A. Force Majeure
pihak tidak selalu terlaksana sesuai dengan maksud dan tujuannya, keadaan t
ersebut dapat terjadi akibat wanprestasi baik itu dilakukan oleh kreditur mau
yang memaksa atau dikenal dengan force majeure atau dikenal dalam huku
demi hukum.1 Tidak terlaksananya maksud dan tujuan dari perjanjian dapat
yang tidak terduga tersebut bisa dikarenakan terjadinya suatu hal yang diluar
kekuasaan debitur yang mana keadaan tersebut bisa dijadikan alasan untuk d
1
tanggungjawabnya karena ada hal yang terjadi diluar kemampuan dirinya
seperti adanya bencana alam (the act of God) dan lainnya. Dalam hukum
tiga syarat, yaitu para pihak tidak menduga sebelumnya peristiwa yang
kesalahan para pihak yang menyebabkan terjadinya force majeure, dan tidak
tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada
nuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak
harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu perset
3
Rifqi Hidayat and Parman Komarudin, “Tinjauan Hukum Kontrak Syariah Terhadap
Ketentuan Force Majeure Dalam Hukum Perdata,” Syariah Jurnal Hukum Dan Pemikiran,
Vol 17, No. 1 (2018): 32-46, hlm. 37
2
ujuan dibuat. Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi pr
tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu
persetujuan dibuat.5
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga, apabil
tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sua
3
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan m
emaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang unt
1. Terjadi suatu peristiwa yang tidak terduga ( tidak termasuk dalam asumsi
debitur
tegas mengatur mengenai definisi dari force majeure, namun force majeure
mengganti biaya kerugian atau bunga, karena suatu keadaan memaksa atau
4
terhalang untuk melaksanakan kewajibannya. Force majeure dalam KUHPer
n”. Oleh karena itu, terminologi yang digunakan, yaitu keadaan paksa. Kead
aan paksa diartikan sebagai kejadian di luar kendali satu pihak. Menurut Lat
hifah Hanim dan MS. Noorman, bahwa pengaruh menunda atau menyebabk
kin dan sesudah timbul, pihak tersebut tidak dapat menghindari atau mengat
mum force majeure terdapat pada Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, Pada d
bungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga saja. Adapun macam-
5
Ada dua teori yang membahas tentang force majeure atau keadaan memaksa
a. Teori objektif
diperjanjikan akibat bencana alam atau kejadian lainnya. Teori ini terus
b. Teori subjektif
menyebabkan kesalahan apapun atau tidak ada itikad buruk dari debitur.
8
Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutr
a, 2008), hal 39.
6
Dalam hal ini teori subjektif mengakui adanya keadaan memaksa, tetapi
jika ini menyangkut industry besar maka tidak dikenal adanya suatu kea
daan memaksa.9
1244 KUHPerdata dan pasal 1245 yaitu: telah terjadi peristiwa alam
(act of God) dan hilangnya objek atau barang yang telah diperjanjikan
terbatas pada peristiwa alam (Act of God) dan hilangnya objek yang
atau perjanjian antara pihak terdapat isi yang tersusun atas ketentuan um
hak tentang obyek dan tata cara pemenuhan prestasi bagi para pihak. Kl
9
Ibid, hal 40
10
Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Nasional Legal
Reform Program-Gramedia, Jakarta, 2010, hal. 120.
7
force majeure yang mengakibatkan sebuah prestasi tidak dapat terpenuh
rjadi saat ini, yang nantinya dapat dijadikan sebagai landasan alat bukti
a) jika dalam perjanjian sudah disepakati klausul force majeure telah dis
ebutkan sebelumnya.
maupun tidak, pada prinsipnya tetap bisa dijadikan landasan untuk meniadak
a. Force majeure absolut, adalah suatu keadaan dimana sama sekali tidak
11
Daud Silalahi & Lawencon Associates, “Force Majeure Dalam Perjanjian Kerjasama Perusa
haan”, https://www.dslalawfirm.com, diakses pada tanggal 20 juni 2022.
12
Husni Thamrin, “Landasan Yuridis Gugatan Pembatalan Perjanjian Build Operate Transfe
r,” Jurnal Ilmu Hukum The Juris II, No. 1 (2018), hal 26.
