Anda di halaman 1dari 7

A.

Cara Berakhirnya Kontrak


Berakhirnya kontrak menurut KUH Perdata tentang berakhirnya
perikatan yang diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata, Cara berakhirnya
perikatan dibagi menjadi 10 cara, yaitu (1) Pembayaran (2) Penawaran
pembayaran Tunai, diikuti dengan penyimpanan ataupenitipan, (3)
pembaharuan utang, (4) kompensasi, (5) percampuran utang, (6)
pembebasan utang, (7) musnahnya barang yang terutang, (8)
pembatalan/kebatalan, (9) beralkunya syarat pembatalan, (10) lewat waktu.
1. Pembayaran
Pengertian pembayaran atau betaling dalam hal ini harus
dipahami secara luas. Tidak boleh diartikan dalam ruang lingkup
yang sempit, seperti yang selalu diartikan hanya terbatas pada
masalah yang berkaitan dengan pelunasan hutang semata-mata.
Mengartikan pembayaran hanya terbatas pada “pelunasan hutang”
semata-mata tidaklah selamanya benar. Karena ditinjau dari segi
yuridis teknis, tidak selamanya harus berbentuk sejumlah uang atau
barang tertentu, bisa saja dengan pemenuhan jasa atau pembayaran
dengan bentuk tak terwujud atau yang immaterial. Pembayaran
prestasi dapat dilakukan dengan “melakukan sesuatu” (te doen).
Misalkan tukang cukur yang telah melakukan suatu perbuatan jasa
dapat saja disebut telah membayar prestasi dengan jasa. Guru privat
yang telah memberi pelajaran, termasuk dalam arti “pemaran
Pembayran.

2. Karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan


(konsignasi)
Pemenuhan prestasi dalam suatu perjanjian sepatutnya
dilaksanakan sesuai hal yang diperjanjikan termasuk waktu
pemenuhannya, namun tidak jarang prestasi tersebut dapat dipenuhi
sebelum waktu yang diperjanjikan. Penawaran dan penerimaan
pemenuhan prestasi sebelum waktunya dapat menjadi sebab
berakhirnya perjanjian, misalnya perjanjian pinjam meminjam yang
pembayarannya dilakukan dengan cicilan, apabila pihak yang
berhutang dapat membayar semua jumlah pinjamannya sebelum
jatuh tempo, maka perjanjian dapat berakhir sebelum waktunya.
Penawaran pembayaran tunai utang dilakukan saat si berpiutang
menolak pembayaran dari si berutang. Penawaran yang demikian
diikuti dengan penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku
baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan
dengan cara menurut undang-undang.
3. Karena pembaharuan Utang (Novasi)
Novasi di atur dalam Pasal 1413 KUH Perdata sampai
dengan Pasal 1424 KUH Perdata. Novasi (pembaharuan utang)
adalah sebuah persetujuan, di mana suatu perikatan telah dibatalkan
dan sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang
ditempatkan di tempat yang asli. Vollmar mengartikan novasi
adalah suatu perjanjian karena dimana sebuah perjanjian yang akan
dihapuskan, dan seketika itu juga timbul sebuah perjanjian baru.
Novasi adalah suatu perjanjian antara debitur dan kreditur, dimana
perjanjian lama dan subjeknya yang ada dihapuskan dan timbul
sebuah objek dan subjek perjanjian yang baru.
4. Karena Kompensasi atau perjumpaan Utang
Kompensasi atau perjumpaan utang diatur dalam Pasal 1425
KUH Perdata sampai Pasal 1435 KUH Perdata. Kompensasi adalah
penghapusan masingmasing utang dengan jalan saling
memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur
dan debitur.
5. Pencampuran utang
Percampuran utang diatur dalam Pasal 1436 KUH Perdata
sampai dengan Pasal 1437 KUH Perdata. Percampuran utang adalah
percampuran kedudukan sebagai orang berutang dengan kedudukan
sebagai kreditur menjadi satu. Percampuran utang dapat terjadi
dengan dua cara, yaitu: 1) Dengan jalan penerusan hak dengan alas
hak umum, dan 2) Dengan jalan penerusan hak dibawah alas hak
khusus.
6. Pembebasan utang
Pembebasan utang diatur dalam Pasal 1438 KUH Perdata
sampai dengan Pasal 1443 KUH Perdata. Pembebasan utang adalah
suatu pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur, bahwa
debitur dibebaskan dari perutangan. Ada 2 cara terjadinya
pembebasan utang, yaitu: xi 1) Cuma-cuma, dan 2) Prestasi dari
pihak debitur. Pembebasan hutang dengan Cuma-cuma harus
dipandang sebagai penghadiahan. Sedangkan prestasi dari pihak
debitur, artinya sebuah prestasi lain, selain prestasi yang terutang.
Pembebasan ini didasarkan pada perjanjian.
7. Pembatalan atau kebatalan
Kebatalan kontrak diatur dalam Pasal 1446 KUH Perdata
sampai dengan Pasal 1456 KUH Perdata. Adanya tiga penyebab
timbulnya pembatalan kontrak, yaitu: 1) Adanya perjanjian yang
dibuat oleh orang-orang yang belum dewasa dan dibawah
pengampuan; 2) Tidak mengindahkan bentuk perjanjian yang di
syaratkan undangundang; 3) Ada cacat kehendak1
8. Karena usnahnya barang terutang
Ini diatur dala pasal-pasal 1444 dan 1445 KUH Perdata yang
mengatakan bahwa: Jika barang tertentu yang menjadi pokok
persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga
tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak,
maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di
1
Putu Labda Manohara, Asas Kebebasan berkontrak Terhadap Perjanjian Franchise, (Jurnal Ilmiah:
Universitas Mataram) 2018, hlm. 8-9.
luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang
sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadian-kejadian yang tak
terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga
dengan cara yang sama di tangan kreditur, seandainya barang
tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan
membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan
cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang
mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk
mengganti harga.
9. Krena berlakunya suatu syarat pembatalan
Hapusnya suatu perikatan yang diakibatkan oleh berlakunya
syarat batal terjadi jika kontrak yang dibuat oleh para pihak adalah
kotrak yang mengatur mengenai syarat batal; dan apabila syarat itu
terpenuhi, mengakibatkan hapusnya kontrak tersebut.2
10. Lewat waktu atau daluarsa
Berakhirnya perjanjian dapat disebabkan oleh lewatnya
waktu (daluarsa) perjanjian. Selain beberapa cara hapusnya
perjanjian yang memutuskan hubungan hukum para pihak, dalam
perjanjian franchise (waralaba), pemutusan perjanjian (kontrak)
dapat disebabkan karena wanprestasi atau kealpaan dari pihak
franchisor (pemberi waralaba) dan wanprestasi atau kealpaan dari
pihak franchisee (penerima waralaba). Biasanya alasan franchisor
memutuskan perjanjian karena pihak franchisee melanggar isi
perjanjian yang telah dibuat. Misalnya jika franchisee tidak
memenuhi sales quota minimum yang telah disepakati, franchisor

2
Olivia Pintha Stepany Bakkara, Analisis Yuridis menganai Pemutusan Perjanjian Secara Sepihak Dalam
Perjanjian Kerjasama Antara PT. Trandeways International Dengan PT Sarana Pembnangunan Pelmbang
Jaya, Skripsi(Universitas Sumatera Utara), 2020, hlm 47-48
dapat memutuskan perjanjian tersebut. Hal lain yang mungkin juga
terjadi.3

