konsumen.15

Konsumen merupakan orang yang memerlukan, membelanjakan

atau menggunakan. Adapun istilah Konsumen berasal dari bahasa inggris

yaitu consumer. Konsumen diartikan sebagai pemakai terakhir dari

produk yang diserahkan kepada mereka oleh pengusaha. Setiap orang


15
Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 22.

10
yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan

atau diperjualbelikan lagi.16

Konsumen pemakai dalam arti sempit mengacu pada Konsumen

pemakai terakhir. Menghindari kerancuan pemakaian istilah “konsumen”

yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya.17 Beberapa

peraturan undang-undang memberikan pengertian tentang konsumen.

Misalnya, dalam Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen,

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang

tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk

diperdagangkan.18

Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

Konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan

martabat Konsumen serta membuka akses informasi tentang barang

dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkan sikap pelaku usaha yang jujur

dan bertanggung jawab.19 Menurut A.Z. Nasution, terdapat beberapa

pengertian Konsumen. Pertama, Konsumen adalah setiap orang yang

mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu. Kedua,

Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa

untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk

16
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hlm. 17.
17
Susanti Adi N., Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum Acara
serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 61-62.
18
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
19
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Perlindungan Konsumen, Ghalia
Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 9.

11
diperdagangkan (tujuan komersial). Ketiga, Konsumen akhir adalah

setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau

jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga

dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (non-

komersial).20

Definisi Pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen sama

dengan cakupan yang diklaim oleh Negara-negara Eropa, khususnya

belanda. Sebab, Pelaku usaha dapat berupa badan hukum atau orang

perorang. Pasal 3 Directive Product Liability Directive sebagai pedoman

bagi Negara Masyarakat Ekonomi Eropa/MEE, mendefinisikan Pelaku

usaha yaitu pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah,

atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang

nam, merek atau suatu tanda pembedaan yang lain pada peroduk,

mejadikan dirinya sebagai produsen.21

2. Pengertian Perjanjian Jual Beli

Kata perjanjian mempunyai arti yang luas atau arti yang sempit.

Makna dalam arti luas adalah perjanjian menimbulkan akibat hukum oleh

para pihak termasuk perkawinan. Sedangkan, dalam arti sempit adalah

hubungan-hubungan hukum dalam kekayaan seperti di KUHPerdata.22

Perjanjian adalah tindakan hukum dengan tercapai sepakat kehendak

bebas dari dua orang atau lebih.23 Menurut Ahli Perdata, Wirjono
20
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Jaya Widya, Jakarta, 1999, hlm. 13.
21
Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
hlm. 22.
22
Ridwan Khairandy, Pokok-pokok Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm.
13.
23
Ibid.

12
Prodjodikoro mengatakan bahwa perjanjian diartikan sebagai suatu

perbuatan hukum tentang harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam

mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu

hal atau untuk tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain berhak

menuntut pelaksanaan janji itu. Kemudian, menurut Subekti, perjanjian

adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau

di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.24

Jual beli adalah timbal balik pihak yang satu berjanji menyerahkan

hak milik barang, pihak yang lainnya berjanji membayar harga sebagai

imbalan. Jual beli menurut Pasal 1457 KUHPerdata, mengatakan jual beli

adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan

dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk

membayar harga yang telah dijanjikan.25 Perjanjian jual beli adalah janji

pihak Penjual dan pihak Pembeli mengikatkan diri untuk menyerahkan

hak miliknya. Objek perjanjian jual beli adalah hak milik atas barang.26

3. Pengertian Jual Beli Thrifting

Kata Thrifting sebenarnya terbentuk dari istilah thrift yang berarti

hemat. Bisnis Thrifting lebih dikenal dengan usaha yang menjual

barang- barang bekas yang masih berkualitas dan layak pakai. Tahun

2013, perdagangan barang bekas mulai masuk ke Indonesia, dimulai dari

barang langka hingga barang dengan brand yang terkenal.

24
Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan Perdagangan, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 28.
25
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
26
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
34.

13
Kecenderungan generasi millenial untuk cepat bosan dalam memiliki

sebuah barang menjadi peluang bisnis yang kini ngetren disebut dengan

Thrifting.27

Bisnis ini semakin naik daun semenjak tren menjual barang

preloved yaitu di mana seseorang menjual barang pribadi miliknya yang

masih dalam kondisi baru karena berbagai alasan secara pribadi semakin

banyak dilakukan banyak orang. Tren ini terus berlanjut hingga adanya

sejumlah orang yang mulai membuat akun media sosial, seperti

Instagram dan Facebook untuk menawarkan jasa penjualan barang

preloved dengan menggunakan sistem bagi hasil. Berbagai macam

produk dapat diperjualbelikan dalam bisnis thrifting, yang paling mudah

tentu menjual pakaian bekas, celana, topi hingga sepatu. Berbagai produk

yang bisa dipasarkan dalam jual beli thrifting adalah:28

a. Pakaian

Sebagai salah satu kebutuhan primer, pakaian menjadi

komoditi utama. Banyak jenis pakaian bekas yang bisa dijual, seperti

kemeja floral, hoodie, sweater, celana jeans, celana bahan, dan

sebagainya. Terdapat baju bekas branded yang masih layak jual

seperti dari brand Uniqlo, H&M, Supreme, dan lain-lain. Bagi

mereka yang suka membeli barang-barang bekas, pakaian bukan

sekedar kebutuhan primer melainkan sudah menjadi bagian dari gaya

hidup mereka.
27
David Chaney, “LifeStyle: A Comprehensive Introduction”, Gadjah Mada International
Journal of Business, Vol. 1 No. 1, 2020, hlm. 77.
28
Ibid, hlm. 80.

14
b. Sepatu

Menjual sepatu bekas branded dengan kondisinya masih

bagus bisa menjadi ladang bisnis yang menggiurkan untuk kamu

yang mau mencoba bisnis ini. Apalagi jika sepatu itu tergolong edisi

terbatas seperti sepatu merek Air Jordan, atau menjual sepatu yang

punya sejarah karena pernah dipakai orang terkenal. Ini akan jadi

poin penting untuk memikat Konsumen.

c. Tas

Produk lain yang bisa dijual dalam usaha thrifting adalah tas,

umumnya mereka yang menggemari jenis produk ini adalah kaum

hawa, biasanya mereka mencari tas bekas dari brand ternama seperti

Louis Vuitton, Gucci, Chanel dan merek lain.

4. Pengertian E-Commerce

E-commerce adalah suatu proses Penjualan dan Pembelian produk

maupun jasa yang dilakukan secara elektronik yaitu melalui jaringan

komputer atau internet. Maksud atau makna lain dari e-commerce adalah

penggunaan teknologi informasi dan komunikasi pengolahan digital

dalam melakukan transaksi bisnis untuk menciptakan, mengubah dan

mendefenisikan kembali hubungan yang baru antara Penjual dan

Pembeli. Kemudian, berdasarkan Pasal 1 UU Perdagangan, perdagangan

melalui Sistem Elektronik (e-commerce) adalah perdagangan yang

transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur

elektronik.29
29
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

15
Definisi selanjutnya melalui Pasal 1 ayat (2) UU ITE, transaksi

elektronik merupakan aktivitas hukum dengan menggunakan komputer,

atau media elektronik lainnya. Dalam kegiatan e-commerce, para pihak di

dalamnya melakukan kerjasama hukum dan dituangkan melalui bentuk

perjanjian elektronik dan sesuai dengan Pasal 1 butir 17 UU ITE disebut

sebagai kontrak elektronik, yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen

elektronik atau media elektronik lainnya.30 Maka, e-commerce

merupakan suatu perbuatan hukum berupa kegiatan jual beli yang

dilakukan oleh subjek hukum dengan menggunakan perangkat

elektronik.

Menurut Ahli Bisnis, Kotler dan Armstrong, e-commerce adalah

saluran online yang dapat dijangkau seseorang melalui komputer, yang

digunakan oleh pebisnis dalam melakukan aktifitas bisnisnya dan

digunakan Konsumen untuk mendapatkan informasi dengan

menggunakan bantuan komputer yang dalam prosesnya diawali dengan

memberi jasa informasi pada Konsumen dalam penentuan pilihan.

Kemudian, menurut Wong, e-commerce adalah proses jual beli dan

memasarkan barang serta jasa melalui sistem elektronik, seperti radio,

televisi dan jaringan komputer atau internet.31

Menurut Kotler, terdapat beberapa jenis e-commerce. Pertama,

consumer to consumer adalah perbuatan yang dilakukan antara

Konsumen dengan Konsumen. Misalnya, Konsumen dari suatu produsen


30
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
31
Ryeke Ustadiyanto, Framework E-Commerce, Andi Offcet, Yogyakarta, 2001, hlm. 11.

16
akan menjual kembali produk ke Konsumen lainnya. Contoh di dunia e-

commerce adalah Shopee, Tokopedia, Bukalapak, Lazada, dan lain

sebagainya. Kedua, business to business adalah perbuatan yang

dilakukan oleh orang atau pihak yang saling berkepentingan dalam

menjalankan bisnis. Keduanya saling mengenal dan mengetahui proses

bisnis yang mereka lakukan. Biasanya, jenis ini dilakukan secara

berkelanjutan karena kedua belah pihak saling mendapatkan keuntungan

dan adanya kepercayaan satu sama lain. Contoh di dunia e-commerce

adalah ketika dua perusahaan mengadakan transaksi jual beli secara

online, begitu juga dengan pembayaran yang tersedia menggunakan kartu

kredit.32

Ketiga, consumer to business adalah perbuatan bisnis antara

Konsumen dan produsen. Bisnis tersebut dilakukan oleh Konsumen

kepada para produsen yang menjual produk atau jasa. Contoh di dunia e-

commerce adalah Konsumen akan memberitahukan detail produk atau

jasa yang diinginkan secara online kepada para produsen. Nantinya,

produsen yang mengetahui permintaan tersebut akan menawarkan produk

atau jasa yang diinginkan Konsumen. Keempat, business to consumer

adalah perbuatan yang dilakukan oleh pelaku bisnis dan Konsumen.

Transaksi e-commerce ini terjadi layaknya jual-beli biasa. Konsumen

mendapatkan penawaran produk dan melakukan Pembelian secara

online. Contoh di dunia e-commerce adalah produsen menjual produk ke

32
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus, Kencana,
Jakarta, 2005, hlm. 210.

17
Konsumen secara online. Di sini, pihak produsen akan menjalankan

bisnis dengan memasarkan produknya ke Konsumen tanpa adanya

feedback dari Konsumen untuk melakukan bisnis kembali. Artinya,

produsen hanya memasarkan produk atau jasa, sementara pihak

Konsumen hanya sebagai Pembeli atau pemakai.33

F. Definisi Operasional

1. Konsumen adalah pemakai untuk kepentingan pribadi dan enggan

memperdagangkannya.

2. Pelaku usaha adalah orang-perorangan/badan usaha, sendiri atau bersama

melalui perjanjian melakukan kegiatan usaha di bidang ekonomi.

3. Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian yang bersifat konsensuil.

Maksudnya adalah perjanjian lahir ketika kedua belah pihak mencapai

kata sepakat mengenai barang dan harga, meskipun barang belum

diserahkan dan harga belum dibayarkan.

4. Jual beli thrifting adalah aktivitas menjual atau membeli barang/produk

bekas dengan kualitas yang masih layak dan bagus.

5. E-commerce adalah penggunaan teknologi informasi dan komunikasi

pengolahan digital dalam melakukan transaksi bisnis untuk menciptakan,

mengubah dan mendefenisikan kembali hubungan yang baru antara

Penjual dan Pembeli.

G. Metode Penelitian

1. Tipologi Penelitian

33
Ibid, hlm. 215.

18
Jenis penelitian ini yaitu penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif adalah penelitian yang fokus dalam mengkaji suatu

penelitian secara kepustakaan dengan berbahan hukum primer, sekunder,

dan tersier.34

2. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan merupakan pandangan Peneliti dalam memilih

ruang bahasan yang diharap bisa memberi kejelasan uraian dari sebuah

substansi penelitian. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah dan

pendekatan perundang-undangan dan sosiologis. Pendekatan perundang-

undangan digunakan untuk membahas permasalahan kekosongan

norma.35 Kemudian, pendekatan sosiologis adalah pendekatan atau suatu

metode yang pembahasannya atas suatu objek yang dilandaskan pada

masyarakat yang ada pada pembahasan tersebut.36

3. Sumber Data Penelitian

a. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui bahan-bahan

hukum berupa primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer

merupakan kekuatan mengikat secara yuridis, seperti peraturan

perundang-undangan, putusan pengadilan, dan perjanjian. Bahan

hukum sekunder merupakan bahan yang tidak mempunyai kekuatan

mengikat secara yuridis,seperti: rancangan peraturan perundang-

undangan, literatur, dan jurnal. Bahan hukum tersier merupakan

34
Bachtiar, Metode Penelitian Hukum, Unpam Press, Tangerang, 2019, hlm. 80.
35
I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi Teori
Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2016, hlm. 156.
36
Moh. Rifai, “Kajian Masyarakat Beragaman Perspektif Pendekatan Sosiologis”, Al-
Tanzim, Vol. 2 No. 1, 2018, hlm. 26.

19
pelengkap data primer dan data sekunder, seperti kamus dan

ensiklopedi.37 Berikut rincian daripada bahan-bahan hukum

dimaksud.

1) Bahan hukum primer dalam penelitian ini terdiri dari:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer);

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen;

c) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang

Perdagangan;

d) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik.

2) Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini terdiri dari buku,

jurnal hukum, tugas akhir, dan data elektronik.

3) Bahan hukum tersier sebagai pelengkap dalam penelitian ini

berupa Kamus Besar Bahasa Indonesia.

b. Teknik pengumpulan data sekunder merupakan pengumpulan data

yang dilakukan melalui basis studi kepustakaan dan studi dokumen.

Pada penelitian ini, pengumpulan data dilaksanakan berbasis studi

kepustakaan.38

4. Analisis Data

37
Suteki, Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori, dan Praktik, Rajagrafindo Persada,
Bandung, 2018, hlm. 130.
38
Ibid.