13
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001, hal 150
8
pengorbanan tertentu yang membuat kontrak tersebut menjadi tidak
signifikan, dalam klasifikasi force majeure absolut, jika prestasi yang terbit
dari kontrak tidak dapat dilakukan lagi karena barang yang merupakan objek
dari kontrak tersebut telah musnah akibat terbakar maka hal tersebut diluar k
dan debitur tidak mempunyai itikad buruk. Apabila debitur tidak dapat
9
membuktikan alasan-alasan yang dapat membebaskan dari pembayaran ganti
kerugian maka debitur harus membayar ganti kerugian. Jadi pihak kreditur
tidak perlu dibebani pembuktian untuk dapat menuntut ganti rugi kepada
debitur apabila telah terjadi force majeure (keadaan memaksa) atau karena
uk memenuhi prestasi akibat kondisi ini termasuk dalam force majeure atau
a oleh para pihak dalam perjanjian, kecuali sudah ditentukan dan diatur siapa
14
Ahmad Miru, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456, Jakarta:
Rajawali Pers Raja Grafindo Persada, 2016, Hal. 13
15
Ibid, Hal. 14
10
yang menanggung risiko jika terjadi force majeure (keadaan memaksa) oleh
para pihak.
2. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib
B. Hubungan Kerja
1. Definisi/Pengertian
a belah pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiba
16
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994, Hal. 27-28 ,
sebagaimana dikutip oleh Rahmat S. S. Soemadipradja.
17
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 2007, Hal. 55
11
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003, hubungan
kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah
sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya perjanjian kerja, akan ada
lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan
b. Adanya Upah, yaitu imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh
Tahun 2003, Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatak
18
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal.56.
12
an dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi ker
2. Perjanjian Kerja
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang
13
lain atau lebih. Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata ini tidak
perjanjian.
kan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Dari definisi tersebut, t
akan oleh Van Dunne, yang disebut dengan perjanjian adalah “suatu hubung
an hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menim
bulkan akibat hukum”. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanj
perjanjian, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua orang itu saling
suatu hubungan antara dua orang tersebut yang disebut dengan perikatan”. 21
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan diri
nya terhadap satu orang atau lebih.22 Sebelum suatu perjanjian disusun perlu
19
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2019, Hal. 165
20
R.Joni Bambang S, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013, Hal. 82
21
Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 1.
22
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, Hal. 4
9.
14
diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing
pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat
“ Perjanjian kerja adalah suatu perjajian dimana pihak yang satu sebagai
waktu tertentu”.
pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, serta hak
23
Salim H.S, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, Hal. 124
15
mendapatkan upah”.24 Lalu Husni juga menjelaskan bahwa “perjanjian kerja
pada pihak lain, si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan
Imam Soepomo,26
mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,
membayar upah”.
mana yang ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji tertentu yang
24
Wiwoho Soedjono, “Hukum Perjanjian Kerja”. Bina Aksara, Jakarta, 2003. Hal. 9.
25
Lalu Husni, “Pengantar Hukum Tenaga Kerja Indonesia”. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2000, Hal. 51.
26
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, PPAKRI Bhayangkar
a, Jakarta, 1968, Hal. 57
16
R. Subekti,27
“Perjanjian kerja itu adalah suatu perjanjian antara orang perorang pada satu
kata “ di bawah perintah” yang mengandung arti bahwa salah satu pihak
yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak yang lainnya.
Jadi dalam perjanjian kerja tersebut antara kedua belah pihak ada kedudukan
kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan
seimbang, karena dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang atau
perjanjian tersebut harus memenuhi syarat materil (Pasal 52, 55, 58, 59, dan
27
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1977 , Hal. 63.
17
60 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan syarat formil
Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1), Berdasarkan Pasal 51 ayat (1), (2) :
perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a) Kesepakatan kedua belah pihak; (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis
b) Kemampuan atau kecakapan melakuk atau lisan.
an perbuatan hukum (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak ber peraturan perUndang-Undangan yang
tentangan dengan ketertiban umum, k berlaku.
esusilaan dan peraturan perundang-un
dangan yang berlaku.
