Anda di halaman 1dari 11

MODUL PERTEMUAN 6

TEORI PERUNDANG-UNDANGAN

4.4.1. Asas tujuan yang jelas atau asas Kejelasan Umum


Asas ini terdiri dari tiga tingkat :
1) kerangka kebijakan umum bagi peraturan yang akan dibuat
2) tujuan tertentu dari peraturan yang akan dibuat
3) tujuan dari berbagai bagian dalam peraturan
Dalam ketiga tingkat ini tujuan harus terlihat jelas.
Latar belakang dari lahirnya asas ini adalah Di abad ke-19 tujuan dari pembuatan peraturan
perundang-undangan adalah terutama untuk mengkodifikasikan hukum yang ada. Tujuan ini sudah
sedemikian jelas, sehingga tidak membutuhkan uraian lebih lanjut. Dalam perkembangan di abad
lalu dan abad ini terjadi perubahan dalam sifat peraturan perundang-undangan. Melalui peraturan
perundang-undangan, pemerintah ingin mengubah hubungan sosial yang ada. Sebelum suatu
undang-undang diterapkan, pihak-pihak yang berkepentingan harus diyakinkan bahwa tujuan yang
ingin dicapai dengan peraturan itu memang nilai yang ingin dikejar.
Untuk dapat menyatakan dengan jelas tujuan yang ingin dicapai, pembuat peraturan
perundang-undang pertama-tama perlu memberikan uraian yang cukup mengenai keadaan-
keadaan nyata yang ingin diatasi oleh suatu peraturan. Selanjutnya, perlu dikemukakan perubahan-
perubahan apa yang dikehendaki melalui peraturan itu terjadi atas situasi nyata yang ada, serta
harus diuraikan bagaimana ketentuan-ketentuan dalam peraturan itu akan menimbulkan
perubahan-perubahan tersebut.
Dalam uraian tersebut perlu dimuat ikhtisar mengenai kebaikan dan keburukan. Masuk
akal bahwa pembuat peraturan mengenai situasi yang ada yang ingin diubahnya itu. Perubahan
atas tata cara pemilihan Presiden, misalnya, dilakukan ketika politisi melihat tuntutan Demokrasi
langsung sedemikian besarnya pada masyarakat Indonesia sebagai akibat dari Bias yang demikian
besar dalam demokrasi perwakilan yang dilakukan pada saat itu.
Pertanyaan yang releven muncul adalah seberapa dalam pengetahuan yang harus dimiliki
mengenai situasi nyata yang ada, sebelum orang mulai bertindak mengubah peraturan yang
berlaku atau membuat peraturan yang baru. Bila untuk setiap perubahan peraturan diharuskan
adanya penelitian mendalam atas kenyataan-kenyataan yang ada, ini akan sangat memperlambat
tempo lahirnya peraturan baru. Umumnya, dalam membuat peraturan baru yang sifatnya penting,
orang akan menambah jumlah lembaga pemberi saran dalam rangka memperoleh keterangan yang
dibutuhkan. Pembuat peraturan, dengan demikian, akan memperoleh cukup gambaran mengenai
situasi yang ada sehingga mampu menyatakan bagaimana ia akan mengadakan perubahan sosial
melalui peraturannya itu ke arah yang dikehendakinya.
Tahap berikutnya adalah perumusan tujuan peraturan. Ada beberapa metode yang dapat
dipakai. Tujuan itu dapat dinyatakan secara umum, misalnya terciptanya partisifasi masyarakat
yang lebih baik sehingga dukungan masyarakatpun akan baik. Tujuan itu dapat juga dinyatakan
secara instrumental, misalnya, menyatakan tingkat jumlah penduduk yang bagaimana yang
dinyatakan sebagai partisifasi yang bai serta jumlah standar minimal berapa yang dikatagorikan