20
Metode analisis dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif.

Metode ini bekerja dengan menguraikan pembahasan penelitian

berdasarkan data-data yang didapat. Melalui mekanisme kerja metode

ini, Peneliti bisa memetik kesimpulan berdasar pada data dan pandangan

pribadi.39

39
I Made Pasek Diantha, Op.Cit., hlm. 160.

21
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM, HAK ATAS

INFORMASI KONSUMEN, TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA,

PERJANJIAN JUAL BELI, THRIFTING, DAN E-COMMERCE

A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum Konsumen dan Tanggung

Jawab Pelaku Usaha

1. Pengertian Konsumen

Konsumen adalah istilah yang sering dipergunakan dalam

percakapan sehari-hari. Istilah konsumen berasal dari Bahasa Belanda

yaitu konsument yang berarti, “setiap orang yang menggunakan barang”.

Para ahli hukum sepakat bahwa istilah konsumen adalah Uiteindelijke

Gebruiker van Goerderen en Diensten dalam Bahasa Indonesia artinya

pemakai akhir dari benda dan jasa yang diserahkan kepada mereka oleh

pengusaha. Maksud daripada arti demikian adalah siapapun yang

mendapatkan barang untuk dipakai dan enggan dijual lagi. Konsumen

secara harfiah adalah orang yang memerlukan, membelanjakan atau

menggunakan; pemakai atau pembutuh.40 Istilah lain yang agak dekat

dengan konsumen adalah “pembeli”. Pengertian konsumen jelas lebih luas

daripada pembeli. Luasnya pengertian Konsumen digambarkan secara

langsung oleh Presiden ke-35 Amerika Serikat, John F. Kennedy yaitu,

“Consumers by definition include us all”.41


40
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Ctk. Pertama, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 23.
41
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2003, hlm. 2.

22
Menurut ahli Perdata bernama Philip Kotler, mengatakan bahwa

Konsumen adalah semua individu dan rumah tangga yang membeli atau

memperoleh barang atau jasa untuk dikonsumsi pribadi. Kemudian, ahli

Perdata lain bernama Wira Suteja, mengatakan bahwa konsumen adalah

orang yang menciptakan pandangan tentang perusahaan kita, tentang baik

atau buruk pelayanan kita. Terakhir, ahli Perdata pula bernama A.Z.

Nasution, mengatakan bahwa konsumen merupakan orang pemakai barang

atau jasa untuk suatu tujuan.42

A.Z. Nasution menambahkan bahwa pengertian konsumen

sesungguhnya dapat terbagi ke dalam tiga macam. Pertama, konsumen

dalam arti adalah pemakai, barang/jasa untuk suatu tujuan. Kedua,

konsumen antara adalah pemakai, barang/jasa untuk membuat dengan

tujuan melakukan komersialisasi. Konsumen antara mirip dengan pelaku

usaha. Ketiga, konsumen akhir adalah pemakai barang/jasa untuk

digunakan sendiri serta tidak akan didagangkan.43 Pada kepustakaan

ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen

akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan

konsumen antara adalah Konsumen yang menggunakan suatu produk

sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.44

Menurut Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen, konsumen

adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
42
A.Z. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
2002, hlm. 3.
43
Ibid.
44
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut
Perjanjian Baku (Standar), dalam BPHN, Simposium Aspek-aspek Hukum Perlindungan
Konsumen, Binacipta, Bandung 1986. hlm. 57.

23
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pengertian

Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen tidak hanya konsumen

secara individu, tetapi juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan

makhluk hidup lain, seperti binatang peliharaan, tetapi tidak diperluas

pada individu pihak ketiga yang dirugikan atau menjadi korban akibat

penggunaan atau pemanfaatan suatu produk barang dan jasa.45

Unsur-unsur dalam pengertian atau definisi konsumen adalah,

pertama, setiap orang. Subjek berarti orang yang memiliki status pemakai

barang/jasa. Istilah “orang” beda dengan pengertian “pelaku usaha” dalam

Pasal 1 angka 3 UU Perlindungan Konsumen yang secara eksplisit

membedakan kedua pengertian di atas, dengan penyebutan kata yakni;

“orang perseorangan atau badan usaha”. Subjek sebagai konsumen artinya

siapapun berstatus pemakai barang/jasa. Istilah “orang” sebetulnya

menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut

natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon).

Berdasarkan pengertian UUPK tersebut yang dimaksud “orang”

merupakan orang alami. Sebab sesuatu yang bisa memakai barang

dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri hanya manusia.46

Kedua, pemakai. Kata pemakai bahwa Konsumen merupakan jenis

konsumen akhir. Istilah pemakai tepat digunakan, sekaligus menunjukkan

barang/jasa yang dipakai bukan hasil jual beli. Maka, dasar hubungan
45
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
46
Adrian Sutedi, Tanggung jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk.
Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm. 10-11.

24
hukum konsumen dengan pelaku usaha tidak perlu ada hubungan

kontraktual. Misal, ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut,

seseorang memperoleh paket hadiah atau parsel pada hari ulang tahunnya

isi paketnya makanan dan minuman kaleng yang dibeli si pengirim dari

swalayan. Konsumen bukan hanya pembeli, tetapi semua orang

pengonsumsi barang/jasa. Inti dalam suatu transaksi konsumen, berupa

peralihan kenikmatan menggunakannya. Konsumen diartikan secara

sempit, adalah orang yang punya hubungan kontraktual pribadi.

Konsumen diartikan sebagai bukan pemakai langsung. Walaupun tidak

sebagai pembeli, orang sebagai konsumen dapat melakukan klaim ganti

rugi atas suatu penderitaan. Akan tetapi, syaratnya memang pihak

dimaksud merasa rugi akibat suatu produk.47

Ketiga, barang/jasa. Istilah barang/jasa, pengganti terminologi

digunakan istilah produk. Saat ini “produk” sudah berkonotasi barang atau

jasa. Pada perbankan, misalnya, istilah produk dipakai juga untuk

menamakan jenis-jenis layanan perbankan. UU Perlindungan Konsumen

mengartikan barang sebagai setiap benda, baik yang berwujud maupun

tidak berwujud; baik yang bergerak maupun tidak bergerak; baik dapat di

dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan; yang dapat diperdagangkan;

dipakai; dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. UU

Perlindungan Konsumen sendiri tidak menjelaskan mengenai perbedaan

istilah-istilah “dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan”. Jasa diartikan

47
Janus Sidalabok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Medan, 2014, hlm. 14.

25
setiap layanan berbentuk pekerjaan disediakan bagi masyarakat untuk

konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan jasa

harus ditawar ke masyarakat.48

Keempat, yang tersedia dalam masyarakat. Barang dan/atau jasa

yang akan diperdagangkan telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat

tidak mengalami kesulitan untuk mengkonsumsinya. Namun, dalam

perdagangan kompleks, syarat menjadi tidak mutlak dituntut konsumen.

Misalnya, perusahaan pengembang perumahan biasa membuat transaksi

seperti futures trading.49

Kelima, bagi kepentingan diri sendiri. Pada hal ini, terlihat ada teori

kepentingan pribadi atas suatu barang/jasa. Transaksi konsumen ditujukan

untuk kepentingan diri sendiri. Kepentingan bukan sekedar bagi untuk diri

sendiri, tetapi juga orang lain. Misal, hewan dan tumbuhan.50

Keenam, barang/jasa tidak untuk diperdagangkan. Pengertian

Konsumen dipertegas hanya konsumen yang menggunakan barang atau

jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Pengertian konsumen dalam Pasal 1

angka 2 UU Perlindungan Konsumen seperti yang sudah dijelaskan di

atas, menyatakan bahwa pengertian konsumen dalam undang-undang

tersebut adalah konsumen akhir. Dapat disimpulkan bahwa konsumen

merupakan konsumen akhir, karena barang dan/atau jasa yang dipakai

tersebut tidak untuk diperdagangkan lagi.51

48
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafik, Jakarta, 2008,
hlm. 27.
49
Ibid.
50
Janus Sidalabok, Loc.Cit.
51
N.H.T. Siahaan, Op.Cit., hlm. 26.

26
Konsumen sebagai sosok pembeli barang/jasa mempunyai hak dan

kewajiban dalam dirinya. Menurut hukum, hak merupakan kepentingan

hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan sendiri berarti tuntutan

yang diharapkan untuk dipenuhi. Dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu

tuntutan yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum. Pada dasarnya, hak

bersumber dari tiga hal. Pertama, hak manusia dikarenakan kodratnya.

Hak diperoleh sejak lahir, Seperti, hak untuk hidup dan hak untuk

bernafas. Hak ini tidak boleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan

negara wajib menjamin pemenuhannya. Hak inilah yang disebut hak

asasi.52

Kedua, hak yang lahir dari hukum. Pengertiannya adalah hak-hak

yang diberikan oleh hukum negara kepada manusia dalam kedudukannya

sebagai warga negara/warga masyarakat. Ketiga, hak yang lahir dari

hubungan hukum antara seseorang dan orang lain melalui sebuah

kontrak/perjanjian. Definisi demikian adalah hak yang didasarkan pada

perjanjian/kontrak antara orang yang satu dengan yang lain. Contohnya

peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerima barang, sedangkan hak

penjual adalah menerima uang.53

Menurut Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen, dijabarkan bahwa

hak-hak daripada seorang konsumen adalah hak atas kenyaman, keamanan

dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa; hak untuk

memilih dan mendapatkan barang dan/ atau jasa sesuai dengan nilai tukar
52
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005,
hlm. 40.
53
Ibid.

27
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar,

jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa; hak

untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang

digunakan; hak untuk memdapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk

memdapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan

atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk

mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya; dan hak-hak yang diatur dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan lainnya.54

Selanjutnya, kewajiban konsumen yang diatur dalam Pasal 5 UU

Perlindungan Konsumen ada empat. Pertama, membaca petunjuk

informasi dan prosedur pemakaian barang dan/atau. Kedua, beriktikad

baik dalam aktivitas transaksi pembelian. Hal ini tentu saja disebabkan

karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen

mulai pada saat melakukan transaksi dengan mereka. Berbeda dengan

pelaku usaha kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai

sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha). Ketiga,

membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Keempat, hadir

dalam upaya penyelesaian hukum jika terjadi sengketa di dalam perjanjian

transaksi.55

54
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
55
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

28
2. Perlindungan Konsumen Secara Umum

Pengertian perlindungan konsumen di kemukakan oleh berbagai

sarjana hukum salah satunya A.Z. Nasution mendefinisikan perlindungan

konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah-

kaidah yang bersifat mengatur hubungan dan juga mengandung sifat yang

melindungi kepentingan konsumen. Menurut Pasal 1 angka 1 UU

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya

kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Setiap

orang pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun

berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi

konsumen untuk suatu produk barang dan/atau jasa tertentu. Keadaan

universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya kelemahan pada

konsumen, sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang aman.

Oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan

perlindungan hukum yang bersifat universal.56

Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya

dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam

banyak hal misalnya dari segi ekonomi maupun pengetahuan, mengingat

produsen lah yang memproduksi barang, sedangkan konsumen hanya

membeli produk yang telah tersedia dipasaran. Perlindungan terhadap

konsumen sangatlah penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan

dan tekonologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan

56
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2013,
hlm. 21.

29
efisiensi produsen atas barang dan/atau jasa yang dihasilkannya dalam

rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai

kedua hal tersebut, baik langsung atau tidak langsung maka konsumenlah

yang pada umumnya merasakan dampaknya.57

Pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan:58

a. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum.

b. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan

seluruh pelaku usaha;

c. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;

d. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang

menipu dan menyesatkan; dan

e. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan, dan pengaturan

perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada

bidang-bidang lainnya.

3. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Melalui berbagai literatur ditemukan sekurang-kurangnya dua istilah

mengenai hukum yang mempersoalkan konsumen, yaitu “hukum

konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen”. Istilah “hukum

konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering

terdengar. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi

keduanya. Juga, apakah kedua “cabang” hukum itu identik. Sebab, posisi

57
Husni Syawali, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 23.
58
Ibid.

30
konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu

sifat sekaligus tujuan hukum adalah memberikan perlindungan

(pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan

hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit

dipisahkan dan ditarik batasnya.59

Menurut AZ. Nasution, dijelaskan bahwa kedua istilah itu berbeda,

yaitu bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum

konsumen. Hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan

kaidahkaidah yang mnengatur hubungan dan masalah antara berbagai

pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen di

dalam pergaulan hidup. Sedangkan, hukum perlindungan konsumen

diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang

mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya

dengan para penyedia barang dan atau jasa konsumen.60

4. Hak Konsumen Secara Umum

Perkembangan kemajuan perusahaan untuk memberikan pelayanan

tentunya tidak terlepas dari perlindungan atas hak-hak yang terdapat oleh

para konsumen karena adanya kebebasan apapun maupun aktifitas yang

akan dilakukan. Di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

(UUPK) merumuskan sejumlah hak penting konsumen, menurut pasal 4

ada Sembilan hak dari konsumen, delapan diantaranya hak eksplisit diatur

59
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 9.
60
A.Z. Nasution, Op.Cit., hlm. 12.

31
dalam UUPK dan satu hak lainnya diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

Dalam pengertian hukum, umumnya yang dimaksud dengan hak

adalah kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan

sendiri berarti tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga dapat

dikatakan bahwa hak adalah suatu tuntutan yang pemenuhannya dilindungi

oleh hukum.61

Pada dasarnya hak bersumber dari tiga hal, yaitu:

a. Hak manusia karena kodratnya; Yaitu hak yang kita peroleh sejak

lahir. Seperti hak untuk hidup dan hak untuk bernafas. Hak ini tidak

boleh diganggu gugat oleh negara, dan bahkan negara wajib menjamin

pemenuhannya. Hak inilah yang disebut hak asasi.

b. Hak yang lahir dari hukum; dan Yaitu hak-hak yang diberikan oleh

hukum negara kepada manusia dalam kedudukannya sebagai warga

negara/warga masyarakat; dan

c. Hak yang lahir dari hubungan hukum antara seseorang dan orang lain

melalui sebuah kontrak/perjanjian. Yaitu hak yang didasarkan pada

perjanjian/ kontrak antara orang yang satu dengan yang lain.

Contohnya peristiwa jual beli. Hak pembeli adalah menerima barang,

sedangkan hak penjual adalah menerima uang.

