Sebagaimana telah dijelaskan pada modul yang lalu bahwa perikatan itu pada
dasarnya adalah akibat hokum. Tentu kalau ada akibat pasti ada sebabnya. Dalam doktrin
hokum perikatan, sebab itu disebut sebagai dasar hokum atau sumber (hokum).
Pertanyaan konkritnya adalah apa yang menyebabkan timbul hak dan kewajiban atau
secara apa sumber dari perikatan ? Untuk ini Pasal 1233 KUHPerdata, memyatakan
bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian baik karena undang-undang.
Dengan kata lain bahwa perikatan dilahirkan oleh perjanjian atau oleh undang-undang.
Sebetulnya masih ada sumber lain yang tidak disebut Pasal 1233 KUH Perdata yaitu
kebiasaan dan putusan hakim (bukan yurisprudensi).
Tentang kebiasaan sebagai sumber perikatan dapat dijelaskan berikut ini.
Suatu komunitas tertentu umumnya punya kebiasaan tertentu. Katakanlah, komunitas
pedagang beras pasti punya kebiasaan, bahwa jual beli beras dalam minimal jumlah
tertentu selalu menempatkan berasnya pada karung dengan ukuran tertentu misalnya
setiap karung berisi 25 kg, jadi kalau ada pembeli beras dalam jumlah, katakanlah 200
kg, maka beras itu akan ditempatkan dalam 8 karung, sehingga bila ada penjual mengirim
beras pesanan seseorang tidak ditempatkan dalam karung sudah cukup alasan untuk
menyatakan penjual telah wanprestasi karena tidak memenuhi kewajibannya sekalipun
kewajiban tersebut tidak diatur baik dalam perjanjian jual belinya maunpun tidak diatur
dalam undang-undang.
Sedangkan untuk putusan hakim akan manjadi sumber perikatan dapat diberikan
contoh berikut ini.
A sebagai pemilik rumah menggugat B sebagai penyewa rumahnya, oleh karena jangka
waktu sewa sudah berakhir dan B tidak mau mengosongkan dan menyerahkan rumahnya
kepada A. Dalam gugatannya A meminta pengadilan memberikan putusan agar A segera
mengosongkan rumahnya. Di samping itu A meminta agar majlis hakim menghukum B
untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar 1 juta rupiah setiap hari kelambatan
dalam mengosongkan rumahnya secara sukarela. Apabila hakim mengabulkan gugatan
dwangsom ini , maka putusan hokum akan menimbulkan perikatan (akibat hokum) bagi
B berupa kewajiban membayar dwangsom dan menimbulkan hak bagi A untuk menerima
dwangsome. Dengan demikian putusan hakim tersebut maenjadi sumber perikatan diluar
yang diatur undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata).
Kembali pada pernyataan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menimbulkan
perbedaan pendapat tentang perjanjian sebagai sumber perikatan. Pendapat pertama
menyatakan bahwa sejatinya perjanjian itu bukan sumber perikatan. Selanjutnya pendapat
ini mengatakan bahwa perjanjian itu kemudian menjadi sumber perikatan karena disebut
oleh undang-undang. Jadi sebenarnya sumber perikatan itu hanya undang-undang, dalam
hal ini Pasal 1233 KUH Perdata. Pendapat ini ditentang oleh pendapat kedua yang
menyatakan, bahwa seandainya tidak ada undang-undang yang menyebutkan perjanjian
itu sumber perikatan, kedudukan perjanjian sebagai sumber perikatan tetap akan diakui.
Bahwa kemudian undang-undang menyatakan perjanjian seabagai sumber perikatan, hal
itu bukan pernyataan konstitutif (menimbulkan akibat hokum baru), melainkan sekedar
deklaratif, sekedar mengakui keluhuran harkat dan martabat manusia yang ucapan dan
janjinya harus dapat dijadikan pegangan. Artinya janjia manusia harus menimbulkan
akibat hokum terlepas ; apakah dinyatakan oleh undang-undang atau tidak.
P erikatan yang bersumber dari perjanjian diatur dalam titel II ( Pasal 1313 s.d.
