Anda di halaman 1dari 3

Force Majeure dalam Kontrak Bisnis

Novan P.S Lepap, SH., MH


Founder Kantor Hukum LHJP Advocates & Legal Consultants

Kontrak merupakan perjanjian yang bentuknya tertulis. Dalam suatu Kontrak bisnis, ikatan kesepakatan dituangkan dalam dalam suatu perjanjian yang bentuknya tertulis. Hal ini untuk kepentingan yang akan datang, jika dikemudian hari terjadi sengketa berkenaan dengan kontrak itu sendiri, maka para pihak dapat mengajukan kontrak tersebut sebagai salah satu alat bukti. Kontrak di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Buku III tentang Perikatan. Perikatan dapat lahir dari perjanjian dan undang-undang. Perjanjian itu sendiri meliputi perjanjian yang bentuknya tertulis (kontrak) dan perjanjian lisan. Dari Uraian singkat tersebut terlihat bahwa kontrak dengan perikatan memiliki kaitan, yaitu bahwa kontrak merupakan salah satu sumber dari perikatan. Di dalam pembuatan kontrak bisnis, akan selalu berkaitan atau bersinggungan dengan asasasas hukum, yang mana asas dimaknai sebagai hal-hal mendasar yang menjadi latar belakang lahirnya suatu norma atau aturan atau kaidah. Di dalam kontrak bisnis terdapat beberapa asas antara lain : 1. 2. 3. 4. Asas Kebebasan Berkontrak asas Kekuatan Mengikat Asas Itikad Baik Asas Kesepakatan

Harus digarisbawahi bahwa asas bukanlah norma, jadi ketika terjadi pelanggaran terhadap asas maka tidak dapat dikategorikan telah terjadi pelanggaraan hukum dengan adanya sanksi hukum, melainkan telah terjadi pelanggaran asas dengan sanksi yang bersifat moral. Namun apabila asas ini sudah tertuang dalam suatu norma atau aturan maka tentu saja pelanggaraannya bukan merupakan pelanggaraan asas tetapi sudah termasuk pelanggaraan hukum atau peraturan norma sehingga patut mendapat sanksi hukum. Namun terkadang dalam berjalannya waktu para pihak yang telah menyepakati isi dari kontrak bisnis tersebut terhalang untuk melaksanakan prestasinya, dikarenakan terjadinya keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dijalankannya kontrak bisnis tersebut, keadaan atau persitiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawakan kepada pihak yang lainnya, sementara pihak yang tidak dapat melaksanakan perstasinya tidak dalam keadaan beritikad buruk atau yang sering diterjemahkan sebagai force majeure atau keadaan memaksa. Dalam hal ini, kejadian-kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para pihak sebelumnya akan adanya peristiwa tersebut, maka seyogyanya hal tersebut harus sudah dinegosiasi diantara para pihak. Dengan kata lain, bahwa peristiwa yang merupakan force majeure tersebut tidak termasuk kedalam asumsi dasar (basic assumption) dari para pihak ketika kontrak tersebut dibuat. walaupun pasal 1244 dan juga pasal 1245 KUH Perdata hanya mengatur masalah force majeure dalam hubungan dengan pergantian biaya rugi dan bunga saja, akan tetapi perumusan pasal-pasal ini dapat digunakan sebagai pedoman dalam mengartikan force majeure pada umumnya.

Lebih lengkapnya, pasal 1244 dan pasal 1245 KUH Perdata menentukan sebagai berikut : Pasal 1244 Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada iktikad buruk padanya. Pasal 1245 Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bunga, bila dalam keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi scara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melaksanakan suatu perbuatan yang terlarang baginya. Dari rumusan-rumusan dalam pasal KUHPerdata seperti tersebut diatas dapat dilihat klausaklausa force majeure menurut KUHPerdata, yaitu sebagai berikut : 1. Force majeure karena sebab-sebab yang tak terduga. Dalam hal ini, menurut pasal 1244, jika terjadi hal-hal yang tidak terduga (pembuktiannya dipihak debitur) yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam melaksanakan kontrak, hal tersebut bukan termasuk dalam kategori wanprestasi kontrak, melainkan termasuk kedalam kategori force majeure, yang pengaturan hukumnya lain sama sekali. Kecuali jika debitur beriktikad jahat, dimana dalam hal ini debitur tetap dapat dimintakan tanggung jawabnya. 2. Force majeure karena keadaan memaksa. Sebab lain mengapa seseorang debitur dianggap dalam keadaan force majeure sehingga dia tidak perlu bertanggung jawab atas tidak dilaksanakannya kontrak adalah jika tidak dipenuhinya kontrak tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa. Lihat pasal 1245 KUH Perdata. 3. Force majeure karena masing-masing perbuatan tersebut dilarang. Apabila ternyata perbuatan (prestasi) yang harus dilakukan oleh debitur ternyata dilarang (oleh perundang-undangan yang berlaku), maka kepada debitur tersebut tidak terkena kewajiban membayar ganti rugi (paasl 1245 KUH Perdata). Kemudian beberapa sifat force majeure, yaitu: 1. Force majeure yang bersifat relatif, yaitu adalah suatu keadaan memaksa yang menyebabkan debitor tidak dapat melaksanakan prestasinya dengan pengorbanan pengorbanan sedemikian rupa, misalnya pencurian dan perampokan. 2. Force majeure yang bersifat absolut biasanya terlihat dari penyebab dari tidak dipenuhinya prestasi debitor lebih diakibatkan pada suatu sebab diluar kekuasaan manusia, seperti : gempa bumi, tanah longsor, badai, petir, dan bencana alam lainnya.

Dari penjelasan yang telah dijabarkan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Kerugian yang diakibatkan oleh force majeure dapat kita sebut sebagai resiko, sehingga dalam setiap kontrak bisnis akan terdapat yang dinamakan resiko bisnis, maka para pihak yang terikat dalam kontrak bisnis sudah seharusnya mencantumkan klausul mengenai force majeure, Sehingga apabila terjadi resiko dikemudian hari maka sudah jelas siapa yang akan bertanggung jawab atas kejadian tersebut. LHJP Advocates & Legal Consultants Jl. Kalibata Utara II No. 14 Duren Tiga Kalibata Jakarta Selatan 12670 P. +62 21-79191117 E. lhjp-law@lhjp-law.com

Anda mungkin juga menyukai