Anda di halaman 1dari 31

BAB II

Force Majeure dalam Perjanjian Kerja

A. Force Majeure

1. Definisi Force Majeure/Overmacht

Hubungan hukum yang lahir melalui kontrak atau perjanjian antar

pihak tidak selalu terlaksana sesuai dengan maksud dan tujuannya, keadaan t

ersebut dapat terjadi akibat wanprestasi baik itu dilakukan oleh kreditur mau

pun debitur, adanya paksaan, kekeliruan, perbuatan curang, maupun keadaan

yang memaksa atau dikenal dengan force majeure atau dikenal dalam huku

m Indonesia dengan overmacht. Konsekuensi yang muncul dari keadaan ini

menyebabkan suatu perjanjian (kontrak) dapat dibatalkan dan yang batal

demi hukum.1 Tidak terlaksananya maksud dan tujuan dari perjanjian dapat

disebabkan oleh force majeure (keadaan memaksa) dan biasanya

ditunjukkan terhadap suatu peristiwa yang berada di luar jangkauan manusia

untuk menghindar dari peristiwa tersebut. Force majeure akibat peristiwa

yang tidak terduga tersebut bisa dikarenakan terjadinya suatu hal yang diluar

kekuasaan debitur yang mana keadaan tersebut bisa dijadikan alasan untuk d

ibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.2

Force majeure atau keadaan memaksa merupakan suatu keadaan

dimana seseorang tidak dapat melaksanakan kewajiban atau


1
Elly Erawati, Herlien Budiono, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, Nasional Le
gal Reform Program-Gramedia, Jakarta, 2010, hlm. 5
2
H. Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Penemuan dan Kaidah Hukum, (Ja
karta: Prenamedia Group, 2018), hal. 115

1
tanggungjawabnya karena ada hal yang terjadi diluar kemampuan dirinya

seperti adanya bencana alam (the act of God) dan lainnya. Dalam hukum

perjanjian, suatu peristiwa dapat dikatakan force majeure apabila terpenuhi

tiga syarat, yaitu para pihak tidak menduga sebelumnya peristiwa yang

menyebabkan terjadinya force majeure, peristiwa tersebut terjadi di luar

kesalahan para pihak yang menyebabkan terjadinya force majeure, dan tidak

adanya itikad buruk para pihak.3

Terdapat beberapa pendapat para ahli mengenai force majeure, diant

aranya adalah sebagai berikut:

a) Menurut Subekti, force majeure adalah suatu alasan untuk dibebaskan

dari kewajiban membayar ganti rugi.

b) Menurut Abdulkadir Muhammad, force majeure adalah keadaan tidak

dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang

tidak terduga yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada

waktu membuat perikatan.

c) Menurut Setiawan, force majeure adalah suatu keadaan yang terjadi

setelah dibuatnya persetujuan yang menghalangi debitur untuk meme

nuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak

harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu perset

3
Rifqi Hidayat and Parman Komarudin, “Tinjauan Hukum Kontrak Syariah Terhadap
Ketentuan Force Majeure Dalam Hukum Perdata,” Syariah Jurnal Hukum Dan Pemikiran,
Vol 17, No. 1 (2018): 32-46, hlm. 37

2
ujuan dibuat. Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi pr

estasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut.4

d) Menurut R. Setiawan, force majeure adalah suatu keadaan yang terjadi

setelah dibuatnya persetujuan, yang menghalangi debitur untuk

memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan

tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu

persetujuan dibuat.5

Ketentuan mengenai force majeure diatur dalam pasal 1244 KUHPerdata da

n pasal 1245 KUHPerdata.

Pasal 1244 KUHPerdata berbunyi:

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga, apabil

a tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau

tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sua

tu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada

nya, walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.”

Pasal 1245 KUHPerdata berbunyi:


4
P.N. H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia Cetakan ke- 3, (Jakarta: Kencana, 2017), h
al. 295
5
Subekti , Pokok-pokok Hukum Perdata , Intermasa , Jakarta, 2001, hlm 124

3
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan m

emaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang unt

uk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesu

atu perbuatan yang terlarang olehnya.”

