Anda di halaman 1dari 9

MUHAMMAD SUBHAN AMIRUDDIN

20071010289

HUKUM PERIKATAN E

BUKU HUKUM PERIKATAN ( Nanda Amalia, S.H., M.Hum.)

TUGAS RESUME BUKU HUKUM PERIKATAN

1. Definisi Perikatan Dan Hukum Perikatan

Hukum perikatan merupakan istilah yang paling luas cakupannya. Istilah ”perikatan”

merupakan kesepadanan dari istilah Bahasa Belanda ”Verbintenis). Istilah hukum

perikatan mencakup semua ketentuan dalam buku ketiga KUH Perdata. 1 2 Buku ketiga

KUH Perdata tidak memberikan penjelasan yang spesifik tentang pengertian perikatan,

namun demikian, para ahli memberikan pengertian tentang perikatan ini diantaranya

yang disampaikan oleh Mariam Darus Badrulzaman, bahwa perikatan dimaknai sebagai

”hubungan (hukum) yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di bidang

harta kekayaan, dengan pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib

memenuhi prestasi tersebut” (1994: 3), sedangkan Hukum Perikatan dimaknai sebagai

seperangkat aturan yang memberikan pengaturan terhadap dilaksanakannya perikatan.

Sumber hukum perikatan:

Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan ”Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena

perjanjian, baik karena undang-undang”. Maknanya, perikatan bersumber dari, 1)

Perjanjian, 2) Undang-Undang. Namun demikian, perikatan juga dapat bersumber dari


Jurisprudensi, Hukum Tertulis dan Hukum Tidak Tertulis serta Ilmu Pengetahuan

Hukum.

Objek Perikatan

Pasal 1234 KUH Perdata memberikan pengaturan tentang objek ataupun jenis

perikatan. Objek dalam perikatan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh kedua belah

pihak di dalam perjanjian itu. Objek dalam hukum perikatan lazim juga disebut sebagai

prestasi dalam perikatan, yaitu:

1. Untuk memberikan sesuatu;

2. Untuk berbuat sesuatu;

3. Untuk tidak berbuat sesuatu.

a. Perikatan untuk memberikan sesuatu (Pasal 1235 – 1238 KUH Perdata): Dalam

perikatan untuk memberikan sesuatu, termaktub kewajiban yang berutang untuk

menyerahkan harta benda yang bersangkutan dan merawatnya sebagaimana bapak

rumah tangga yang baik, sampai pada saat penyerahannya. Perikatan ini prestatienya

adalah untuk memberikan sesuatu (menyerahkan) yang dikenal juga dengan istilah

levering dan merawatnya. Kewajiban menyerahkan adalah kewajiban pokok,

sedangkan kewajiban merawat adalah kewajiban preparatoir, yang dilaksanakan oleh

debitur menjelang pemenuhan kewajiban pokoknya. Contoh perikatan untuk

memberikan sesuatu adalah Jual Beli, Sewa Beli, Tukar Menukar.

1. Schuld & Haftung dalam Perikatan.


Schuld adalah kewajiban kreditur untuk menyerahkan prestasi kepada debitur.

Sedangkan Haftung adalah kewajiban debitur untuk menyerahkan harta kekayaannya

untuk diambil kreditur sebanyak utang debitur, guna pelunasan hutang si debitur,

apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar utang tersebut.. Antara Schuld

dan haftung adalah dapat dibedakan namun tidak terpisahkan. Salah satu pasal yang

memberikan pengaturan tentang schuld dan haftung ini adalah Pasal 1131 KUH

Perdata “Segala kebendaan si berutang, baik yang 7 bergerak maupun tidak bergerak,

baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi

tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

2. Prestasi & Wanprestasi.

Prestasi atau dalam hukum kontrak dikenal juga dalam istilah Inggris sebagai

performance adalah pelaksanaan dari isi kontrak yang telah diperjanjikan menurut tata

cara yang telah disepakati bersama (term and condition). Macam-macam prestasi

adalah yang diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata. Wanprestasi atau yang juga

dikenal dengan cidera janji; default; nonfulfillment; ataupun breach of contract adalah

suatu kondisi tidak dilaksanakannya suatu prestasi/ kewajiban sebagaimana mestinya

yang telah disepakati bersama – sebagaimana yang dinyatakan dalam kontrak.

Wanprestasi dapat terjadi karena kesengajaan; kelalaian ataupun tanpa kesalahan

(kesangajaan dan/kelalaian). Konsekwensi yuridis dari wanprestasi adalah timbulnya

hak dari pihak yang dirugikan dalam kontrak tersebut untuk menuntut ganti rugi dari

pihak yang melakukan wanprestasi.

