MATERI 14
Disusun Oleh:
Kelompok 14
JURUSAN AKUNTANSI
TRISAKTI SCHOOL OF MANAGEMENT
GENAP 2021/2022
PENGERTIAN WANPRESTASI
Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau
kelalaian yang dilakukan oleh debitur, baik karena tidak melaksanakan apa yang telah
diperjanjikan maupun melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu “wanprestatie” yang artinya tidak
dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di
dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan
yang timbul karena undang-undang.
1. Syarat Materiil
Syarat materiil seorang debitur dikatakan dalam keadaan wanprestasi yaitu adanya
kesengajaan yang berupa:
2. Syarat Formil
Syarat formil seorang debitur dikatakan dalam keadaan wanprestasi yaitu adanya
peringatan atau somasi dalam hal kelalaian atau wanprestasi pada pihak debitur harus
dinyatakan dahulu secara resmi, yaitu dengan memperingatkan debitur, bahwa kreditur
menghendaki pembayaran seketika atau dalam jangka waktu yang pendek. Somasi
adalah teguran keras secara tertulis dari kreditur berupa akta kepada debitur, supaya
debitur harus berprestasi dan disertai dengan sanksi atau denda atau hukuman yang akan
dijatuhkan atau diterapkan, apabila debitur wanprestasi atau lalai.
PENYEBAB TERJADINYA WANPRESTASI
Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan
mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi
perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat
diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.
Berdasarkan pasal di atas, dapat dipahami bahwa wanprestasi adalah keadaan di mana
debitur tidak/lalai melaksanakan perjanjian yang telah disepakati. Sehubungan dengan
kelalaian debitur, perlu diketahui kewajiban-kewajiban yang dianggap lalai apabila tidak
dilaksanakan oleh seorang debitur, yaitu:
Kesengajaan/ketidakmauan
Kerugian dalam wanprestasi dapat dipersalahkan kepada debitur jika ada unsur
kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh debitur yang dapat menimbulkan
kerugian, sehingga kerugian itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Keterpaksaan/ketidakmampuan
Keterpaksaan ialah keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh pihak debitur karena
terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya, peristiwa yang tidak dapat diketahui
atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. Dalam keadaan
memaksa ini, debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul
di luar kemauan dan kemampuan debitur. Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam
keadaan memaksa adalah sebagai berikut:
(a) Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang
menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap.
(b) Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan
debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara.
(c) Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat
perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur. Jadi bukan karena kesalahan pihak-
pihak, khususnya debitur.
Untuk menghadapi hal tersebut, maka hukum menyelesaikannya melalui dua cara, yaitu:
Debitur yang diduga atau mengetahui bahwa dia tidak akan dapat melanjutkan membayar
utang-utangnya yang sudah bisa ditagih, dapat mengajukan permohonan penundaan
pembayaran utangnya melalui pengadilan. PKPU merupakan alternatif penyelesaian utang
untuk menghindari kepailitan. Tujuannya adalah agar debitur bisa memperbaiki ekonomi dan
perusahaan yang terjebak dengan situasi ekonomi, atau secara singkat PKPU bertujuan untuk
perdamaian antara pihak debitur dan kreditur.
1. Debitur
Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyatakan secara tegas debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang jatuh tempo dan dapat ditagih dapat mengajukan
permohonan pernyataan pailit. Dalam istilah bahasa Inggris permohonan pailit yang
diajukan oleh debitur sendiri disebut voluntary petition.
2. Kreditur
Di dalam hukum perikatan, kreditur adalah pihak yang berhak menuntut pemenuhan
suatu prestasi dari pihak debitur. Kreditur memiliki piutang. Piutang sendiri adalah hak
untuk menuntut pemenuhan utang atau prestasi. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa kreditur
adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat
ditagih di muka pengadilan.
3. Kejaksaan
Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang menyatakan bahwa jaksa juga dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit
terhadap debitur yang tidak membayar utang-utangnya sebagaimana dimaksud Pasal 2
ayat (1) UU Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang demi kepentingan
umum. Kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan bangsa dan negara dan
atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:
a) debitur melarikan diri;
b) debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaan;
c) debitur mempunyai utang kepada badan BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat;
d) debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dari masyarakat luas.