partisifasi masyarakat masih dianggap wajar.
Yang pokok bagi asas tujuan yang jelas ini lepas dari metode mana pun yang digunakan
adalah adanya uraian yang jelas mengenai kepentingan-kepentingan yang tersangkut pada
peraturan yang akan dikeluarkan itu serta keterangan tentang bagaimana kepentingan-
kepentingan ini diperbandingkan satu sama lain. Dengan cara ini akan jelas dengan cara bagaimana
pembuat peraturan akan melayani kepentingan umum.
Dengan demikian sebelum suatu peraturan dirancang, tujuan-tujuan yang mendasarinya
yaitu apa yang ingin dicapai oleh pembuat undang-undang dengan peraturan itu harus
dikemukakan secara lengkap serta dirumuskan secara teliti.’ Perumusan ini sangat bersifat
instrumental. Tidaklah cukup jika orang ingin mewujudkan suatu tujuan yang dirumuskan secara
umum, misalnya terwujudnya suatu pemerintahan yang demokratis dengan sifat yang lebih
terbuka. Pembuat peraturan harus menyatakan tujuan itu secara lebih rinci, misalnya pemerintah
hendaknya atas prakarsanya sendiri mulai lebih banyak mengumumkan dokumen-dokumen untuk
partisifasi masyarakat, dan dalam bentuk apa partisifasi itu dapat diberikan, dan seterusnya.
Masalahnya, tentu saja, ialah apakah pada setiap jenis peraturan perundang-undangan hal ini
dimungkinkan.
Seperti telah dikatakan di atas, tujuan harus diberikan di ketiga tingkatan,yaitu kerangka
umum kebijakan bagi peraturan yang akan dikeluarkan. Kerangka ini dapat dirumuskan di dalam
penjelasan pemerintah, di dalam pidato kenegaraan, di dalam penjelasan APBN atau di dalam nota
kepada DPR mengenai berbagai peraturan perundang-undangan yang diinginkan. Dengan
demikian, semua peraturan yang berkaitan dengan penghasilan harus ditempatkan dalam kerangka
kebijakan umum penghasilan. Hubungan antara meta-tingkat dan peraturan yang bersangkutan
harus selalu dinyatakan dengan jelas. Hanya dengan inilah tujuan suatu peraturan tertentu dapat
terlihat relief-nya.
Pada beberapa peraturan, tujuan yang resmi itu bukan tujuan yang sebenarnya. Dalam hal
demikian, orang berbicara mengenai peraturan perundang-undangan simbol. Peraturan
perundang-undangan simbol itu digunakan untuk tujuan politik. Orang mendapat kesan adanya
pengaturan atas hal-hal tertentu, yang dalam kenyataannya tidak. Untuk memuaskan pressure-
group atau kelompok-kelompok para pemilih, ditimbulkan kesan bahwa peraturan yang mereka
usulkan telah dibuat. Bahwa suatu peraturan mempunyai makna simbolik, seringkali dapat dilihat
dari sarana-sarana yang digunakan untuk mewujudkannya. Undang-undang Perlakuan Sama antara
Pria dan Wanita dapat dilihat sebagai contoh dari undang-undang simbol. Untuk mewujudkan
sasaran-sasaran undang-undang ini tidak disiapkan instrumen-instrumen yang diperlukan, dan di
dalam praktek pun hampir tak pernah ada pengujian terhadap undang-undang ini. Pembuat
undang-undang tidak perlu lagi khawatir akan adanya tuduhan bahwa ia tidak mendorong adanya
perlakuan yang sama antara pria dan wanita; ia dapat merujuk pressure-group yang bersangkutan
ke undang-undang ini.
Dari pertentangan kepentingan politis versus yuridis ini di dalam merumuskan tujuan,
