Anda di halaman 1dari 6

 Perumusan Pasal 1266 KUH Perdata:

(Ayat 1) Syarat batal selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik manakala
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya;

 Dalam Perjanjian Timbal Balik, Prestasi Masing-masing Pihak Berhubungan Erat Satu Sama Lainnya
Contoh:
Penjual ingin mendapatkan uang sedangkan pembeli ingin mendapat barang.

Maka dalam masa/zaman Romawi timbul azas -> “Apabila salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik
tidak berprestasi, pihak lainpun tidak perlu memenuhi prestasinya.”

BW (Burgerlijke Wetboek) mengikuti dan memilih azas BW; “Syarat yang membatalkan”, seperti yang
ditentukan dalam pasar 1266 BW yang berbunyi sebagai berikut:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian timbal-balik, manakala salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya”

 Perumusan Pasal 1266 KUH Perdata :


(Ayat 1) -> Syarat batal selalu dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik,
manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya;
(Ayat 2) -> Dalam hal demikian perjanjian tidak batal demi hukum. Tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada hakim.
(Ayat 3) -> Permintaan ini juga harus dilakukan, walaupun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban dinyatakan didalam perjanjian.
(Ayat 4) -> Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah seluasa untuk menurut
keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga
memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana tidak melebihi dari 1 (satu) bulan.

 Jadi perumusan Pasal 1266 KUH Perdata menimbulkan kesan, bahwa jika pembali A menuntut penjual B
yang lalai untuk menyerahkan barangnya, maka B dapat mengemukakan bahwa karena saya lalai, maka
perjanjian jual-beli dianggap tidak pernah terjadi.

Sebenarnya yang dimaksud oleh Pasal 1266 KUH Perdata. Adalah -> Krediturlah yang sebenarnya
berhak menuntut pembatalan dan bukan debitur yang lalai.

 Ketentuan mengenai pembatalan ini bersifat pelengkap, Karena dapat disimpangi oleh para pihak yang
membuat perjanjian.
 Pasal 1266 Perdata Menentukan 3 Syarat Untuk Terlaksananya Pembatalan Perjanjian, Yaitu :
1. Harus Ada Perjanjian Timbal Balik
Sifat perjanjian timbal balik terdapat ketentuan-ketentuan khusus, yang merupakan ulangan Pasal
1266 KUH Perdata, tetapi sebagian lagi mengandung beberapa perubahan-perubahan, yaitu pasal
1480 KUH Perdata, yang berbunyi :

-> “Jika penyerahan tidak dapat dilaksanakan karena kelalaian penjual, maka pembeli dapat
menuntut pembatalan pembelian menurut ketentuan Pasal 1266-1267 KUH Perdata.

-> Jika si penyewa memakai barang yang disewa untuk suatu keperluan lain dari yang menjadi
tujuannya, atau untuk suatu keperluan sedemikian rupa, hingga dapat menerbitkan suatu kerugian
kepada pihak yang menyewakan, maka pihak ini/kreditur, menurut keadaan dapat meminta
pembatalan sewa (Pasal 1561 KUH Perdata)

2. Harus Ada Ingkar Janji


Sebelum kreditur menuntut pembatalan, debitur harus diberikan penetapan lalai/somatie/ingebreke
stelling, untuk mengajukan pembatalan, kelalaiannya debitur harus cukup berat.

Misalnya :
Si penyewa tidak segera memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil atas rumah yang disewanya, maka
hakimlah yang harus memutuskan, apakah ingkar janji daripada debitur cukup berat atau tidak untuk
membatalkan perjanjian.

3. Putusan Hakim
-> Untuk batalnya perjanjian timbal-balik, harus ada putusan hakim.
Hakim berwenang untuk memberikan tanggang waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan kepada
debitur, untuk memenuhi prestasinya.

Dalam memberi peluang waktu tersebut harus dipertimbangkan apakah prestasi debitur masih
mungkin dilakukan atau masih berguna bagi kreditur.

Tenggang waktu yang diberikan oleh hakim disebut -> “Terme De Grace”

 Timbul Persoalan :

Apakah putusan hakim tersebut bersifat konstitutif atau declarative?


Yurisprudensi berpegang kepada pendapat yang declaratif -> yaitu bahwa batalnya perjanjian terjadi
karena ingkar janji, sedangkan putusan hakim hanya menyatakan saja bahwa perjanjian telah batal.

Sebagian besar penulis berpendapat bahwa putusan hakim adalah konstitutif, artinya bahwa batalnya
perjanjian disebabkan oleh putusan hakim atas dasar adanya ingkar janji.
 Putusan Hakim Adalah Konstitutif Berdasarkan :
1. Pada alasan sejarah, bahwa menurut Pasal 1266 KUH Perdata, batalnya perjanjian karena
putusan hakim.
2. Ayat 2 (dua) Pasal 1266 KUH Perdata, menyatakan dengan tegas bahwa ingkar janji tidak demi
hukum membatalkan perjanjian.
3. Bahwa kahim berwenang untuk memberikan Terme De Grace (tenggang waktu), dan ini berarti
bahwa perjanjian belum batal.
4. Kreditur masih mungkin untuk menuntut pemenuhan prestasi.

 Akibat Pembatalan
Jika hakim dengan putusannya menyatakan bahwa : Perjanjian batal, berarti hubungan hukum yang
terjadi karena perjanjian pun batal.
 Sebagai akibat hapusnya perikatan-perikatan masing-masing pihak tidak perlu lagi memenuhi
prestasinya.
 Oleh karenanya pihak lain dapat menuntut pengembaliannya atau jika tidak mungkin harganya harus
diganti.
 Pihak yang mengajukan pembatalan perjanjian, berhak untuk menuntut ganti rugi sebagai akibat
daripada ingkar janji dan pembatalan.

 Actio Pauliana
Tercantum dalam Pasal 1341 KUH Perdata
- Untuk melindungi hak tuntutan kreditur-kreditur, maka Pasal 1341 KUH Perdata, memberikan
wewenang kepada setiap kreditur untuk dalam keadaan tertentu mengajukan pembatalan terhadap
perbuatan debitur yang tidak diwajibkan yang merugikan kreditur-kreditur.

 Gugatan Berdasarkan Pasal 1341 KUH Perdata, Dengan Syarat-syarat Sebagai Berikut :
1. Perbuatan Tersebut Dalam Pasal 1341, Harus Merupakan Perbuatan Hukum.
Contoh: -> Terhadap perbuatan nyata, merusak yang mengakibatkan berkurangnya kekayaan
debitur atau perbuatan melawan hukum. Tidak dapat dimintakan pembatalan oleh kreditur.
2. Bukan Merupakan Perbuatan Hukum yang Diwajibkan

- Perbuatan hukum yang tidak diwajibkan adalah -> Perbuatan-perbuatan hukum yang
dilakukan bukan oleh karena kewajiban yang ditimbulkan oleh Undang-undang atau
perjanjian.

- Pembayaran atas utang yang sudah dapat ditagih, merupakan perbuatan hukum yang
merupakan kewajiban dari debitur, sehingga pembayaran semacam itu tidak dapat diganggu
gugat oleh kreditur lainnya, bahkan jika pembayaran terhadap salah seorang kreditur
merugikan kreditur-kreditur lainnya.
3. Hanya Kreditur Yang Dirugikan Berhak Mengajukan Pembatalan.
Ketentuan Undang-undang yang menentukan bahwa setiap kreditur dapat mengajukan batalnya
perbuatan-perbuatan yang merugikan kreditur-kreditur, dapat menimbulkan kesan seolah-olah
bahwa kerugian tersebut harus mengenai semua kreditur.

Akan tetapi sebenarnya yang dimaksud oleh Undang-undang adalah bahwa seorang kreditur
yang menggugat berdasarkan Pasal 1341, haruslah seorang kreditur yang dirugikan oleh
perbuatan-perbuatan hukum daripada debitur.
4. Perkataan “Mengetahui” Bahwa Perbuatan Itu Merugikan Kreditur harus diukur dengan
obyektif, yaitu harus diartikan bahwa debitur dan orang dengan siapa ia melakukan perbuatan
secara jelas/nyata, seharusnya mengerti bahwa perbuatannya merugikan kreditur. Jadi yang
harus mengetahui tidak hanya debitur yang bersangkutan saja tetapi juga pihak yang
mengadakan hubungan dengan debitur tersebut
 Intisari Dari Actio Pauliana Adalah
- Pembatalan segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur terhadap harta kekayaannya
melalui pengadilan berdasarkan permohonan kreditur (kurator apabila dalam kepailitan) yang
diketahui oleh debitur, perbuatan tersebut merugikan kreditur.
- Sehubungan dengan tindakan debitur yang merugikan kepentingan kreditur terhadap aset debitur
yang diletakkan hak tanggungan dapat dilakukan Actio Pauliana apabila memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
a. Kreditur dapat menunjukkan bahwa pada waktu melakukan tindakan itu, debitur mengetahui
bahwa dengan cara demikian dia (debitur) merugikan para kreditur.
b. Actio Pauliana Kepailitan :
1) Apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitur dan pihak
dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan, mengetahui atau sepatutnya
mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur
(Pasal 41 Ayat 2) UUK PKPU (UU Kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
2) Apabila perbuatan hukum yang merugikan kreditur dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sebelum putusan pailit diucapkan, sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib
dilakukan debitur dalam hal perbuatan tersebut merupakan jaminan untuk utang yang
belum jatuh tempo dan/atau belum atau tidak dapat ditagih (Pasal 42 Huruf B UU KPKU)