Dalam ketentuan mengenai force majeure diatas, ada 4 hal yang

menyebabkan debitur tidak dapat melakukan penggantian biaya, kerugian,

dan bunga, yaitu:

1. Terjadi suatu peristiwa yang tidak terduga ( tidak termasuk dalam asumsi

dasar dalam pembuatan kontrak)

2. Peristiwa yang terjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada pihak

debitur

3. Peristiwa yang terjadi diluar kesalahan para pihak yang terkait

4. Tidak ada itikad yang buruk dari pihak debitur

Aturan mengenai force majeure dalam KUHPerdata tidak secara

tegas mengatur mengenai definisi dari force majeure, namun force majeure

sebagaimana diatur dalam Pasal 1244 KUHPerdata dan Pasal 1245

KUHPerdata, yaitu bahwa debitur tidak memiliki kewajiban untuk

mengganti biaya kerugian atau bunga, karena suatu keadaan memaksa atau

karena hal yang terjadi secara kebetulan sehingga menyebabkan debitur

4
terhalang untuk melaksanakan kewajibannya. Force majeure dalam KUHPer

data diartikan sebagai “keadaan debitur terhalang memberikan sesuatu atau

melakukan sesuatu atau melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjia

n”. Oleh karena itu, terminologi yang digunakan, yaitu keadaan paksa. Kead

aan paksa diartikan sebagai kejadian di luar kendali satu pihak. Menurut Lat

hifah Hanim dan MS. Noorman, bahwa pengaruh menunda atau menyebabk

an pelaksanaan kewajiban suatu pihak dalam perjanjian tersebut tidak mung

kin dan sesudah timbul, pihak tersebut tidak dapat menghindari atau mengat

asi kejadian tersebut.6 Ketentuan dalam KUHPerdata mengenai ketentuan u

mum force majeure terdapat pada Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata, Pada d

asarnya ketentuan tersebut hanya mengatur masalah force majeure dalam hu

bungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga saja. Adapun macam-

macam force majeure (keadaan memaksa), yaitu: keadaan memaksa yang

absolut (absolut onmogelijkheid) dan keadaan memaksa yang relatif

(relatieve onmogelijkheid). Oleh karena itu, force majeure merupakan suatu

alasan yang dibenarkan oleh hukum untuk membebaskan debitur dari

kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang dikemukakan

oleh pihak kreditur.7

2. Prinsip/Teori Force Majeure dalam Perjanjian


6
Lathifah Hanim and MS. Noorman, “Penyelesaian Perjanjian Kredit Bank Sebagai Akibat
Force Majeure Karena Gempa Di Yogyakarta,” Jurnal Pembaharuan Hukum 3, No. 2 (2016): 16
1-171, hlm. 162
7
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2007), hlm. 55.

5
Ada dua teori yang membahas tentang force majeure atau keadaan memaksa

dalam perjanjian yaitu:

a. Teori objektif

Dalam teori objektif, dijelaskan bahwa suatu keadaan

menyebabkan debitur tidak dapat melaksanakan prestasi atau kewajiban

yang telah diperjanjikan sebelumnya karena ketidakmampuan debitur

untuk menghadapi peristiwa yang terjadi diluar kemampuan dan

kehendaknya. Dalam hal ini debitur sama sekali tidak mungkin

melakukan prestasi atau kewajibannya kepada kreditur. Contoh

peristiwa keadaan memaksa yang menyebabkan debitur tidak dapat

memenuhi prestasinya, seperti musnahnya barang yang telah

diperjanjikan akibat bencana alam atau kejadian lainnya. Teori ini terus

berkembang, yakni tidak lagi berpegang kepada ketidakmungkinan

yang mutlak, tetapi menganggap juga sebagai keadaan memaksa apabila

barangnya hilang atau diluar perdagangan.8

b. Teori subjektif

Dalam teori subjektif, dijelaskan bahwa apabila terjadi keadaan

memaksa terhadap debitur yang bersangkutan, maka debitur tidak dapat

dimintai pertanggungjawaban kreditur karena debitur tidak

menyebabkan kesalahan apapun atau tidak ada itikad buruk dari debitur.
8
Sukarmi, Cyber Law: Kontrak Elektronik dalam Bayang-bayang Pelaku Usaha, (Bandung: Pustaka Sutr
a, 2008), hal 39.

6
Dalam hal ini teori subjektif mengakui adanya keadaan memaksa, tetapi

jika ini menyangkut industry besar maka tidak dikenal adanya suatu kea

daan memaksa.9

3. Ruang Lingkup Force Majeure

Secara umum ruang lingkup force majeure diatur dalam pasal

1244 KUHPerdata dan pasal 1245 yaitu: telah terjadi peristiwa alam

(act of God) dan hilangnya objek atau barang yang telah diperjanjikan

sebelumnya antara pihak. Rahmat S.S Soemadipradja menjelaskan

bahwa ruang lingkup force majeure yang diatur dalam KUHPerdata

mengalami perkembangan, ruang lingkup force majeure tidak lagi

terbatas pada peristiwa alam (Act of God) dan hilangnya objek yang

diperjanjikan, tetapi sudah meluas kepada tindakan administratif

penguasa, kondisi politik seperti perang.10 Dalam penyusunan kontrak

atau perjanjian antara pihak terdapat isi yang tersusun atas ketentuan um

um mengenai wanprestasi, lalu ketentuan pokok yang disepakati para pi

hak tentang obyek dan tata cara pemenuhan prestasi bagi para pihak. Kl

ausula antisipatif, menyangkut kemungkinan yang akan terjadi selama b

erlangsungnya perjanjian. Maka akan jauh lebih mudah untuk menentuk

an atau menganalisa kontrak atau perjanjiannya ruang lingkup mengenai

9
Ibid, hal 40
10
Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa, Nasional Legal
Reform Program-Gramedia, Jakarta, 2010, hal. 120.