4. Bank Indonesia
Dalam hal debitur yang memiliki dua kredituor atau lebih dan tidak membayar utang
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat dan dapat ditagih adalah bank,
menurut Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia (BI).
5. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang menentukan bahwa dalam hal debitur adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga
kliring dan penjaminan, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan
Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Sekarang tugas dan kewenangan Bapepam sebagai
regulator dan pengawas pasar modal di Indonesia telah digantikan oleh Otoritas Jasa
Keuangan (OJK).
6. Menteri Keuangan
Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang menentukan bahwa dalam debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan
reasuransi, dana pensiun, BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik,
permohonan pernyataan pailit dapat hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
AKIBAT ADANYA PKPU
Setiap debitur yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri
maupun atas permohonan kreditur, dengan putusan hakim dinyatakan pailit atau bangkrut
maka akan ada akibat hukumnya. Zainal Asikin menyatakan akibat hukum dari putusan pailit
yang utama adalah dengan telah dijatuhkannya putusan kepailitan, si debitur kehilangan hak
untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Pengurusan dan
penguasaan harta bahkan atas hibah yang dilakukan debitur pun dapat dimintakan
pembatalannya apabila kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut
dilakukan, debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur (Pasal 43 UU Kepailitan dan PKPU).
Khusus terhadap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan
atau kebendaan lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Yang dimaksud dengan pemegang hak tanggungan adalah pemegang hipotik yang berhak
untuk segera mengeksekusi haknya sebagaimana diperjanjikan sesuai Pasal 1178
KUHPerdata dan berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 20 Ayat (1) UU Nomor 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan Tanah. Pemegang
hak tersebut di atas tentunya wajib memberikan pertanggungjawaban kepada kurator tentang
hasil penjualan barang yang menjadi agunan dan menyerahkan kepada kurator sisa hasil
penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga, dan biaya. Apabila hasil penjualan yang
dimaksud tidak cukup untuk melunasi piutang yang bersangkutan, maka pemegang hak
tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit
sebagai kreditor konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan utang.
a) Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas
sesuatu bagian dari hartanya
b) Debitur tidak dapat dipaksa membayar utang-utangnya dan semua tindakan eksekusi
yang telah dimulai guna mendapatkan pelunasan utang, harus ditangguhkan
c) Debitur berhak membayar utangnya kepada semua kreditur bersama-sama menurut
imbangan piutang masing-masing
d) Semua sitaan yang telah dipasang berakhir
HAL-HAL YANG TERJADI DENGAN ADANYA PKPU
KEUNTUNGAN PKPU
Ada dua prosedur atau tahapan dari penundaan kewajiban pembayaran utang, yaitu PKPU
Sementara dan PKPU Tetap.
1. PKPU Sementara
Tahapan pertama yang akan dilalui setelah pengajuan PKPU diterima adalah PKPU
Sementara. PKPU Sementara adalah PKPU pendahuluan yang diberikan oleh Pengadilan
Niaga saat menerima permohonan PKPU, baik dari debitur maupun kreditur. Hasil
putusan PKPU Sementara dari Pengadilan Niaga berlaku mulai dari putusan tersebut
dikeluarkan hingga 45 hari ke depannya.
Setelah putusan PKPU Sementara, akan ditunjuk satu orang hakim pengawas dan
satu orang atau lebih pengurus oleh pengadilan, untuk pengurusan selama PKPU
Sementara. Pengurus PKPU Sementara ini wajib mengumumkan hasil putusan tersebut
dalam Berita Negara Republik Indonesia, serta sedikitnya 2 surat kabar harian.
Pengumuman yang disampaikan oleh pengurus tersebut memuat undangan yang
ditujukan kepada seluruh debitur dan kreditur, serta jadwal rapat dan
permusyawaratannya. Saat rapat diadakan, maka akan diupayakan pencocokan piutang,
pembahasan rencana untuk berdamai, serta penentuan apakah akan diberikan PKPU
Tetap kepada debitur atau tidak.