Menurut Pengertian Secara Umum -> Pasal 1341 KUH Perdata

Kreditur boleh mengajukan tidak berlakunya segala tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh
debitur, dengan nama apapun juga yang merugikan kreditur, asal dibuktikan bahwa ketika tindakan
tersebut dilakukan, debitur dan orang yang dengannya atau untuknya debitur itu bertindak, mengetahui
bahwa tindakan itu mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

 Penafsiran Perjanjian
Jika kata-kata suatu perjanjian sudah jelas, maka tidak diperkenankan untuk menyimpang dengan jalan
penafsiran.

Menurut Pasal 1343 KUH Perdata, jika kata-kata suatu perjanjian tidak jelas, maka kita harus menyelidiki
maksud pada pihak memebuat suatu perjanjian

 Menurut pendapat Hooge Raad, dalam putusannya tanggal 4 Desember 1925, bahwa menafsirkan suatu
perjanjian harus diperhatikan itikad baik dalam menentukan isi perjanjian dan mengakui akibat-akibat
dari perjanjian.

 Jadi pengertian kata-kata jelas harus diartikan sebagai kata-kata yang sedikit sekali memberikan
kemungkinan untuk terjadinya penafsiran yang berbeda.

Silahkan dibaca padal 1344 s/d 1351 mengatur tentang ketentuan-ketentuan untuk dipergunakan dalam
menafsirkan perjanjian.

 Hapusnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan.

Suatu perikatan dapat hapus dengan perjanjiannya yang merupakan sumbernya masih tetap ada.
Misalnya -> Perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga, maka perikatan mengenai pembayaran
menjadi hapus, sedangkan perjanjian penyerahan barangnya. Belum dan akan berakhir jika perikatan
penyerahan barangnya selesai dilaksanakan.

 Sebaliknya hapusnya perjanjian dapat pula menyebabkan hapusnya perikatan-perikatan, apabila suatu
perjanjian hapus dengan berlaku surut, sebagai akibat daripada pembatalan berdasarkan wanprestasi
(Pasal 1266), maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus, perikatan-perikatan tersebut
tidak perlu dipenuhi, dan apa yang telah dipenuhi harus pula ditiadakan.

 Ada kalanya terjadi, bahwa perjanjian berakhir atau hapus tetapi kewajiban-kewajiban yang telah ada
tetap ada.

Contoh: Kontrak kos untuk 1 tahun, ternyata beru berjalan 5 bulan tidak betah, kemudian menghilang.
Perjanjiannya sudah berakhir tetapi perikatannya masih ada yaitu biaya kontrak yang 7 bulan.

 Perjanjian Dapat Hapus, Karena :


a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.
Misal : Perjanjian akan berlaku untuk waktu tertentu.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.
Misal : Pasal 1066 Ayat (3) bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama
waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan.
Akan tetapi waktu perjanjian dibatasi oleh Ayat (4) Pasal 1066, berlakunya hanya untuk 5 (lima)
tahun.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa
tertentu, maka perjanjian akan hapus.

Misal : Jika salah satu meninggal, maka perjanjian menjadi hapus.


- Perjanjian perseroan (Pasal 1646 Ayat 4)
- Perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1813)
- Perjanjian kerja (Pasal 1603)
d. Pernyataan Menghentikan Perjanjian (Opzegging).
Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak.
Opzegging hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara, misalnya:
- Perjanjian kerja
- Perjanjian sewa-menyewa
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim
f. Tujuan perjanjian telah tercapai
g. Dengan perjanjian para pihak (Herroeping)

Anda mungkin juga menyukai