7
force majeure yang mengakibatkan sebuah prestasi tidak dapat terpenuh

i, contohnya banjir, gempa bumi, atau pandemi covid-19 yang sedang te

rjadi saat ini, yang nantinya dapat dijadikan sebagai landasan alat bukti

perjanjian di muka persidangan.11 hal tersebut juga dapat memberikan

kemudahan bagi hakim untuk mengindentifikasikan apakah keadaan ter

sebut dapat dikatakan wanprestasi atau force majeure (keadaan memaks

a) jika dalam perjanjian sudah disepakati klausul force majeure telah dis

ebutkan sebelumnya.

4. Klasifikasi Force Majeure

Ketentuan mengenai force majeure, baik diletakkan dalam perjanjian

maupun tidak, pada prinsipnya tetap bisa dijadikan landasan untuk meniadak

an kewajiban ganti rugi, selama force majeure tersebut benar-benar terjadi.12

Menurut Subekti terdapat dua jenis klasifikasi force majeure, yaitu:13

a. Force majeure absolut, adalah suatu keadaan dimana sama sekali tidak

mungkin perjanjian itu dapat dilaksanakan dan berakibat musnahnya

barang yang dijanjikan.

b. Force majeure relatif, adalah suatu keadaan dimana terjadi keadaan-

keadaan tertentu yang menyulitkan debitur-debitur untuk melaksanakan

kontrak. Kalaupun dilaksanakan, maka debitur harus melakukan

11
Daud Silalahi & Lawencon Associates, “Force Majeure Dalam Perjanjian Kerjasama Perusa
haan”, https://www.dslalawfirm.com, diakses pada tanggal 20 juni 2022.
12
Husni Thamrin, “Landasan Yuridis Gugatan Pembatalan Perjanjian Build Operate Transfe
r,” Jurnal Ilmu Hukum The Juris II, No. 1 (2018), hal 26.
13
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 2001, hal 150

8
pengorbanan tertentu yang membuat kontrak tersebut menjadi tidak

praktis lagi untuk dilaksanakan. Konsekuensinya, pelaksanaan kontrak

dapat ditunda sampai keadaan tersebut berakhir.

Dari klasifikasi force majeure diatas terdapat perbedaan yang

signifikan, dalam klasifikasi force majeure absolut, jika prestasi yang terbit

dari kontrak tidak dapat dilakukan lagi karena barang yang merupakan objek

dari kontrak tersebut telah musnah akibat terbakar maka hal tersebut diluar k

esalahan debitur sedangkan dalam klasifikasi force majeure relatif lebih me

mberikan penekanan bahwa apabila pemenuhan prestasi secara normal tidak

dapat dilakukan, maka masih mungkin dilakukan apabila dipaksakan. Sepert

i perjanjian ekspor-impor barang, setelah perjanjian dibuat terdapat larangan

impor atas barang tersebut.

5. Akibat Hukum Force Majeure

Pengaturan mengenai force majeure terdapat dalam Pasal 1244

KUHPerdata dan Pasal 1245 KUHPerdata. Penjelasan Pasal 1244

KUHPerdata tentang pembayaran biaya ganti rugi dan bunga dikaitkan

dengan beban pembuktian apabila terjadi wanprestasi, debitur dihukum

membayar ganti kerugian apabila dirinya tidak dapat membuktikan bahwa

terjadinya wanprestasi yang dilakukan di luar kemampuan debitur itu sendiri

dan debitur tidak mempunyai itikad buruk. Apabila debitur tidak dapat

9
membuktikan alasan-alasan yang dapat membebaskan dari pembayaran ganti

kerugian maka debitur harus membayar ganti kerugian. Jadi pihak kreditur

tidak perlu dibebani pembuktian untuk dapat menuntut ganti rugi kepada

pihak debitur yang melakukan wanprestasi.14 Penjelasan Pasal 1245

KUHPerdata tentang pembebasan pembayaran biaya, rugi, dan bunga oleh

debitur apabila telah terjadi force majeure (keadaan memaksa) atau karena

suatu keadan yang tidak disengaja, sehingga mengakibatkan debitur

berhalangan untuk melakukan tanggungjawabnya, atau karena hal-hal yng

sama telah melakukan perbuatan yang terhalang15.

