Anda di halaman 1dari 7

Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (“KUH Perdata”) terjemahan Prof. Subekti, yang didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.”

Secara khusus, mengenai perjanjian utang-piutang sebagai perbuatan pinjam-meminjam diatur dalam
Pasal 1754 KUH Perdata.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, ada empat syarat (kumulatif) yang diperlukan agar
suatu perjanjian dapat dikatakan sah secara hukum, yaitu:

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Suatu hal tertentu.

Suatu sebab yang halal.

Mengenai apakah boleh seseorang melaporkan orang lain ke pihak yang berwajib (kepolisian) karena
tidak membayar utang, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut. Akan tetapi,
perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
(“UU HAM”), telah mengatur sebagai berikut:

Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas
alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Ini berarti, walaupun ada laporan tersebut, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena
ketidakmampuannya membayar utang.

Dalam praktiknya, seringkali mendengar dan mendapati permasalahan utang-piutang yang tidak dapat
diselesaikan secara musyarawarah justru malah dilaporkan ke pihak kepolisian dengan dasar Pasal 372
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Penggelapan dan Pasal 378 KUHP tentang
Penipuan, padahal substansi dari tindak pidana penggelapan dan tindak pidana penipuan adalah jelas
berbeda dari suatu perjanjian yang merupakan perbuatan hukum perdata. Untuk dapat diproses secara
pidana, harus ada perbuatan (actus reus) dan niat jahat (mens rea) dalam terpenuhinya unsur-unsur
pasal pidana tersebut.
Akan tetapi, berbeda hal pembayaran utang menggunakan cek (cheque) yang kosong atau tidak ada
dananya. Pasca ditariknya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek
Kosong melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan
Undang-Undang No. 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong yang menimbulkan
keengganan orang dalam menarik cek, maka pembayaran dengan cek kosong langsung direferensikan ke
Pasal 378 KUHP tentang Penipuan, yang telah menjadi Yurisprudensi Mahkamah Agung No
1036K/PID/1989:

“bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada
saksi korban adalah tidak didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan
demikian tuduhan “penipuan” harus dianggap terbukti.”

Selain itu sebagai informasi untuk Anda, Pasal 379 a KUHP sebagai salah satu pasal sisipan memang
mengatur adanya kriminalisasi bagi seseorang yang menjadikan sebagai mata pencaharian atau
kebiasaan membeli barang dengan cara berutang, dengan maksud sengaja tidak akan membayar lunas
barang tersebut. Namun delik ini membutuhkan pembuktian yang khusus, yaitu seberapa banyak korban
yang diutangi oleh pelaku dengan cara yang serupa (flessentrekkerij).

Dapat diartikan bahwa membuat laporan atau pengaduan ke polisi adalah hak semua orang dan belum
tentu perkara tersebut dapat naik ke proses peradilan.

Di sinilah peran dan integritas penegak hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, hakim dan advokat sangat
diharapkan untuk tidak merusak sistem peradilan yang ada atau dengan memidanakan suatu perbuatan
hukum perdata.

Sumber : hukumonline.com

Dapatkah Memidanakan Seseorang Karena Tidak Membayar Utang?

Oleh: Anggi Herman, S.H.

Utang dalam arti sempit adalah suatu kewajiban yang timbul hanya dari adanya perjanjian utang-
piutang, sedangkan pengertian dalam arti luas utang adalah seluruh kewajiban yang ada dalam suatu
perikatan baik yang timbul karena undang-undang maupun yang timbul karena adanya perjanjian.

Pasal 1 ayat (6) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang mendefenisikan utang sebagai kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan
dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung
maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-
Undang dan wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk
mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

Dari definisi diatas, dijelaskan bahwasanya utang adalah sesuatu yang timbul dari sebuah perjanjian.
Perjanjian tersebut bisa berupa perjanjian tertulis maupun perjanjian lisan. Biasanya utang yang dibuat
dengan perjanjian lisan adalah utang atas dasar saling percaya, misalnya perjanjian utang dengan
keberat terdekat yang sangat dipercaya. Lalu yang kedua adalah utang yang dibuat dengan perjanjian
tertulis, utang dengan perjanjian tertulis biasanya memuat beberapa hal, misalkan identitas pemberi dan
penerima utang, jumlah utang, tanggal jatuh tempo dan lain sebagainya.

