Anda di halaman 1dari 2

AGIL RIZKAL HADI APRILA

REVIEW BAB 1
PERJANJIAN BAKU, MASALAH dan SOLUSI

1. Perjanjian
Perjanjian sendiri menurut pasal 1313 KUH Perdata “ suatu perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih“. Namun pengertian tersebut
mengandung beberapa kelemahan. Suatu perikatan dapat dilahirkan baik karena
perjanjian, atau karena undangundang (Pasal 1233 KUH Perdata). Sedangkan perikatan
yang dilahirkan karena undang-undang, tmbul dari undang-undang saja, atau dari
undang-undang sebagai akibat perbuatan manusia (Pasal 1352 KUH Perdata).
Selanjutnya, perikatan yang dilahirkan dari undang-undang sebagai akibat perbuatan
manusia, terbit dari perbuatan manusia yang sesuai undang-undang atau dari perbuatan
manusia yang melalui Arrest Lindenbaum vs. Cohen pada tanggal 31 Januari 1919,
terjadi perubahan penafsiran Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda atau Pasal
1365 KUH Perdata, yaitu semula ditafsirkan sebagai perbuatan melanggar undang-
undang (onwetmatge daad), ditafsirkan lebih luas menjadi perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatge daad), sebagaimana telah digunakan oleh Pasal 1353 KUH Perdata
Penafsiran Perjanjian menurut penulis tidak selalu dapat mengungkapkan
kehendaknya dengan kata atau frasa yang tepat, hal itu dapat menyebabkan sengketa
ketika perjanjian dilaksanakan. Wanprestasi juga dapat disebut juga sebagai perbuatan
melanggar perjanjian oleh salah satu pihak yang telah membuat perjanjian. Pihak yang
dirugikan oleh pihak yang melakukan perbuatan melanggar perjanjian atau wanprestasi
dapat mengajukan gugatan gant rugi melalui pengadilan atau mengajukan permohonan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

2. Perjanjian Baku dan Klausa Baku


Perjanjian merupakan pernyataan dari satu pihak untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu pada waktu yang akan datang, dan pihak penerima janji seharusnya
bersedia menerima janji tersebut dengan keyakinan bahwa mereka akan mendapatkan
sesuatu yang baik. Penulis menjelaskan bahwa dalam perjanjian, terdapat hubungan hak
dan kewajiban yang timbal-balik, yang berarti bahwa hak satu pihak menjadi kewajiban
pihak lainnya. Dalam kebanyakan perjanjian, tidak terjadi hubungan satu pihak hanya
memiliki hak dan pihak lainnya hanya memiliki kewajiban, karena hal ini akan
melanggar prinsip resiprokal. Klausula eksonerasi atau klausula eksemsi adalah ketentuan
berupa pasal dalam perjanjian baku yang berisi penambahan, pengurangan, pembatasan
secara sepihak atas hak dan kewajiban salah satu pihak oleh pihak lain yang menetapkan
isi, bentuk, serta cara penutupan perjanjian baku.
Disebut sebagai perjanjian baku yang dibuat oleh kedua pihak, karena perjanjian
kerja antara pemberi kerja dan pekerja (individual labour agreement) yang berbentuk
perjanjian baku harus didasarkan pada perjanjian kerja bersama (collectve labour
agreement) yang merupakan kesepakatan kerja antara serikat pekerja dengan pemberi
kerja. Dengan demikian, pada hakikatnya isi atau klausula baku di dalam perjanjian kerja
antara pemberi kerja dan pekerja yang berbentuk perjanjian baku, merupakan
kesepakatan para pihak, yaitu antara pemberi kerja dengan pekerja.

3. Peraturan Perundang – Undangan Tentang Perjanjian Baku


Lalu penulis membahas kerangka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
perjanjian baku. Penjelasan ini mengindikasikan bahwa ada berbagai undang-undang dan
peraturan yang mengatur tentang perjanjian baku, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penulis merinci kerangka hukum ini sesuai dengan hirarki peraturan
perundang-
undangan yang diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang kemudian dimodifikasi oleh Undang-Undang No.
15
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

4. Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen


Pengertian perlindungan konsumen dan konsumen sendiri adalah pokok
pembahasan dalam sub bab 1 ini. Perlindungan konsumen adalah upaya yang bertujuan
untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen. Ini adalah definisi yang
berasal dari Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Selanjutnya, konsumen didefinisikan sebagai individu yang menggunakan barang
dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, atau makhluk hidup lain, tetapi bukan untuk diperdagangkan. Ini adalah
definisi yang berasal dari Pasal 1 angka 2 UUPK. Penulis juga memberikan pemahaman
dasar tentang perlindungan konsumen dan siapa yang dianggap sebagai konsumen dalam
konteks hukum. Ini penting dalam upaya melindungi hak dan kepentingan konsumen
dalam berbagai transaksi dan aktivitas konsumsi.
Agar tidak terjadi perbedaan persepsi tentang suatu klausula baku, khususnya
tentang apakah suatu klausula baku mengandung klausula eksonerasi atau tidak
mengandung klausula eksonerasi, diperlukan suatu metode (langkah sistematis) untuk
menelaah kandungan suatu klausula baku tersebut. Keadaan metode telaah klausula baku
ini seringkali menimbulkan sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang
berujung penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan (litgasi) atau di luar
pengadilan (non litgasi).

Anda mungkin juga menyukai