1351) dan titel V s.d. XVIII ( Pasal 1457 s.d. 1864) Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, sedangkan perikatan yang bersumber dari undang-undang diatur dalam
titel III ( Pasal 1352 s.d. 1380) Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Perikatan yang bersumber dari undang-undang menurut Pasal 1352 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata dibedakan atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja (uit
de wet allen) dan perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia (uit
de wet door’s mensen toedoen). Kemudian perikatan yang lahir dari undang-undang
karena perbuatan manusia menurut Pasal 1353 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dibedakan lagi atas perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) dan perbuatan
yang melawan hukum (onrechtmatige).
Perikatan yang bersumber dari undang-undang semata-mata adalah perikatan yang
dengan terjadinya peristiwa-peristiwa tertentu, ditetapkan melahirkan suatu hubungan
hukum (perikatan) diantara pihak-pihak yang bersangkutan, terlepas dari kemauan pihak-
pihak tersebut.
1. Wanprestasi,
Memencari padanan kata dalam bahasa Indonesia sebagai pengganti istilah ini
nampaknya tidak mudah ; ada yang menterjemahkannya seabagai ingkar janji atau
juga yang menterjemahkannya sebagai ingkar kewajiban. Dalam banyak hal
KUHPerdata menyebut wanprestasi dengan istilah lalai. Sebagai sebuah konsep,
wanprestasi dapat didefinisikan sebagai suatu peristiwa atau keadaan di dalamnya
debitur tidak memenuhi prestasi bukan sebab di luar kemampuannya. Kemampuan
disini bukan kemampuan sebagai manusia, Artinya kalau seseorang mempunyai
kewajiban membayar utang tetapi dia tidak membayar karena tidak mempunyai
uang, maka pemahaman tidak mempunyai uang tersebut tidak sama dengan atau
termasuk dalam pemahaman di luar kemampuannya. Untuk lebih memudahkan
dalam memahami pengertian wanprestasi jika dikaitkan dengan overmacht maka
wanprestasi dapat didefinisikan suatu peristiwa atau keadaan di dalamnya debitur
tidak memenuhi prestasi bukan karena overmacht.
1). Dengan sendirinya setelah melewati waktu yang telah ditentukan (fatale termijn)
dalam perjanjian, misalnya dalam perjanjian telah dituliskan bahwa debitur akan
membayar hutangnya pada tanggal 10 Oktober 2020, maka dengan lewatnya waktu
tersebut dengan sendirinya debitur telah wanprestasi.
2). Dengan sebuah akta/surat ditentukan wanprestasinya. Hal inilah yang disebut somasi
(ingebrieke stelling) yang bila didefinisikan adalah teguran tertulis yang dilakukan
secara tegas oleh kreditur kepada debitur yang berisi saat terakhir debitur dapat
berprestasi disertai dengan sanksi yang tegas.
1. Pemenuhan prestasi;
2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;
3. Ganti kerugian;
4. Pembatalan perjanjian timbal balik;
5. Pembatalan dengan ganti kerugian.
Dari kedua contoh di atas nampak bahwa A maupun M bukan tidak mau
berprestasi atau memenuhi kewajibannya akan tetapi keduanya masing-masing
dihalangi untuk berprestasi oleh keadaan (hukum) atau peristiwa (banjir). Nampak
pula bahwa pada A maupun M tidak ada kesalahan. Keduanya ingin dan akan
berprestasi, akan tetapi terhalang oleh keadaan atau peristiwa yang tidak dapat
diduga-duga sebelumnya oleh A maupun M walaupun keduanya adalah orang-orang
yang pintar.
Begitu pula overmacht itu harus terjadinya sebelum A atau M wanprestasi. Jadi
tidak boleh sesudah A atau M wanprestasi. Jadi andaikata larangan pemerintah untuk
mengangkut senapan berburu terjadi setelah tanggal 21 Februari 2003, sedangkan A
belum berprestasi, maka oleh karena A sudah terlebih dahulu tidak berprestasi, maka
larangan Pemerintah itu tidak merupakan overmacht bagi A.
Begitu juga apabila banjir Sungai Asahan itu terjadi setelah tanggal 30 Maret
2003, maka banjir tersebut juga tidak merupakan overmacht bagi M, karena ia, M,
sudah terlebih dahulu wanprestasi tidak menyerahkan sapi pada waktunya.