Di dalam kehidupan sehari-hari, utang secara lisan atas dasar kepercayaan maupun utang dengan
perjanjian tertulis banyak menimbulkan masalah. Saat berjanji secara lisan ataupun tertulis untuk
melakukan pelunasan ditanggal jatuh tempo yang sudah ditetapkan, banyak orang yang tidak
melaksanakannya. Beberapa alasan yang sering ditemukan adalah seperti belum punya uang, keluarga
yang sedang sakit, anak yang sedang butuh biaya besar, bahkan ada yang tiba-tiba menghilang.

Dalam konsepnya, perjanjian pada dasarnya adalah hubungan keperdataan yang diatur dalam
KUHPerdata. Apabila orang yang berjanji tidak memenuhi janji Yang telah ditentukan, maka berdasarkan
Pasal 1365 KUHPerdata orang tersebut dapat disebut telah melakukan wanprestasi atau cidera janji.
Namun pada praktiknya, ada orang-orang yang dilaporkan ke polisi karena tidak memenuhi janji yang
telah ditentukan. Umumnya, pihak pelapor merasa bahwa orang tersebut telah menipu pelapor karena
janji yang harus dilaksanakan ternyata tidak dipenuhi, padahal pelapor telah menyerahkan barang
dan/atau uang kepada orang tersebut.

Kondisi diatas menimbulkan permasalahan hukum kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah
perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi, sehingga penyelesaian perkaranya harus
dilakukan secara perdata. Selain itu, kapan seseorang dapat dikatakan telah melakukan penipuan yang
penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana.

Berdasarkan permasalahan di atas, timbul pertanyaan bagaimana cara terbaik yang dapat dilakukan oleh
kreditur untuk menagih utangnya, lalu apakah seseorang dapat dipidana atas dasar tidak melaksanakan
pembayaran atas utang.

Analisa Hukum

Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Ketika Ingin Menagih Utang

Utang merupakan kata yang sering didengar dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang tidak mampu
memenuhi kebutuhan diri sendiri biasanya melakukan peminjaman sejumlah uang kepada orang lain.
Orang yang memberi pinjaman disebut dengan kreditur, sedangkan orang yang meminjam uang disebut
dengan debitur.
Setiap orang dalam hidupnya pasti pernah terlibat dalam hal utang piutang, baik sebagai kreditur
maupun sebagai debitur. Dalam proses utang piutang pun sering juga terjadi keterlambatan pembayaran
dari waktu yang sudah disepakati antara kreditur dengan debitur sehingga apa yang menjadi hak dari
pada kreditur menjadi tidak terpenuhi.

Dalam prosesnya, tentu kreditur ingin apa yang menjadi haknya terbayarkan sesuai dengan apa yang
diperjanjikan dan juga pihak debitur sebisa mungkin memenuhi apa yang sudah menjadi kewajibannya.
Biasanya banyak tidak berjalan sesuai apa yang telah disepakati, bahkan sampai ada yang kesusahan dan
kerepotan melakukan penagihan utang sampai berkali-kali.

Dari permasalahan diatas, ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh kreditur dalam hal penagihan
utang kepada debitur. Cara-cara tersebut antara lain:

1. Somasi

Somasi diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa:

Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah
dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yg ditentukan.

Berikutnya, dalam Pasal 1243 KUHPerdata diatur bahwa suatu tuntutan atas wanprestasi sebuah
perjanjian hanya dapat dilakukan apabila debitur setelah diberi peringatan tetap melalaikan
kewajibannya, peringatan tersebut diberikan secara tertulis. Dengan kata lain, somasi adalah sebuah
peringatan dari kreditur kepada debitur untuk melaksanakan kewajibannya (prestasi).

Di dalam hukum acara perdata tidak ada pengaturan mengenai siapa yang dapat mengeluarkan somasi.
Hal ini berarti, setiap orang berhak untuk membuat somasi sepanjang ia mempunyai kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum.