3. Force Majeure & Akibat Hukumnya


Force Majeure merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk

melaksanakan prestasinya karena keadaan/peristiwa yang tidak terduga pada saat

dibuatnya kontrak. Keadaan/peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.

Peristiwa tersebut terjadinya juga tidak telah diasumsikan terlebih dahulu

kemungkinannya (seandainya telah diasumsikan kemungkinannya, maka para pihak

harusnya telah menegoisiasikannya di dalam kontrak). Contoh peristiwa yang

menyebabkan force majeure adalah terjadinya air bah, banjir badang, meletusnya

gunung merapi, gempa bumi, mogok massal serta munculnya peraturan baru yang

melarang pelaksanaan prestasi dari kontrak tersebut.

Pasal 1244 & 1245 KUH Perdata mengatur masalah force majeure dalam

hubungannya dengan penggantian biaya rugi dan bunga saja; namun demikian

ketentuan ini juga dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force

majeure secara umum.

Force majeure menurut Munir Fuady (2002: 17-21) dapat dibedakanatas:

1. Force majeure yang objektif, terjadi terhadap benda yang menjadi objek dari

kontrak tersebut, misal benda tersebut terbakar atau terbawa banjir badang.

2. Force majeure yang subjektif, terjadi terhadap subjek dari perikatan itu.

Misalnya jika si debitur cacat seumur hidup, atau sakit berat sehingga tidak

mungkin lagi memenuhi prestasi.

3. Force majeure yang absolute, yaitu keadaan dimana prestasi oleh debitur tidak

mungkin sama sekali dapat dipenuhi untuk dilaksanakan. Bagaimanapun


keadaannya. Kondisi ini disebut juga dengan istilah impossibility – misal, jika

barang yang menjadi objek dalam perikatan tersebut tidak dapat lagi ditemui di

pasaran dikarenakan sudah tidak diproduksi lagi.

4. Force majeure yang relative, disebut juga dengan impracticality – merupakan

kondisi dimana pemenuhan prestasi secara normal tidak lagi dapat

dilaksanakan, walaupun secara tidak normal pada dasarnya masih bias

dilaksanakan. contoh force majeure bentuk ini adalah terhadap kontrak ekspor

impor dimana tiba-tiba pemerintah mengeluarkan larangan terhadapnya. Secara

normal, kontrak ini tidak dapat dilaksanakan, namun dengan cara tidak normal

seperti penyelundupan (illegal), kontrak masih dapat dilaksanakan.

5. Force Majeure yang permanent, dalam hal ini prestasi sama sekali tidak

mungkin dapat dilaksanakan, sampai kapan pun walau bagaimanapun. Misal,

kontrak pembuatan lukisan, tetapi si pelukis menderita sakit stroke (misalnya)

yang tidak dapat sembuh lagi sehingga dia tidak mungkin lagi melukis sampai

kapan pun.

6. Force majeure yang temporer adalah suatu force majeure dimana prestasi

tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu, tetapi nanti nya masih mungkin

dilakukan. Misal, perjanjian pengadaan suatu produk tertentu, namun

dikarenakan berhentinya operasional pabrik yang disebabkan oleh mogok buruh,

maka force majeure terjadi. Setelah keadaan reda, dan buruh kembali bekerja

dan pabrik beroperasi kembali maka prestasi dapat dilanjutkan kembali.

Ada enam (6) macam bentuk ganti rugi yang dikenal dalam Ilmu Hukum yaitu;
1. Ganti Rugi dalam Kontrak, dinyatakan secara tegas di dalam kontrak. Hanya

dapat dimintakan seperti yang tertulis dalam kontrak tersebut; tidak boleh melebihi

ataupun kurang.

2. Ganti Rugi Ekspektasi: Bentuk penghitungannya adalah dengan ekspektasi atau

perkiraan. dilakukan dengan menghitung ganti rugi dengan membayangkan seolah-

olah kontrak jadi dilaksanakan. “Kemungkinan” kehilangan keuntungan yang

diharapjan merupakan inti dari model ganti rugi bentuk ekspektasi.

3. Penggantian Biaya: Ganti rugi bentuk ini merupakan penggantian biaya atau

yang dikenal dengan istilah out of pocket; Reliance Damages. 12 Ganti rugi ini

merupakan bentuk ganti rugi dengan memperhitungkan sejumlah biaya-biaya yang

telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugkan dalam hubungan kontrak tersebut. Pada

model ini, para pihak ditempatkan dalam posisi “status quo ante” yaitu seolah-olah

kontrak belum terjadi. Biaya-biaya yang diperhitungkan biasanya adalah ditunjukkan

dengan kuitansi-kuitansi, oleh karenanya juga dikenal dengan Ganti Rugi Kuitansi.