terlihat sifat ganda dari peraturan hukum : semakin politis suatu undang-undang, semakin pula asas
tujuan yang jelas ini menjadi sekedar pemanis bibir. Meskipun begitu, ini tidak mengurangi
kenyataan bahwa praktek hukum sangat terbantu oleh adanya suatu norma yang jelas. Khususnya
DPRlah yang mengawasi apakah tujuan yang telah dirumuskan itu telah sesuai dengan apa yang
dimuat dalam teks undang-undang, dan apakah tujuan itu dapat diwujudkan melalui isi undang-
undang.
Tingkatan ketiga dari asas tujuan yang jelas adalah: apa tujuan dari masing-masing bagian
dalam undang-undang?
Tujuan masing-masing dari bagian UU ini tentunya harus mengacu pada tujuan pembuatan
UU tersebut. Apabila asas tujuan yang jelas diikuti dengan baik, evaluasi atas peraturan itu jika ini
dibutuhkan akan sangat dipermudah. Evaluasi akan semakin dipermudah sejalan dengan semakin
suatu tujuan dirumuskan secara instrumental. Memang hampir tak mungkin untuk mengawasi
apakah penerapan suatu peraturan misalnya UU Keterbukaan Pemerintahan telah memperkuat
sifat demokratis masyarakat: sebaliknya, adalah mungkin untuk meneliti apakah pemerintah telah
menyatakan terbuka dokumen atas prakarsa sendiri atau untuk meneliti jenis dan jumlah
permohonan untuk menyatakan terbuka suatu dokumen. Dalam hal semacam ini pun sulit untuk
mengadakan penelitian evaluasi yang jujur. Khususnya, tidak selalu dapat dipastikan apakah efek
yang timbul itu adalah (terutama) akibat dari peraturan yang dikeluarkan itu. Efek yang
bersangkutan dapat ditimbulkan oleh peraturan itu, tetapi dapat juga akibat dari penerapan suatu
peraturan lain, efek gabungan dari beberapa peraturan, atau sama sekali tidak diciptakan oleh
peraturan mana pun, tetapi akibat dari perubahan pandangan di dalam masyarakat. Masyarakat
tidak boleh dianggap sebagai suatu situasi laboratorium yang di dalamnya suatu peraturan dapat
dipelajari secara terpisah dari peraturan atau peristiwa-peristiwa lainnya.
Minat atas evaluasi peraturan perundang-undangan akhir-akhir ini meningkat. Namun
pembentuk undang-undang di Indonesia belum mencantumkan pasal untuk kewajiban melakukan
evaluasi dari suatu UU.
Masalah-masalah serupa menyulitkan pula untuk dapat menyatakan dari sebelumnya apa
efek suatu peraturan; paling banter, orang hanya dapat menyatakan capaian hasil yang bagaimana
yang akan memuaskan pembuat undang-undang.
Bagi praktek hukum, suatu tujuan jelas yang terlihat dalam konsiderans, penjelasan
ataupun dokumen lain yang menyertai, sangatlah penting. Tujuan ini memberikan bagi setiap orang
yang tersangkut dalam pelaksanaan suatu undang-undang, suatu petunjuk yang baik untuk
mengetahui maksud pembuat peraturan. Usaha mencari kehendak pembuat undang-undang
menjadi jauh lebih mudah, dan ini penting, khususnya jika ada cacat di dalam peraturan yang
bersangkutan.
Melalui cara ini pun dapat diperoleh penafsiran yang lebih seragam atas suatu peraturan. Di
sini, hakim menjadi pihak yang berkepentingan : suatu penjelasan yang berasal dari pembuat
peraturan atas pekerjaannya sendiri akan sangat memperingan tugas hakim pada umumnya; juga
jika halnya menyangkut penafsiran analogi ataupun a contrario.