Berdasarkan penjelasan dalam Pasal KUHPerdata diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa unsur utama yang dapat menimbulkan force majeure

(keadaan memaksa) adalah adanya peristiwa yang tidak terduga, adanya

halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan berd

asarkan kontrak yang telah diperjanjikan., ketidakmampuan tersebut tidak

disebabkan oleh kesalahan debitur sehingga ketidakmampuan tersebut tidak

dapat dibebankan sepenuhnya kepada debitur. Terhalangnya suatu pihak unt

uk memenuhi prestasi akibat kondisi ini termasuk dalam force majeure atau

overmahcht, sehingga risiko yang ditimbulkan karenanya ditanggung bersam

a oleh para pihak dalam perjanjian, kecuali sudah ditentukan dan diatur siapa

14
Ahmad Miru, Hukum Perikatan Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456, Jakarta:
Rajawali Pers Raja Grafindo Persada, 2016, Hal. 13

15
Ibid, Hal. 14

10
yang menanggung risiko jika terjadi force majeure (keadaan memaksa) oleh

para pihak.

Adapun akibat hukum dari force majeure (keadaan memaksa) yang

dikemukakan oleh pakar hukum R. Setiawan merumuskan bahwa suatu

keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan

beberapa akibat, yaitu:16

1. Kreditur tidak lagi dapat meminta pemenuhan prestasi;

2. Debitur tidak lagi dapat dinyatakan lalai, dan karenanya tidak wajib

membayar ganti rugi;

3. Risiko tidak beralih kepada debitur;

4. Pada persetujuan timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan

B. Hubungan Kerja

1. Definisi/Pengertian

Hubungan kerja adalah hubungan antara seorang pekerja/buruh dengan seora

ng pengusaha/pemberi kerja. Hubungan kerja menunjukkan kedudukan kedu

a belah pihak itu yang pada dasarnya menggambarkan hak-hak dan kewajiba

n-kewajiban pekerja/buruh terhadap pengusaha/pemberi kerja serta hak-hak

dan kewajiban pengusaha/pemberi kerja terhadap pekerja/buruh.17

16
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1994, Hal. 27-28 ,
sebagaimana dikutip oleh Rahmat S. S. Soemadipradja.
17
Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 2007, Hal. 55

11
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003, hubungan

kerja adalah hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi

kerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, d

an perintah. Di dalam Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 disebutkan bahwa

hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian antara pengusaha dan

pekerja/buruh. Jadi hubungan kerja adalah hubungan hukum antara

pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Dengan demikian hubungan

kerja tersebut adalah sesuatu yang abstrak, sedangkan perjanjian kerja adalah

sesuatu yang konkret atau nyata. Dengan adanya perjanjian kerja, akan ada

ikatan antara pengusaha/pemberi kerja dan pekerja/buruh. Dengan perkataan

lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan hubungan

kerja.18 Kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja

menjadi dasar timbulnya sebuah perjanjian kerja.

Unsur-unsur hubungan kerja sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1

angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 adalah sebagai berikut:

a. Adanya Pekerjaan, yaitu pekerjaan tersebut bebas sesuai dengan

kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja,

asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,

kesusilaan dan ketertiban umum.

b. Adanya Upah, yaitu imbalan atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh

pekerja/buruh. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 UU No. 3

Tahun 2003, Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatak
18
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal.56.

12
an dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi ker

ja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu

perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, term

asuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan

dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

c. Adanya perintah, didalam hubungan kerja kedudukan majikan adalah

pemberi kerja sehingga ia berhak dan sekaligus berkewajiban untuk

memberikan perintah-perintah yang berkitan dengan pekerjaannya.

Kedudukan pekerja/buruh adalah sebagai pihak yang menerima perintah

untuk melaksanakan pekerjaan sedangkan kedudukan

pengusaha/pemberi kerja adalah sebagai pihak yang memberi perintah,

sehingga bersifat subordinasi ( hubungan yang bersifat vertikal yaitu

atas dan bawah).

2. Perjanjian Kerja

Sebelum membahas mengenai perjanjian kerja, terlebih dahulu kita

akan membahas pengertian dari perjanjian itu sendiri. Istilah perjanjian

merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau contract

(Inggris). Perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1313

KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang

13
lain atau lebih. Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata ini tidak

jelas, karena dalam rumusan tersebut setiap perbuatan dapat disebut

perjanjian, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan

perjanjian.

