Anda di halaman 1dari 24

ARIS SUHADI

KAPITA SELEKTA
HUKUM PERDATA
2
KONTRAK/PERJANJIAN : ADANYA
PENYALAHGUNAAN KEADAAAN
(MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN
 Ada bebarapa istilah yang hampir mirip namun
memiliki pengertian berbeda TIDAK BOLEH
DISAMAKAN yaitu:
perubahan keadaan,
penyahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden,
undue influence) dan
penyalahgunaan hak (misbruik van recht, abus de
droit).
 Dalam sesi ini akan dibicarakan tentang
penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan
keadaan adalah berkenaan dengan sahnya suatu
perjanjian/ kontrak/Persetujuan
SAHNYA PERJANJIAN
 Pasal 1320 KUHPerdata, dinyatakan keabsahan suatu
perjanjian, suat persetujuan, apabila memenuhi 4 syarat:’
Kesepakatan
Kecakapan
Hal tertentu
Adanya sebab (causa)yang halal
 Kedudukan syarat:
Dua syarat pertama sebagai syarat subyektif, karena mengenai
subyek,
dua syarat kedua merupakan syarat obyektif.
Bila syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi
hukum,
bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka dapat dibatalkan
Keabsahan perjanjian adanya
penyalahgunaan keadaan
 Penyalahgunaaan keadaaan merupakan alasan
baru yang dapat menjadi alasan perjanjian dapat
dibatalkan, di samping yang telah diatur dalam pasal
1320 sub 1 BW /KUHPerdata, yaitu perjanjian
mengandung unsur:
kesesatan,
paksaan atau
penipuan.
 Jadi kesesatan, paksaan, penipuan,
penyalahgunaan keadaan bukan merupakan
sepakat yang sah, yang tidak melahirkan perjanjian
yang sah, karenannya dapat dituntut pembatalan.
Pandangan ahli
 Prof. Mr J. van Dunne dan Prof Mr Gr van de
Burght:
Mengajukan beberapa keberatan atas para penulis sebagai
berikut: Dalam ajaran hukum, pengertian tentang sebab ini
diartikan sedemikian sehingga perjanjian berhubungan dengan
tujuan atau maksud bertentangan dengan Undang-undang
kebiasaan yang baik atau ketertiban.
Pengertiam sebab yang tidak diperbolehkan: itu, dulu
dihubungkan dengan isi perjanjian.
Pada penyalahgunaan keadaan tidaklah semata mata
berhubungan dengan isi perjanjian, tetapi berhubungan dengan
apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian yaitu
penyalahgunaan keadaan yang menyebabkan pernyataan
kehedak dan dengan sendirinya persetujuan satu pihak tanpa
cacat.”
 Van Dunne menyatakan:
Penyalahgunaan keadaan itu menyangkut
keadaan keadaan yang berperan pada
terjadinya kontrak: menikmati keadaan orang lain
tidak menyebabkan isi kontrak atau maksudnya
menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan
kehendak yang disalahgunakan menjadi tidak
bebas”
Lanjutan
 Profesor Asikin Kusumaatmadja, dikutip
Setiawan,
Penyalahgunaan sebagai faktor yang membatasi
atau mengganggu adanya kehendak yang bebas
untuk menentukan persetujuan antara kedua
pihak, pasal 1320 sub satu KUHPerdata.
Setiawan mengutip pendapat Cohen, yang
menyatakan bahwa tidak tepat
menggolongkannya sebagai kausa yang tidak
halal (ongeoorloofde oorzaak), pasal 1320 sub
ke 4 KUHPerdata..
Lanjutan:Setiawan
 Kausa yang tidak halal memiliki ciri yang berbeda,
karena tidak ada kaitannya dengan kehendak yang
cacat. Meskipun pihak yang bersangkutan tidak
mendalilkannya sebagai alasan untuk menyatakan
batalnya perjanjian namun dalam hal kausa tidak
halal, Hakim secara ex officio wajib
mempertimbangkannya.