4.4.2. Asas organ yang tepat atau Asas kelembagaan


Asas ini menghendaki agar suatu organ memberi penjelasan bahwa pembuatan suatu
peraturan tertentu memang masuk dalam kewenangannya, dan agar suatu organ, khususnya
pembuat undang-undang, memberi-alasan mengapa ia tidak melaksanakan sendiri pengaturan atas
suatu materi tertentu, tetapi menugaskannya kepada organ lain.
Asas ini merupakan kelanjutan logis dari asas tujuan yang jelas. Jika suatu saat sudah jelas
apa yang harus dilakukan, selanjutnya akan dilihat siapakah yang harus melakukannya. Asas ini
bertujuan menjalankan pembagian kewenangan sebagaimana yang telah ditetapkan secara
konstitusional di dalam undang-undang dan yurisprudensi. Materi-materi yang penting harus
dimuat dalam undang-undang; hal-hal yang kurang penting dimuat dalam peraturan yang lebih
rendah dan seterusnya. Apa yang menurut sifatnya termasuk dalam kewenangan badan-badan
lebih rendah, harus diatur oleh badan-badan itu sendiri.
Alokasi kewenangan pada organ-organ lebih rendah pun harus dilakukan sedemikian,
sehingga tugas yang dialokasikan itu bersifat nyata, ada koordinasi yang baik, dan ada kaitan dengan
tugas-tugas lain organ yang bersangkutan.
Pembagian kewenangan antara berbagai organ, sebagiannya dimuat di dalam UUD.
Pembagian ini sebagian agak jelas, sebagian diserahkan kepada praktek hukum. Contoh dari
pembagian kewenangan yang boleh dikata jelas, dapat ditemukan dalam pasal 5 ayat (1), pasal 5
ayat (2), Pasal 22, Pasal 24, UUD 1945 setelah perubahan. Bagi hal-hal lainnya yang tidak dimuat
dalam UUD, dapat timbul masalah-masalah penafsiran. Masalah ini umumnya menyangkut
hubungan antara pembuat undang-undang dan pemerintah, pemerintah dan menteri, serta
pemerintah pusat dan Pemerintah daerah.
Kesulitan atau perbedaan pendapat apa yang dapat timbul dalam pembagian kewenangan
antar organ-organ pemerintah pusat satu sama lainnya, dapat disimpulkan bahwa jika dari
tujuannya terlihat bahwa hal yang menyangkut suatu ketentuan-yang-mengikat-rakyat atau
menyangkut suatu keputusan yang bersifat mendalam, maka, menurut pendapat sebagian orang,
pembuat undang-undang harus bertindak.
Mengenai hubungan antara pembuat undang-undang dan pemerintah atau menteri pada
khususnya, orang dapat menyimpulkan dari sejarah UUD bahwa dalam membuat undang-undang
orang harus selalu mengusahakan agar ketentuan-ketentuan yang pokok dimuat di dalam undang-
undang itu sendiri. Konsekwensi dari pendapat ini adalah jumlah ketentuan delegasi dalam suatu
peraturan sedapat mungkin dibatasi. Jika demi keluwesan dalam penetapan norma, suatu delegasi
perlu diadakan, batas-batas delegasi itu sedapat mungkin harus dimuat dalam undang-undang. Di
sini penerima delegasi perlu memperhatikan dalam keadaan bagaimana serta untuk maksud apa
kewenangan yang didelegasikan itu boleh digunakan.”Adanya suatu teks yang lengkap sangat
membantu mereka yang harus melaksanakan undang-undang karena mereka dapat memahami
undang-undang itu secara garis besar.
Aspek lain dari asas ini adalah pembagian kewenangan antara organ pusat dan daerah.
Peraturan-peraturan di tingkat pusat umumnya dan memang sewajarnya banyak memuat
kebebasan kebijakan, setidak-tidaknya kewenangan, bagi organ pusat atas hal-hal penting, serta
peraturan-peraturan pelaksanaan bagi badan-badan lebih rendah.1 Dalam rangka deregulasi,
problematika ini perlu diberi perhatian. Adanya dua peraturan yang sama-sama berjalan yang
masing-masing berasal dari organ yang berbeda menimbulkan khususnya ketakjelasan dalam
memahami peraturan.
Situasi saat ini yang dirasakan kurang memuaskan adalah hasil dari suatu proses panjang
yang di dalamnya pembuat undang-undang pusat, berdasarkan pertimbangan kesamaan hukum
dan kesatuan hukum, bertindak merumuskan kembali tugas-tugas yang umumnya sudah
dilaksanakan oleh propinsi dan Kabupaten/kota secara otonom dan selanjutnya menyerahkan
kembali seluruhnya atau sebagiannya sebagai tugas pembantuan.