Menurut teori lama, yang disebut perjanjian adalah “hukum berdasar

kan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Dari definisi tersebut, t

elah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum

(tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).19 Menurut teori baru yang dikemuk

akan oleh Van Dunne, yang disebut dengan perjanjian adalah “suatu hubung

an hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menim

bulkan akibat hukum”. Dalam teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanj

ian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya a

tau yang mendahuluinya.20 Subekti mengemukakan pendapatnya mengenai

perjanjian, “perjanjian adalah suatu peristiwa dimana dua orang itu saling

berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa tersebut timbullah

suatu hubungan antara dua orang tersebut yang disebut dengan perikatan”. 21

R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di

mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan diri

nya terhadap satu orang atau lebih.22 Sebelum suatu perjanjian disusun perlu

19
Salim H.S, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2019, Hal. 165
20
R.Joni Bambang S, Hukum Ketenagakerjaan, Pustaka Setia, Bandung, 2013, Hal. 82
21
Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hal. 1.
22
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, Hal. 4
9.

14
diperhatikan identifikasi para pihak, penelitian awal tentang masing-masing

pihak sampai dengan konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat

perjanjian tersebut dibuat.23

Perjanjian kerja dalam bahasa belanda yaitu Arbeidsoverenkoms,

yang memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:

Dalam pasal 1601a KUHPerdata,

“ Perjanjian kerja adalah suatu perjajian dimana pihak yang satu sebagai

buruh atau pekerja mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya/bekerja

pada pihak lainnya sebagai majikan dengan mendapatkan upah selama

waktu tertentu”.

Dalam Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

“ Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja/buruh dengan

pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, serta hak

dan kewajiban para pihak”.

Wiwoho Soedjono, menyebutkan bahwa “ perjanjian kerja adalah suatu

perjanjian antara orang-perorangan pada satu pihak dengan pihak lain

sebagai pengusaha untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan

23
Salim H.S, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, Hal. 124

15
mendapatkan upah”.24 Lalu Husni juga menjelaskan bahwa “perjanjian kerja

adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu, si buruh mengikatkan dirinya

pada pihak lain, si majikan untuk bekerja dengan mendapatkan upah, dan

majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan si buruh

dengan membayar upah”.25

Selain pengertian perjanjian kerja diatas, beberapa Pakar Hukum Perburuhan

Indonesia juga memberikan pengertian perjanjian kerja, sebagai berikut:

Imam Soepomo,26

“Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak pertama, buruh,

mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya,

majikan, yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan

membayar upah”.

“Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan” perjanjian

mana yang ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji tertentu yang

diperjanjikan dan adanya hubungan diperatas (dierstverhanding) yaitu suatu

hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan

perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain (buruh)”.

24
Wiwoho Soedjono, “Hukum Perjanjian Kerja”. Bina Aksara, Jakarta, 2003. Hal. 9.
25
Lalu Husni, “Pengantar Hukum Tenaga Kerja Indonesia”. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2000, Hal. 51.
26
Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, PPAKRI Bhayangkar
a, Jakarta, 1968, Hal. 57

16
R. Subekti,27

“Perjanjian kerja itu adalah suatu perjanjian antara orang perorang pada satu

pihak dengan pihak lain sebagai majikan untuk melaksanakan suatu

pekerjaan dengan mendapatkan upah”.

Setelah dijelaskan beberapa pengertian dari perjanjian kerja diatas, dapat

disimpulkan beberapa hal yaitu pada Pasal 1602 a KUHPerdata, terdapat

kata “ di bawah perintah” yang mengandung arti bahwa salah satu pihak

yang mengadakan perjanjian kerja harus tunduk pada pihak yang lainnya.

Jadi dalam perjanjian kerja tersebut antara kedua belah pihak ada kedudukan

yang tidak sama yang disebut subordinasi. Sedangkan pengertian perjanjian

yang ditentukan dalam Pasal 1313 KUHPerdata memiliki perbedaan yaitu

kedudukan antara para pihak yang membuat perjanjian adalah sama dan

seimbang, karena dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

3. Syarat Sahnya Perjanjian Kerja

Untuk disebut sahnya suatu perjanjian kerja, maka dalam pembuatan

perjanjian tersebut harus memenuhi syarat materil (Pasal 52, 55, 58, 59, dan

27
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1977 , Hal. 63.

17
60 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) dan syarat formil

(Pasal 51, 54 dan 57 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).28

Syarat Materil Syarat Formil


(Pasal 52, 55, 58, 59, dan 60 UU No. 13 (Pasal 51, 54 dan 57 UU No. 13 Tahun
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) 2003 tentang Ketenagakerjaan)

Berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1), Berdasarkan Pasal 51 ayat (1), (2) :
perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a) Kesepakatan kedua belah pihak; (1) Perjanjian kerja dibuat secara tertulis
b) Kemampuan atau kecakapan melakuk atau lisan.
an perbuatan hukum (2) Perjanjian kerja yang dipersyaratkan
c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; secara tertulis dilaksanakan sesuai dengan
d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak ber peraturan perUndang-Undangan yang
tentangan dengan ketertiban umum, k berlaku.
esusilaan dan peraturan perundang-un
dangan yang berlaku.

Dalam Pasal 52 ayat (1), Dasar huruf a dan b adalah syarat subyektif, sedang

kan dasar huruf c dan d adalah syarat objektif. Apabila dalam perjanjian kerj

a tidak memenuhi syarat subyektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalka


28
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Citra Aditya bakti, Ban
dung, 2014, Hal.50

18
n. Apabila perjanjian kerja itu tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanji

an tersebut batal demi hukum. Artinya perjanjian kerja itu sejak semula dian

ggap tidak pernah ada.29

4. Jenis Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja selalu berkembang sesuai dengan dinamika

kehidupan dan kebutuhan masyarakat sehingga berpengaruh dalam

pengelompokannya.30 Ada dua jenis perjanjian kerja yang dikelompokkan

dalam beberapa kategori yaitu, berdasarkan bentuk perjanjian kerja dan

berdasarkan jangka waktu perjanjian kerja. Berdasarkan ketentuan di dalam

Pasal 51 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bentuk

perjanjian kerja dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:

1) Perjanjian kerja secara tertulis adalah perjanjian kerja yang harus dibuat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Contoh: PKWT,

Perjanjian Kerja Antar Daerah (AKAD), Perjanjian Kerja Antar Negara

(AKAN) dan perjanjian kerja laut. Secara normatif perjanjian tertulis

manjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi

29
Ibid
30
Abdul Khakim, Dasar-Dasar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT.Citra Aditya bakti, Ban
dung, 2014, Hal. 51-56

19
perselisihan antara para pihak maka sangat membantu dalam proses

pembuktian.31

2) Perjanjian kerja secara lisan adalah perjanjian kerja yang dibuat sesuai

kondisi masyarakat secara tidak tertulis. Dari aspek yurudis perjanjian

kerja secara lisan (tidak tertulis) diakui eksistensinya, namun

kepentingan litigasi memiliki kelemahan untuk pembuktian jika timbul

perselisihan dikemudian hari.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 56 ayat (1) UU No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dibagi dalam dua jenis yaitu

perjanjian kerja untuk waktu tertentu (PKWT) dan perjanjian kerja untuk

waktu tidak tertentu (PKWTT). Dalam Pasal 56 ayat (2) UU No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa perjanjian kerja untuk waktu

tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya satu pekerjaan

tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) merupakan perjanjian kerja

antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja untuk mengadakan

hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang

bersifat sementara.32 Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat dikatakan

bahwa perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan

yang bersifat tetap. Ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1) UU No. 13 Tahun

31
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi Revisi, Cetakan ke-12, PT. R
aja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, Hal. 66.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/ME
32

N/VI/2004,Pasal 1, angka 1

20
2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa “ perjanjian kerja untuk

waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu” yaitu:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang

tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman;

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru,

atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Dalam perjanjian kerja waktu tertentu tidak boleh mensyaratkan adanya

masa percobaan, karena hal tersebut dapat merugikan pekerja/buruh. Lama

masa percobaan adalah 3 (tiga) bulan, dalam masa percobaan pengusaha

dapat mengakhiri hubungan kerja secara sepihak (tanpa izin dari pejabat

yang berwenang).33 “Pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu dapat

diadakan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)

kali jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun” (Pasal 59 ayat (4) UU NO. 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Perjanjian kerja waktu tertentu

disebut dengan perjanjian kerja kontrak atau perjanjian kerja tidak tetap.

Dalam hal pembuatan perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara

tertulis (Pasal 57 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Ketentuan dalam pasal tersebut dimaksudkan untuk lebih menjamin

33
Kosidin Koko, Perjanjian Kerja Perjanjian Perburuhan dan Peraturan Perusahaan, CV Man
dar Maju, Bandung, 1999, Hal 76.

21
perlindungan para pihak dan untuk menjaga terjadi hal-hal yang tidak diingi

nkan sehubungan dengan berakhirnya perjanjian kontrak kerja para pihak.

Perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) adalah perjanjian

kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan

kerja yang bersifat tetap.34 Dalam perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu

dapat mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 (tiga) bulan dan

dalam masa percobaan tersebut pengusaha tidak boleh membayar upah di

bawah upah minimum yang berlaku (berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat

(1) dan ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003). Berdasarkan ketentuan dalam

Pasal 1603 q ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa; Waktu lamanya

hubungan kerja tidak ditentukan, baik dalam perjanjian atau peraturan

majikan maupun dalam peraturan perundang-undangan atau pula menurut

kebiasaan, maka perjanjian kerja itu dipandang diadakan untuk waktu tidak

tertentu”.