Dengan demikian, hak-hak konsumen itu terdiri dari:

a. Hak konsumen sebagai manusia (yang perlu hidup);

61
Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 25.

32
b. Hak konsumen sebagai subyek hukum dan warga negara (yang

bersumber dari undang-undang/ hukum); dan

c. Hak konsumen sebagai pihak-pihak dalam kontrak (dalam hubungan

kontrak dengan konsumen-pelaku usaha).

Masyarakat Ekonomi Eropa menetapkan hak-hak dasar konsumen

(warga masyarakat Eropa) yang perlu mendapat perlindungan di dalam

perundang-undangan negara-negara Eropa, yaitu:

a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan;

b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi;

c. Hak mendapat ganti rugi; dan

d. Hak untuk didengar.

5. Pemenuhan Hak Atas Informasi

a. Definisi Hak Atas Informasi

Hak atas informasi atau right to know merupakan hak

fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM.

Pada 1946, majelis umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menilai

bahwa hak ini penting bagi perjuangan hak-hak yang lainnya. Hak ini

menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris,

yang dengannya menyediakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan

pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya.62

Pada instrumen hukum nasional, hak atas informasi ditempatkan

dalam posisi yang sangat tinggi. Hak ini dinyatakan di dalam Pasal

62
Asep Mulyana, “Hak Atas Informasi dalam Bingkai HAM”, Artikel, Lembaga Studi &
Advokasi Masyarakat, 2015.

33
28F UUD 1945 bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan

memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan

sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,

menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Oleh karena itu, hak

atas informasi diklasifikasikan sebagai hak konstitusional yang

menuntut kewajiban negara dalam pemenuhannya.63

Definisi hak atas informasi dapat dilihat melalui Pasal 14

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pada pasal dimaksud, definisi hak atas informasi adalah setiap orang

berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,

dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana

yang tersedia. Hak ini diperlukan untuk mengembangkan pribadi dan

lingkungan sosial.64

b. Indikator Pemenuhan Hak Atas Informasi

Hak atas informasi dapat dipenuhi apabila pelaku usaha

menyampaikan hak-hak konsumen yang seharusnya diperoleh. Hal

tersebut diatur dalam Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen:65

1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

63
Ibid.
64
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
65
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

34
2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi

dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-

undangan lainnya.

Salah satu indikator hak atas informasi terpenuhi ketika pelaku

usaha memberikan hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur

mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.

6. Pengertian Pelaku Usaha

Pelaku usaha adalah pengusaha penghasil barang. Pelaku usaha

termasuk pembuat, grosir, dan pengecer. Produsen diartikan sebagai

35
pelaku usaha pembuat yang menghasilkan produk. Perlindungan

konsumen, pelaku usaha dimaknai secara luas. Sebagai contoh, dalam

hubungannya dengan produk makanan hasil industri, pelaku usaha adalah

mereka yang terkait dalam proses pengadaan makanan hasil industri

sampai ke konsumen. Mereka itu adalah pabrik dan pengecer.66

UU Perlindungan Konsumen memberikan definisi pelaku usaha

dalam Pasal 1. Definisi tersebut berupa pelaku usaha adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri

maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

usaha dalam berbagai bidang ekonomi.67

Pelaku usaha dalam melakukan kegiatan jual beli mempunyai

kewajiban yang diatur menurut Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen.

Beberapa kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut:68

a. Beriktikad baik. Kewajiban beritikad baik berarti produsen-pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya wajib melakukannya

dengan itikad baik, yaitu secara berhati-hati, mematuhi dengan aturan-

aturan, serta dengan penuh tanggung jawab.

b. Memberi informasi. Kewajiban memberi informasi berarti produsen-

pelaku usaha wajib memberi informasi kepada masyarakat konsumen

66
Janus Sidalabok, Op.Cit., hlm. 13.
67
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
68
Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen, Grafindo Persada, Jakarta, 2015, hlm.
25-26.

36
atas produk dan segala hal sesuai mengenai produk yang dibutuhkan

konsumen. Informasi itu adalah infornasi yang benar, jelas, dan jujur.

c. Melayani dengan cara yang sama. Kewajiban melayani berarti

produsen-pelaku usaha wajib memberi pelayanan kepada konsumen

secara benar dan jujur serta tidak membedabedakan cara ataupun

kualitas pelayanan secara diskriminatif.

d. Memberikan kesempatan mencoba. Kewajiban memberi kesempatan

berarti produsen-pelaku usaha wajib memberi kesempatan kepada

konsumen untuk menguji atau mencoba produk tertentu sebelum

konsumen memutuskan membeli atau tidak membeli, dengan maksud

agar konsumen memperoleh keyakinan akan kesesuaian produk

dengan kebutuhannya.

e. Memberikan kompensasi. Kewajiban memberi kompensasi berarti

produsen-pelaku usaha wajib memberi konpensasi, ganti rugi, dan/atau

penggantian kerugian akibat tidak atau kurang bergunanya produk

untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan fungsinya dan karena tidak

sesuainya produk yang diterima dengan yang diperjanjikan.

Kewajiban-kewajiban yang sudah dijabarkan di atas, harus dipatuhi

oleh pelaku usaha. Hal demikian demi kenyamanan konsumen dalam

bertransaksi dengan pelaku usaha. Selain itu, pelaku usaha juga memiliki

larangan sebagaimana dalam Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen yaitu

berupa:69

69
Ibid.

37
a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi standar dipersyaratkan;

tidak sesuai dengan netto; tidak sesuai dengan timbangan; tidak sesuai

dengan kondisi; tidak sesuai dengan mutu; tidak sesuai dengan janji

yang dinyatakan dalam label; tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa;

tidak mengikuti ketentuan berproduksi; tidak memasang label; dan

tidak mencantumkan informasi penggunaan barang.

b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak atau

bekas tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas

barang dimaksud.

c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberi

informasi secara lengkap dan benar.

d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran.

Bentuk-bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam UU

Perlindungan Konsumen antara lain:70

a. Product liability. Product liability adalah tanggung jawab perdata

terhadap produk secara langsung dari pelaku usaha atas kerugian yang

dialami konsumen akibat menggunakan produk yang dihasilkan.

70
Sylvia Diansari dkk, “Pertanggungjawaban Hukum Pelaku Usaha dalam Hukum
Perlindungan Konsumen”, Makalah, Universitas Pelita Harapan, 2020, hlm. 5.

38
b. Criminal liability. Criminal liability merupakan pertanggungjawaban

pidana dari pelaku usaha sebagai hubungan antara pelaku usaha

dengan negara.

B. Tinjauan Umum tentang Hak Atas Informasi Konsumen

Konsumen selaku pembeli mempunyai hak-hak yang diatur dalam Pasal

4 UU Perlindungan Konsumen. Hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:71

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya; dan


71
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

39
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Salah satu hak yang dimiliki konsumen adalah hak atas informasi.

Menurut KBBI, informasi adalah pemberitahuan; kabar atau berita tentang

sesuatu. Menurut Kelly, informasi adalah data yang telah diolah menjadi

sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam

pengambilan keputusan saat ini atau saat mendatang. Maka, dapat disimpulkan

bahwa informasi merupakan data yang tertera sesuai dengan kenyataan.72

Hak atas informasi konsumen adalah hak yang dimiliki konsumen untuk

mendapat data-data secara benar, jelas, dan jujur terhadap barang dan/atau jasa

yang digunakan. Hal ini menjadi aspek terpenting mengenai hak dan

kewajiban para pihak adalah penyediaan informasi yang jelas dan jujur

mengenai barang dan/atau jasa. Sebab, hak ini tidak hanya diatur menurut

hukum nasional, hukum internasional, dan organisasi internasional. Hak ini

juga diatur dalam Guidelines for Consumer Protection.73

C. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Jual Beli dan Akad Jual Beli dalam

Perspektif Islam

Perjanjian adalah peristiwa janji kepada orang lain untuk suatu hal.

Maka, timbul hubungan bernama perikatan. Perikatan adalah hubungan

hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban antar pihak. Menurut Pasal

1233 ayat (1) KUHPer, tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena suatu

72
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/informasi, diakses terakhir tanggal 22 November 2022,
pukul 22.55 WIB.
73
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-dan-kewajiban-konsumen-serta-pelaku-
usaha-yang-perlu-diketahui-lt62e27b1d9c927, diakses terakhir tanggal 22 November 2022, pukul
23.00 WIB.

40
perjanjian maupun karena undang-undang. Perjanjian merupakan sumber lahir

perikatan.74 Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian diartikan perbuatan

hukum mengenai harta antara dua pihak. Kemudian, menurut Subekti,

perjanjian adalah peristiwa seorang berjanji untuk melaksanakan sebuah hal.

Jual beli adalah perjanjian timbal balik menyerahkan hak milik barang.

Menurut Pasal 1457 KUHPer, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan,

dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Kemudian,

menurut Pasal 1458 KUHPer, jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua

belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan

harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum

dibayar, sehingga dengan lahirnya “kata sepakat” maka lahirlah perjanjian itu

dan sekalian pada saat itu menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Oleh

karena itu, perjanjian jual beli dikatakan juga sebagai perjanjian konsensuil

dan sering juga disebut “perjanjian obligatur”.75

Perjanjian jual beli adalah perjanjian mengikatkan diri untuk

menyerahkan hak milik barang. Objeknya adalah hak milik barang.76 Beberapa

asas utama dari hukum perjanjian menurut KUHPer yaitu adalah sebagai

berikut:77

74
Satrio J, Hukum Perikatan tentang Hapusnya Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hlm. 2.
75
A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 2010, hlm. 23.
76
Djohari Santoso, Hukum Perjanjian Indonesia, Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, 2000, hlm. 32.
77
Munir Fuady, Hukum Kontrak: Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007, hlm. 50.

41
a. Asas konsesualisme pada prinsipnya merujuk pada adanya kesepakatan

para pihak mengenai hal-hal pokok sehingga pada detik itulah perjanjian

itu lahir.

b. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang mengajarkan bahwa para

pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk membuat atau

tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasan untuk mengatur isi

kontrak tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang

berlaku yang bersifat memaksa.

c. Asas obligatoir adalah asas yang mengajarkan bahwa jka suatu kontrak

telah dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya

sebatas timbulnya hak dan kewajiban semata-mata, dan haknya belum

beralih sebelum penyerahan.

d. Asas Pacta sunt servanda merupakan bahwa jika suatu kontrak sudah

dibuat secara sah oleh para pihak, maka kontrak tersebut sudah mengikat

para pihak. Bahkan mengikatnya kontrak yang dibuat oleh para pihak

tersebut memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan undang-undang

yang dibuat oleh pemerintah.

Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual beli adalah barang dan

harga, sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian

KUHPer bahwa perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya

“sepakat” mengenai barang dan harga yang kemudian lahirlah perjanjian jual

beli yang sah. Sifat konsensuil dari jual beli tersebut dapat dilihat dari Pasal

1458 KUHPer, yang isinya jual beli sudah dianggap terjadi antara kedua belah

42
pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga,

meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.

Menurut Abdulkadir Muhammad, Beliau merincikan unsur-unsur dalam

perjanjian jual beli ke dalam empat unsur sebagai berikut:78

a. Subjek jual beli adalah pihak berperan di perjanjian.

b. Status para pihak berhubungan.

c. Peristiwa jual beli adalah mengikatkan diri penyerahan hak milik.

d. Objek jual beli adalah barang dan harga.

Menurut Pasal 1457 KUHPer, hak penjual adalah menuntut harga

pembayaran atas barang-barang yang diserahkannya kepada pembeli,

sedangkan kewajiban penjual adalah menyerahkan barang ke dalam kekuasaan

dan kepunyaan si pembeli dan menanggung terhadap barang yang dijual itu.

Mengenai “menanggung”, lebih lanjut diatur dalam Pasal 1491 KUHPer, yang

mengatakan bahwa kewajiban dari penjual adalah menjamin bahwa

penguasaan benda yang dijual oleh si pembeli berlangsung secara aman dan

menjamin terhadap adanya cacat tersembunyi. Sedangkan, hak pembeli adalah

menuntut penyerahan barang yang telah dibelinya dari si penjual, sedangkan

kewajibannya adalah membayar harga pembelian pada waktu dan tempat

sebagaimana yang ditetapkan di dalam perjanjian mereka. Menurut Pasal 1514

KUHPer, jika pada waktu membuat persetujuan tidak ditetapkan tentang itu,

pihak pembeli harus membayar di tempat dan pada waktu di mana penyerahan

harus dilakukan.79

78
Ibid.
79
Ibid.

43
Berakhirnya jual beli secara normal adalah setelah penjual dan pembeli

memenuhi kewajiban masing-masing sesuai dengan kesepakatan mereka.

Tetapi, secara tidak normal ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan

perjanjian jual beli berakhir atau putus. Hal-hal tersebut adalah segala hak dan

kewajiban dari masing-masing pihak terpenuhi sesuai dengan perjanjian;

kedua belah pihak sepakat untuk memutuskan perjanjian setelah adanya

pengiriman atau penerimaan barang di tempat pembeli; dan pemutusan

perjanjian secara sepihak. Pada perjanjian jual beli, umumnya jual beli barang

sudah diserahkan dan diterima oleh si pembeli, di mana pembeli melakukan

pembayaran sesuai dengan perjanjian dan penjual harus mengirimkan barang

sampai di rumah dengan keadaan yang baik seperti pada sedia kala saat di

toko.80

Menurut hukum Islam, perjanjian berasal dari kata aqad yang secara

etimologi berarti “menyimpulkan”. Menurut Abdul Aziz Muhammad, kata

aqad dalam bahasa berarti ikatan dan tali pengikat, maka secara bahasa makna

aqad sebagai menghubungkan antara dua perkataan, masuk juga di dalamnya

janji dan sumpah demi menguatkan biat berjanji untuk melaksanakannya isi

sumpah atau meninggalkannya, demikian juga dengan janji sebagai perekat

hubungan antara kedua belah pihak yang berjanji dan menguatkannya.81

Berdasarkan permasalahan yang dikaji menyangkut masalah hidup dan

kehidupan ini, tentunya tidak terlepas dari dasar hukum yang akan kita jadikan

80
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm.
34.
81
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya, CV. Penerbit
Diponegoro, Bandung, 2000, hlm. 48.

44
sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasahan yang akan dihadapi. Jual

beli sudah dikenal masyarakat sejak dahulu yaitu sejak zaman para Nabi.

Sejak zaman itu, jual beli dijadikan kebiasaan atau tradisi oleh masyarakat

hingga saat ini. Adapun dasar hukum yang disyari’atkannya jual beli dalam

Islam yaitu:82

1. Al-Quran

Manusia hidup di dunia secara individu mempunyai kebutuhan-

kebutuhan yang harus dipenuhi, baik itu berupa sandang, pangan, papan,

dan lain sebagainya. Kebutuhan seperti itu tidak pernah terputus dan tidak

pernah terhenti selama manusia itu hidup. Oleh karena itu, tidak ada satu

hal pun yang lebih sempurna dalam memenuhi kebutuhan itu selain

dengan cara pertukaran, yaitu di mana seorang memberikan apa yang ia

miliki untuk kemudian ia memperoleh sesuatu yang berguna dari orang

lain sesuai kebutuhan. Jual beli adalah suatu perkara yang telah dikenal

masyarakat sejak zaman dahulu yaitu sejak zaman para Nabi hingga saat

ini. Maka, Allah Swt mensyariatkan jual beli sebagai pemberian keluangan

dan keleluasaan dari-Nya untuk hamba-hamba-Nya itu dalam Q.S. al-

Baqarah ayat 275 tentang diperbolehkan jual beli:


‫ٱَّلِذ يَن َيْأُك ُلوَن ٱلِّر َبٰو ۟ا اَل َيُقوُم وَن اَّل َك ا َيُقوُم ٱَّلِذ ى َيَتَخَّبُطُه ٱلَّش ْيَٰط ُن ِم َن ٱْل ِّس ۚ َٰذ ِلَك َأَّنُهْم َقاُلٓو ۟ا‬
‫ِب‬ ‫َم‬ ‫ِإ َم‬

‫ِإَّنَم ا ٱْلَبْيُع ِم ْثُل ٱلِّر َبٰو ۟ا ۗ َو َأَح َّل ٱُهَّلل ٱْلَبْيَع َو َح َّر َم ٱلِّر َبٰو ۟ا ۚ َفَم ن َج ٓاَء ۥُه َم ْو ِع َظٌة ِّم ن َّرِّبِهۦ َفٱنَتَهٰى َفَل ۥُه َم ا َس َلَف‬
‫َٰٓل‬
‫َو َأْم ُر ٓۥُه ِإَلى ٱِهَّللۖ َو َم ْن َعاَد َفُأ۟و ِئَك َأْص َٰح ُب ٱلَّناِرۖ ُهْم ِفيَها َٰخ ِلُد وَن‬

Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

82
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam, Kairo, 2000, hlm. 548.

45
Ayat di atas bermakna yaitu bisa jadi merupakan bagian dari

perkataan mereka (pemakan riba) dan sekaligus menjadi bantahan

terhadap diri mereka sendiri. Artinya, mereka mengatakan hal tersebut

(innam al-bai’u matsalu al-riba) padahal sebenarnya mereka mengetahui

bahwasanya terdapat perbedaan antara jual beli dan riba. Dia maha

mengetahui lagi maha bijaksana, tidak ada yang dapat menolak ketetapan-

Nya dan Allah tidak dimintai pertanggungjawaban. Dialah yang maha

mengetahui segala hakikat dan kemaslahatan persoalan apa yang

bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya. Maka, Dia akan membolehkannya

bagi mereka. Kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya lebih besar

daripada sayangnya seorang ibu kepada anak bayinya.

Melalui ayat tersebut, Allah Swt memperbolehkan kepada manusia

untuk melaksanakan transaksi jual beli demi memenuhi kebutuhan

hidupnya. Akan tetapi, tentu saja transaksi jual beli itu harus sesuai dengan

koridor atau ketentuan yang telah Allah Swt berikan. Kemudian, Allah

Swt menyerukan kepada manusia agar mencari karuniannya dan selalu

ingat kepadanya.

2. Hadits

Hadits yang menerangkan tentang jual beli adalah HR. Bukhori:

46
Artinya: “Dari Jabir bin Abdullah r.a bahwasanya ia mendengar

Rasululloh bersabda pada tahun kemenangan di Mekah: Sesungguhnya

Allah dan Rasul-Nya mengharamkan menjual minuman yang

memabukkan (Khamr), bangkai, babi dan berhala. Lalu ada orang

bertanya, “ya, Rasululloh bagai manakah tentang lemak bangkai, karena

dipergunakan mengecat perahu-perahu supaya tahan Air, dan meminyaki

kulit-kulit, dan orang-orang mempergunakannya, untuk penerangan

lampu? Beliau menjawab, “ tidak boleh, itu haram” kemudian diwaktu itu

Rasulullah saw., bersabda: Allah melaknat orang-orang yahudi,

sesungguhnya Allah tatkala mengharamkan lemaknya bagi mereka,

mereka cairkan lemak itu kemudian dijualnya kemudian mereka makan

harganya (HR. Bukhori).”

Melalui uraian hadits di atas dapat di simpulkan bahwa manusia

yang baik memakan suatu makanan adalah memakan hasil usaha

tangannya sendiri. Maksudnya, apabila kita akan menjual atau membeli

suatu barang, yang diperjual belikan harus jelas dan halal, dan bukan milik

47
orang lain, melainkan milik kita sendiri. Allah melarang menjual barang

yang haram dan najis, maka Allah melaknat orang-orang yang melakukan

jual beli barang yang diharamkan, seperti menjual minuman yang

memabukkan (Khamr), bangkai, babi lemak bangkai dan berhala.83

Syarat sah perjanjian menurut hukum Islam adalah sebagai berikut:84

a. Para pihak yang membuat akad (al-‘aqidam) melakukan ijab dan qabul

dinyatakan oleh sekurang-kurangnya telah mencapai umur tamyiz

yakni bisa menyadari dan mengetahui isi perkataan yang diucapkan,

hingga ucapannya itu benar-benar menyatakan keinginan hatinya.

b. Pernyataan kehendak para pihak (shighatul-‘aqad) syaratnya ada

persetujuan ijab (penawaran) dan qobul (penerimaan) dan kesatuan

majelis akad. Hak ini harus dicapai tanpa adanya paksaan atau secara

bebas.

c. Objek akad, syaratnya harus sudah ada ketika berlangsung akad, objek

akad dapat menerima hukum akad, objek akad harus dapat ditentukan

dan diketahui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad dan objek

akad dapat ditransaksikan.

3. Dasar Ijma’

Para ulama fiqih dari dahulu sampai dengan sekarang telah sepakat

bahwa pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali

ada dalil yang mengharamkannya. Kaidah yang telah diuraikan di atas

83
Muhammad Abdullah Abu Al-Imam Al-Bukhori, Kitab Shahih Bukhori, Dahlan,
Bandung, 2008, hlm. 1223.
84
Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam, Amzah,
Jakarta, 2010, hlm. 15.

48
dapat dijadikan dasar atau hujjah dalam menetapkan hukum berbagai

masalah berkenaan dengan keuangan syariah. Dari dasar hukum

sebagaimana tersebut di atas bahwa jual beli itu adalah hukumnya mubah.

Artinya, jual beli itu diperbolehkan asal saja di dalam jual beli tersebut

memenuhi ketentuan yang telah ditentukan di dalam jual beli dengan

syarat-syarat yang sesuaikan dengan hukum Islam.85

Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat

urgen, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang

orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syari’at. Oleh karena

itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah

Saw hingga saat ini menunjukan bahwa umat telah sepakat akan

disyariatkannya jual beli.86

Agama Islam melindungi hak manusia dalam pemilikan harta yang

dimilikinya dan memberi jalan keluar untuk masing-masing manusia untuk

memiliki harta orang lain dengan jalan yang telah ditentukan, sehingga

dalam Islam perinsip perdagangan yang diatur adalah kesepakatan

keduabelah pihak yaitu penjual dan pembeli. Sebagaimana yang telah

digariskan oleh prinsip muamalah adalah sebagai berikut:87

a. Prinsip kerelaan.

b. Prinsip bermanfaat.

c. Prinsip tolong-menolong.

d. Prinsip tidak terlarang.


85
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Al-Ma’arif, Bandung, 2007, hlm. 46.
86
Ibid, hlm. 50.
87
H.M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 144.

49
D. Tinjauan Umum tentang Thrifting

Kata Thrifting sebenarnya terbentuk dari istilah thrift yang berarti hemat.

Sedangkan bisnis Thrifting lebih dikenal dengan usaha yang menjual barang-

barang bekas yang masih berkualitas dan layak pakai. Sejak tahun 2013,

perdagangan barang bekas mulai masuk ke Indonesia, dimulai dari barang

langka hingga barang dengan brand yang terkenal. Kecenderungan generasi

millenial untuk cepat bosan dalam memiliki sebuah barang menjadi peluang

bisnis yang kini ngetren disebut dengan Thrifting.88

Bisnis ini semakin hits semenjak tren menjual barang preloved yaitu di

mana seseorang menjual barang pribadi miliknya yang masih dalam kondisi

baru karena berbagai alasan secara pribadi semakin banyak dilakukan banyak

orang. Tren ini terus berlanjut hingga adanya sejumlah orang yang mulai

membuat akun media sosial, seperti Instagram dan Facebook untuk

menawarkan jasa penjualan barang preloved dengan menggunakan sistem bagi

hasil.89

Thrifting dalam bahasa Indonesia lebiih dikenal dengan toko yang

menjual barang bekas. Di Indonesia sendiri thrifting ini dikenal dengan toko

yang menjual pakaian bekas impor, dari mulai baju, celana, sepatu, aksesoris.

Bahwa barang bekas dapat dapat ditemui di mana saja selama adanya

pembelian. Di negara maju dapat menghasilkan banyak barang bekas di mana

siklus pembelian negara maju sangatlah cepat. Maka dari itu, barang bekas ini

88
O. Hasbiansyah, “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam Ilmu
Sosial”, Jurnal Hukum, Vol. 9 No. 1, Juni 2008, hlm. 58.
89
Moustakas Clark, Phenomenological Research Methods, Sage, California, 2000, hlm. 27.

50
di ekspor ke negara berkembang. Maksud barang bekas disini merupakan

barang yang tidak terpakai dan masih dapat digunakan.90

Pakaian bekas yang terdapat di thrift shop di pasaran umumnya khas

dengan gaya vintage. Maka konsumen thrift shop di Indonesia sendiri ratarata

merupakan kalangan anak muda. Harga pakaian bekas di thrift shop memang

lebih murah. Terdapat tiga hal yang mendorong konsumen dalam melakukan

pembelian baju bekas di thrift shop, yaitu:91

1. Aspek ekonomi. Harga pakaian bekas jauh lebih murah dibandingkan

dengan pakaian baru. Dengan adanya thrift shop dapat membantu

pengeluaran individu dalam memenuhi kebutuhan pakaiannya. Hal

lainnya, thrift shop ini juga memberikan kesempatan kepada konsumen

untuk mendapatkan pakaian bermerek dengan harga yang murah.

2. Aspek lingkungan alam. Adanya thrift shop bertujuan untuk menggunakan

kembali suatu pakaian dalam upaya memperpanjang umur pakaian dan

mengurangi sampah pakaian.

3. Aspek individu. Pakaian bekas yang terdapat di thrift shop bersifat unik

dan memiliki ciri khasnya tersendiri. Pakaian bekas yang dijual di pasaran

hanya memiliki satu model untuk satu buah pakaian. Dari keunikan

terebutlah yang menjadi salah satu pendorong bagi konsumen yang

menyukai gaya pakaian yang berbeda dari orang kebanyakan.

Thrift shop menjual pakaian yang beragam, hal tersebut membuat

konsumennya merasa mendapatkan pengalaman baru untuk mendapatkan


90
Angela, Posmodernisme dan Budaya Pop, Kreasi Wacana, Bantul, 2018, hlm. 239.
91
Dara Teresia, “Daya Tarik Trend Fashion Korea Sebagai Budaya Populer di Kalangan
Mahasiswa”, Skripsi, Universitas Komputer Indonesia, 2012, hlm. 41.

51
pakaian bekas yang sesuai dengan selera individu masing-masing. Seiring

berkembangnya teknologi saat ini thrift shop dapat ditemui tidak hanya di

secara offline, namun juga terdapat thrift shop secara online.92

Berbagai macam produk dapat diperjualbelikan dalam bisnis Thrifting,

yang paling mudah tentu menjual pakaian bekas, celana, topi hingga sepatu. 93

Berikut adalah produk yang bisa dijual belikan dalam usaha thrift shop:94

1. Pakaian. Sebagai salah satu kebutuhan primer, pakaian pasti jadi komoditi

yang akan selalu dicari orang-orang. Ada banyak jenis pakaian bekas yang

bisa dijual, seperti kemeja floral, hoodie, sweater, celana jeans, celana

bahan, dan sebagainya. Jika pandai membeli, maka baju bekas branded

yang masih layak pakai seperti dari brand Uniqlo, H&M, Supreme, dan

lain-lain bisa menjadi pilihan. Bagi mereka, hal ini sudah menjadi bagian

dari gaya hidup mereka.

2. Sepatu. Menjual sepatu bekas branded dengan kondisinya masih bagus

bisa menjadi ladang bisnis yang menggiurkan untuk kamu yang mau

mencoba bisnis ini. Apalagi jika sepatu itu tergolong edisi terbatas seperti

sepatu merek Air Jordan, atau menjual sepatu yang punya sejarah karena

pernah dipakai orang terkenal. Ini akan jadi poin penting untuk memikat

konsumen.

3. Tas. Produk lain yang bisa dijual dalam usaha thrifting adalah tas,

umumnya mereka yang menggemari jenis produk ini adalah kaum hawa,
92
Rivaldi L. Saputro, “Thriftstore Surabaya (Studi Deskriptif Tentang Upaya
Mempertahankan Eksistensi Pakaian Bekas Sebagai Budaya Populer di Surabaya)”, Jurnal Fisip,
Vol. 7 No. 3, Oktober 2018, hlm. 346.
93
Muhajir, “E-Commerce Consumer Protection At Tokopedia”, Al-Amwal, Vol. 4 No. 2,
September 2019, hlm. 41.
94
Ibid, hlm. 347.

52
biasanya mereka mencari tas bekas dari brand ternama seperti, Louis

Vuitton, Gucci, Chanel dan merek lain.

4. Jam tangan. Jam tangan yang dijual biasanya adalah jam tangan yang

bermerek maupun jam tangan yang dijual dengan edisi terbatas, jam yang

sering dijumpai dalam thrifting adalah merek dari Rolex, G-shock, Casio,

dan lain sebagainya.

Bisnis thrifting yang berpotensi mendatangkan keuntungan telah dicoba

oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Melihat traffic barang bekas

berkualitas dapat lebih efisien jika dibeli dibandingkan barang baru dapat

dicoba oleh masyarakat untuk dijadikan sebuah bisnis. Berikut beberapa

langkah dalam memulai bisnis thrifting:95

1. Menentukan modal. Memulai bisnis ini tidak membutuhkan modal besar,

cukup dengan modal Rp500.000 sudah bisa dilakukan. Misalnya, produk

yang akan dijual adalah baju bekas yang harganya cukup murah dan

tentunya masih layak pakai serta berkualitas. Hanya perlu waktu dan

energi dalam membeli barang bekas yang akan dijual. Sabar dalam

mencari barang yang masih bagus dan teliti memilihnya.

2. Menentukan jenis produk. Banyak jenis produk thrifting yang bisa dijual.

Namun, kuncinya adalah inovasi dari produk tersebut. Jika ingin

mempunyai karakter/ciri khas yang berbeda dari toko lain, maka bisa

mencoba memikirkan keunikan toko. Misalnya, pakaian bekas yang dijual

khusus bertemakan vintage.

95
Rivaldi L. Saputro, Loc.Cit.

53
3. Pemasaran. Pada era serba digital saat ini, dapat mengandalkan platform

seperti e-commerce dan media sosial untuk memasarkan produk. Hukum

jual beli dalam bisnis ini adalah semakin bagus kondisi barang dan

semakin terkenal brand yang dijual akan membuat harga jual barang

menjadi lebih bagus. Kelengkapan barang juga sering kali membuat harga

barang menjadi lebih mahal. Misal, sepatu bekas yang dijual masih

lengkap dengan dusnya. Selain itu, permisalan lain adalah saat menjual tas

dengan paper bag beserta price tag jika ingin harga jual tetap tinggi.

Tanpa ini, harga jual barang akan lebih rendah karena dianggap

kelengkapan barang tidak utuh.

E. Tinjauan Umum tentang E-Commerce dan E-Commerce dalam Perspektif

Hukum Islam

Istilah electronic commerce dapat dikatakan masih terdengar asing

disebagian besar masyarakat Indonesia. Pada umumnya transaksi e-commerce

diterapkan oleh golongan menengah ke atas. Sampai dengan saat ini, masih

belum ada suatu pendefinisian yang baku tentang keberadaannya dikenal juga

sebagai transaksi electronic commerce (e-commerce). E-commerce berasal

dari bahasa Inggris, penggabungan dua buah kata, yaitu kata E yang

merupakan kepanjangan dari Electronic dan kata Commerce. Menurut bahasa

(etimologi) adalah sebagai berikut (E) electronic adalah ilmu elektronik

(muatan listrik), alat-alat elektronik, atau semua hal yang berhubungan dengan

dunia elektronika dan teknologi. Sedangkan, (C) commerce adalah

perdagangan dan perniagaan. Adapun menurut istilah pengertian E-Commerce

54
adalah transaksi perdagangan melalui media elektronik yang terhubung

dengan internet.96

Menurut (terminologi) adalah menurut pandangan WTO (World Trade

Organization), e-commerce ini menyangkut semua kegiatan seperti produksi,

distribusi, pemasaran, penjualan, pengiriman barang atau jasa melalui cara

elektronik.97 Sementara, Alliance For Global Business mengartikan e-

commerce, seluruh transaksi nilai transfer informasi melalui jaringan

elektronika. Melalui media tersebut, bernilai ekonomis.98

Menurut Kalakota dan Whinston meninjau pengertian e-commerce dari

empat perspektif, yaitu:99

1. Perspektif komunikasi. Pada perspektif e-commerce merupakan sebuah

proses pengiriman barang, layanan, informasi, atau pembayaran melalui

komputer ataupun peralatan elektronik lainnya.

2. Perspektif proses bisnis. Pada perspektif ini e-commerce merupakan

sebuah aplikasi dari suatu teknologi menuju otomatisasi dari transaksi-

transaksi bisnis dan alur kerja (work flow).

3. Perspektif layanan. Pada perspektif ini e-commerce ialah suatu alat yang

memenuhi keinginan yang memenuhi keinginan perusahaan, manajemen,

dan konsumen untuk menurunkan biaya-biaya pelayanan di satu sisi dan

96
Adi Sulistyo Nugroho, E-commerce: Teori dan Implementasi, Ekuilibria, Yogyakarta,
2016, hlm. 3.
97
Ery Agus Priyono, “Regulations For E-Commerce Agreement According To Ict Act And
Title Iii Of Indonesian Civil Code”, Diponegoro Law Review, Vol. 4 No. 1, April 2019, hlm. 34.
98
Ibid, hlm. 18-19.
99
Putu Agus Eka Pratama, E-commerce, E-business, dan Mobile Commerce, Informatika,
Bandung, 2015, hlm. 14.

55
untuk meningkatkan kualitas barang dan meningkatkan kecepatan layanan

pengiriman.

4. Perspektif online. Pada perspektif ini e-commerce menyediakan

kemampuan untuk membeli dan menjual produk atau barang serta

informasi melalui layanan internet maupun sarana online yang lainnya.

Definisi lain dikemukakan oleh Amir Hartman secara lebih terperinci

lagi mendefinisikan, “sebagai suatu jenis dari mekanisme bisnis secara

elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu

dengan menggunakan internet sebagai medium pertukaran barang atau jasa

baik antar dua buah institusi (B-to-C) maupun antarinstitusi dan konsumen

langsung (B-to-c).100

Selain itu, menurut Onno W. Purbo dan Aang Arif bahwa e-commerce

merupakan satu set dinamis teknologi, aplikasi, dan proses bisnis yang

menghubungkan perusahaan, konsumen, dan komunitas tertentu melalui

transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan, dan infomasi yang

dilakukan secara elektronik.101

Definisi e-commerce yang lain dapat ditemukan di dalam website Uni

Eropa, yaitu e-commerce merupakan konsep bentuk transaksi bisnis

menggunakan/memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.102

E-commerce adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut

konsumen (consumers), manufaktur (manufacture), service providers, dan

100
Ibid.
101
Onno W. Purbo, Mengenal E-commerce, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2001,
hlm. 40.
102
Ibid.

56
pedagang perantara (intermediaries) dengan menggunakan jaringan-jaringan

computer (computer networks), yaitu internet. E-commerce ini sudah meliputi

seluruh spektrum kegiatan komersial.103

Pengertian transaksi (e-commerce) yang dikemukakan oleh Julain Ding

bahwa ini adalah transaksi dagang antara penjual dan pembeli untuk

menyediakan barang, jasa, atau mengambil alih hak. Kontrak ini dilakukan

dengan media elektronik (digital medium) di mana para pihak tidak hadir

secara fisik. Media ini terdapat di dalam jaringan umum dengan sistem

terbuka yaitu Internet atau World Wide Web.104

Menurut Pasal 1 angka (2) UU ITE, transaksi elektronik adalah

perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan

komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Selain itu, menurut Adi

Nugroho mendefinisikan transaksi elektronik (e-commerce) adalah

persetujuan jual beli antara pihak pembeli dengan penjual secara elektronik

yang biasanya menggunakan jaringan komputer pribadi. 105 Pada hal ini,

konsumen menggunakan browser melakukan pemesanan bentuk pembayaran

berupa kartu kredit, digital cash atau cek elektronik.106

Terlepas dari berbagai definisi, terdapat kesamaan. Kesamaan tersebut

memiliki suatu karakteristik sebagai berikut:107

1. Terjadinya transaksi antara dua belah pihak.


103
Ibid.
104
Sugeng Santoso, “Sistem Transaksi E-Commerce dalam Perspektif KUHPerdata dan
Hukum Islam”, Jurnal Ahkam, Vol. 4 No. 2, November 2016, hlm. 223.
105
Zulfikri Toguan, “The Legal Protection of Consumer Rights in Sale-purchase through E-
Commerce”, Science and Technology Publications, Vol. 1 No. 1, Maret 2020, hlm. 132.
106
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor I1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
107
Adi Sulistyo Nugroho, Loc.Cit.

57
2. Adanya pertukaran barang, jasa, atau informasi.

3. Internet merupakan medium utama dalam proses atau mekanisme

perdagangan tersebut.

Jadi, dapat dipahami bahwa secara garis besar e-commerce itu mengacu

pada jaringan internet untuk melakukan belanja online dan cara transaksinya

melalui transfer uang secara digital. Jenis-jenis e-commerce dapat dibedakan

menjadi beberapa jenis yaitu:108

1. Bisnis ke Bisnis. Transaksi B2B merupakan sistem komunikasi bisnis

online antar pelaku bisnis. Karakteristik dari B2B sebagai berikut:109

a. Trading partner yang sudah saling mengetahui dan antar mereka

sudah saling terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama.

Pertukaran informasi yang dilakukan antar pembisnis tersebut atas

dasar kebutuhan dan kepercayaan.

b. Pertukaran informasi yang dilakukan dengan format yang sudah

disepakati. Jadi, service sistem yang digunakan antar kedua pembisnis

juga menggunakan standar yang sama.

c. Salah satu pelaku bisnis tidak harus menunggu rekan bisnisnya untuk

mengirimkan datanya.

d. Sarana yang digunakan EDI (Electronic Data Interchange) dan model

yang umum digunakan adalah peer-to-peer, dengan model ini antar

pelaku bisnis lebih mudah untuk mendistribusikan informasi yang

dimilikinya. EDI adalah sebuah metode pertukaran dokumen bisnis


108
Arsyad Sanusi, Hukum E-commerce, Dian Ariesta, Jakarta, 2004, hlm. 252.
109
Endang Wahyuni, Aspek Sertifikasi & Keterkaitannya dengan Perlindungan Konsumen,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 90.

58
antar aplikasi komputer–antar perusahaan/instansi secara electronis

dengan menggunakan format standar yang telah disepakati.

Perkembangan B2B lebih pesat jika dibandingkan dengan

perkembangan jenis transaksi e-commerce lainnya. Contoh dari B2B

adalah Global Market Grup (GMC). Global Market Group adalah

sebuah perusahaan perdagangan internasional pemasaran.

2. Bisnis ke Konsumen. Proses E-Commerce Retail atau E-Commerce

Businness to Customer (B2C) adalah proses dropship. Adapun

karakteristik dari B2C sebagai berikut:110

a. Terbuka untuk umum, di mana informasi disebarkan untuk umum.

b. Servis yang diberikan bersifat umum dengan menggunakan layanan

sudah dinikmati masyarakat secara ramai.

c. Servis diberikan berdasarkan permohonan. Konsumen melakukan

inisiatif dan produser harus siap memberikan respon sesuai dengan

permohonan.

d. Pendekatan yang dilakukan adalah client server, di mana konsumen

berada pada sisi client, dengan menggunakan web browser untuk

mengaksesnya, dan pelaku usaha berada pada sisi server.

3. Konsumer ke Konsumen. Konsumen ke Konsumen tradisi bisnis lama

dan diperbaharui secara elektronik. Contohnya, tokopedia.com dan

bukalapak.com. Adapun karakteristik sebagai berikut:111

110
Ibid, hlm. 95.
111
Joko Salim, Step by Step Online, PT Elex Media Komputindo, Jakarta, 2009, hlm. 23.

59
a. Pada lingkup konsumen ke konsumen bersifat khusus karena transaksi

yang dilakukan hanya antar konsumen saja, seperti Lelang Barang.

b. Internet dijadikan sebagai saran tukar menukar informasi tentang

produk baik mengenai harga, kualitas dan pelayanannya.

c. Konsumen juga membentuk komunitas pengguna atau penggemar

suatu produk.

Selain ketiga jenis e-commerce di atas, juga terdapat beberapa jenis

transaksi e-commerce lainnya yang telah dikenal diantaranya:112

1. Konsumen ke Bisnis (Consumer to Business) adalah transaksi yang

memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan yang

membutuhkan. Contohnya, EBay (www.ebay.com) dan lapak kaskus

(www.kaskus. co.id).

2. Pemerintah ke Bisnis (Government to Business) adalah bentuk dari e-

commerce yang melibatkan pemerintah dengan pihak bisnis (perusahaan).

Contohnya, transaksi G2C adalah perusahaan membayar pajak secara

online kepada pemerintah.

3. Government to Citizen (G2C) merupakan e-commerce yang melibatkan

pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah) dengan

masyarakat umum (baik pribadi maupun kelompok, namun bukan dalam

bentuk perusahaan). Contoh, pemerintah suatu wilayah ingin melelang

sejumlah peralatan kantor dan beberapa buah gedung kepada masyarakat

umum, baik perorangan maupun kelompok (bukan perusahaan).

112
Ibid, hlm. 66.

60
Secara umum dalam penggunaan teknologi lainnya, e-commerce

mempunyai beberapa keuntungan dan kerugian. Berikut ini diuraikan

beberapa keuntungan dan kerugian e-commerce terhadap individu, masyarakat

dan negara.113

1. Bagi Individu (penjual dan pembeli). Bagi penjual memudahkan dalam

pemasaran produk karena sudah terdapat banyak media sosial yang

membantu para pebisnis online dalam pemasarannya. Memudahkan

penjual dalam mengontrol semua aktivitas aliran produknya sehingga

meminimalisir pencurian produk oleh beberapa oknum tidak brtanggung

jawab. Banyak pebisnis e-commerce membuka jam pemesanan lebih lama

bahkan dapat mencapai waktu 24 jam dalam sehari. Bagi pembeli juga e-

commerce memudahkan dalam pencarian berbagai macam produk yang

dilakukan dengan mudah tanpa harus mengunjungi toko yang menjual

produk tersebut. Home shopping, pembeli dapat melakukan transaksi dari

rumah sehingga dapat menghemat waktu, menghindari kemacetan, dan

jangkauan toko-toko yang jauh dari lokasi pembeli. Product on demand,

pembeli dapat mencari produk sesuai dengan keinginan dan

mendapatkannya. Pembeli dapat mencari produk yang tidak tersedia atau

sulit diperoleh di outlet-outlet atau pasar tradisional.