2. PKPU Tetap
PKPU Tetap akan terlaksana jika sekiranya debitur belum siap menyusun rencana
perdamaiannya, atau jika para kreditur belum mencapai mufakat dan belum ada
keputusan atas rencana perdamaian dari debitur hingga berakhirnya masa PKPU
Sementara.
Terkait dengan pemberian PKPU Tetap pada debitur, semua kreditur harus
melakukan voting terlebih dahulu, sesuai Pasal 229 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU. Pasal ini menjelaskan bahwa kreditur konkuren
(kreditur yang tidak memegang hak atas jaminan kebendaan) atau kreditur separatis
(kreditur yang memegang hak atas jaminan kebendaan) berhak menentukan kelanjutan
dari proses PKPU.
Jika hasil voting memenuhi kuorum untuk bisa diberikan PKPU Tetap pada debitur,
maka proses PKPU akan dilanjutkan dengan PKPU Tetap. Jangka waktu maksimalnya
selama 270 hari sejak putusan PKPU Sementara dibacakan. Namun jika kuorum tidak
mencukupi, maka debitur akan ditetapkan pailit oleh pengadilan.
Jika PKPU Tetap berjalan, maka dalam kurun waktu 270 hari, debitur dan kreditur
bisa berunding dan membahas rencana perdamaian terkait utang piutang antara
keduanya. Jadi, kurun waktu 270 hari itu bukan waktu untuk debitur harus melunasi
utangnya. Jika tetap tidak tercapai rencana perdamaian dalam kurun waktu tersebut,
maka debitur akan dinyatakan pailit oleh pengadilan.
KEPAILITAN
Pailit adalah kondisi di mana debitur tidak dapat membayar utangnya. Debitur yang
mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah
jatuh tempo dan dapat ditagih, akan dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan niaga, baik
atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan salah satu atau lebih krediturnya.
Kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh
Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur yang pailit di bawah pengawasan
Hakim Pengawas sesuai dengan UU Kepailitan dan PKPU.
Berkaitan dengan penyitaan kekayaan debitur pailit, perlu diketahui dasar hukum
mengenai perbedaan kedudukan kreditur dalam kepailitan, yang diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Perdata sebagai berikut:
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan.”
“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang
itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.”
“Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang
berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada
hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana olehUndang-Undang ditentukan sebaliknya.”
TUJUAN KEPAILITAN
Tujuan utama kepailitan adalah untuk membagi harta kekayaan debitur kepada para kreditur
oleh kurator. Kepailitan bertujuan untuk menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi
terpisah oleh kreditur dan sebagai gantinya, mengadakan sitaan bersama sehingga kekayaan
debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai hak masing-masing. Selain itu, kepailitan
juga bertujuan untuk:
1. Menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa
kreditur yang menagih piutangnya.
2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut
haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan kepentingan
debitur atau para kreditur lainnya.
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang
kreditur atau debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi keuntungan
kepada salah satu atau beberapa orang kreditur tertentu sehingga kreditur lainnya
dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta
kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para
kreditur.
4. Memberikan perlindungan kepada para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka
sehubungan dengan berlakunya asas jaminan.
5. Memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding membuat
kesepakatan restrukturisasi utang.
ASAS KEPAILITAN
Dalam hukum kepailitan dikenal beberapa asas yang berlaku dalam praktik pelaksanaannya,
di mana asas-asas ini merupakan bagian dari hukum kepailitan itu sendiri. Asas-asas
kepailitan sebagaimana terkandung dalam UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
PKPU antara lain:
1. Asas Keseimbangan
UU No. 37 Tahun 2004 mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari
asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur,
dan di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata dan lembaga kepailitan oleh kreditur yang tidak beritikad baik. Singkatnya, asas
keseimbangan bertujuan untuk mencegah debitur atau kreditur yang tidak jujur.
2. Asas Kelangsungan Usaha
Dalam UU No. 37 Tahun 2004, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan
milik debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat
memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan.