5. Asas-asas dalam Perjanjian Kerja

Asas merupakan landasan lahirnya suatu peraturan hukum yang berfungsi

sebagai pedoman atau arahan bagaimana peraturan hukum tersebut dapat

dijalankan seperti dalam pelaksanaan sebuah perjanjian kerja antara pihak.

Ada beberapa asas dalam suatu perjanjian kerja antara pihak sebagai berikut:

34
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 100/ME
N/VI/2004,Pasal 1, angka 2

22
a. Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract)

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka yang artinya hukum perjanj

ian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pembuatnya unt

uk membuat perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ket

ertiban umum dan kesusilaan.35 Dalam perjanjian dikenal adanya asas

kebebasan berkontrak yaitu para pihak bebas untuk mengadakan

perjanjian yang dikehendakinya, tidak terikat pada bentuk tertentu,

namun kebebasan itu ada pembatasnya.36 Berdasarkan ketentuan dalam

Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dengan memperhatikan Pasal 1320, 13

35 dan 1337 KUH Perdata, asas kebebasan berkontrak merupakan asas

yang mengatakan bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat

kontrak/perjanjian yang berisi macam apapun asal tidak bertentangan de

ngan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Menurut Pasal

1338 KUHPerdata, “ semua persetujuan yang dibuat sesuai dngan

undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya”. disini nampak bahwa setiap subjek hukum tersebut dapat

membuat perjanjian dengan bentuk dan tentang apa saja. 37 Di dalam

asas kebebasan berkontrak ini terkandung suatu pandangan bahwa

orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian, bebas


35
Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1979, Hal 13.
36
R. Joni Bambang, Hukum Ketenagakerjaan, Cetakan Kesatu, Penerbit Pustaka Setia,
Bandung, 2013, Hal. 101.

37
Christiana Tri Budhayati, Mengenal Hukum Perdata di Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2017, Hal. 159.

23
dengan siapa ia mengadakan perjanjian, bebas tentang apa yang

diperjanjikan dan bebas untuk menetapkan syarat-syarat perjanjian.38

b. Asas konsensualisme (concensualism)

Istilah konsesualisme berasal dari bahasa latin “ consensus” yang berarti

sepakat. Asas konsesualisme terdapat dalam Pasal 1320 butir 1 jo Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa diperlukan adanya

kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya dalam sebuah

perjanjian.

c. Asas pacta sunt servanda

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa semua

persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Oleh sebab itu, para

pihak yang telah melakukan persetujuan bersama harus mematuhi dan

menghormati perjanjian/kontrak yang dibuatnya, sebab perjanjian/kontrak

tersebut berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya.

d. Asas itikad baik

38
Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volume 18 No.3, 2003, Hal
31.

24
Dalam Pasal 1338 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa “persetujuan

harus dilaksanakan dengan itikad baik”.39 Menurut Muhammad Noor,

asas itikad baik dapat dibedakan atas 2 (dua) macam, yaitu subyektif dan

obyektif. Asas itikad baik subyektif adalah kejujuran dari diri seseorang

atau niat yang bersih dari para pihak, sedangkan asas itikad baik obyektif

merupakan pelaksanaan perjanjian itu harus berjalan di atas rel yang

benar, harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. 40

e. Asas kepribadian (personality)

Asas kepribadian terdapat dalam Pasal 1340 KUH Perdata:

“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya”. Asas kepribadian berarti bahwa pada umumnya tidak

seorangpun dapat membuat perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri,

karena suatu perjanjian hanya mengikat bagi pihak lain yang tidak

terlibat dalam perjanjian itu.41

6. Akibat Hukum Perjanjian Kerja

39
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
40
Muhammad Noor, Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan Dalam Pembuatan Kontrak,
MAZAHIB, Vol. XIV, No. 1, Jurnal Pemikiran Hukum Islam, 2015, Hal. 92.
41
Berdasarkan Djohari Santoso, SU & Achmad Ali, Hukum Perjanjian, Hal. 52, sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Noor.

25
Berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata ada beberapa akibat hukum dalam

perjanjian kerja :

a. Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak secara sah berlaku sebagai

Undang-undang bagi mereka yang membuatnya;

b. Perjanjian kerja yang telah dibuat tidak dapat ditarik kembali kecuali

adanya kesepakatan antara pihak atau karena adanya alasan yang

dibenarkan oleh Undang-undang;

c. Perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.