2. Bagi Masyarakat, e-commerce memungkinkan banyak orang yang untuk

bekerja di rumah mereka sendiri dan untuk mengurangi frekuensi

perjalanan yang harus mereka lakukan untuk berbelanja keluar rumah. E-

113
Abdul Halim Barakatullah, Bisnis EcCommerce: Studi Sistem Keamanan dan Hukum di
Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 2.

61
commerce memungkinkan sejumlah pedagang untuk menjual barang-

barang atau jasa-jasa mereka dengan harga yang lebih murah, sehingga

jumlah orang yang dapat membeli produk atau jasa mereka akan menjadi

lebih banyak, sekaligus dapat meningkatkan standar hidup mereka.

Memungkinkan masyarakat mendapatkan pemerataan produk karena

banyak pebisnis online yang mencangkup pengiriman seluruh dalam

negeri ataupun luar negeri. E-commerce dapat memfasilitasi pemberian

layanan-layanan publik, seperti perawatan kesehatan, pendidikan,

pendistribusian layanan-layanan sosial dari pemerintah dengan biaya yang

lebih murah dan/atau dengan kualitas yang lebih baik.

3. Bagi Negara, banyak keuntungan untuk berbagai macam pajak penjualan

dan pajak ekspok impor produk-produk tersebut. Tarif ekonomi negara

dapat meningkat karena jika suatu negara sudah mempunyai produk yang

berkualitas dan banyak digemari maka akan banyak masyarakat terutama

masyarakat luar negeri yang ingin membeli produk tersebut.

Pemaparan keuntungan di atas tidak terlepas dari kerugian yang dialami

oleh e-commerce selama melabuhkan aktivitasnya. Berikut beberapa

kerugian dimaksud:114

1. Bagi Individu, rentannya terjadi penipuan online oleh para pebisnis online

palsu. Membuat individu menjadi lebih malas untuk mendatangi langsung

dan melihat kualitas barang secara langsung. Pembeli tidak semuanya

mempergunakan teknologi yang sama. Tidak semua orang memiliki akses

114
Wirjono Prodjodikoro, Loc.Cit.

62
terhadap internet. Organisasi/manajer butuh untuk meningkatkan

pengetahuan mengenai teknologi informasi.

2. Bagi Masyarakat, membuat masyarakat lebih konsumtif karena dengan

mudahnya melihat dan mencari produk-produk yang sedang trending

mendorong masyarakat ingin memiliki semua produk-produk tersebut

karena dapat didapatkan dengan mudah. Mendorong perilaku egoisme

karena terkadang masyaarakat lebih mengutamakan atau meninggikan

dirinya sendiri dari lingkungannya karena ingin tampil lebih dengan

produk-produk yang sedang trending.

3. Bagi Negara, sering dirugikan oleh produk-produk hasil ilegal dan

berbagai macam aktivitas penggelapan barang yang terjadi dalam bisnis

e-commerce. Negara juga akan mendapatkan pencemaran nama baik

apabila terdapat oknum-oknum penjual dalam negeri yang memalsukan

ataupun melakukan kejahatan dalam aktivitas e-commerce.

Apabila dilihat dari sistemnya serta prinsip operasionalnya, Berdasarkan

pendapat yang membolehkan transaksi e-commerce, menurut Setiwan Budi

Utomo menyatakan bahwa e-commerce menurut fiqih kontemporer

sebenarnya merupakan alat, media, metode teknis ataupun sarana (wasilah)

yang dalam kaidah syariah bersifat fleksibel, dinamis dan variabel. Hal ini

termasuk dalam kategori umuriddunya (persoalan teknis keduniawian) yang

Rasulullah Saw pasrahkan sepenuhnya selama dalam koridor syariah kepada

umat Islam untuk menguasai dan memanfaatkannya demi kemakmuran

bersama. Namun, dalam hal ini ada yang tidak boleh berubah atau bersifat

63
konstan dan prinsipil, yakni prinsip-prinsip syariah dalam muamalah tersebut

di atas tidak boleh dilanggar dalam mengikuti perkembangan. 115 Menurut

Wahbah Az-Zuhaili, prinsip dasar dalam transaksi muamalah dan

persyaratannya yang terkait dengannya adalah boleh selama tidak dilarang

oleh syariah atau bertentangan dengan dalil (nash) syariah.116

Hukum transaksi dengan menggunakan media e-commerce adalah boleh

dilihat dari segi kemaslahatan dan kebutuhan manusia akan kemajuan

teknologi yang cepat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. 117

Landasan syariah tentang transaksi e-commerce adalah QS. an-Nisa ayat 29:

ۚ ‫َٰٓيَأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنو۟ا اَل َتْأُك ُلٓو ۟ا َأْم َٰو َلُك م َبْيَنُك م ِبٱْلَٰب ِط ِل ِإٓاَّل َأن َتُك وَن ِتَٰج َر ًة َعن َتَر اٍض ِّم نُك ْم ۚ َو اَل َتْقُتُلٓو ۟ا َأنُفَس ُك ْم‬
‫ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن ِبُك ْم َر ِح يًم ا‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan

harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang

berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu

membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

Ayat ini menerangkan hukum transaksi secara umum, lebih khusus

kepada transaksi perdagangan, bisnis jual beli. Dalam ayat ini Allah

mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan

harta orang lain dengan jalan yang bathil, yaitu yang tidak dibenarkan oleh

syari’at. Kita boleh melakukan transaksi terhadap harta orang lain dengan

jalan perdagangan dengan asas saling ridha, saling ikhlas. Dalam ayat ini

115
Rafika Nur Laili, “Islamic Perspective on Consumer Protection in the Online Fashion
Business”, Proceedings of Islamic Economics, Business, and Philanthropy, Vol. 1 No. 2, Mei
2022, hlm. 22.
116
Sugeng Santoso, Loc.Cit.
117
Jusmaliani, Bisnis Berbasis Syariah, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm. 22.

64
Allah juga melarang untuk bunuh diri sendiri maupun saling membunuh. Dan

Allah melarang semua ini, sehingga wujud dari kasih sayang-Nya, karena

Allah itu Maha Kasih Sayang. Selanjutnya, terdapat juga Hadits Rasulullah

Saw mengenai e-commerce:

Artinya: “Dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a., Bahwasannya Nabi Saw

ditanya:”Pekerjaan apakah yang terbaik?” Beliau menjawab:”Ialah orang yang

bekerja dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli yang bersih (HR.

Hakim).”

Hadits di atas menjelaskan ketika Rasulullah Saw ditanya tentang usaha

paling baik, maka ia menjawab, yang paling halal dan paling berkah,

mengusahakan dari jual beli yang bersih dari tipu daya. Jadi berdagang

merupakan usaha baik, tetapi di dalam pelaksanaannya haruslah jujur agar

tidak ada pihak yang dirugikan.

65
BAB III

PEMENUHAN HAK ATAS INFORMASI KONSUMEN DALAM

PERJANJIAN JUAL BELI THRIFTING ONLINE MELALUI APLIKASI

SHOPEE

A. Perlindungan Hukum bagi Konsumen terhadap Pemenuhan Hak Atas

Informasi dalam Perjanjian Jual Beli Thrifting Online melalui Aplikasi

Shopee

Pengertian transaksi yaitu persetujuan jual beli dua belah pihak.

Sedangkan, pengertian online dalam jual beli adalah menggunakan fasilitas

jaringan internet untuk melakukan upaya penjualan atas produk-produk yang

akan diperjualbelikan. Transaksi online adalah kegiatan jual beli barang/jasa

di bidang perdagangan antara dua belah pihak menggunakan fasilitas jaringan

internet yang akan diperjualbelikan. Transaksi online dilakukan melalui media

elektronik. Kesepakatan jual-beli dapat dilakukan dari jarak jauh tanpa

bertatap muka. Sedangkan, pembayaran tidak dilakukan secara langsung

melainkan dilakukan dengan cara metode transfer antar-Bank. Dan, barang

hasil transaksi itu dilakukan dengan cara, mengirim melalui jasa pengantaran

paket.118

Teknologi informasi semakin maju membuat perubahan kebiasaan dalam

bertransaksi jual beli. Sebelumnya, kebiasaan masyarakat bertransaksi dengan

cara jual-beli secara langsung, atau adanya pertemuan antara penjual dan

pembeli. Sekarang menjadi transaksi online. Tidak bertemunya penjual dan


118
Joko Salim, Step by Step Online, PT Media Komputindo, Jakarta, 2009, hlm. 2.

66
pembeli secara langsung, namun melalui teknologi informasi yang di

sambungkan dengan internet. Transaksi online dijadikan metode jual-beli

yang sering dilakukan di Indonesia.119

Faktor peningkatan pelaku usaha melakukan transaksi online yaitu, biaya

pemasaran dan biaya distribusi. Digunakan lebih sedikit dari pada biaya jual-

beli tatap muka karena membutuhkan modal yang lebih sedikit dalam

menjalankan bisnis transaksi online. Sedangkan, faktor mendorong konsumen

bertransaksi online yaitu lebih mudah, menghemat waktu, hemat biaya, seperti

mudah dalam memilih beragam barang yang diinginkan. Berkat transaksi

online, konsumen bisa memilih barang kebutuhan, membandingkan harga

lebih murah dan membandingkan kualitas. Hal ini mudah hanya dengan

mencari pada internet barangnya. Maka, konsumen dapat dengan mudah

membandingkan barang tersebut.120

Pemanfaatan teknologi internet tidak hanya terdapat kelebihan, namun

juga terdapat kekurangan. Kekurangan dalam transaksi online adalah dapat

mengakibatkan dampak negatif pada konsumen. Sebab, karena konsumen

yang tidak bertemu langsung dengan pelaku usaha serta tidak saling mengenal.

Dan juga, hanya dilakukan atas dasar kepercayaan memungkinkan konsumen

dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak jujur.121

Tahapan mekanisme transaksi e-commerce dapat diurutkan sebagai

berikut:122
119
Ibid.
120
A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm.
67.
121
Ibid.
122
Suyadi, Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen, UNSOED, Purwokerto, 2007,
hlm. 1.

67
1. Find it.

2. Explore it.

3. Select it.

4. Buy it.

5. Ship it.

Proses transaksi online terdiri dari sebagai berikut:

1. Penawaran adalah proses pelaku usaha menawarkan sesuatu barang

dan/atau jasa.

2. Penerimaan adalah jika pelaku usaha menawarkan barang dan/atau jasa,

lalu konsumen nerima.

3. Pembayaran transaksi online.

4. Pengiriman adalah kegiatan mengirim produk konsumen.

Meningkatnya belanja konsumen akibat teknologi mengakibatkan

konsumen bingung. Menyebabkan memperlemah konsumen. Lahirnya UU

Perlindungan Konsumen sebagai peraturan yang bertujuan untuk mengatur

dan melindungi kepentingan konsumen atas barang dan/atau jasa yang ada di

masyarakat. Terkait posisi antara konsumen dan pelaku usaha tidak seimbang

sehingga maysarakat berharap betul dengan adanya UU Perlindungan

Konsumen yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen dapat berjalan

dengan baik.123

UU Perlindungan Konsumen mengatur tentang adanya hak dan

kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen

mengatakan bahwa pelaku usaha berkewajiban dalam hal memberikan


123
Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 13.

68
informasi yang terbuka tanpa ada yang ditutup-tutupi dan memberikan

informasi yang sebenar-benanrnya terkait kondisi barang atau jasa yang akan

dijual atau diperdagangkan. Pelaku usaha wajib memberi informasi tentang

cara penggunaan, cara perbaikan serta cara merawat barang atau jasa tersebut.

Sedangkan pasal 4 Undang-Undang perlindungan Konsumen bahwa

konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang terbuka dan

infromasi yang sebenar-benarnya terkait kondisi barang atau jasa yang dari

pihak pelaku usaha. Pasal 4 huruf c UU Perlindungan Konsumen dan Pasal 7

huruf b UU Perlindungan Konsumen merupakan dasar perlindungan

konsumen atas pemenuhan hak atas informasi yang terbuka. Tidak hanya UU

Perlindungan Konsumen saja yang mengatur tentang hak atas informasi

namun peraturan lain pun juga mengatur tentang hak atas informasi yaitu pada

Pasal 9 UU ITE menyatakan bahwa setiap pelaku usaha yang mempromosikan

atau menawarkan atau jasa melalui teknologi informasi berbasis internet wajib

memberikan informasi terkait sepsifikasi barang atau jasa secara. Mengenai

hak atas informasi konsumen pula di atur dalam Pasal 49 Peraturan

Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Sistem dan

Transaksi Elektronik bahwa:124

1. Pelaku Usaha yang memberikan barang wajib memberikan informasi yang

sebenar-benarnya sesuai kontrak maupun barang atau jasa;

2. Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi terkait promosi atas

kontrak atau iklan;

124
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Sistem dan
Transaksi Elektronik.

69
3. Apabila barang yang tidak sesuai maka konsumen diberikan batas waktu

pengembalian; dan

4. Barang yang telah dikirim wajib harus dilaporkan kepada konsumen.

Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang

Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik bahwa pelaku usaha wajib

memberikan jaminan infromasi data yang sebenar-benanrya serta infromasi

terbuka dan wajib menyediakan layanan penyelesaian sengketa.125

Terkait hak atas informasi terdiri dari informasi yang benar, jelas, dan

jujur maksudnya yaitu:126

1. Informasi benar adalah keterangan spesifikasi suatu barang dan/atau jasa

yang tertera pada label atau iklan harus sesuai sebagaimana keadaan yang

sesungguhnya.

2. Informasi jelas adalah informasi harus lengkap.

3. Informasi jujur adalah tidak boleh terdapat kebohongan.

Informasi yang jelas dan benar dalam transaksi online sangat penting.