Dalam Pasal 52 ayat (1), Dasar huruf a dan b adalah syarat subyektif, sedang
kan dasar huruf c dan d adalah syarat objektif. Apabila dalam perjanjian kerj
18
n. Apabila perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanji
an tersebut batal demi hukum. Artinya perjanjian kerja itu sejak semula dian
1) Perjanjian kerja secara tertulis adalah perjanjian kerja yang harus dibuat
manjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi
29
Ibid
30
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Citra Aditya bakti, Ban
dung, 2014, Hal. 51-56
19
perselisihan antara para pihak maka sangat membantu dalam proses
pembuktian.31
2) Perjanjian kerja secara lisan adalah perjanjian kerja yang dibuat sesuai
2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dibagi dalam dua jenis yaitu
perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja untuk
waktu tidak tertentu (PKWTT). Dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 13 Tahun
hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang
bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan
yang bersifat tetap. Ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun
31
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, Cetakan ke-12, PT. R
aja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal. 66.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/ME
32
N/VI/2004,Pasal 1, angka 1
20
2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa “ perjanjian kerja untuk
dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat
diadakan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun” (Pasal 59 ayat (4) UU NO. 13
disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap.
Dalam hal pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara
33
Kosidin Koko, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, CV Man
dar Maju, Bandung, 1999, Hal 76.
21
perlindungan para pihak dan untuk menjaga terjadi hal-hal yang tidak diingi
kerja yang bersifat tetap.34 Dalam perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan
(1) dan ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003). Berdasarkan ketentuan dalam
kebiasaan, maka perjanjian kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak
tertentu”.
Ada beberapa asas dalam suatu perjanjian kerja antara pihak sebagai berikut:
34
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/ME
N/VI/2004,Pasal 1, angka 2
22
a. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)
uk membuat perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ket
37
Christiana Tri Budhayati, Mengenal Hukum Perdata di Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2017, Hal. 159.
23
dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang
perjanjian.
38
Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.3, 2003, Hal
31.
24
Dalam Pasal 1338 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa “persetujuan
asas itikad baik dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu subyektif dan
obyektif. Asas itikad baik subyektif adalah kejujuran dari diri seseorang
atau niat yang bersih dari para pihak, sedangkan asas itikad baik obyektif
karena suatu perjanjian hanya mengikat bagi pihak lain yang tidak
39
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
40
Muhammad Noor, Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan Dalam Pembuatan Kontrak,
MAZAHIB, Vol. XIV, No. 1, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 2015, Hal. 92.
41
Berdasarkan Djohari Santoso, SU & Achmad Ali, Hukum Perjanjian, Hal. 52, sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Noor.
25
Berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata ada beberapa akibat hukum dalam
perjanjian kerja :
a. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai
b. Perjanjian kerja yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali
42
Halim, A. Ridwan, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab, Cetakan ke II, Gahlia Indonesia,
Jakarta, 1990, Hal. 136.
26
2. Alasan-Alasan Pemutusan Hubungan Kerja
pta Kerja
rinci dalam UU No. 13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (1) yang
menyatakan bahwa :
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal
156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)”.43 Dari pasal tersebut dapat
27
b. Paska Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja
majeure);
28
f. Adanya permohonan PHK yang diajukan oleh pekerja/buruh
29
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perja
30
a pekerja/buruh merasa keberatan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK)
yang dilakukan oleh pengusaha karena dianggap sepihak dan tidak sesuai de
ngan undang-undang, maka pekerja/buruh dapat melakukan gugatan ke Lem
baga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) dan dapat juga
PHK tersebut batal demi hukum dan pekerja dapat kembali dipekerjakan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila pemutusan hubungan kerja
(PHK) tidak dapat dihindari maka maksud dari pemutusan hubungan kerja
(PHK tersebut wajib dirundingkan antara pengusaha dengan serikat pekerja/
serikat buruh atau dengan pekerja/buruh yang bersangkutan jika pekerja/bur
uh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. A
pabila dalam perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan maka pengus
aha hanya dapat melakukan PHK setelah ada penetapan dari Lembaga Penye
lesaian Perselisihan Hubungan Industrial.45
45
Khairani, Pengantar Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan Disesuaikan dengan Undang
- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2021, Hal 181.
31