1 Bdk. L.G. van Reijnen, Algemene beginselen van decentrale regelgeving, dalam : Regel Maat (1986), hlm. 3 dst.
Sebagai bahan bandingan untuk hal ini diBelanda misalnya sudah dibuat pedoman dalam
hal pembagian kewenangan ini yang intinya adalah :
Pedoman keberhematan peraturan menghendaki agar diusahakan pembagian
tugas yang sejelas mungkin antara pemerintah pusat dan badan-badan umum
lebih rendah.
Yang menjadi titik sentral di situ adalah menghindarkan keharusan untuk
mengeluarkan atau melaksanakan peraturan secara bersama-sama. Karena itu,
otonomi yang ada sedapat mungkin tidak dikutak-kutik, dan perumusan kembali
yang dilakukan oleh pemerintah perlu diberi penjelasan yang lengkap. Dalam
sarannya atas UU Wisma Jompo, Raad masih bersikap lunak terhadap praktek
akrobat kewenangan yaitu kewenangan mula-mula diserahkan kepada kotapraja
dan kemudian diambil kembali. 2 Tweede Kamer telah pula menyinggung hal ini,
tetapi toh membiarkannya pula.

Pelaksanaan asas ini penting bagi praktek, melalui penjelasan atas delegasi, DPR dapat
menilai apakah asas ini tepat untuk diletakkan di luar pengaturan atas masalah-masalah tertentu,
tanpa mengurangi kewajiban dan tanggung jawab. Selain itu, asas ini penting pula bagi hakim.
Seperti diketahui, hakim harus menilai apakah suatu peraturan telah dibuat oleh organ yang
berwenang; jika tidak, peraturan itu takmengikat Untuk itu hakim harus selalu mengetahui batas-
batas delegasi. Ia juga akan menengok kembali ke tujuan dari suatu undang-undang untuk menilai
kewenangan yang ada.

4.4.3. Asas Kemendesakan


Jika tujuan sudah terumus dengan jelas, masalah berikutnya ialah apakah tujuan itu
memang harus dicapai dengan suatu peraturan. Asas ini lahir dari kenyataan dalam masyarakat,
dimana bila timbul sesuatu yang dirasakan tak adil, hampir otomatis akan langsung meminta
bantuan pembuat peraturan perundang-undangan.
Masalah yang dirasakan tak adil diminta untuk diatur kembali dengan baik dalam undang-
undang atau, jika kepercayaan pada pembuat undang-undang agak berkurang, harus dibuat suatu
rencana yang menjelaskan bagaimana situasi yang akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.
Dalam rangka deregulasi orang ingin memperkecil reaksi positif terhadap permintaan masyarakat
ini dan setiap kali mengajukan pertanyaan terhadap suatu peraturan : apakah peraturan itu
memang mendesak untuk dibuat dan, kalau ya, dalam bentuk apa peraturan itu harus dituangkan.

