Anda di halaman 1dari 10

Nama : Savirra Satriadi

Npm/Kelas : 174301149/A
Mata Kuliah : Hukum Perlindungan Konsumen
Dosen Pengajar : Dr. Endang Pujiastuti, S.H., M.H.

Ujian Tengah Semester Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen dan Asas – Asas


Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen adalah:

Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi


konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang dan/ atau
jasa konsumen”.

Kesimpulan:
Hukum Perlindungan Konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang
mengadakan hubungan hukum atau bermasalah itu dalam masyarkat tidak seimbang.
Perlindungan Konsumen (Pasal 1 ayat (1) UUPK)
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.

Asas Perlindungan Konsumen

Menurut Pasal 2 UUPK Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha


bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dengan pembangunan nasional.
1. Asas Manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2. Asas Keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bisa diwujudkan secara
maksimal dan memberi kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas Keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material dan spiritual.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh
keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.

2. Batasan Konsumen dan Pelaku Usaha Menurut Undang – Undang Nomor


8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1


angka 2 , Konsumen adalah :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan dan tidak untuk diperdagangkan”.
Batasan Konsumen :

Setiap orang.
Pemakai barang atau jasa.
Yang tersedia dalam masyarakat
Bagi kepentingan diri sendiri atau pihak lain. Tidak untuk diperdagangkan.

Setiap Orang :
Dalam batasan ini terdiri dari orang alami atau orang yang diciptakan oleh hukum
(perusahaan dengan bentuk PT atau sejenis, baik privat atau publik).

Pemakai Barang dan atau Jasa


Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK, kata pemakai lebih
menekankan pada konsumen sebagai konsumen akhir (ultimate consumer).
Unsur mendapatkan barang atau jasa, tidak terbatas karena suatu hubungan hukum
berdasarkan perjanjian (jual beli, sewa menyewa, beli angsuran, dan sebagainya),
tetapi juga karena suatu hubungan hukum atas dasar Undang-Undang (Pasal 1233 jo
Pasal 1234 KUHPerdata).
Dengan barang dan atau jasa yang digunakan, tergantung pada konsumen mana yang
dimaksudkan. Bagi konsumen-antara barang atau jasa itu adalah barang atau jasa
kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang
akan diproduksinya.

Barang menurut Pasal 1 angka 4 UUPK, adalah : ”setiap benda baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan
maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.”
Jasa menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah :
“setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.”

Yang tersedia dalam masyarakat.


Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia di
pasaran. Dalam perdagangan yang semakin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak
mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya perusahaan pengembang
(developer) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum
bangunannya jadi.

Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, atau makhluk hidup lain.
Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
dan makhluk hidup lain.

Tidak untuk diperdagangkan.


Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.
Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai
negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang
lingkup pengertian konsumen

Pasal 1 Angka 3 UUPK 8/1999 , Pelaku Usaha adalah :


“setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum
maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi’’.
Pengertian pelaku usaha dalam pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas yaitu meliputi
perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-
lain.
Batasan Pelaku Usaha :

Ada 4 unsur yang terkandung dalam pengertian pelaku usaha menurut UUPK :

1.Setiap orang perseorangan atau badan usaha


2.Yang termasuk badan usaha menurut pengertian ini adalah badan usaha yang
berbadan hukum dan tidak berbadan hukum.
Secara sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian. Beberapa macam pelaku
usaha yaitu :
a. Orang perseorangan;
b. Badan usaha;
c. Orang perseorangan dengan orang perseorangan lain;
d. Orang perseorangan dengan badan usaha;
e. Badan usaha dengan badan usaha.
Yang termasuk kegiatan usaha melalui perjanjian adalah huruf c sampai e.
3. Menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah mereka yang menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4. Didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
Negara Republik Indonesia.Maksudnya adalah orang perseorangan atau badan hukum
tersebut berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia.

Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau


pelaku usaha di luar negeri, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) membatasi orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia. Perbedaan
antara didirikan, berkedudukan dan melakukan kegiatan Didirikan erat kaitannya
dengan badan hukum. Misalnya PT A, berdasarkan anggaran dasarnya didirikan di
Indonesia.

3. Perlindungan Hukum Preventif dan Represif terhadap Konsumen


menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1999

Perlindungan Preventif dan Perlindungan Represif :

Perlindungan Preventif :
Strategi perlindungan konsumen :
1. Nir aksi ( menerima atau tidak menuntut )
2. Ragam Aksi ( Menerima tetapi menyampaikan melalui tulisan dan surat kabar )
3. Peraturan perundang – undangan
4. Pengadilan / luar pengadilan ( BPSK )
5. Pengaturan mandiri / voluntary self regulation pengaturan yang dibuat pihak
pelaku usaha itu sendiri

Hubungan pelaku usaha dengan konsumen , jika terjadi permasalahan :

Terdapat 2 model :
1. Produsen langsung ke konsumen
2. Produsen melalui grosir , pengecer langsung konsumen

Produsen langsung ke konsumen ( menggugat nya langsung ke produsen

Produsen  Grosir ( Whole sales )  Pengecer ( Retaller )  Konsumen

Wanprestasi

Perbuatan Melawan Hukum

Bisa menggugat langsung ke produsen  tanggung jawab produk


Pasal 1365 harus dibuktikan
1. Unsur melawan hukum
2. Unsur kerugian
3. Unsur kesalahan
4. Unsur kausalitas

Perlindungan Represif :
SANKSI BAGI PELAKU USAHA PASAL 60 S/D 63 UUPK
SANKSI ADMINISTRATIF
Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi.
SANKSI PIDANA
Sanksi Pidana berupa pidana penjara. atau pidana .
HUKUMAN TAMBAHAN
Terhadap sanksi pidana di atas, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha.