Sebab, berkaitan dengan kewajiban pelaku usaha. Tujuannya untuk

melindungi kepentingan konsumen. Menghindari perbuatan melawan hukum

dapat berakibat kerugian oleh konsumen. Tidak terpenuhi hak atas informasi

mengakibatkan kerugian pada konsumen. Kerugian materil adalah kerugian

yang nyata-nyata ada yang diderita oleh Konsumen, sedangkan, kerugian

immaterial adalah kerugian atas manfaat yang kemungkinan akan diterima

125
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Sistem dan
Transaksi Elektronik.
126
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, CV. Mandar Maju, Jakarta, 2011,
hlm. 4.

70
oleh konsumen di kemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan

yang mungkin diterima oleh konsumen di kemudian hari.

Transaksi online akhir-akhir ini dilakukan oleh pelaku usaha dan

konsumen melalui e-commerce utamanya ialah shopee, karena banyak sekali

harga barang yang miring dengan kualitas yang bagus, belakangan ini

masyarakat ramai membicarakan mengenai thrifting yaitu jual beli barang

branded bekas dengan kualitas hampir mendekati baru, jual beli thrifting ini

sedang ramai di kalangan e-commerce salah satunya ialah shopee. Konsumen

lebih mudah cari barang, tapi rentan terjadi penipuan. Jadinya, diperlukan UU

Perlindungan Konsumen buat para konsumen itu.

Berdasarkan wawancara dengan narasumber, yaitu Ahyaul Maghfiroh.

Pada awal bulan September 2021 Ahya berniat untuk membeli salah satu

produk pakaian ber-merek Supreme. Toko tersebut tidak hanya menjual

pakaian saja, akan tetapi banyak produk-produk trifting lainnya seperti sepatu

maupun jam tangan juga turut di publikasikan. Setelah melalui berbagai

pertimbangan akhirnya Ahya pun merasa yakin dan membeli di toko tersebut,

karena merasa beruntung mendapatkan pakaian ber-merek Supreme dengan

harga yang terjangkau dengan informasi yang telah disebutkan bahwa pakaian

Supreme tersebut merupakan original buatan di pabrik Indonesia. Setelah

bernegoisasi terjadilah kesepakatan mengenai harga dan waktu pengiriman.

Barang yang dibeli oleh Ahya pun sampai, tentu terdapat perasaan senang

karena barang yang didambakannya telah sampai dengan aman ke tangan

Ahya sesuai dengan apa yang Ahya inginkan. Akan tetapi, Ahya merasa

71
kecewa karena barang thrifthing yang dibelinya tidak sesuai dengan apa yang

diinformasikan oleh penjual, barang yang dibeli Ahya ternyata bukan pakaian

thrifting ber-merek Supreme produksi Indonesia melainkan pakaian Supreme

impor produksi dari USA.127

Berdasarkan kasus di atas, permasalahan terkait pemenuhan hak

informasi yang terlihat adalah pelaku usaha telah memberikan informasi yang

tidak jujur karena dalam kegiatan transaksi online tersebut penjual

memberikan informasi bahwa produk pakaian Supreme yang ia jual

merupakan produksi Indonesia akan tetapi ketika Ahya menerima barang yang

telah dibelinya ternyata barang tersebut merupakan Supreme impon dari USA,

dalam hal ini tentu Ahya mengalami kerugian secara materil, karena Supreme

yang diproduksi di Indonesia harganya lebih mahal daripada yang di produksi

oleh USA.

Berdasarkan kasus tersebut, pelaku usaha dalam jual beli online tersebut

telah melanggar kewajibannya untuk menyampaikan informasi yang benar

kepada konsumen. Dalam hal ini, pelaku usaha melanggar Pasal 4 UU

Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa hak konsumen adalah

“hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa”.

Lebih jelasnya sebagai berikut:

1. Kewajiban pada Pasal 7 Undang-Undang perlindungan Konsumen pelaku

usaha yang dilanggar:

a. Pelaku usaha ketika bertransaksi wajib dilakukan dengan itikad baik;


127
Wawancara dengan Ahyaul Maghfiroh, Pembeli, di Yogyakarta, 10 Oktober 2022.

72
b. Pelaku usaha ketika bertransaksi wajib memberikan informasi yang

sebenarnya tanpa ada yang ditutupi dan harus jujur;

c. Pelaku usaha ketika bertransaksi wajib adil dalam memperlakukan

konsumen tanpa adanya diskriminasi;

d. Pelaku usaha wajib memberikan jaminan atas mutu barang atau jasa

yang diproduksi atau dijual berdasarkan standar mutu barang jasa yang

berlaku;

e. Pelaku usaha ketika bertransaksi wajib memberikan konsumen

kesempatan untuk mencoba, menguji barang atau jasa serta

memberikan jaminan dan garansi; dan

f. Pelaku usaha wajib memberikan kompensasi, ganti rugi atas kerugian

yang dilami konsumen.

2. Hak konsumen pada Pasal 8 Undang-Undang perlindungan Konsumen

yang dilanggar:

a. Konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan atas

penggunaan barang atau jasa;

b. Konsumen berhak memilih barang atau jasa yang dibutuhkan;

c. Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur;

d. Keluhan serta pendapat konsumen wajib didengar;

e. Konsumen berhak mendapatkan perlindungan hukum, bantuan hukum

dan penyelesaian sengketa konsumen;

f. Konsumen berhak atas pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. Konsumen berhak diperlkukan secara adil tanpa diskriminasi;

73
h. Konsumen berhak atas kompensasi atas barang atau jasa jika

merugikan konsumen; dan

i. Konsumen berhak atas apa yang telah ditentukan oleh peraturan

perundang-undang yang lainnya.

Apabila hak atas informasi konsumen telah dilanggar oleh pelaku usaha,

maka konsumen berhak atas hak atas ganti kerugian. Pelaku usaha mempunyai

kewajiban yang wajib dilaksanakan berupa ganti kerugian.

Pasal 24 UU Perlindungan Konsumen menyatakan tanggung jawab

pelaku usaha wajib dijalankan apabila konsumen mengalami kerugian akibat

pelaku usaha tersebut. Sehingga pelaku usaha wajib memberikan jaminan

sesuai standar perundang-undangan. Jika pelaku usaha tidak memberikan

jaminan atas barang atau jasa sesuai standar yang diberlakukan oleh

perundang-undangan maka pelaku usaha dinyatakan lalai. Dengan demikian

konsumen berhak meminta ganti kerugian kepada pelaku usaha tas kerugian

yang timbul. Dari kasus tidak terpenuhnya hak atas konsumen, pelaku usaha

telah mengabaikan kewajiban dan larangan serta mengabaikan hak konsumen

maka pelaku usaha wajib melakukan tanggung jawab berupa membayar ganti

kerugian serta kompensasi kepada konsumen yang telah mengalami kerugian.

Pasal 60 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa

sanksi administratif adalah berupa penetapan ganti rugi yang paling banyak

ditentukan sebesar Rp 200.000.000. Sanksi administratif tersebut

kewenangannya berada di tangan Badan Penyelesaiari Sengketa Konsumen

yang berada pada wilayah Daerah Tingkat II. Sementara itu, sanksi lain yang

74
dapat diberikan bagi pelaku usaha yang melanggar hak konsumen adalah

sanksi pidana. Sanksi tambahan dilaksanakan bertujuan agar mencegah

terulang kembali pelanggaran pelaku usaha.

Kasus yang diuraikan di atas jika dianalisis berdasarkan perjanjian yang

diatur oleh KUHPerdata maka dilihat dari syarat sahnya perjanjian. Pada Pasal

1320 diatur syarat sahnya perjanjian yaitu:128

1. Kesepakatan para pihak;

2. Kecakapan para pihak;

3. Objek yang diperjanjikan; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Jika unsur subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan.

Apabila unsur objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum

Kasus di atas bahwa pelaku usaha telah mengabaikan unsur kesepakatan

mereka yang mengikatkan dirinya. Perjanjian menjadi sah apabila para pihak

sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian serta adanya

persetujuan para pihak menghendaki apa yang telah disepakati. Bagaimana

jika kesepakatan yang di buat oleh pelaku usaha ternyata mengandung

informasi yang tidak benar, tidak jelas dan tidak jujur dan konsumen baru

menyadari mengalami kerugian setelah perjanjian telah dilaksanakan?

Sehingga penulis berpendapat bahwa pada kasus di atas unsur syarat sah

kesepakatan tidak terpenuhi. Persetujuan dalam kesepakatan haruslah

berdasarkan kesadaran sepenuhnya. Ketika salah satu pihak tidak menyadari

bahwa ia telah di tipu maka unsur tersebut tidak dapat terpenuhi.


128
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

75
Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiada sepakat yang sah jika

sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau

penipuan. Jika dilihat bahwa kasus di atas merupakan kasus penipuan.

Kesepakatan yang mengandung penipuan dinyatakan tidak sah sehingga tidak

dapat menjadi perjanjian yang sah. Kesepakatan merupakan syarat subyektif

suatu perjanjian. Sehingga ketika syarat subyektif tidak terpenuhi maka

peranjian tersebut dinyatakan dapat dibatalkan. Pasal 1328 KUHPerdata yaitu

Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila

penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga

nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa

adanya tipu muslihat.

Kasus di atas bahwa perjanjian tersebut tidak terpenuhi oleh syarat sah

subyektif sehingga pembatalan perjanjian dapat dilakukan. Dapat dibatalkan

artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya

sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh

hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak

yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).

Sehingga selama tidak ada pihak yang memintakan pembatalan perjanjian

maka perjanjian tetap akan mengikat pihak-pihak terkait karena hakim tidak

dapat memutus pembatalan perjanjian jika tidak dimintakan pembatalannya.

B. Tanggung Jawab Pelaku Usaha ketika Barang yang Dijual Tidak Sesuai

dengan Informasi yang Tertera pada Perjanjian Jual Beli Thrifting

melalui Aplikasi Shopee

76
Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Pada

penelitian ini, pelaku usaha terbagi menjadi dua, yakni konsumen dan

penyelenggara perdagangan elektronik melalui aplikasi Shopee. Menurut

Pasal 3 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha adalah perusahaan,

korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain yang

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.129

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU ITE, menyebutkan bahwa transaksi

elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan

komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya. Maka, dengan

begitu transaksi jual beli secara online merupakan salah satu bentuk dari

definisi ketentuan di atas. Pada transaksi jual beli online, sama halnya dengan

transaksi jual beli biasa yang dilakukan di dunia nyata. Kedudukan para

pihaknya hampir sama, yang membedakan hanya para pihak tidak bertemu

secara langsung atau tatap muka. Sedikit pembeda dalam transaksi jual beli

online adalah adanya provider situs jual beli yang bertindak sebagai

penyelenggara transaksi perdagangan elektronik.130

Konsumen sebagai pihak pembeli mempunyai kewajiban untuk

membayar barang yang akan dibeli dari penjual sesuai kesepakatan bersama.
129
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
130
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

77
Kemudian, konsumen wajib mengisi identitas diri secara benar dalam proses

pembuatan akun di aplikasi Shopee. Selanjutnya, konsumen berhak mendapat

informasi secara lengkap dari barang yang hendak dibeli, sehingga tidak

merasa rugi di kemudian hari. Hubungan hukum demikian diatur dalam Pasal

1320 KUHPerdata yang berbunyi:131

“perjanjian dikatakan sah apabila telah memenuhi empat hal yaitu adanya kata
sepakat, para pihak cakap hukum, adanya objek yang diperjanjikan, dan
memuat kausa yang halal”.
Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh konsumen dan penjual dalam

aplikasi Shopee, telah terhitung sebagai transaksi jual beli. Walaupun, barang

yang dibeli belum diterima konsumen atau masih dalam tahap pengiriman

melalui kurir. Pernyataan ini didukung atau didasari oleh Pasal 1458

KUHPerdata yang berbunyi:132

“jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah
orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta
harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum
dibayar”.
Berdasarkan wawancara dengan Narasumber, dikatakan bahwa ketika

hendak berbelanja jam tangan G-Shock, sudah diisi dengan benar data diri

yang bersangkutan. Selain itu, Narasumber merasa bahwa informasi yang

diterima melalui kolom deskripsi sudah jelas dan sesuai dengan gambar

tertera. Kemudian, hal terpenting adalah Narasumber telah menyelesaikan

pembayaran secara lunas.133

Analisa penulis melalui pemaparan di atas bahwa konsumen telah

memenuhi kewajiban dengan sebaik-baiknya. Dengan demikian, penjual

131
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
132
Ibid.
133
Wawancara dengan Esa, Pembeli, di Yogyakarta, 12 Oktober 2022.

78
selaku pemilik toko sepatutnya memenuhi pula kewajibannya. Pemenuhan

tersebut dengan memberikan hak konsumen sesuai dengan yang tertera dalam

Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen berupa sebagai berikut:134

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan

yang dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian

atau tidak sebagaimana mestinya; dan

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

134
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

79
Hubungan hukum konsumen dengan aplikasi Shopee didasarkan kepada

hubungan kontraktual. Perjanjian kontraktual adalah hubungan hukum antara

subjek hukum satu dengan lainnya dalam bidang harta kekayaan. Perjanjian

demikian berisi bahwa konsumen wajib tunduk pada term of use aplikasi

Shopee. Dilakukan dengan ditandai dan disetujui pada saat pembuatan akun

disertai dengan menekan tanda persetujuan syarat dan ketentuan dari aplikasi

Shopee. Hal yang sama juga dilakukan oleh penjual yang mendaftarkan diri

sebagai pedagang di aplikasi Shopee untuk tunduk pada syarat dan

ketentuan.135

Aplikasi Shopee berperan sebagai provider yang menghubungkan

konsumen dengan penjual. Kedudukan Shopee sebagai pelaku usaha

mempunyai kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak-hak konsumen

disertai pengawasan terhadap penjual. Begitu juga dengan penjual, wajib

memenuhi hak-hak konsumen. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU

Perlindungan Konsumen, dikatakan bahwa pelaku usaha dalam menerangkan

deskripsi produk dilarang:136

1. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan

harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang

dan/atau jasa;

2. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

3. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang

dan/ atau jasa;

135
Abdul Halim B., Hak-hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2008, hlm. 52.
136
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

80
4. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/ atau

jasa;

5. Mengekploitasi kejadian dan/ atau seseorang tanpa seizin yang berwenang

atau persetujuan yang bersangkutan; dan

6. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan

mengenai periklanan.

