Anda di halaman 1dari 6

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM ILMU HUKUM BISNIS


UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
Jakarta

LEGAL MEMORANDUM

Bayu Novanto
2502050121
A. Kasus Posisi
Tn. Justisius memiliki usaha kedai kopi sejak Januari 2021.
Sebagai modal usaha, Tn. Justisius meminjam uang kepada Bank Sulthan
sebesar Rp 1 Milyar dengan jaminan berupa rumah di daerah Palmerah.
Untuk keperluan operasional kedai berupa kendaraan mobil box dan
motor, ia juga meminjam uang kepada PT. Uang Banyak sebesar Rp 300
juta dengan jaminan mobil box dan motor tersebut. Sementara untuk
keperluan pembayaran karyawan serta pemesanan bahan makanan, Tn.
Justisius meminjam uang Rp 300 juta kepada Tn. Raja.
Tn. Justisius memasok kopi dari temannya Bernama Tn. Juragan
dengan perjanjian kerja sama. Akan tetapi, dengan alasan pandemic, Tn.
Juragan berhenti memasok kopi ke kedai Tn. Justisius sejak bulan April
2021. Akibat dari tidak mendapat pasokan kopi premium ini, kedai Tn.
Justisius menjadi sepi karena pelanggannya kurang suka dengan rasa kopi
yang baru. Oleh sebab itu, kedai mengalami penurunan omzet dan pada
akhirnya Tn. Justisius sudah tidak sanggup membayar cicilan hutang
kepada para kreditornya. Disamping itu, ternyata Tn. Justisius juga
diketahui sudah tidak membayar gaji karyawannya selama 5 bulan. Pada
akhirnya, para kreditor hendak mengajukan gugatan ke pengadilan agar
Tn. Justisius dinyatakan pailit.
Sementara itu, terkait perbuatan Tn. Juragan yang tidak memasok
kopi, Tn. Justisius hendak mengajukan gugatan wanprestasi ke pengadilan.
Dari permasalahan tersebut, legal memorandum ini hendak mengkaji
bagaimana aspek hukum dari perkara yang dialami oleh Tn. Justisius.
B. Permasalahan Hukum
1) Bagaimana penyelesaian hutang-hutang Tn. JUSTISIUS kepada semua
kreditor akan dibereskan? Mengingat ada beberapa kreditor yang
berencana mengugat pailit?
2) Bagaimana posisi Tn. JUSTISIUS berdasarkan ketentuan hukum
perdata atas kasus gugatannya kepada Tn. JURAGAN?
C. Analisis Dasar Hukum
Pada dasarnya, kepailitan merupakan suatu jalan keluar untuk
dapat keluar dari persoalam utang piutang yang menghimpit seorang
debitor, dimana debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi
untuk membayar utangutang tersebut kepada para kreditornya.1 Kepailitan
merupakan penjabaran dari dua asas yang dikandung Pasal 1131 dan 1132
KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata menentukan bahwa seluruh harta
benda seorang baik yang telah ada sekarang maupun yang akan datang,
baik benda bergerak maupun tidak bergerak, menjadi jaminan bagi seluruh
perikatannya. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Pasal 1132
KUHPerdata memerintahkan agar seluruh harta debitor dijual lelang di
muka umum atas dasar putusan hakim, dan hasilnya dibagikan kepada
para kreditor secara seimbang, kecuali apabila diantara para kreditor itu
ada kreditor yang didahulukan pemenuhan piutangnya.
Berdasarkan pasal 1131, pasal 1132, pasal 1134 dan pasal 1135
KUHPerdata, kreditor dalam kepailitan ada 3 jenis, yaitu:
a. Kreditor Separatis, yaitu kreditor pemegang jaminan
kebendaan.
b. Kreditor Preferen, yaitu kreditor yang mempunyai hak
mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang
diberikan kedudukan istimewa.
c. Kreditor Konkuren, yaitu kreditor yang tidak termasuk sebagai
kreditor separatis maupun kreditor preferen, dan biasanya tidak
memegang jaminan kebendaan.

Dalam kasus Tn. Justisius ini, diketahui bahwa Tn. Justisius tidak
mampu membayar utangnya karena terus merugi. Adapaun kreditornya
terdiri dari karyawannya sebagai kreditor preferen karena ditentukan
undang-undang, Bank Sulthan dan PT Uang Banyak sebagai kreditor
separatis karena memagang jaminan kebendaan. Serta Tn. Raja sebagai
kreditor konkuren karena tidak memegang jaminan kebendaan.