Jika seorang pelukis tiba-tiba menjadi buta sama sekali dan tak ada dokter atau
keahlian dokter mata yang mampu menyembuhkannya, maka kebutaan itu
menghalangi dia untuk selama-lamanya. Overmacht ini disebut overmacht tetap.
overmacht ini berlakunya perikatan terhenti sama sekali.
Lain halnya apabila sang pelukis hanya kena penyakit mata yang
menjadikannya buta untuk sementara saja, maka overmacht demikian itu disebut
overmacht sementara. Setelah ia dapat melihat kembali, maka ia tak terhalang lagi
untuk berprestasi melukis, maka ia sudah dapat melihat kembali.
1). Keadaan yang menimbulkan keadaan memaksa tersebut harus terjadi setelah
dibuatnya perjanjian karena jika pelaksanaan prestasinya sudah tidak mungkin
sejak dibuatnya perjanjian, maka perjanjian tersebut batal demi hukum
disebabkan objeknya tidak ada atau tanpa causa.
2). Keadaan yang menghalangi pemenuhan prestasi harus mengenai prestasinya
sendiri. Kita tidak dapat berbicara tentang keadaan memaksa, jika karena
keadaan yang terjadi kemudian, misalnya kenaikan harga, prestasi masing-
masing pihak menjadi tidak seimbang lagi. Sedangkan prestasinya sendiri, yaitu
menyerahkan barangnya tidak terhalang untuk dilaksanakan. Persoalannya di
sini bukanlah menyangkut keadaan memaksa, akan tetapi menyangkut hal lain
yaitu sampai sejauh manakah dalam suatu persetujaun timbal balik masing-
masing pihak berdasarkan kepatutan dan itikad baik masih berkewajiban untuk
memenuhi prestasinya, jika prestasi tersebut terganggu keseimbangannya
sebagai akibat daripada keadaan yang tidak dapat diduga. Demikian juga dalam
jual beli yang ditentukan menurut jenisnya, misalnya beras, tidak menghalangi
debitur untuk memenuhi prestasinya selama jenis barang itu masih dapat
diperoleh. Hal ini baru merupakan keadaan memaksa jika barang yang harus
diserahkan tidak lagi dapat diperoleh. Berlainan halnya jika yang dijual adalah
barang yang berada di gudang, sedangkan gudangnya musnah. Keadaan yang
menghalangi pemenuhan prestasi itu ada, tidak hanya jika setiap orang sama
sekali tidak mungkin memenuhi prestasinya, pun jika debitur sendiri yang
bersangkutan tidak mungkin atau sangat berat untuk memenuhi prestasinya.
Penentuannya harus didasarkan kepada masing-masing kasus.
3). Debitur yang tidak dapat menyerahkan barangnya karena dicuri, tidak dapat
dinyatakan bersalah, jika ia telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyimpan
barang tersebut. Kesalahan ada pada debitur, jika debitur sepatutnya
menghindari peristiwa yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya.
Misalnya barang tersebut dicuri dari mobil debitur yang tidak dikunci.
4). Debitur tidak harus menanggung risiko, berarti debitur baik berdasarkan
Undang-Undang, perjanjian maupun menurut pandangan yang berlaku dalam
lalulintas masyarakat, tidak harus menanggung risiko.
5). Debitur tidak dapat menduga akan terjadinya peristiwa yang menghalangi
pemenuhan prestasi pada waktu perikatan dibuat.
6. Dalam hal ini baik debitur sebagai manusia yang normal maupun berdasarkan
pengetahuannya yang khusus atau keahliannya tidak dapat menduga akan
timbulnya peristiwa atau keadaan tersebut.
7. Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan
berbagai akibat, yaitu
a. Kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;
b. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib
membayar ganti rugi;
c. Risiko tidak beralih kepada debitur;
d. Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada perjanjian timbal balik.
3. Risiko
Sehubungan dengan persoalan risiko ini, perlu dibedakan risiko pada perjanjian
cuma-cuma dan risiko pada perjanjian timbal balik.
Pendapat para penulis tersebut adalah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal
1445 KUHPerdata, oleh karena tidak logis jika pembentuk Undang-Undang
memberikan hak atau tuntutan terhadap penggantian atas barang yang hilang atau
musnah kepada kreditur, sedangkan debitur dari barang yang musnah karena
perikatan-perikatannya telah hapus tidak memperoleh apa-apa.