2. Gugatan ke Pengadilan Negeri

Gugatan Perdata Ke Pengadilan Negeri merupakan upaya tindak lanjut apabila pihak debitur tetap
mengabaikan somasi atau teguran tertulis oleh pihak kreditur. Dalam Pasal 1243 KUHPerdata dijelaskan
bahwa apabila debitur lalai untuk memenuhi kewajibannya maka, tuntutan atas wanprestasi yang tidak
dipenuhi oleh debitur bisa diajukan ke Pengadilan Negeri apabila si debitur sudah diperingatkan terlebih
dahulu melalui somasi.

3. Mengajukan permohonan pernyataan pailit

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang menyatakan bahwa syarat pengajuan pailit yaitu debitur tersebut harus mempunyai 2
atau lebih kreditur dan juga utangnya sudah jatuh tempo. Tujuan dari permohonan pailit ini adalah
untuk memungkinkan debitur mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.

Seseorang Yang Dipidana Karena Tidak Membayar Utang

Pada prinsipnya masalah pinjam meminjam (utang) merupakan lingkup hukum perdata sehingga tidak
bisa dibawa ke ranah hukum pidana, namun hal ini pun tidak memiliki larangan. Akan tetapi, harus
diingat bahwa berdasarkan Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, menyatakan bahwa :

Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas
alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

Hal ini berarti, walaupun ada laporan atau pengaduan seseorang tidak membayar utang, pengadilan
tidak boleh memidanakan orang tersebut karena ketidakmampuannya membayar utang.

Selain itu, terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap juga
menegaskan hal yang sama, antara lain yaitu :

Yaitu :

1. Putusan No. 598K/Pid/2016

Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menyatakan :

Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban)
sebesar Rp4.750.000,00 (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun terdakwa tidak
mengembalikan utang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang di perjanjikan, meskipun
telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan
bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan
karenanya pula terhadap terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

2. Putusan No. 1357 K/Pid/2015

Sama dengan putusan diatas, Mahkamah Agung menyatakan bahwa :


Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum yang
terjalin antara para terdakwa dengan saksi korban adalah hubungan keperdataan berupa hubungan
utang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebun dan tanah atau rumah milik para terdakwa, dan
ternyata dalam hubungan hukum tersebut para terdakwa melakukan ingkar janji atau wanprestasi
dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumah miliknya kepada saksi korban.
Perbuatan para terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan para
terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya dapat
ditempuh melalui hukum keperdataan.

Dari beberapa putusan diatas terlihat bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya
hubungan keperdataan, seperti perjanjian, dan perbuatan yang menyebabkan perjanjian tersebut tidak
dapat dilaksanakan terjadi setelah perjanjian tersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara
perdata dan bukan perkara pidana.

D. Kesimpulan

Perkembangan zaman semakin hari semakin pesat, setiap orang dituntut untuk mampu mengikuti
perkembangan yang ada. Salah satunya adalah dalam hal memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik
itu kebutuhan pokok maupun kebutuhan akan gaya hidup. Dalam memenuhi hal tersebut setiap orang
bekerja dan menghasilkan uang, akan tetapi terkadang uang yang sudah ada tidak mampu memenuhi
kebutuhan tersebut, lalu akhirnya melakukan peminjaman sejumlah uang (berutang) adalah jalan yang
dipilih.

Utang tidak menimbulkan masalah apabila dilakukan dengan pembayaran tepat waktu, namun menjadi
masalah apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar utang (wanprestasi). Beberapa
upaya hukum yang dapat dilakukan oleh kreditur agar debitur membayar utangnya adalah dengan cara
somasi, mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri dan mengajukan permohonan pernyataan
pailit.

Selain itu, masih banyak ditemui kreditur yang memidanakan debitur karena tidak membayar utang.
Namun perlu diingat bahwa Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana dengan alasan
tidak memenuhi perjanjian utang piutang. Hal ini ditegaskan oleh beberapa putusan Mahkmah Agung
antara lain putusan No. 598K/Pid/2016 dan putusan No. 1357 K/Pid/2015.

Akan tetapi, ada beberapa perbuatan tidak melaksanakan perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai
penipuan. Yaitu apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari iktikad buruk dengan niat jahat
untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi melainkan tindak
pidana penipuan. Ini ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam putusan dalam No. 211 K/Pid/2017.

Sekian dan Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai