Anda di halaman 1dari 10

Jawaban Soal Nomor 1

a. Jjsjd

b. Nsjs
Dalam hal ini, antara debitur dengan perusahaan finance (pembiayaan) kami asumsikan saling
terikat dengan adanya perjanjian kredit yang secara sederhana dikenal sebagai utang piutang.

Dalam suatu perikatan utang piutang, pada prinsipnya utang tersebut harus dilunasi oleh debitur.
Dan apabila debitur kemudian meninggal sebelum dilunasinya utang tersebut, maka utang
tersebut dapat diwariskan kepada ahli warisnya. Hal ini berdasarkan pada ketentuan hukum
perdata Pasal 833 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Pasal
tersebut menyatakan bahwa para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak
milik atas semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal. Sebagaimana
dikemukakan pula oleh J. Satrio, S.H. dalam bukunya “Hukum Waris” (hal. 8), bahwa warisan
adalah kekayaan yang berupa kompleks aktiva dan pasiva si pewaris yang berpindah kepada
para ahli waris.
Walaupun memang, tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke
tangannya (lihat Pasal 1045 KUHPerdata). Dan bagi ahli waris yang menolak warisan, dianggap
tidak pernah menjadi ahli waris (lihat Pasal 1058 KUHPerdata). Dalam hal para ahli waris telah
bersedia menerima warisan, maka para ahli waris harus ikut memikul pembayaran utang, hibah
wasiat dan beban-beban lain, seimbang dengan apa yang diterima masing-masing dari warisan
itu (lihat Pasal 1100 KUHPerdata). Lebih jauh, simak Tagihan Kartu Kredit Diwariskan ke
Anak-Cucu?
Kembali pada perjanjian kredit antara debitur dengan perusahaan pembiayaan. Pada intinya,
pada perjanjian kredit atau utang piutang tersebut berlaku hal yang sama sebagaimana telah
kami kemukakan di atas. Jadi, tidak ada istilah “pemutihan” atau penghapusan utang apabila
debitur meninggal. Terhadap utang, debitur maupun ahli warisnya tetap harus berusaha untuk
melunasinya.
Jawaban Soal Nomor 2

B. Artinya, apabila tidak bertentangan perjanjian tersebut sebenarnya dapat dilaksanakan, apalagi
tujuan utama dari perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali, adalah untuk menolong golongan
ekonomi lemah untuk memperoleh kredit. Dengan demikian perjanjian jual beli dengan hak untuk
membeli kembali diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan, ketertiban umum
dan kesusilaan sebagaimana Pasal 1337 KUHPerdata, Serta syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320
KUHPerdata yang menjelaskan : 1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2) Kecakapan untuk
membuat suatu perikatan; 3) Suatu hal tertentu; 4) Suatu sebab yang halal.

Dapat dilihat dalam pasal 1520 Kitab Undang-8QGDQJ +XNXP 3HUGDWD \DLWX ³ +DN membeli kembali
tidak boleh diperjanjikan untuk suatu waktu yang lebih lama dari lima tahun, jika hak tersebut
diperjanjikan untuk suatu waktu yang lebih lama, maka waktu itu diperpendek sampai lima tahun.13
Jual beli dengan hak membeli kembali disebutkan bahwa pihak penjual mempunyai hak untuk membeli
kembali barang yang telah dijualnya kepada pembeli dengan mengembalikan harga pembelian yang
telah diterimanya disertai semua biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak pembeli untuk
menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya, termasuk juga biaya-biaya pembetulan dan
pengeluaran-pengeluaran yang menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya. Sebenarnya jual
beli dengan hak membeli kembali adalah suatu pinjam meminjam uang yang dilakukan dengan jual beli
dengan kemungkinan penjual untuk membeli kembali barangnya jika telah memiliki uang. Dalam jual
beli ini ada suatu jangka waktu tertentu yang diperjanjikan untuk menebus kembali barang yang telah
dijual dan jangka waktu jual beli ini tidak boleh lebih dari lima tahun

c. Hjsdjsdj

d.
e. Somasi diatur dalam pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer):
f. “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu
telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si
berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.”
g. Selanjutnya, dalam pasal 1243 KUHPer diatur bahwa tuntutan atas wanprestasi suatu perjanjian
hanya dapat dilakukan apabila si berutang telah diberi peringatan bahwa ia melalaikan
kewajibannya, namun kemudian ia tetap melalaikannya. Peringatan ini dilakukan secara tertulis,
yang kemudian kita kenal sebagai somasi. Jadi, somasi berfungsi sebagai peringatan dari
kreditur kepada debitur untuk melaksanakan prestasi (kewajibannya).
h. Somasi bersifat memberikan peringatan. Biasanya dilakukan sampai 3 (tiga) kali
terhitung sejak saat jatuh tempo atau saat dimana si pihak yang menerima seharusnya
telah melakukan pemenuhan kewajiban berdasarkan perjanjian atau menurut undang-
undang. Karena bersifat peringatan, maka somasi harus melalui surat tertulis. Waktu
yang diberikan kepada pihak yang mempunyai kewajiban untuk memenuhi hutangnya
itu, haruslah waktu yang sepantasnya menurut keadaan tertentu. Yaitu, dengan melihat
kepentingan pihak yang mempunyai kewajiban dengan kepentingan pihak yang
mempunyai hak secara seimbang. Sehingga fungsi utama dari suatu somasi bagi yang
mempunyai hak adalah untuk menyatakan lalainya pihak yang mempunyai kewajiban.
i.
j. Somasi tidak diperlukan apabila tenggang waktu yang diberikan dalam perjanjian antara
para-pihak merupakan tenggang waktu yang mutlak. Somasi juga tidak
diperlukan apabila pihak yang mempunyai kewajiban menolak untuk mengadakan
pembayaran, atau dalam hal ia telah memenuhi kewajibannya, akan tetapi tidak
dilakukan secara sempurna. Juga pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu, dalam
hal mana pada umumnya, tidak diperlukan satu somasi, karena dengan melaksanakan
perbuatan yang bertentangan dengan apa yang tidak boleh diperbuat saja, maka sudah
mengakibatkan pihak itu lalai dalam memenuhi kewajibannya. Persoalan somasi ini
diatur dalam pasal 1243 dan pasal 1238 KUH Perdata.

EEEEE

https://abpadvocates.com/catat-inilah-upaya-hukum-yang-dapat-dilakukan-jika-terjadi-
wanprestasi/

Oleh karena adanya wanprestasi debitor atau pihak yang mempunyai


kewajiban dalam melaksanakan prestasi atas kontrak mengakibatkan hal-hal
sebagai berikut:

1. Harus mengganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak lain
yang memiliki hak untuk menerima prestasi tersebut (Pasal 1243 BW);
2. Harus Pemutusan kontrak yang dibarengi dengan pembayaran ganti
kerugian (Pasal 1267 BW);
3. Harus menerima peralihan resiko sejak wanprestasi tersebut terjadi
(Pasal 1237 ayat (2) BW);
4. Harus menanggung biaya perkara jika perkara tersebut dibawa ke
pengadilan (Pasal 181 ayat (2) HIR).

Jawaban Soal Nomor 3

Apa akibat hukum bagi Kreditor pemegang HT jika pada hari kelima persyaratan
bagi pendaftaran HT sudah dipenuhi ternyata objek HT telah terbebani sita jaminan.
Jelaskan!
Kekuatan hukum sita jaminan yang ditetapkan sah dan berharga oleh pengadilan atas objek yang sudah
dibebani hak tanggungan akan dikaji melalui apa yang sudah diatur mengenai Hak Tanggungan seperti
yang telah diatur dalam pasal 1 ayat (1) UUHT danjuga yurisprudensi putusan MA No.394K/Pdt/1984
tanggal 31 Mei 1985 menegaskan, barang yang sudah dijadikan jaminan kredit kepada BRI tidak
dapat dikenakan sita jaminan (CB). Mengenai tata cara pemberian sita penyesuaian, perlu diperhatikan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1326 K/Sip/1981 tanggal 19 Agustus 1982 yang menyebutkan
jika barang yang hendak disitajaminankan telah disita dalam perkara lain, atau telah dijaminkan
kepada orang lain atau telah disita eksekusi, Pengadilan Negeri hanya boleh memberi dan
melakukan sita penyesuaian (vergelijkendebeslag) dengan jalan mencatat dalam berita acara bahwa
barang yang bersangkutan telah dan sedang berada di bawah sita jaminan atau diagunkan kepada
pihak lain.