4. Restitusi: Restitusi adalah suatu nilai tambah/manfaat yang telah diterima oleh

pihak yang melakukan wanprestasi, dimana nilai tambah tersebut terjadi akibat

pelaksanaan prestasi dari pihak lainnya. Nilai tambah tersebut harus dikembalikan

kepada pihak yang dirugikan karenanya. Jika tidak dikembalikan maka pihak

tersebut dianggap “memperkaya diri tanpa hak (unjust enrichment)” – dan terhadap

hal ini tidak dapat dibenarkan.

5. Quantum Meruit: Bentuk ganti rugi ini mirip dengan ganti rugi restitusi. Bedanya,

manfaat barang tersebut sudah tidak dapat dikembalikan lagi. Misalnya dikarenakan
barang telah habis pakai, barang musnah, berubah wujud dan atau sudah dialihkan,

sehingga ganti rugi yang diberikan untuk pengembaliannya adalah nilai wajar

(reasonable value) dari hasil pelaksanaan kontrak tersebut. Contoh, dalam Kontrak

Kerja: jika pekerja sudah melaksanakan pekerjaannya sebanyak 2/3 dari

seharusnya dan kontrak diputus oleh pemberi kerja, maka pihak pekerja berhak

untuk dinilai secara wajar dan dibayarkan hasil kerja nya yang telah dilaksanakan

tersebut.

6. Ganti Rugi dengan Pelaksanaan Kontrak: Ganti rugi ini disebut juga dengan

specific performance/equitable performance/equitable relieve. Jika terjadi

wanprestasi dalam kontrak, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhan

nya dengan melaksanakan kontrak secara utuh tanpa bentuk ganti rugi lainnya.

2. Sumber Perjanjian Hukum Perikatan

A. Istilah dan Defenisi Perjanjian Perjanjian lazim dikenal ataupun disebut sebagai

kontrak, yang merupakan adopsi dari istilah Inggris “contract”, serta juga dikenal

sebagai “agreement” atau “overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Selain itu, dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian juga dikenal dengan istilah

“persetujuan”.

Defenisi dari perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “Suatu

persetujuan adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau lebih”.

B. Teori-teori Yuridis dan Konseptual tentang Perjanjian Ilmu hukum mengenal

beberapa teori tentang perjanjian, yaitu : 1) Teori berdasarkan prestasi kedua belah
pihak, 2) Teori berdasarkan Formasi Kontrak, 3) Teori Dasar Klasik, 4) Teori Holmes

tentang Tanggung Jawab yang berkenaan dengan kontrak, serta 5) Teori Liberal

tentang kontrak.

1. Teori berdasarkan prestasi kedua belah pihak adalah dengan melihat prestasi dari

para pihak yang terlibat dalam kontrak.

a) Will Theory. Disebut juga dengan teori hasrat yang menekankan kepada

pentingnya hasrat atau “will” atau “intend” dari pihak yang memberikan janji.

Teori ini kurang mendapat tempat, dikarenakan bersifat (sangat) subjektif , dalam

hal mana menurut teori ini yang terpenting dari suatu kontrak bukanlah apa yang

dilakukan oleh para pihaknya, tetapi apa yang mereka inginkan belaka. Aspek

pemenuhan dari kontraknya sendiri dianggap sebagai urusan belakangan,

karena yang didahulukan adalah kehendaknya.

b) Equivalent Theori. Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat

jika para pihaknya telah memberikan prestasi yang seimbang atau sama nilai

(equivalent). Dalam prakteknya sekarang, teori ini mulai ditinggalkan

dikarenakan banyak kontrak dalam perkembangannya dan dikarenakan alasan

apapun dilakukan dengan prestasi yang tidak seimbang antara para pihak.

c) Bargaining Theory. Teori ini merupakan perkembangan dari teori sama nilai.

Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang

telah dinegoisiasikan dan kemudian disetujui oleh para pihak.

d) Injurious Reliance Theory. Disebut dengan teori kepercayaan merugi, bahwa

kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang bersangkutan sudah

menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan sehingga
pihak yang menerima janji tersebut karena kepercaaannya itu akan menimbulkan

kerugian jika janji itu tidak terlaksana

Anda mungkin juga menyukai