4. Asas Integrasi
Dalam UU No. 37 Tahun 2004, terkandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan
sistem hukum materiil tentang kepailitan merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem
hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.
Kepailitan ialah suatu proses yang di dalamnya terdapat runtutan-runtutan langkah yang telah
diatur undang-undang. Proses yang diatur tersebut dari mulai permohonan putusan sampai
dengan adanya putusan pailit. Berakhirnya kepailitan dilatarbelakangi oleh:
1. Accord/Akur atau Perdamaian
Perdamaian sebetulnya merupakan hal yang harus ditawarkan pada masing-masing
pihak yang berperkara di pengadilan, khususnya pada ranah perdata sebagaimana dalam
Hukum Acara Perdata yang bersumber dari HIR menyatakan bahwa dalam
menyelesaikan perkara, hakim wajib mengusahakan suatu perdamaian terlebih dahulu.
Namun pada proses kepailitan, hakim tidak menawarkan perdamaian di awal
pemeriksaan persidangan dikarenakan waktu yang amat terbatas bagi hakim untuk
menjatuhkan sebuah keputusan. Proses perdamaian atau yang lebih dikenal dengan
mediasi pada hukum acara perdata minimal dilakukan selama 40 hari dan dapat
diperpanjang selama 14 hari, sedangkan hakim harus memberikan putusan kepailitan
maksimal 60 hari.
Perdamaian dalam kepailitan adalah perjanjian antara debitur pailit dengan para
kreditur di mana menawarkan pembayaran sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa
setelah melakukan pembayaran tersebut, ia dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia
tidak mempunyai utang lagi. Kepailitan yang berakhir melalui accord disebut juga
berakhir perantaraan hakim (pengadilan). Accord lazimnya berisi kemungkinan seperti di
bawah ini:
1) Debitur pailit menawarkan kepada kreditur-krediturnya untuk membayar suatu
persentase utang dan sisanya dianggap lunas.
2) Debitur pailit menyediakan budelnya bagi para kreditur dengan mengangkat
seorang pemberes untuk menjual budel itu dan hasilnya dibagi antara para
pembebasan untuk sisanya. Akur semacam ini disebut akur
likuidasi (liquidatieaccoord).
3) Debitur meminta penundaan pembayaran dan meminta diperbolehkan mengangsur
utang.
4) Debitur menawarkan pembayaran tunai 100% , tetapi hal seperti ini jarang terjadi.
Accord atau perdamaian diatur secara lengkap pada dalam lampiran pasal 144-177
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Sebagimana telah diatur pada pasal 144 Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
menerangkan bahwa Debitur pailit berhak untuk menawarkan perdamaian pada semua
krediturnya.
Rencana perdamaian tersebut diterima apabila disetujui oleh setengah jumlah dari
kreditur yang hadir dalam rapat yang minimal dihadiri oleh dua pertiga jumlah kreditur
konkuren yang ada, sebagaimana disebutkan pada pasal 144-163 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Accord yang sudah diterima dalam rapat, agar mempunyai kekuatan hukum maka harus
mendapatkan pengesahan dari Hakim Komisaris yang disebut homologasi. Pengadilan
akan memutuskan pengesahan perdamaian tersebut dan sidang akan diadakan paling
cepat 8 hari atau paling lama 14 hari setelah diajukannya perdamaian.
Seperti yang telah disebutkan pasal 166 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004,
bahwa apabila pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan pasti, maka
kepailitan tersebut berakhir. Oleh karena itu, kurator wajib melakukan perhitungan dan
pertanggungjawaban kepada debitur pailit di hadapan hakim pengawas, serta apabila
dalam perdamaian tidak ditetapkan maka, kurator harus mengembalikan semua barang,
uang, buku, dan surat yang termasuk harta pailit kepada debitur pailit.
Namun, tidak semua penawaran pailit diterima oleh para kreditur, tidak menutup
kemungkinan bahwa penawaran tersebut mengalami penolakan. Seperti yang diatur pada
pasal 159 (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang yang menyebutkan bahwa pengadilan wajib menolak
pengesahan perdamaian apabila:
1) Kekayaan harta pailit, termasuk di dalamya segala barang yang terhadapnya berlaku
hak menahan barang (hak retensi), melebihi jumlah yang dijanjikan dalam
perdamaian.