Sertifikat hak tanggungan yang merupakan tanda bukti adanya hak tanggungan yang
diterbitkan oleh Kantor pertanahan dan yang memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti
grosseacteHypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Demikian ditentukan dalam Pasal
14 ayat (1), (2), dan (3) UUHT. Dengan demikian untuk melakukan eksekusi terhadap hak
tanggungan yang telah dibebankan atas tanah dapat dilakukan tanpa harus melalui proses
gugat-menggugat (proses litigasi) apabila debitur cidera janji. Apabila akan melakukan
eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi
utang debitur dalam hal debitur cidera janji,
pemegang hak tanggungan dapat langsung
datang dan meminta kepada Kepala Kantor
Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek
Hak Tanggungan yang bersangkuan.
Karena kesamaan kekuatan hukum antara
putusan pengadilan yang menyatakan sita
jaminan sah dan berharga dengan pemegang
hak tanggungan, maka apabila terjadi
kekeliruan atau kelalaian mengabulkan sita di
atas barang yang diagunkan, misalnya dengan
barang yang diikat dengan hak tanggungan,
pasti terjadi tabrakan antara pemegang sita
jaminan dengan pemegang hak tanggungan,
dan tabrakan itu dapat menimbulkan
penyelesaian yang rumit, karena masingmasing pihak mengatakan dirinya yang lebih
unggul prioritasnya. Maka atas dasar itu
pengadilan atau hakim dilarang mengabulkan
dan meletakkan sita jaminan terhadap barang
yang diagunkan dan dijaminkan pada waktu
yang bersamaan, permohonan sita terhadap
barang yang sedang diagunkan harus ditolak,
demi melindungi kepentingan pihak pemegang
agunan. Yang dapat diberikan pengadilan atas
permintaan sita hanya sebatas sita penyesuaian
saja.
Pada Putusan Mahkamah Agung RI No
394K/Pdt/1984 tanggal 31 Mei 1985 disebutkan
tidak dibenarkan sita jaminan terhadap agunan
yang sudah menjadi jaminan utang kepada
bank, karena peranan perbankan sebagai
lembaga keuangan untuk menggerakkan
perekonomian masyarakat, sangat
berkeberatandijatuhkannya sita jaminan atas
barang tersebut. Mengingat fungsi perbankan
perlu dilindungi untuk menghindari adanya
kredit macet dan akan menyulitkan
perekonomian nasional. Dan Putusan
Mahkamah Agung RI No 394K/Pdt/1984 tanggal
31 Mei 1985 menguatkan ketentuanPasal 1
butir (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-benda yang berkaitan dengan tanah,
adalah:
“Hak Tanggungan atas tanah beserta bendabenda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, berikut atau tidak berikut bendabenda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lain”.16
Tujuan dari Hak Tanggungan ini adalah
untuk memberi jaminan yang kuat bagi kreditur
yang menjadi pemegang hak tanggungan itu
untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain.
Karena sejak diberlakukannya Undang-Undang
Hak Tanggungan, maka hak tanggungan
merupakan satu-satunya jaminan atas tanah.
Seorang pemegang hak tanggungan
mempunyai hak yang disebut hak preferent,
maksudnya adalah hak yang diberikan oleh
hukum kepada kreditur pemegang hak
tanggungan bahwa apabila debiturnya cidera
janji maka kreditur berhak menjual harta
debitur melalui pelelangan umum tanah yang
dijadikan jaminan menurut ketentuan
perundang-undangan yang bersangkutan
sebagai perwujudan dari hak kreditur
pemegang hak tanggungan untuk didahulukan
dari para kreditur
Jadi bila terhadap hak tanggungan itu
diletakkan sita oleh pengadilan, berarti
pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dari kreditur
pemegang hak tanggungan.