2 TK 18 710, B-C, hlm. 2


Terhadap hal tersebut pemerintah diharapkan oleh masyarakat untuk (jika halnya
menyangkut pembuatan peraturan perundang-undangan) mengajukan berbagai alternatif kepada
DPR. DPR kemudian akan mendapat gambaran mengenai berbagai kemungkinan yang ada dan akan
lebih mampu untuk menilai kegunaan dari rancangan yang dibuat oleh pemerintah itu. Seperti
diketahui, DPR tidak mempunyai alat perlengkapan sendiri untuk mengembangkan alternatif-
alternatif.
Untuk melaksanakan deregulasi yang dipahami sebagai usaha ke arah peraturan
perundang-undangan yang sederhana dan tidak berlebih-lebihan secara terkoordinasi, pemerintah
harus membentuk suatu komisi yang bertugas mengembangkan kriteria umum, yaitu Komisi
Pengurangan dan Penyederhanaan peraturan.3 Selain mengembangkan kriteria umum, komisi ini
bertugas pula memberikan saran-saran terhadap rancangan peraturan perundang-undangan dari
sudut deregulasi. Di samping komisi umum ini masih masih diperlukan pula komisi di bidang
tertentu. Sebagai bahan bandingan di Belanda telah dibentuk pula 4 komisi di bidang tertentu,
yaitu :
- Komisi yang berkaitan dengan pengembangan ekonomi, yang kegiatan-kegiatannya
belakangan dialihkan ke proyek penyiapan program kegiatan deregulasi di bidang pasar tenaga
kerja dan penciptaan lapangan kerja serta penelitian peraturan perundang-undangan
mengenai penataan sosial ekonomi dan peningkatan mutu kemungkinan deregulasi;
- Program kegiatan deregulasi di bidang pemeliharaan lingkungan hidup dan tata ruang;
- Program kegiatan penyerasian dan penyederhanaan instrumen pendukung dunia usaha;
- Program kegiatan deregulasi di bidang tata bangunan (perumahan)
Komisi-komisi ini mengkaji peraturan-peraturan yang ada untuk melihat apakah peraturan-
peraturan itu dapat disederhanakan. Jadi, upaya deregulasi ditujukan ke peraturan perundang-
undangan di bidang sosial-ekonomi, tata-ruang dan pemeliharaan lingkungan. Banyak saran dari
komisi-komisi ini telah diterapkan di dalam peraturan perundang-undangan yang ada. Walaupun
begitu, kegiatan dari berbagai komisi ini tidak menimbulkan pengurangan drastis dalam peraturan
perundang-undangan. Usaha deregulasi ini pun tidak mengakibatkan makin berkurangnya RUU
yang diajukan kabinet yang sekarang ini ke Tweede Kamer dibandingkan dengan kabinet-kabinet
sebelumnya; sebaliknya, kecenderungan yang sudah ada untuk membuat lebih banyak undang-
undang malah makin kuat. Ini terlihat, antara lain, dari laporan tahunan Raad van State tahun
1984.4 Ini dapat berarti bahwa pemantauan deregulasi seperti yang dilakukan di tingkat

3 J. Nicaise, Het eindbericht van de comissie-Geehoed, 1984, hlm. 33.


4 Laporan Tahunan Raad van State, 1984 dan 1985
departemen kurang berhasil.5 Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh peraturan
perundang-undangan dianggap penting. Mengacu pada pengalaman di Belanda apakah di
Indonesia akan dibentuk komisi-komisi tersebut tentu akan sangat tergantung pada keberhasilan
dari tiap departemen yang ada untuk melakukan deregulasi secara terkoordinasi.
Perlindungan atas pihak-pihak yang secara sosial lemah, yang ingin dicapai oleh sebagian
dari peraturan perundang-undangan itu, agaknya dilanggar oleh deregulasi yang terlalu jauh. Hal
yang sama agaknya dapat dikatakan pula menyangkut perlindungan atas lingkungan hidup. Titik-
berat deregulasi mungkin harus diletakkan pada usaha menemukan konstruksi peraturan
perundang-undangan yang sederhana dan jelas.
Pembuatan suatu peraturan dirasakan berlebih-lebihan, jika tujuan yang diinginkan dapat
pula dicapai tanpa peraturan tersebut. Ini dapat dirangsang oleh pemerintah dengan memberi
ancaman bahwa pemerintah akan mengatur sendiri masalahnya, bila pihak-pihak yang
bersangkutan tidak mau menyelesaikan ‘sendiri’ masalahnya. Hal ini sering terjadi di dalam
perundingan dengan mitra sosial.
Jika sudah diputuskan bahwa perlu dibuat suatu peraturan, langkah wajar selanjutnya
adalah membuat peraturan termaksud seringkas mungkin. Dengan cara ini ketentuan-
ketentuannya akan lebih singkat dan jelas. Kemungkinan lain di sini ialah meminta pihak-pihak yang
bersangkutan untuk membuat sendiri pengaturan lebih lanjut. Penghapusan peraturan-peraturan
yang dirasa berlebih-lebihan, dilakukan melalui ketentuan-ketentuan pengujian perundang-
undangan.
Asas ini terutama penting dalam tahap proses pembentukan suatu peraturan. Asas ini tidak
dipakai sebagai dasar pengujian oleh hakim. Asas ini pada umumnya penting bagi praktek hukum
karena asas ini mendorong adanya kejelasan atas keseluruhan peraturan perundang-undangan.