 Berbeda halnya dengan kehendak cacat
(wilsgebrek): pernyataan batal atau pembatalan
perjanjian hanya akan diperiksa oleh hakim kalau
didalilkan oleh yang bersangkuan. Disebabkan tidak
dipenuhinya syarat subyektif suatu perjanjian
Lanjutan
 Menggolongkan menyalahgunaaan sebagai salah satu bentuk
cacat kehendak, lebih sesuai dengan kebutuhan kontruksi
hukum dalam hal seseorang yang dirugikan menuntut
pembatalan perjanjian, gugutan atas dasar penyalahgunaan
keadaan terjadi dengan suatu tujuan tertentu,
 Penggugat harus mendalilkan bahwa perjanjian itu sebenarnya
tidak ia kehendaki atau bahwa perjanjian itu tidak ia kehendaki
dalam bentuknya yang demikian.
 HP Panggabean: Berdasarkan paparan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa penyalahgunaan kedaaan dikatagorikan
sebagai kehendak cacat, karena lebih sesuai dengan isi dan
hakekat penyalahgunaan keadaan itu sendiri. Ia tidak
berhubungan dengan syarat syarat obyektif perjanjian,
melainkan mempengaruhi syarat syarat subyektifnya.
Lanjutan
Van Dunne membedakan penyalahgunaan keadaan karena
keunggulan ekonomis dan keunggukan jiwa, sebagai berikut:
 Persyaratan persyaratan penyalahgunaan keunggulan
ekonomis;
 Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap
yang lain;Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian
 Persyaratan persyaratan penyalahgunaaan keunggulan jiwa;
Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif,dengan
pihak lain seperti hubungan kepercayaan antara orang tua dan
anak, suami dan istri, dokter pasien, pendeta jemaah
Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa
dari pihak lawan , seperti adanya gangguan jiwa, tidak
berpengalaman, gegabah, kurang pengetahauan, kondisi badan
yang tidak baik, dan sebagainya
Lanjutan
 Dalam Pasal 1321 KUHPer mengatakan bahwa tiada
sepakat yang sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. 
 Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri,
dapat dilihat dalam Pasal 1324 dan Pasal 1325 KUHPer . 
 Paksaan telah terjadi jika perbuatan tersebut sedemikian rupa
sehingga dapat menakutkan seorang yang bertanggung
jawab, dan perbuatan yang dapat menimbulkan ketakutan
pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya
terancam dengan kerugian yang terang dan nyata . 
 Paksaan juga mengakibatkan batalnya suatu perjanjian jika
paksaan itu dilakukan terhadap suami atau istri atau sanak
keluarga dalam garis ke atas atau ke bawah. 
Lanjutan
 Prof. Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-
Pokok Hukum Perdata (hal. 135), Mengenai
paksaan ini, mengatakan:
bahwa paksaan terjadi jika seseorang memberikan
persetujuannya karena ia takut pada suatu
ancaman. Misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka
rahasianya jika ia tidak ada suatu perjanjian. Yang
diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang. 
Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang
memang berasal dari undang-undang, misalnya ancaman
akan menggugat di depan hakim dengan penyitaan
barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan. 
Lanjutan
Elly Erawati dan Herlien Budiono dalam bukunya yang
berjudul Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian (hal. 56)
menyampaikan pendapat serupa juga dikatakan . 
 Tentang paksaan dalam KUHPerdata adalah paksaan secara kejiwaan
atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi di mana seseorang melawan
hukum yang mengancam orang lain dengan ancaman yang terlarang
menurut hukum sehingga orang yang berada di bawah ancaman itu
berada di bawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya
dengan tidak secara bebas. 
 Ancaman itu menimbulkan ketakutan yang timbul karena kehendak yang
diancam itu betul telah dinyatakan, kehendak tersebut menjadi cacat
hukum karena terjadi karena ancaman. 