2) Perdamaian tersebut tidak terjamin penuh.
3) Perdamaian tercapai karena penipuan yang menguntungkan secara tidak wajar
seorang kreditur atau beberapa kreditur, atau karena penggunaan cara lain yang tidak
jujur dengan tidak memperdulikan apakah dalam hal ini debitur pailit turut atau tidak
melakukannya.
Apabila rencana perdamaian yang ditawarkan tersebut ditolak atau tidak dapat
diterima, atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang berkekuatan
hukum tetap, maka harta pailit berada pada keaadaan insolvensi (pasal 178 (1) Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang). Kemudian, apabila perdamaian atau pegesahan perdamaian tersebut ditolak, maka
debitur pailit tidak dapat menawarkan perdamaian lagi pada kepailitan tersebut.
Berakhirnya kepailitan karena accord memiliki keuntungan, yaitu:
Bagi kreditur: Pembagian pembayaran melalui accord lebih tinggi dari pada
melalui pemberesan.
Bagi debitur: Debitur pailit akan membayar sejumlah utang yang telah disetujui
dalam accord, serta diberikan kesempatan untuk tetap dapat melanjutkan usaha-
usaha yang dimilikinya sehingga debitur dapat melunasi utang-utang yang
dimiliki kepada para krediturnya di kemudian hari.
2. Insolvensi atau Pemberesan Harta Pailit
Seperti yang telah dijelaskan oleh penjelasan pasal 57 (1) Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang
dimaksud dengan insolvensi adalah keadaan tidak mampu membayar. Insolvensi terjadi
bilamana dalam suatu kepailitan tidak ditawarkan accord/perdamaian karena tidak
terpenuhi sebagaimana yang telah disetujui. Insolvensi tidak memerlukan adanya putusan
hakim karena insolvensi akan tiba dan terjadi dengan sendirinya, yaitu:
Debitur pailit tidak menawarkan accord.
Ada penawaran accord, tetapi kreditur tidak setuju.
Ada penawaran accord dan disetujui oleh kreditur, tetapi tidak mendapat
homologasi.
Ada penawaran accord tetapi dibatalkan oleh hakim.
Dalam hal ini apabila dalam rapat pencocokan utang piutang tidak ditawarkan
perdamaian, atau apabila perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, maka kurator atau
seorang kreditur yang hadir dalam rapat tersebut dapat mengusulkan agar perusahaan
debitur pailit dihentikan. Pemanggilan terhadap kreditur oleh kurator harus dilakukan
minimal 10 hari sebelum rapat diadakan. Atas permohonan seorang kreditur atau kurator,
hakim pengawas dapat memerintahkan agar kelanjutan perusahaan milik debitur
dihentikan. Dalam hal ini kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta
pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur apabila:
1) Usul untuk mengurus perusahan debitur tidak diajukan dalam jangka waktu yang
diatur dalam undang-undang ini atau usul tersebut telah diajukan tetapi ditolak,
atau;
2) Pengurusan terhadap perusahaan debitur telah dihentikan.
Seorang kreditur yang piutangnya tidak dicocokkan, dan juga seorang kreditur
yang piutangnya dicocokkan untuk jumlah yang terlalu rendah menurut laporannya
sendiri, boleh mengajukan perlawanan selanjutnya dalam sidang umum. Piutang atau
bagian piutang yang tidak dicocokkan tadi disampaikan kepada kurator, satu salinannya
dilampirkan pada surat keberatan dan dalam surat keberatan ini diajukan pula
permohonan untuk mencocokkan piutang tersebut. Terhadap ketetapan pengadilan
tersebut, kurator atau setiap kreditur dapat mengajukan kasasi dalam waktu 8 hari setelah
ketetapan tersebut diambil. Mahkamah Agung dapat memanggil kurator atau para
kreditur untuk didengar keterangannya.