4.4.4. Asas kemungkinan-pelaksanaan (Dapat dilaksanakan)


Di dalam literatur, asas ini disebut pula asas kemungkinan-penegakan. Asas ini menyangkut
jaminan-jaminan bagi dapat dilaksanakannya apa yang dimuat dalam suatu peraturan. Antara lain
harus ada dukungan sosial yang cukup, sarana yang memadai bagi organ atau dinas yang akan
melaksanakan suatu peraturan, dukungan keuangan yang cukup, dan sanksi-sanksi yang sesuai.
Asas ini lahir dari pemikiran para politisi di Den Haag yang beranggapan bahwa suatu
masalah sudah dipecahkan jika suatu undang-undang selesai dibuat. Oleh banyak orang (antara lain
di dalam laporan Akhir pengurangan dan penyederhanaan peraturan) ditunjukkan bahwa

5 Lihat Van der Vlies, dalam : Regel Maat (1986), hlm. 23 dan 24.
pembuatan suatu peraturan itu baru sekedar awal penyelesaian masalah. Penyelesaiannya baru
benar-benar terjadi jika undang-undang itu nyata-nyata telah menghilangkan masalahnya.
Untuk itu pertama-tama harus ada kesediaan dalam masyarakat untuk mentaati peraturan
yang telah ditetapkan. Jika kesediaan ini tidak ada, hasilnya akan mengecewakan. Contoh dari
pengaturan yang tidak memadai semacam itu adalah Undang-undang lalu lintas dan jalan raya yang
pada akhirnya Tahun .... Berlakunya suatu peraturan yang tidak ditaati orang akan menimbulkan
ketakpastian hukum serta mengurangi kewibawaan pembuat peraturan.
Pembuat Peraturan lalu akan dianggap sebagai penyandang kewibawaan yang lemah dan
tidak becus. Ini dapat mempengaruhi ketaatan orang terhadap peraturan-peraturan lainnya.
Semakin sedikit peraturan dilemparkan ke masyarakat, semakin harus dikembangkan instrumen
yang lebih kuat bagi pentaatannya jika pembuat peraturan berpendapat bahwa peraturan itu
bagaimanapun juga harus dibuat. Pembuat peraturan tentu saja dapat memperbesar wawasannya
dalam penerimaan peraturan itu dan mungkin juga berhasil mendorong penerimaan itu dengan
melakukan pembicaraan dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan.
Jika pembuat peraturan bukan sekaligus pelaksana suatu peraturan, pembicaraan dengan
dinas-dinas pelaksana perlu pula diadakan. Dari pengalaman-pengalaman mereka dengan
peraturan-peraturan serupa, dinas-dinas ini dapat menunjukkan mana yang dalam peraturan itu
dapat dilaksanakan dan mana yang tidak. Mereka sekaligus pula dapat mengemukakan keinginan
mereka menyangkut perangkat instrumen tersebut.
Salah satu butir yang praktis adalah apakah aparat pelaksananya sudah ada ataukah masih
harus diciptakan. Pada banyak undang-undang pajak yang baru selalu diajukan pertanyaan
mengenai kemampuan dan kesiapan Direktorat Jenderal pajak untuk melaksanakan peraturan-
peraturan baru tersebut. Karena itu, sesekali, menteri keuangan mendapat tambahan pegawai
baru untuk mengamankan pelaksanaan peraturan-peraturan itu. Dengan memperhatikan
dukungan sosial serta beban bagi aparat pemerintah dan peradilan, perlu ditetapkan sistem
pemberian sanksi.
Tergantung pada jenis peraturannya, dapat dipilih antara sanksi positif atau sanksi negatif.
Orang dapat, misalnya, melarang penggunaan kaca-tunggal pada bangunan tempat tinggal dan
menegakkan larangan itu melalui ketentuan pidana; sebaliknya, orang dapat pula mendorong
penggunaan kaca-rangkap melalui pemberian subsidi untuk itu. Kemungkinan yang terakhir ini
pada umumnya memberikan beban yang lebih sedikit pada aparat pemerintah dan peradilan,
mempunyai efek yang lebih besar, serta pengeluaran biaya yang relatif lebih kecil.
Penelitian mengenai tingkat penegakkan suatu undang-undang dapat memakan banyak
waktu; inilah alasan adanya kewajiban membuat laporan yang ditugaskan kepada pihak-pihak yang
harus melaksanakan undang-undang dalam tingkat pertama.
Kemungkinan-pelaksanaan yang baik terutama berguna bagi peraturan itu sendiri.
Pembuatan suatu undang-undang yang tidak mungkin dilaksanakan akan dalam jangka panjang
sangat merugikan bagi pembuatan peraturan. Penerapan asas ini khususnya penting dalam tahap
proses pembentukan peraturan. Asas ini tidak begitu saja dapat dipakai sebagai dasar pengujian
oleh hakim. Analisis atas untung-rugi penting untuk dilakukan dan diketahui orang.