 Tanpa adanya ancaman, kehendak itu tidak akan pernah terwujud.Apa
yang diancamkan berupa kerugian pada orang atau kebendaan milik
orang tersebut atau kerugian terhadap pihak ketiga atau kebendaan
pihak ketiga.
Pandangan Pengadilan
 Putusan MA No 3431K/Pdt/1985 tanggal 4
Maret 1987.
Kasus posisi Tergugat telah meminjamkan uang
pada Penggugat dengan janji: bunga sebesar10%
setiap bulan dan penyerahkan buku dana pensiun
milik Tergugat. Penggugat menuntut Tergugat agar
membayar hutang beserta bunganya.
Pengadilan Negeri mengabulkan gugatan
Penggugat agar Tergugat membayar pinjangan
dengan bunganya sebesar 4 % sejak gugatan
diajukan. Pengadilan tinggi menguatkan putusan
pengadilan Negeri.
Lanjutan
 Mahkamah Agung membatalkan putusan judex factie karena salah
menerapkan hukum. Dengan pertimbangan hukum:
 Bahwa pinjam meminjam dengan bunga 10% per bulan adalah terlampau tinggi dan
bahkan bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, mengingat Tergugat seorang
purnawirawan yang tidak mempunyai penghasilan lain.
Bahwa kenentuan menyerahkan buku pensiunsebagai jaminan juga bertentangan
dengan ketatutan dan keadilan,
Bahwa Tergugat telah membayar bunga Rp 400.000 dari jumlah seluruhnya 540,000
 Mahkamah agung menentapkan ex aequo et bono, dalam arti patut dan adil:
 Bunga pinjaman sebesar 1% per bulan;
 Bunga yang dibayar sebesar 400.000 harus dipandang sebagai pembayaran
pokok pinjaman, sehingga sisa pijaman Tergugat pada Penggugat adalah
140.000 plus 54,000 adalah 194.000, maka Tergugat dihukum membayar
pinjamannya sebresar 194.000
 Kasus tersebut MA telah menerapkan penyalahgunaaan keadaan dalam
putusan tersebut.
Lanjutan
 Putusan MA No 1904 K/Sip/ 1982 tanggal 28 Januari
1984
Adanya gugatan perlawanan atas sita jaminan atas tanah
dan bangunan , antara Penggugat asal dan Tergugat asal –
sebagai para Terlawan.
Pelawan mendalilkan ia tidak ada hubungan dengan para
terlawan, dan mempunyai kepentingan sendiri sehubungan
sebagai pemilik persil Jalan Sultan Agung No, 75 Semarang.
Di muka sidang terungkap ternyata Terlawan III
membenarkan ada hubungan utang piutang antara Terlawan
IV (istri terlawan III) yang dikaitkan upaya Pelewanan
menguruskan sertifikat rumah persil untuk kepentingan
Terlawan IIII;
Lanjutan
 Pengadilan Negeri menolak perlawanan Pelawan
atas pertimbangan bahwa penentuan harga
penjualan Rp 20.000.000 menimbulkan kecurigaan
bagi Hakim, karena dalam akta pemberian kuasa
memasang hipotik rumah disebutkan nilai hipotik
Rp 50.000.000,- petunjuk lainnya pembuatan akta
jual beli rumah dan tanah isi akta sebenarnya
menyangkut hutang piutang. Pengadilan Tinggi
menguatkan putusan Pengadian Negeri dengan
menegaskan bahwa akta jual beli yang dimiliki
pelawan adalah tidak sah, karenanaya rumah
sengketa tetap menjadi milik Terlawan III;
Lanjutan
 Mahkamah Agung, menguatkan judex factie.
