Anda di halaman 1dari 12

FORCE

MAJEUR/OVERMACHT

Disusun Oleh :
Muhammad Andaru Bagaskara 19220103
Fajar Adi Firmansyah 19220189
Mudrikatu Azizah Muhtar 19220051
Muhammad Salman Adim 19220175
Pengertian Keadaan Memaksa

Dari pasal-pasal KUH Perdata, sebagaimana akan
ditunjukkan di bawah ini, disimpulkan bahwa
overmacht adalah keadaan yang melepaskan seseorang
atau suatu pihak yang mempunyai kewajiban untuk
dipenuhinya berdasarkan suatu perikatan (i.e.si
berutang atau debitur), yang tidak atau tidak dapat
memenuhi kewajibannya, dari tanggung jawab untuk
memberi ganti rugi, biaya dan bunga, dan/atau dari
tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya
tersebut.
Keadaan Memaksa dalam
KUHP

 a. Pasal 1244 KUH Perdata “Jika ada alasan untuk itu si berhutang
harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga, bila ia tidak
membuktikan, bahwa hal tidak dilaksanakan atau tidak pada
waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, disebabkan
karena suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad
buruk tidak ada pada pihaknya.”
 b. Pasal 1245 KUH Perdata “Tidaklah biaya, rugi dan bunga harus
digantinya, apabila karena keadaan memaksa [overmacht] atau
karena suatu keadaan yang tidak disengaja, si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan,
atau karena hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang.”
Akibat Hukum dan Tanggung Gugat
dalam Keadaan Memaksa

peristiwa yang dikategorikan sebagai force majeure
membawa konsekuensi atau akibat hukum kreditur tidak
dapat menuntut pemenuhan prestasi dan debitur tidak lagi
dinyatakan wanprestasi sehingga debitur tidak wajib
membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik
kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena
perikatannya dianggap gugur. Akibat terjadinya force
majeure dalam peraturan perundang-undangan dan kontrak
ditinjau dari dua segi utama, yaitu terhadap perjanjian itu
sendiri: apakah dihentikan, dihentikan sementara, atau tetap
dilanjutkan, dan terhadap pihak mana yang akan
menanggung risiko.
akibat terjadinya force majeure yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.:


 1. Ketentuan Pengadaan Barang dan Jasa Terjadinya force majeure
mengakibatkan:
- keterlambatan pelaksanaan pekerjaan yang diakibatkan terjadinya
keadaan kahar tidak dapat dikenakan sanksi;
- pihak yang menanggung kerugian akibat terjadinya keadaan kahar
diserahkan pada kesepakatan para pihak.
 2. Ketentuan Perkeretaapian Terjadinya force majeure
membebaskan penyelenggara prasarana perkeretaapian atas
tanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap pihak yang
dirugikan.
 3. Ketentuan Pertambangan Mineral dan Batu Bara Terjadinya force
majeure berakibat penghentian sementara kegiatan pertambangan
atau perjanjian.
Unsur-unsur dan Syarat Force
majure

Force majeure adalah suatu alasan untuk membebaskan debitur dari
kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang
dikemukakan oleh pihak kreditur. unsur-unsur yang menyatakan
bagaimana suatu keadaan dapat dinyatakan sebagai force majeure antara
lain:
 terjadinya keadaan/kejadian di luar kemauan, kemampuan atau
kendali para pihak;
 menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak;
 terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat,
terhalang, atau tidak dilaksanakannya prestasi para pihak;
 para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk
menghindari peristiwa tersebut;
 kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian
dalil force majeur /overmacht (keadaan
memaksa) tidak akan berhasil, apabila:


 overmacht terjadi diluar kesalahan debitor, namun
debitor telah dalam keadaan lalai,
 tercegahnya pemenuhan prestasi dapat diduga pada
waktu penutupan perjanjian,
 tercegahnya pemenuhan disebabkan kesalahan
seseorang yang diikut-sertakan dalam melaksanakan
perikatan,
 tercegahnya pemenuhan disebabkan oleh cacat -
cacat benda yang digunakan debitor dalam
melaksana-kan perikatannya,
Pengertiaan dan Unsur-unsur Keadaan
Sulit ( Hardship )

Perkembangan doktrin baru terkait dengan hambatan
atau kendala pelaksanaan kontrak yang cukup penting
dan mendasar untuk diperhatikan adalah doktrin
hardship (keadaan sulit). Berbeda dengan wanprestasi
dan overmacht yang telah diatur dalam ketentuan
Buku III BW, maka hardship belum ada pengaturannya
dan dalam hal terjadi kasus-kasus terkait dengan
hardship, pada umumnya hakim akan memutus
berdasarkan overmacht (menyamakan hardship
dengan overmacht).
Ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Hardship

 peristiwa yang menghalangi pelaksanaan prestasi lebih
ditekankan pada 'peristiwa yang merubah keseimbangan
kontrak secara fundamental, baik karena biaya pelaksanaan
atau karena nilai pelaksanaan yang akan diterima berubah
secara signifikan sehingga akan menimbulkan kerugian secara
tidak wajar kepada pihak lain
 apabila terbukti maka kontrak tidak berakhir namun dapat di
negosiasi ulang (renegosiasi) oleh para pihak untuk ke-
lanjutannya.
 apabila renegosiasi gagal maka sengketa dapat diajukan ke
pengadilan
 hakim dapat memutuskan kontrak atau merevisi kontrak
untuk mengembalikan ke-seimbangan secara proporsional.
Akibat Hukum Hardship


Hardship akan diterapkan jika terjadi peristiwa tidak
diatur oleh para pihak yang mengakibatkan merubah
kkeseimbangan secara mendasar didalam kontrak
sehingga menempatkan beban yang berlebihan pada
salah satu pihak dalam pelaksanaan kewajiban
kontraktualnya.
Pengertian Resiko

Secara umum, resiko diartikan sebagai tanggung jawab
seseorang sebagai akibat dari perbuatannya. Dalam
hukum perikatan, resiko diartikan sebagai kewajiban
memikul kerugian yang disebabkan karena suatu
kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang
menimpa benda seperti yang dimaksud dalam perjanjian.
Sebagai contoh : barang yang diperjualbelikan musnah di
tengah jalan, karena kapal yang mengangkut karam.
Dalam hal demikian siapa yang mesti menanggung
kerugian itu ? Itulah persoalan yang dinamakan risiko.
Memahami Tanggung Gugat atas Resiko
Dalam Kontrak / Perjanjian Sepihak


Pengertian terkait tanggung gugat salah satunya ada di Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP). Dari
keseluruhan isi UUAP ada terminologi tentang tanggung jawab dan
tanggung gugat pada Pasal 1 angka 23. Bunyi lengkap pasal itu adalah:
“Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung
gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi”. Walaupun UUAP
membedakan keduanya tetapi ia tidak mencoba menetapkan definisi
keduanya. Bahkan, Pasal 1 angka 23 tidak konsisten dengan Pasal 13 Ayat
(7) yang berbunyi: “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
memperoleh wewenang melalui delegasi, tanggung jawab kewenangan
berada pada penerima delegasi”. Ini tidak konsisten karena kata tanggung
gugat tidak lagi disertakan.

Anda mungkin juga menyukai