4.4.5. Asas konsensus


Asas ini berisi bahwa perlu diusahakan adanya konsensus antara pihak-pihak yang
bersangkutan dan pemerintah mengenai pembuatan suatu peraturan serta isinya. Cara konsensus
akan dicapai harus diuraikan dalam suatu laporan.
Dalam asas ini tampak prinsip penting demokrasi : orang atau badan hukum tidak boleh
dibebani suatu kewajiban tanpa persetujuan sebelumnya dari mereka atau wakil-wakil mereka
Relevansi asas ini bagi praktek hukum bermacam-macam. Pertama sekali, asas ini penting
pada proses pembentukan suatu peraturan, tetapi asas ini pun dapat menjadi pegangan bagi
pengujian di kemudian hari. Di dalam praktek hukum dapat diamati adanya perkembangan tertentu
ke arah pengujian peraturan ke asas-asas hukum yang taktertulis. Pada pengujian ini, mendengar
pendapat organisasi-organisasi dari pihak-pihak yang bersangkutan penting sekali dilakukan.
Semakin besar jaminan yang telah diperhatikan pada proses pembentukan suatu peraturan,
semakin kecil pula kemungkinannya hakim akan mengutak-atik isi peraturan itu.
Dalam bahasa yang singkat kelima asas formal yang diuraikan di atas dapat dikemukakan
sebagai berikut :
Pertama Asas tujuan yang jelas menghendaki adanya suatu tujuan peraturan yang jelas,
yang harus tampak pula dalam penjelasannya. Peraturan itu sendiri tidak saja harus jelas, tetapi
kerangka umum tempat peraturan itu diletakkan harus pula dinyatakan secara eksplisit.
Kedua Asas organ yang tepat menghendaki agar suatu peraturan dikeluarkan oleh organ
yang tepat dan agar tidak ada organ yang melakukan pelanggaran kewenangan.
Ketiga Asas kemendesakan bermaksud untuk menghindarkan kemungkinan
dikeluarkannya suatu peraturan yang sebenarnya takperlu. Peraturan yang dianggap perlu itu
hendaknya dituangkan dalam bentuk yang amat mudah.
Keempat Asas kemungkinan pelaksanaan berkaitan dengan kemungkinan untuk
menegakkan suatu peraturan di dalam prakteknya, jika peraturan itu telah dikeluarkan.
Dan Kelima Menurut asas-asas konsensus, pihak-pihak yang bersangkutan sedapat
mungkin harus diikutsertakan di dalam proses pembentukan suatu peraturan.

Anda mungkin juga menyukai