Dalam hal ini Undang – Undang Perlindungan Konsumen menganut Sistem


pembuktian terbalik , yang menggugat adalah pihak pelaku usaha sendiri dan Pasal
22 UUPK dan Pasal 28 UUPK dalam kasus dll , digunakan pembuktian terbalik jika
Penggugat mau menggugat tergugat maka unsur kesalahan dibuktikan pelaku usaha
dengan ini pelaku usaha yang harus membuktikan sendiri dalam hal ini UUPK
menganut sistem pembuktian terbalik karena yang mengetahui proses pembuatan dll
ada di pelaku usaha.
4. Apakah pelaku usaha diperbolehkan mencantumkan klausula baku , apa
akibat hukumnya jika klausula baku yang dicantumkan tersebut
merupakan klausula eksonerasi , berikan contoh!

Pada prinsipnya UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat


perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau
perjanjian selama dan sepanjang tidak bertentangan dengan UUPK. Dalam penjelasan
Pasal 18 UUPK, dikatakan bahwa larangan untuk memasukkan klausula baku yang
mengandung sesuatu yang akan mengakibatkan kerugian konsumen, dimaksudkan
untuk menempatkan konsumen sejajar dengan pengusaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak. Dalam kontrak baku dikenal klausula eksonerasi yaitu
klausula yang menyatakan salah satu pihak menghindarkan diri dari pemenuhan
kewajiban membayar ganti rugi yang mungkin terjadi.

Akibat hukum jika klausula baku yang dicantumkan tersebut merupakan klausula
eksonerasi maka Pasal 18 ayat (4) UUPK
“ Mewajibkan pelaku usaha untuk menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan undang – undang ini”
Dalam hal ini hanya diganti klausula tetapi perjanjiannya tetap dijalankan , sehingga
perjanjiannya tidak batal hanya klausula nya saja.

Contoh Klausula Eksonerasi :


pada praktik perbankan. Sebelum adanya UUPK, dalam memberikan kredit, bank
mencantumkan syarat sepihak di mana ada klausula yang menyatakan bahwa Bank
sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga
pinjaman (kredit) yang diterima oleh Debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan
dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur
setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh Bank untuk merubah
suku bunga Kredit, yang telah diterima oleh Debitur pada masa/jangka waktu
perjanjian kredit berlangsung.
5. A. Alasan Force Majeur atau Keadaan Memaksa bagi pihak Pelaku
Usaha?
Menurut saya
Menurut saya pada umumnya dalam suatu kontrak atau perjanjian terdapat
pengaturan mengenai force majeur atau keadaan memaksa. Force majeur adalah
keadaan dimana debitur gagal menjalankan kewajibannya yaitu berupa pemenuhan
prestasi kepada pihak kreditur karena kejadian yang berada di luar kuasa pihak yang
bersangkutan dikarenakan peristiwa gempa bumi, tanah longsor, epidemi, kerusuhan,
perang dan sebagainya. Namun banyak dari pelaku-pelaku bisnis yang tidak mengatur
secara spesifik terjadinya pandemi penyakit tertentu seperti corona virus yang
sekarang kita alami sebagaai force majeur. Pandemi virus corona jenis baru atau yang
dikenal dengan Covid-19 dikategorikan dalam kasus force majeur atau keadaan
memaksa. Akibat keadaan tersebut tentunya akan mengganggu kelangsungan suatu
kontrak atau perjanjian dalam dunia bisnis. Bahkan dapat menimbulkan sengketa
dalam pelaksanaannya.
Pandemi corona dijadikan sebagai dalil keadaan memaksa atau force majeur dalam
suatu kontrak bisnis didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020
tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). Alasan tersebut dijadikan pembelaan debitur atas tidak terlaksananya
suatu kontrak karena suatu hal yang tidak dapat diduga.

5B Alasan untuk membatalkan perjanjian pihak pelaku usaha?

Menurut saya Kondisi force majeur tersebut tidak serta merta dapat dijadikan
pembatalan suatu kontrak, namun renegosiasi dapat dilakukan untuk membatalkan
atau mengubah isi kontrak yang telah disepakati tentunya diharapkan berjalan dengan
adanya itikad baik. Suatu kontrak harus tetap dilaksanakan sesuai dengan isinya
sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan setiap perjanjian
yang dibuat secara dah berlaku sebagai undang- undang bagi yang membuatnya.

Anda mungkin juga menyukai