Jawaban Nomor 4

Apabila terjadi benda jaminan sudah dijaminkan dengan Jaminan Fidusia kemudian
tanpa sepengetahuan penerima fidusia digadaikan kepada pihak ketiga (Pemegang
Gadai), siapakah yang mendapatkan perlindungan hukum antara Penerima Fidusia
Dan Pemegang Gadai. Jelaskan!

Di dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU
Fidusia”), pemberi fidusia dapat menggadaikan benda yang dijadikan jaminan fidusia, asalkan ada
persetujuan tertulis dari penerima fidusia. Akan tetapi, apabila Anda tidak mendapat persetujuan tertulis
dari penerima fidusia (dalam hal ini perusahaan pembiayaan), maka berdasarkan Pasal 36 UU Fidusia,
Anda diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000
(lima puluh juta) rupiah.

Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia


“Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada pihak lain
Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali
dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia.”

Pasal 36 UU Fidusia
“Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi
objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa
persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta) rupiah.”

Sedangkan untuk pihak ketiga sebagai penerima barang gadai, terlepas dari apakah pihak ketiga
tersebut mengetahui atau tidak mengetahui bahwa barang tersebut telah dijadikan jaminan fidusia, pihak
ketiga tersebut tidak dilindungi oleh hukum. Ini karena pada prinsipnya ketentuan mengenai larangan
menggadaikan benda jaminan fidusia telah diatur dalam undang-undang. Dengan demikian, semua orang
dianggap mengetahuinya dan (kami berasumsi jaminan fidusia telah didaftarkan) karena jaminan fidusia
tersebut telah didaftarkan maka dianggap semua orang dapat memeriksa pada Kantor Pendaftaran
Fidusia.

Pada sisi lain, J. Satrio dalam bukunya yang berjudul Hukum Jaminan: Hak Jaminan Kebendaan
Fidusia membahas masalah Kantor Pendaftaran Fidusia yang hanya ada di kota-kota besar. J. Satrio
(hal. 245) - sebagaimana kami sarikan – mengatakan bahwa pendaftaran dimaksudkan agar mempunyai
akibat terhadap pihak ketiga. Dengan pendaftaran, maka pihak ketiga dianggap tahu ciri-ciri yang melekat
pada benda yang bersangkutan dan adanya ikatan jaminan dengan ciri-ciri yang disebutkan di sana, dan
dalam hal pihak ketiga lalai untuk memperhatikan/mengontrol register/daftar, maka ia harus memikul
risiko kerugian sendiri. Namun, sehubungan dengan adanya Kantor Pendaftaran Fidusia hanya terbatas
di kota-kota besar, apakah bisa dan patut diharapkan, bahwa orang yang hendak mengoper suatu benda
tidak-atas-nama akan mengecek terlebih dahulu ke Kantor Pendaftaran Fidusia sebelum menutup
transaksi mengenai benda tersebut? Ini membawa konsekuensi yang cukup besar terhadap pihak ketiga,
termasuk pemegang gadai, yang beritikad baik.

Selain itu, apabila pemberian gadai tersebut disetujui secara tertulis oleh penerima fidusia, karena
jaminan fidusia juga merupakan hak kebendaan, maka ada kemungkinan prinsip hak kebendaan akan
diberlakukan yaitu hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Akan
tetapi, J. Satrio juga masih mempertanyakan hal tersebut karena selama ini prinsip tersebut hanya
diberlakukan pada hak kebendaan dari jenis yang sama, seperti umpamanya gadai pertama, kedua, dan
selanjutnya, hipotik pertama, kedua, dan selanjutnya, hak tanggungan pertama, kedua, dan selanjutnya.

Sehingga, pada dasarnya akibat hukum bagi pihak ketiga dari pemberian gadai atas benda yang telah
dijadikan jaminan fidusia adalah tidak adanya perlindungan hukum yang pasti bagi penerima gadai untuk
mengambil pemenuhan pembayaran dari eksekusi benda jaminan jika debitur wanprestasi.