Kewajiban pelaku usaha secara online turut diatur dalam Pasal 9 UU ITE

yang berbunyi:

“pelaku usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik harus


menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat
kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan”.
Ketentuan-ketentuan di atas menghantarkan pada prinsip bahwa penjual

dilarang melakukan perbuatan melawan hukum. Apabila penjual melanggar,

wajib dikenakan sanksi berupa ganti rugi terhadap konsumen. Larangan ini

sejalan dengan Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:137

“tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian bagi orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”.
Berdasarkan wawancara dengan narasumber mengatakan jika sepatu

Nike yang dibeli tidak sesuai dengan informasi tertera. Padahal, narasumber

merasa sudah yakin dengan pakaian yang dibeli bahwa akan sesuai. Namun,

informasi yang diberikan pelaku usaha tidak sesuai dengan barang.138

Analisa penulis sesuai pemaparan-pemaparan di atas, bahwa pelaku

usaha, dalam hal ini penjual, tidak menjalankan kewajiban dengan sebaik-

137
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5142a15699512/perbuatan‐melawan‐
hukum-dalam‐hukum‐perdata‐dan‐hukum‐pidana, diakses terakhir tanggal 20 November 2022,
pukul 20.55 WIB.
138
Wawancara dengan Aryda Bunga, Pembeli, di Yogyakarta, 13 Oktober 2022.

81
baiknya. Keterangan dari narasumber menyatakan jika barang yang

dibelanjakan melalui aplikasi Shopee, tidak sesuai dengan informasi tertera.

Penjual sengaja tidak jujur kepada konsumen akan kondisi produknya yang

dikirim kepada konsumen yang menyebabkan konsumen merasa tertipu dan

rugi karena membeli barang yang tidak sesuai. Kondisi ini telah menimbulkan

kerugian materiil bagi konsumen berupa uang dan barang. Maka, secara jelas

pelaku usaha telah melanggar Pasal 17 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen.

Oleh karena itu, pelaku usaha wajib bertanggung jawab atas perbuatan yang

telah merugikan konsumen.

Salah satu teori pertanggungjawaban yang dapat diterapkan bagi pelaku

usaha adalah tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Teori ini diterapkan agar

pelaku usaha yang berbuat salah serta menimbulkan kerugian pada diri

konsumen, wajib memberikan bertanggung jawab dengan membayar ganti

kerugian. Nominal ganti kerugian harus sebanding dengan yang diderita

konsumen. Tanggung jawab demikian harus memenuhi empat unsur pokok

berupa adanya perbuatan; adanya kesalahan; adanya hubungan kausalitas

antara kesalahan dan kerugian; dan adanya kerugian yang diderita.139

Aplikasi Shopee memiliki terms of use untuk para pengguna dan penjual

yang harus dipatuhi pada saat pendaftaran akun. Berdasarkan Pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata dikatakan bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai

dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Pasal ini mengandung asas pacta sun servanda yaitu para pihak
139
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5142a15699512/perbuatan‐melawan‐
hukum-dalam‐hukum‐perdata‐dan‐hukum‐pidana, diakses terakhir tanggal 20 November 2022,
pukul 20.55 WIB.

82
yang melakukan perjanjian harus mematuhi perjanjian mereka. Apabila ada

salah satu pihak mengingkari atau tidak menjalankan perjanjian yang telah

disepakati bersama, maka pihak lainnya bisa mengajukan permohonan kepada

pengadilan untuk memaksa pihak yang melanggar perjanjian itu tetap

menjalankan perjanjian yang telah disepakatinya.140

Berdasarkan wawancara dengan narasumber mengatakan jika pihaknya

sudah mencoba untuk menghubungi penjual melalui aplikasi Shopee untuk

meminta pertanggungjawaban serta ganti rugi. Namun, naas permintaan

tersebut tidak dihiraukan oleh penjual. Padahal, disini penjual telah melanggar

terms of use dari Shopee. Sebab, tidak memberi deskripsi gambar dan

informasi yang benar dan jujur. Hal demikian membuat konsumen merasa rugi

atas barang yang dibeli tidak sesuai keterangan penjual.141

Analisa penulis sesuai pemaparan-pemaparan di atas adalah penjual telah

melanggar perjanjian yang dibuat dalam syarat dan ketentuan Shopee. Sebab,

tidak memberi deskripsi gambar dan informasi yang benar dan jujur. Selain

itu, penjual juga tidak merespon dan menerima permintaan konsumen untuk

pengembalian dan penggantian barang. Konsumen disini merasa rugi karena

barang tidak sesuai dengan informasi tertera. Hak konsumen tidak terpenuhi

untuk mendapat informasi yang benar dan sesuai.

Penjual selaku pelaku usaha tidak memenuhi ketentuan yang tercantum

dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen. Ketentuan tersebut adalah sebagai

berikut:142
140
Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 25.
141
Wawancara dengan Aryda Bunga, Pembeli, di Yogyakarta, 13 Oktober 2022.
142
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

83
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi

atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan; dan

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian

apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai

dengan perjanjian.

Menurut perspektif hukum Islam, jual beli harus sesuai dengan

ketentuan dari Allah Swt. Peristiwa dalam penelitian ini menggambarkan jika

pelaku usaha tidak memenuhi ketentuan dari Allah Swt dimaksud. Pada QS.

al-Baqarah ayat 275 dikatakan jika jual beli diperbolehkan oleh Allah Swt dan

melarang atau mengharamkan praktek riba. Makna ayat tersebut adalah Allah

84
Swt memperbolehkan kepada manusia untuk melaksanakan transaksi jual beli

demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, tentu saja transaksi jual

beli itu harus sesuai dengan koridor atau ketentuan yang telah Allah Swt

berikan. Kemudian, Allah Swt menyerukan kepada manusia agar mencari

karuniannya dan selalu ingat kepadanya. Oleh karena itu, jika melanggar,

maka pelaku usaha mendapat dosa atas perbuatannya. Kemudian, bertanggung

jawab atas dosa tersebut kelak di kemudian hari.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, pelaku usaha yang tidak

memenuhi hak-hak konsumen wajib bertanggung jawab sesuai ketentuan

dalam KUHPerdata dan UU Perlindungan Konsumen. Apabila pelaku usaha di

aplikasi Shopee tidak memberikan barang sesuai informasi yang tertera pada

sarana jual beli thrifting, maka harus bertanggung jawab. Tanggung jawab

pelaku usaha tersebut adalah membayar ganti kerugian. Nominal ganti

kerugian harus sebanding dengan yang diderita konsumen. Tanggung jawab

demikian harus memenuhi empat unsur pokok berupa adanya perbuatan;

adanya kesalahan; adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian;

dan adanya kerugian yang diderita.

85
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan-pembahasan di atas, maka penelitian ini

memiliki kesimpulan sebagai berikut:

1. Perlindungan hukum bagi konsumen terhadap pemenuhan hak atas

informasi dalam perjanjian jual beli thrifting online melalui aplikasi

Shopee masih belum berjalan semestinya karena UU Perlindungan

Konsumen belum dapat diimplementasikan sepenuhnya. Hal ini

disebabkan pelaku usaha yang masih mengabaikan kewajiban, larangan

serta mengabaikan hak konsumen.

2. Tanggung jawab pelaku usaha ketika barang yang dijual tidak sesuai

dengan informasi yang tertera pada perjanjian jual beli thrifting melalui

aplikasi Shopee adalah tidak dipenuhi dengan baik dan benar. Pelaku

usaha, dalam hal ini penjual, tidak memberikan ganti rugi. Pelaku usaha

pun tidak merespon dan tidak menerima permintaan konsumen untuk

pengembalian serta penggantian barang. Hal ini menyebabkan konsumen

tidak dapat mengembalikan barang tersebut.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penelitian ini memberi saran

sebagai berikut:

86
1. Sebaiknya, perlindungan hukum dari aplikasi Shopee lebih serius

dijalankan. Perlindungan hukum dimaksud dapat dengan menambah

ganjaran sanksi kepada pelaku usaha yang tidak memenuhi hak-hak

konsumen.

2. Sebaiknya, pelaku usaha memberikan ganti rugi dan menjamin barang

tersebut dapat dikembalikan. Kemudian, pelaku usaha seharusnya

menerima pula pengembalian terhadap barang yang dijual.

87
DAFTAR PUSTAKA

Buku
A.Z. Nasution, Konsumen dan Hukum, PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

____________, Hukum Perlindungan Konsumen, Jaya Widya, Jakarta, 1999.

Abdul Aziz Muhammad, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi Dalam Fiqh Islam,
Amzah, Jakarta, 2010.

Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Pustaka Imam, Kairo, 2000.

Abdul Halim B., Hak-hak Konsumen, Nusa Media, Bandung, 2008.

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan: Teori dan Contoh Kasus,
Kencana, Jakarta, 2005.

Abdulkadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktik Perusahaan


Perdagangan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk dalam Perlindungan Konsumen, Ghalia


Indonesia, Bogor, 2008.

Ahmad Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia,


Rajawali Pers, Jakarta, 2011.

Bachtiar, Metode Penelitian Hukum, Unpam Press, Tangerang, 2019.

Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Refika Aditama, Bandung, 2009.

Ediko Waran, Belanja Daring. Perkembangan Teknologi Komunikasi Online,


Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Gunawan Wijaya, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT. Gramedia


pustaka Utama, Jakarta, 2000.

H.M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2001.

I Made Pasek Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif dalam Justifikasi


Teori Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2016.

88
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010.

Joko Salim, Step by Step Online, PT Media Komputindo, Jakarta, 2009.

Muhammad Abdullah Abu Al-Imam Al-Bukhori, Kitab Shahih Bukhori, Dahlan,


Bandung, 2008.

O. Hasbiansyah, “Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian dalam


Ilmu Sosial”, Jurnal Hukum, Vol. 9 No. 1, Juni 2008.

Pipin Syarifin, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Pustaka Bani


Quraisy, Bandung, 2004.

Ridwan Khairandy, Pokok-Pokok Hukum Dagang, FH UII Press, Yogyakarta,


2014.

Ryeke Ustadiyanto, Framework E-Commerce, Andi Offcet, Yogyakarta, 2001.

Shinta Dewi, Cyberlaw, Widya Padjajaran, Bandung, 2019.

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1997.

Susanti Adi N., Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau dari Hukum
Acara serta Kendala Implementasinya, Kencana, Jakarta, 2011.

Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta,


2004.

Suteki, Metodologi Penelitian Hukum: Filsafat, Teori, dan Praktik, Rajagrafindo


Persada, Bandung, 2018.

Suyadi, Dasar-dasar Hukum Perlindungan Konsumen, UNSOED, Purwokerto,


2007.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung,


2000.

__________________, Asas-asas Hukum Perjanjian, CV. Mandar Maju, Jakarta,


2011.

Jurnal
Aditya Migi Prematura, “Legal Protection for Consumers Against Buying and
Selling Goods Transactions Through Online Shops”, Pena Justisia, Vol. 20
No. 2, Desember 2021.

89
David Chaney, “LifeStyle: A Comprehensive Introduction”, Gadjah Mada
International Journal of Business, Vol. 1 No. 1, 2020.

Dewa Angga, “Legalitas Thrift shop dan Preloved di Indonesia”, Jurnal Kertha
Desa, Vol. 9 No. 6, 2021.

Ery Agus Priyono, “Regulations For E-Commerce Agreement According To Ict


Act And Title Iii Of Indonesian Civil Code”, Diponegoro Law Review, Vol.
4 No. 1, April 2019.

Firqotun Naziah, “Sale & Purchase Agreement Through Internet: The Legal
Certainty for the E-Commerce Practices in Indonesia”, Indonesia Media
Law Review, Vol. 1 No. 1, Juni 2022.

Moh. Rifai, “Kajian Masyarakat Beragaman Perspektif Pendekatan Sosiologis”,


Al-Tanzim, Vol. 2 No. 1, 2018.

Muhajir, “E-Commerce Consumer Protection At Tokopedia”, Al-Amwal, Vol. 4


No. 2, September 2019.

Muhammad Herman Effendi, “Perlindungan Konsumen dalam Jual Beli Pakaian


Bekas Impor Melalui Aplikasi Sosial Media Instagram di Indonesia”,
Jurnal Universitas Lambung Mangkurat, Vol. 1 No. 1, 2022.

Rafika Nur Laili, “Islamic Perspective on Consumer Protection in the Online


FashionBusiness”, Proceedings of Islamic Economics, Business, and
Philanthropy, Vol. 1 No. 2, Mei 2022.

Raplin Jauhari, “Legal Protection of Consumers Due To Default In Online Buying


and Selling Transactions”, Estudiente Law Journal, Vol. 2 No. 1, Januari
2020.

Widaningsih, “The Implementation of Good Faith Principles in Online Sale and


Purchase”, Kertha Wicaksana, Vol. 13 No. 1, Februari 2019.

Zulfikri Toguan, “The Legal Protection of Consumer Rights in Sale-purchase


through E-Commerce”, Science and Technology Publications, Vol. 1 No. 1,
Maret 2020.

Skripsi
Henita Saputri, “Optimalisasi Pengawasan Penjualan Thrifting (Baju Bekas)
Paketan Secara Online di Kota Pangkal Pinang”, Skripsi, UIN Mulana
Malik Ibrahim, 2022.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

90
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang


Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan atas


Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang
Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaran Sistem dan


Transaksi Elektronik.

Hasil Wawancara
Wawancara dengan Ahyaul Maghfiroh, Pembeli, di Yogyakarta, 10 Oktober
2022.

Wawancara dengan Esa, Pembeli, di Yogyakarta, 12 Oktober 2022.

Wawancara dengan Aryda Bunga, Pembeli, di Yogyakarta, 13 Oktober 2022.

Data Elektronik
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5142a15699512/perbuatan‐melawan‐
hukum-dalam‐hukum‐perdata‐dan‐hukum‐pidana, diakses terakhir tanggal
20 November 2022, pukul 20.55 WIB.

91

Anda mungkin juga menyukai