Dengan adanya insolvensi, kurator mulai mengambil tindakan yang menyangkut
pemberesan harta pailit, yaitu:
Melakukan pelelangan atas seluruh harta pailit dan melakukan penagihan terhadap
piutang-piutang Debitur Pailit yang mungkin ada di tangan pihak ketiga, di mana
penjualan terhadap harta pailit itu dapat saja dilakukan di bawah tangan sepanjang
mendapat persetujuan dari Hakim Pengawas. (Pasal 184 & 185 UU Nomor 37 Tahun
2004).
Melanjutkan pengelolaan perusahaan Debitur Pailit apabila dipandang
menguntungkan, namun pengelolaan itu harus mendapat persetujuan dari Hakim
Pengawas.
Membuat daftar pembagian yang berisi: jumlah uang yang diterima dan dikeluarkan
selama kepailitan, nama-nama kreditur dan jumlah tagihan yang disahkan,
pembayaran yang akan dilakukan terhadap tagihan tersebut. (Pasal 189 ayat 1 & 2 UU
Nomor 37 Tahun 2004).
Melakukan pembagian atas seluruh harta pailit yang telah dilelang atau diuangkan itu.
(Pasal 189 ayat 4, Pasal 201 UU Nomor 37 Tahun 2004).
Dengan demikian, apabila insolvensi sudah selesai dan para kreditur sudah
menerima piutangnya sesuai dengan hal yang disetujui, kepailitan itu dinyatakan berakhir.
Debitur kemudian akan kembali dalam keadaan semula, dan tidak lagi berada di bawah
pengawasan kurator. Akan tetapi, apabila pada saat berakhirnya pembagian ternyata
masih terdapat harta kekayaan debitur, maka atas perintah Pengadilan Niaga, kurator akan
membereskan dan melakukan pembagian atas daftar-daftar bagian yang sudah pernah
dibuat dahulu.
1. Hakim Pengawas
Hakim pengawas ditunjuk oleh hakim Pengadilan Niaga, dan berkewajiban
mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Perkara Kepailitan dan PKPU
diadili oleh Majelis Hakim baik pada yudex facti (Pengadilan Niaga) maupun
pada yudex yuris (Mahkamah Agung) untuk perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Majelis Hakim tersebut terdiri atas hakim-hakim pada Pengadilan Niaga, yakni
hakim-hakim pengawas. Tugas Hakim Pengawas sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 65 UU Kepailitan dan PKPU adalah mengawasi pengurusan dan pemberesan
harta pailit. Keberadaan Hakim Pengawas ini mutlak dalam penyelesaian kepailitan,
karena pengadilan wajib mendengar pendapat Hakim Pengawas sebelum mengambil
suatu keputusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit.
2. Kurator
Kurator bertugas melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit. Pasal 70 ayat
(1) UU Kepailitan dan PKPU mengatur bahwa yang menjadi kurator yaitu:
a. Balai Harta Peninggalan
Balai Harta Peninggalan (BHP) adalah instansi pemerintah yang berada di bawah
Kementerian Hukum dan HAM yang melakukan pelayanan jasa hukum di bidang
kepailitan dan PKPU serta bidang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
b. Kurator lainnya, dengan kriteria:
Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia.
Memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau
membereskan harta pailit.
Terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (Departemen Hukum dan
HAM).
3. Panitia Para Kreditur
Panitia para kreditur dapat dibentuk apabila ada kepentingan maupun sifatnya harta
pailit menghendaki. Panitia para kreditur beranggotakan satu sampai tiga orang yang
dipilih oleh para kreditur.
Rapat para kreditur ini dimungkinkan untuk dilaksanakan oleh para kreditur seperti
rapat verifikasi, rapat membicarakan tentang akur, dan segala urusan-urusan lain yang
berkaitan dengan kepailitan.
KESIMPULAN
Yang Melakukan
Kurator (Pasal 1 angka 5, Pasal 15 Pengurus (Pasal 225 ayat 2
Pengurusan Harta
ayat 1, dan Pasal 16 UU KPKPU) dan 3 UU KPKPU)
Debitur