Dasar Hukum:
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Jawaban Soal Nomor 5

Jelaskan tentang Kreditor Separatis dan siapa sajakah yang dapat menjadi Kreditor
Separatis?

Dasar hukum perbedaan kedudukan kreditor dalam kepailitan diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (“KUH Perdata”) sebagai berikut:

Pasal 1131 KUH Perdata:


“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah
ada, maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan”

Pasal 1132 KUH Perdata:


“Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbanganya itu
menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada
alasan-alasan yang sah untuk didahulukan”.

Pasal 1134 KUH Perdata:


“Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang
sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya. Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa,
kecuali dalam hal-hal di mana olehUndang-Undang ditentukan sebaliknya”.

Pasal 1135 KUH Perdata:


“Di antara orang-orang berpiutang yang diistimewakan, tingkatannnya diatur menurut berbagai-
bagai sifat hak-hak istimewanya”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, Kreditor dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

Pertama adalah Kreditor Separatis yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 1134
ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. Saat ini jaminan-jaminan kebendaan yang diatur di
Indonesia adalah:

- Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata);

- Fidusia (UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia);

- Hak Tanggungan (UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-
Benda yang Berkaitan Dengan Tanah)

- Hipotik Kapal (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata)

- Resi Gudang (UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 9 Tahun 2011)

Kedua adalah Kreditor Preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya
oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor Preferen terdiri dari Kreditor preferen khusus,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan Kreditor Preferen Umum, sebagaimana diatur
dalam Pasal 1149 KUH Perdata.

Ketiga adalah Kreditor Konkuren yaitu kreditor yang tidak termasuk dalam Kreditor Separatis dan Kreditor
Preferen (Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata).

Perbedaan kreditor separatis dengan kreditor konkuren adalah kreditor separatis memiliki hak untuk
melakukan eksekusi objek jaminannya seolah-olah tanpa terjadinya kepailitan (Pasal 55 UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan mendapatkan
pembayaran piutang terlebih dahulu daripada kreditor konkuren. Pembagian hasil penjualan harta pailit,
dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditor yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan
pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang
memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte).

Jawaban Soal Nomor 6

Berikan alasan mengapa ada SKMHT dan bagaimanakah jika pemberi SKMHT
meninggal dunia. Jelaskan!

Pasal 15 ayat (2) UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UUHT”) mengatur
bahwa Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (“SKMHT”) bersifat tidak
dapat ditarik kembali dan tidak berakhir oleh sebab apapun juga, kecuali
karena telah dilaksanakan atau karena habis masa berlakunya.

“Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali


atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa
tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)”

Selanjutnya, apabila kita lihat pada pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) UUHT, diatur
bahwa SKMHT wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT):

1. Untuk tanah yang telah terdaftar: selambat-lambatnya 1 bulan setelah


pemberian SKMHT;
2. Untuk tanah yang belum terdaftar: selambat-lambatnya 1 bulan setelah
pemberian SKMHT.

Pengecualian dari ketentuan pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) adalah untuk jenis-
jenis kredit tertentu (pasal 15 ayat [5] UUHT). Jenis-jenis kredit ini sendiri diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 Tahun 1996
tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu
(“Permen Agraria”). Salah satu jenis kredit yang dikecualikan menurut Permen
Agraria ini adalah Kredit produktif yang diberikan oleh Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat dengan plafon kredit tidak melebihi Rp50 juta. Untuk kredit
jenis ini, SKMHT berlaku sampai berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok
yang bersangkutan.

Merujuk pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk kasus Anda (kredit
dengan plafonnya kurang dari Rp50 juta) berlaku pengecualian sebagaimana
diatur dalam Permen Agraria tersebut. Dengan demikian, SKMHT-nya berlaku
sampai berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok yang bersangkutan, dan
masih dapat di-APHT-kan walaupun pemberi APHT meninggal dunia.

Anda mungkin juga menyukai