B. Pemutusan Kontrak Secara Sepihak


Suatu perjanjian dikatakan terlaksana dengan baik apabila dapat
terlaksananya dengan baik segala sesuatu yang telah diatur dan dijanjikan,
dan ini berarti terdapatnya pemenuhan akan prestasi antar masing-masing
pihak tanpa ada pihak yang merasa dirugikan. Tetapi dalam kenyataannya
perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi
yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dalam hal ini pemutusan perjanjian
secara sepihak dapat dikatakan sebagai suatu tindakan Wanprestasi (default
atau non fulfilment). Wanprestasi (default atau non fulfilment) ataupun
yang disebut juga dengan istilah breach of contract yang dimaksudkan
adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya
yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang
disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi terhadap timbulnya
hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan
wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan
agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.
Tindakan wanprestasi ini dapat terjadi karena:
1 Kesengajaan
2 Kelalaian
3 Tanpa Kesalahan (tanpa kesengajaan atau kelalaian)

Wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak


melaksanakan atau lalai melaksanakan prestasi (kewajiban) yang menjadi
objek perikatan antara pelaku dalam kontrak. Pasal 1233 KUH Perdata
mengatakan bahwa prestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam
berkontrak adalah kewajiban untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
3
sesuatu, ataupun bahkan untuk tidak berbuat sesuatu. Pelanggaran hak-hak
kontraktual tersebut menimbulkan kewajiban ganti rugi berdasarkan
wanprestasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUH Perdata (untuk
prestasi memberikan sesuatu), dan Pasal 1239 KUH Perdata (untuk prestasi
berbuat sesuatu), selanjutnya terkait dengan wanprestasi tersebut, pasal
1243 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Penggantian biaya, rugi dan
bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan,
apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatanya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya,
hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah
dilampauinya.”

menjelaskan bahwa wanprestasi seorang debitur dapat didasarkan


empat alasan, yaitu:

1 Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;


2 Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
yang dijanjikan;
3 Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4 Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.

Selanjutnya, untuk menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan


wanprestasi haruslah terlebih dahulu dibuktikan agar dapat menuntut
kerugian yang diderita akibat perbuatan wanprestasi tersebut. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tanpa pembuktian terjadinya ingkar
janji (wanprestasi) maka tidak ada alasan dari pihak yang dirugikan untuk
meminta ganti kerugian atau meminta penghentian kontrak secara sepihak
(early termination).

Pasal 1238 KUH Perdata berbunyi: “Debitur dinyatakan Ialai dengan


surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari
perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus
dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Dalam hal ini
telah dijelaskan bahwa ada dua cara untuk membuktikan telah terjadinya
wanprestasi; yaitu wanprestasi yang akan ditentukan secara hukum dan
wanprestasi yang ditentukan berdasarkan perjanjian. Dan dalam hal ini,
pasal 1238 memberikan keleluasan bagi para pihak berkontrak untuk
menyepakati apakah tata cara penentuan wanprestasi akan diatur
berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan ketentuan yang akan
disepakati dalam kontrak. Artinya, pada saat prestasi para pihak tidak
dengan secara tegas mengatur cara terjadinya wanprestasi dalam kontrak,
maka ketentuan terjadinya wanprestasi tersebut haruslah dilakukan secara
undang-undang, dan apabila ketentuan wanprestasi tersebut telah secara
tegas diatur dalam kontrak, maka ketentuan ukuran wanprestasi dalam
kontraklah yang menjadi dasar telah terjadi atau tidaknya wanprestasi
tersebut.

Dengan kalimat lain, penentuan wanprestasi yang dilakukan secara


hukum berlaku sebagai Lex Generalis terhadap penentuan wanprestasi
yang telah dengan tegas disepakati dalam kontrak sebagai suatu hukum
yang bersifat Lex Specialis.4

4
Olivia Pintha Stepany Bakkara, Analisis Yuridis menganai Pemutusan Perjanjian Secara Sepihak Dalam
Perjanjian Kerjasama Antara PT. Trandeways International Dengan PT Sarana Pembnangunan Pelmbang
Jaya, Skripsi(Universitas Sumatera Utara), 2020 Hlm. 49-52.

Anda mungkin juga menyukai