Anda di halaman 1dari 6

SYARAT OBYEKTIF dan SUBYEKTIF dalam PERJANJIAN

Tugas ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Perjanjian

Dosen Pengampu :

Darsono

Di susun Oleh :

Zahra Amalia Maimanah

C 100 120 043 /B

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2014

1. Syarat Subyektif
Syarat subyektif merupakan syarat yang mengenai subyek atau para pihak, syarat ini
dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang atau subyek yang mengadakan
perjanjian. Jika syarat subyektif ini tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian, maka
perjanjian itu bukan atau tidak batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak
untuk meminta supaya perjanjian itu di batalkan. Jadi perjanjian ini bukan batal demi
hukum tetapi dapat di batalkan, dalam hal ini salah satu pihak dapat meminta pembatalan
kepada hakim apabila ingin membatalkan suatu perjanjian yang tidak memenuhi syarat
subyektif tersebut. Yang dimaksud syarat subyektif ialah kata sepakat atau sepakat
mereka yang mengikat dirinya atau kesepakatan dan kecakapan atau cakap mereka yang
membuat perjanjian. Kesepakatan antara para pihak, yaitu persesuaian pernyataan
kehendak antara kedua belah pihak, tidak ada paksaan dan lainnya. Cakap bertindak
adalah kecakapan atau kemampuan kedua belah pihak untuk melakukan perbuatan
hukum.

Syarat pertama dari sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan para pihak.
Kesepakatan adalah “persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih
dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak
dapat dilihat/ diketahui orang lain”. Adanya kesepakatan para pihak untuk mengikatkan
diri artinya bahwa semua pihak menyetujui atau sepakat mengenai meteri yang di
perjanjiakan. Dalam hal ini tidak boleh terdapat unsur paksaan ataupun penipuan. Kata
“sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang
menja'di pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam
persetujuan yang dibuat terutama diri orang tersebut. Adanya paksaan dimana seseorang
melakukan perbuatan karena takut ancaman diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata,
adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu
muslihat di atur dalam Pasal 1328 KUHPerdata. Terhadap perjanjian yang dibuat atas
dasar “sepakat” berdasarkan alasan – alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
Syarat yang kedua ialah kecakapan. Kata kecakapan yang dimaksud dalam hal ini
adalah bahwa para pihak yang dinyatakan dewasa oleh hukum,ukuran dewasa sesuai
ketentuan KUHPerdata adalah telah berusia 21 tahun, sudah atau pernah kawin. Jadi,
dapat dinyatakan bahwa setiap orang cakap untuk membuat perjanjian – perjanjian
kecuali oleh Undang – Undang tidak menghendaki. Menurut Pasal 1330 KUHPerdata,
orang – orang yang di nyatakan tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang
– orang yang belum dewasa artinya orang – orang yang belum mencapai umur genap 21
tahun dan tidak lebih dahuku telah kawin, mereka yang di taruh dibawah pengampuan,
orang – orang perempuan yang dalam hal – hal yang ditetapkan oleh Undang – Undang
dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang – Undang telah melarang
membuat perjanjian tertentu. Namun brdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat
Edaran Mahkamah Agung No 3/ 1963 tanggal 5 September 1963, orang – orang
perempuan tidak lagi di golongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenag
melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Akibat dariperjanjian
yang dibuat oleh pihak yang tidak cakap adalam batal demi hukuk ( Pasal 1446
KUHPerdata).

2. Syarat Obyektif

Syarat oyektif adalah syarat yang berkaitan dengan obyek perjanjian.


Dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari
perbuatan hukum yang dilakukan itu. Apabila syarat obyektif ini tidak terpenuhi
dalam suatu perjanjian, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula di
anggap tidak pernah ada atau tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan. Syarat obyektif meliputi, adanya obyek perjanjian
( onderwerp der overeenskomst) benda yang dijadikan obyek perjanjian harus
memenuhi beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang – Undang, dan yang
selanjutnya adanya sebab yang halal, dalam perjanjian diperlukan adanya sebab yang
halal, artinya ada sebab – sebab hukum yang menjadi dasar perjanjian yang tidak
dilarang oleh peraturan, keamanan, dan ketertiban umum dan sebagainya.
Suatu hal dapat diartikan sebagai objek dari perjanjian. Perjanjian harus
menentukan jenis obyek yang di perjanjiakan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal
demi hukum. Yang diperjanjikan haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup
jelas atau tertentu. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata, hanya barang-barang yang
dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok-pokok perjanjian. Pasal 1333
KUH Perdata menyatakan bahwa suatu persetujuan itu harus mempunyai pokok suatu
barang yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Tidak menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tentu asal barang kemudian dapat ditentukan atau dihitung. Pasal
1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi
obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas. Misalnya, A
menjual mobil Toyota Camry dengan No Polisi AD 1105 RI berwarna hitam kepada
B. Obyek perjanjian tersebut jenisnya jelas, sebuah mobil dengan spesifikasi tertentu.

Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat.
Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain
oleh undang-undang. Suatu sebab dikatakan halal apabila :Tidak bertentangan
dengan undang-undang,  Tidak bertentangan dengan ketertiban umum,  Tidak
bertentangan dengan kesusilaan. Yang dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu
yang mendorong para pihak untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang
menyebabkan para pihak untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian
umum. Adapun sebab yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan
dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dari uraian di atas, apabila
syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak dapat meminta supaya
perjanjian itu dibatalkan, namun, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka
perjanjian itu tetap dianggap sah. Sementara itu, apabila syarat objektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.Keempat syarat tersebut haruslah
dipenuhi oleh para pihak dan apabila syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut telah
terpenuhi, maka menunit Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian tersebut mempunyai
kekuatan hukum sama dengan kekuatan suatu Undang-undang.
3. Akibat dari Adanya Suatu Perjanjian

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 KUHPerdata). Agar suatu
Perjanjian dapat menjadi sah dan mengikat para pihak, perjanjian harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Mengenai
syarat sahnya perjanjian yaitu syarat pertama (adanya kata sepakat) dan syarat kedua
(adanya kecakapan) yang diatur alam pasal 1320 KUHPerdata. Apabila syarat itu
tidak dipenuhi mengakibatkan perjanjiannya dibatalkan (vernietigbaar). Selama
tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat. Perjanjiannya dibatalkan
(vernietigbaar) yang berarti  perjanjian tetap berlangsung selama para pihak atau
pihak ketiga yang terkait dengan perjanjian belum memintakan pembatalan dan
diputuskan batal. Sedangkan, yang berkaitan dengan syarat ketiga yaitu adanya hal
tertentu atau objek perjanjian dan yang keempat (adanya causa yang diperbolehkan)
yang diatur dalam pasal 1320 KUH.Perdata disebut dengan syarat obyektif, karena
hal itu mengenai sesuatu yang menjadi objek perjanjian. Apabila syarat ini tidak
dipenuhi, maka mengakibatkan perjanjian batal demi hukum (nietigheid/nietig van
rechts wege) . Batal demi hukum (nietigheid/nietig van rechts wege)  yang artinya
perjanjian itu dianggap tidak pernah ada sehingga tiada dasar untuk saling menuntut
di muka hakim (pengadilan).

Dalam syarat subyektif, jika syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian bukan batal
demi hukum, tetapi salah satu pihak memunyai hak untuk meminta supaya
perjanjian itu dibatalkan. Dengan demikian, nasib sesuatu perjanjian seperti itu
tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya.
Perjanjian ini dinamakan Voidable ( bahasa inggris ). Bahaya pembatalan itu
mengancam selama 5 tahun (pasal 1454 KUHPerdata) jadi dibatasi oleg undang –
undang. Segala sesuatu yang tidak tentu itu selalu di batasi oleh Undang – Undang,
demi untuk keamanan / ketertiban hukum. Bahaya pembatalan yang mengancam itu,
dapat di hilangkan dengan penguatan (affirmation) oleh orang tua, wali / pengampu
tersebut. Pengampuan yang demikian itu, dapat terjadi secara tegas. Misalnya,
seorang artis cilik (masih dibawah umur) membuat perjanjian dengan
menandatangani kontrak, karena tidak memenuhi unsur subyektif maka kontrak ini
dapat dibatalkan. Agar kontrak ini tidak dibatalkan maka orang tua/ wali/ pengampu
itu menyatakan dengan tegas mengakui / akan mentaati, maka dengan begini kontrak
yang tadi di lakukan oleh artis yang belum dewasa tetap berlaku.

Dari Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata dapat disimpulkan adanya asas
kebebasan berkontrak, akan tetapi kebebasan ini dibatasi oleh hukum yang sifatnya
memaksa, sehingga para pihak yang membuat perjanjian harus menaati hukum yang
sifatnya memaksa. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut
sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Suatu
perjanjian tidak diperbolehkan membawa kerugian kepada pihak ketiga.

Anda mungkin juga menyukai