C. Pemutusan Hubungan Kerja

1. Definisi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Salah satu masalah ketenagakerjaan yang sering terjadi hingga saat

ini adalah pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Pasal 1 angka 25

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pengertian

pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja

karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan

kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Menurut Halim A Ridwan,

pemutusan hubungan kerja adalah suatu langkah pengakhiran hubungan

kerja antara buruh dan majikan karena suatu hal tertentu.42

42
Halim, A. Ridwan, Hukum Perburuhan dalam Tanya Jawab, Cetakan ke II, Gahlia Indonesia,
Jakarta, 1990, Hal. 136.

26
2. Alasan-Alasan Pemutusan Hubungan Kerja

a. Sebelum Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ci

pta Kerja

Pengaturan tentang pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum

berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

yaitu terdapat di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja diatur secara

rinci dalam UU No. 13 Tahun 2003 dalam Pasal 164 ayat (1) yang

menyatakan bahwa :

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap

pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan

mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau

keadaan memaksa (force majeure), dengan ketentuan pekerja/buruh

berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal

156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali

ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai

ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)”.43 Dari pasal tersebut dapat

dimaknai bahwa apabila perusahaan dalam keadaan memaksa (force

majeure), dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan tetap

membayar kewajiban atas uang pesangon, uang penghargaan masa kerja

dan uang penggantian hak terhadap pekerja/buruh yang terkena

pemutusan hubungan kerja (PHK).


43
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

27
b. Paska Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta

Kerja

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 154A Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, alasan-alasan terjadinya

pemutusanhubungan kerja (PHK) adalah sebagai berikut:

(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan

a. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambil

alihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak b

ersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak be

rsedia menerima pekerja/buruh;

b. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan pe

rusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan ya

ng disebabkan perusahaan mengalami kerugian;

c. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan menga

lami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun;

d. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force

majeure);

e. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayara

n utang; Perusahaan pailit;

28
f. Adanya permohonan PHK yang diajukan oleh pekerja/buruh

g. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubunga

n industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan pe

rbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permo

honan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha me

mutuskan untuk melakukan PHK;

h. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan

harus memenuhi syarat: 1) Mengajukan permohonan pengun

duran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelu

m tanggal mulai pengunduran diri; 2) Tidak terikat dalam ik

atan dinas; dan 3) Tetap melaksanakan kewajibannya sampai

tanggal mulai pengunduran diri;

i. Pekerja/buruh mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturu

t-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi deng

an bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali

secara patut dan tertulis;

j. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringat

an pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-

masing berlaku untuk paling lama 6 bulan kecuali ditetapkan

29
lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perja

njian kerja bersama;

k. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bul

an akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melaku

kan tindak pidana;

l. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat ak

ibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaann

ya setelah melampaui batas 12 bulan;

m. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau

n. Pekerja/buruh meninggal dunia.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Ci

pta Kerja menegaskan bahwa dalam hal terjadi pemutusan

hubunga kerja (PHK), pengusaha wajib membayar uang pesango

n dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian h

ak yang seharusnya diterima, tanpa membeda-bedakan berdasark

an alasan terjadinya phk.44

3. Upaya hukum terhadap pemutusan hubungan kerja


Pada dasarnya, baik pengusaha, pekerja/buruh maupun pemerintah h
arus mengusahakan agar pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak terjadi. Jik
44
I Komang Gede Budiarta, “Perlindungan Hukum Untuk Tenaga Kerja Yang Dirumahkan
Berdasarkan Undang-undang No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja”, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum
Universitas Dwijendra, Vol. 18 No. 2 (2021), 56

30
a pekerja/buruh merasa keberatan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK)
yang dilakukan oleh pengusaha karena dianggap sepihak dan tidak sesuai de
ngan undang-undang, maka pekerja/buruh dapat melakukan gugatan ke Lem
baga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) dan dapat juga
PHK tersebut batal demi hukum dan pekerja dapat kembali dipekerjakan.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 151 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, apabila pemutusan hubungan kerja
(PHK) tidak dapat dihindari maka maksud dari pemutusan hubungan kerja
(PHK tersebut wajib dirundingkan antara pengusaha dengan serikat pekerja/
serikat buruh atau dengan pekerja/buruh yang bersangkutan jika pekerja/bur
uh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. A
pabila dalam perundingan tersebut tidak mencapai kesepakatan maka pengus
aha hanya dapat melakukan PHK setelah ada penetapan dari Lembaga Penye
lesaian Perselisihan Hubungan Industrial.45

45
Khairani, Pengantar Hukum Perburuhan dan Ketenagakerjaan Disesuaikan dengan Undang
- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2021, Hal 181.

31

Anda mungkin juga menyukai