Dengan pertimbangan:
Walaupun perjanjian dengan akta notaris., di mana
seorang memberikan kuasa kepada orang lain untuk
menjualkan rumah tanah kepada pihak ketiga atau
kepada dirinya sendiri, dianggap sah, namun mengingat
riwayat terjadinya surat kuasa tersebut, sebelumnya
bermula dari surat pengakuan hutang dengan jaminan
rumah sengekata, karena tidak dapat dilunasi pada
waktunya dirubah menjadi kuasa untuk menjual rumah
tersebut, maka perjanjian yang demikian itu sebenarnya
merupakan perjanjian semu untuk menggantikan
perjanjian asli yang merupakan hutang piutang
Lanjutan
 Karena debitur terikat kepada hutang piutang
lainnya yang sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap, maka ia dalam posisi (ekonomi)
lemah dan terdesak, sehingga terpaksa
menanda tangani perjanjian perjanjian dalam
akta bersifat memberatkan dirinya, maka
perjanjian tersebut dapat dikwalifikasi
babagai kehendak satu pihak (eenzijdig
contract), yaitu adalah tidak adil apabila
dilakukan sepenuhnya terhadap dirinya.
Lanjutan
 Karena debitur mengakui mempunyai hutang
dan telah menjaminkan rumah tanah miliknya
dan memberikan kuasa kepada kreditur untuk
memasang hipotik maka harus dianggap
bahwa rumah tanah sengketa telah dijaminan
kepada kreditur untuk melunasi hutangnya,
yang untuk adilnya sanpai sekarang harus
ditambah 2% sebagai ganti rugi per bulan,
terhitung sejak tanggal terjadinya hutang. Maka
untuk adilnya rumah harus dijual lelang untu
membayan kepada kreditur kreditur lainnya’
Lanjutan
 Dalam perkara tersebut, pengadilan: PN, PT dan MA
telah menerapkan menyalahgunaan keadanaan,
sebagai dasar pertimbangan dalam menolak
perlawanan.
 Dalam putusan tersebut telah dinyatakan adanya
penyalahgunaan keadaan, berupa penyalahgunaan
kesempatan karena keunggulan ekonomi, karena pihak
lawan dalam keadaan secara ekonomi terjepit, dan
penyalahgunaaan keunggulan kejiwaan, karena pada
saat itu terjepit sehingga pihak Terlawan telah secara
terpaksa (di luar kehendak bebas) menanda-tangani
akta jual beli sebagai pengganti akta hutang piutang
tersebut.
 Putusan Mahkamah Agung atas Perkara Nomor
2356K/Pdt/2010.
Dalam putusan ini, dijelaskan bahwa Penggugat
membuat perjanjian jual beli dalam keadaan Penggugat
ditahan oleh polisi karena laporan dari Tergugat I dan
Tergugat II. Keadaan tersebut digunakan untuk
menekan Penggugat agar mau membuat atau
menyetujui perjanjian jual beli tersebut. Hal ini adalah
merupakan “misbruik van omstandigheden” yang dapat
mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan karena
tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320 KUHPer
yaitu tidak ada kehendak yang bebas dari pihak
Penggugat. 
 Putusan Mahkamah Agung ini merupakan penerapan dari
Pasal 1323 KUHPer yang mengatur bahwa “Paksaan yang
dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu
persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang
bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak
ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang
dibuat itu.” 
 Mahkamah Agung menyatakan bahwa kondisi di mana
salah satu pihak berada dalam tekanan/intimidasi dari
pihak lain, dalam hal ini penahanan oleh pihak
kepolisian atas laporan pihak lain tersebut, membuat
perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan karena
tidak ada kehendak bebas (dalam membuat
kesepakatan) 
 Pendapat Mahkamah Agung tersebut sejalan dengan
Pasal 1324 KUHPerdata yang mengatur bahwa: “Paksaan
terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga
memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada
orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya,
atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu
dekat.
 Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia,
jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan.” 
 Adanya kehendak bebas dalam membuat kesepakatan
merupakan syarat sahnya suatu perjanjian.
 

Anda mungkin juga menyukai