1
Shihsalamadhina, Fahma. (2019). Kedudukan Hukum Kreditor Dalam Kepailitan.
10.13140/RG.2.2.17478.01602.
Terkait gugatan wanprestasi kepada Tn. Juragan, maka terlebih
dahulu kita harus memahami bagaimana pengaruh bencana non-alam
seperti Covid-19 terhadap pelaksanaan suatu perjanjian. Tn. Juragan
berdalih bahwa perbuatannya yang melanggar perjanjian adalah
disebabkan adanya pandemic. Dengan kata lain, Tn. Juragan beranggapan
bahwa adanya pandemic merupakan suatu force majeure. Pengaturan
hukum tentang Force Majeure dalam perjanjian di Indonesia diatur dalam
Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata yang sekaligus memberikan
pengertian mengenai apa itu Force Majeure dan juga terdapat beberapa
pengaturan dalam KUH Perdata yang mengatur secara khusus terkait
tanggung jawab resiko atas terjadinya Force Majeure pada pelaksanaan
perjanjian bernama, seperti perjanjian jual beli pada Pasal 1460 KUH
Perdata.2 Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Force Majeure
yakni bentuk pembelaan oleh debitur untuk dapat menunjukkan bahwa ia
tidak dapat melaksanakan apa yang diperjanjikan sebab telah terjadi hal-
hal yang sama sekali tidak dapat diduga sebelumnya dan ia tidak dapat
berbuat apa-apa terhadap peristiwa di luar dugaan tersebut.3

Dalam hal ini, pandemi Covid-19 dapat dikategorikan sebagai


Force Majeure relatif atau subjektif, dimana sebenarnya pemenuhan
prestasi bukan menjadi mustahil untuk dilakukan oleh debitur, namun
lebih kepada dapat dilakukan penundaan untuk pemenuhan prestasi sampai
keadaan normal kembali. Sehingga, Covid-19 tetap saja tidak dapat
digunakan sebagai alasan pembatalan perjanjian, karena keadaan ini
bersifat Force Majeure relatif atau subjektif, dimana prestasi sebenarnya
masih dapat dilaksanakan atau tidak mustahil untuk dilakukan sehingga
dapat dialternatifkan dan dirundingkan solusinya dalam upaya
renegosiasi.4

2
Agri Chairunisa Isradjuningtias, “Force Majeure (Overmacht) dalam Hukum Kontrak
(Perjanjian) Indonesia”, Veritas et Justitia: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 1 No. 1, Juni 2016, hlm. 147.
3
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 2008), hlm. 55.
4
Annisa Dian Arini. 2020. “Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeure dalam Suatu
Kontrak Bisnis”. Jurnal Supremasi Hukum. Vol. 9 No. 1. Hlm. 54.
D. Rekomendasi

Berdasarkan penjelasan urutan prioritas kreditor diatas, dengan


demikian, urutan penyelesaian pembayaran utang apabila Tn. Juragan
dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga adalah sebagai berikut:

1. Pembayaran gaji karyawan


2. Pelunasan utang kepada Bank Sulthan dan PT Uang Banyak
3. Pelunasan pada Tn. Raja

Sementara terkait permasalahan dengan Tn. Juragan, maka


sesungguhnya Langkah Tn. Justisius untuk menggugat Tn. Juragan atas
wanprestasi sudah tepat. Tn. Juragan yang belum memiliki kesanggupan
untuk melakukan pengiriman kopi akibat dari pandemi Covid19 tidak
dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengenaan Force Majeure terhadap
dirinya. Hal ini disebabkan, Tn. Juragan belum seutuhnya memenuhi
unsur-unsur atau syarat pengenaan Force Majeure yang sesuai dengan
ketentuan Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Dalam hal ini, dengan
adanya itikad buruk dari Tn. Juragan yang tidak mengusahakan agar
transportasinya dapat lancar, sebab meskipun ada pembatasan,
sesungguhnya jalur transportasi barang tetap diperbolehkan untuk dilewati.
Dengan tidak menguasahakan pengiriman sehingga menyebabkan Tn.
Justisius merugi, maka sudah menghilangkan salah satu unsur maupun
syarat dari pengenaan Force Majeure yakni dengan beritikad baik.
Sehingga dalih Tn. Juragan bahwa ia mengalami Force Majeure akibat
dari pandemi Covid19 tidak dapat dibenarkan dan tidak membebaskan Tn.
Juragan dari kewajiban pengiriman pasokan kopi.

REFERENSI

Arini. Annisa Dian. (2020). “Pandemi Corona Sebagai Alasan Force Majeure
dalam Suatu Kontrak Bisnis”. Jurnal Supremasi Hukum. Vol. 9 No. 1.
Isradjuningtias, Agri Chairunisa. (2016). “Force Majeure (Overmacht) dalam
Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia”, Veritas et Justitia: Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 1 No. 1, Juni 2016.

Shihsalamadhina, Fahma. (2019). Kedudukan Hukum Kreditor Dalam Kepailitan.


10.13140/RG.2.2.17478.01602.

Subekti. (2008). Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa.

Anda mungkin juga menyukai