Anda di halaman 1dari 5

RESUME WANPRESTASI DAN OVERMACHT DALAM PELAKSANAAN

KONTRAK

Wanprestasi dan overmacht adalah dua konsep hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
kontrak. Wanprestasi adalah pelanggaran kontrak oleh salah satu pihak yang tidak memenuhi
kewajibannya sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak. Wanprestasi dapat terjadi jika salah
satu pihak tidak menyelesaikan kewajibannya pada waktu yang telah ditetapkan, tidak
memberikan hasil yang dijanjikan, atau tidak memenuhi persyaratan kualitas yang diharapkan
dalam kontrak. Dalam kasus wanprestasi, pihak yang dirugikan berhak untuk meminta ganti
rugi atau mengajukan tuntutan hukum.

Sementara itu, overmacht (dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai "keadaan
memaksa") adalah situasi di mana pelaksanaan kontrak menjadi tidak mungkin atau sangat
sulit karena adanya kejadian di luar kendali pihak yang terlibat dalam kontrak, seperti
bencana alam, perang, atau tindakan pemerintah yang menghalangi pelaksanaan kontrak.
Dalam kasus overmacht, pihak yang terlibat dalam kontrak dibebaskan dari kewajiban untuk
memenuhi kesepakatan kontrak, dan mereka tidak dapat dianggap melakukan wanprestasi.
Namun, perlu dicatat bahwa untuk dapat mengklaim overmacht, kejadian tersebut harus
benar-benar diluar kendali pihak yang terlibat dan tidak dapat dihindari atau diatasi dengan
upaya yang wajar.

Kedua konsep ini sangat penting dalam pelaksanaan kontrak karena membantu mengatur hak
dan kewajiban pihak yang terlibat dalam kontrak. Jika terjadi wanprestasi, pihak yang
dirugikan dapat meminta ganti rugi atau mengajukan tuntutan hukum. Sementara itu, jika
terjadi overmacht, pihak yang terlibat dalam kontrak dibebaskan dari kewajiban untuk
memenuhi kesepakatan kontrak.

A. Wanprestasi

Wanprestasi adalah: “Suatu keadaan dimana seorang debitur (berutang) tidak memenuhi atau
melaksanakan prestasi sebagaimana telah ditetapkan dalam suatu perjanjian”. Seseorang
dinyatakan wanprestasi karena: Sama sekali tidak memenuhi prestasi; prestasi yang dilakukan
tidak sempurna; terlambat memenuhi prestasi; dan melakukan apa yang dalam perjanjian
dilarang untuk dilakukan. Wanprestasi menimbulkan permasalahan, seperti bila seorang
debitur dinyatakan wanprestasi, apa akibat terjadinya wanprestasi dan bagaimana upaya agar
penyelesaian wanprestasi dapat memberi perlindungan bagi para pihak.

Pada umumnya seseorang dinyatakan lalai atau wanprestasi karena:

- Sama sekali tidak memenuhi prestasi;


- Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;
- Terlambat memenuhi prestasi; dan
- Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.

Adapun unsur-unsur wanprestasi antara lain:

- Adanya perjanjian yang sah (1320),


- Adanya kesalahan (karena kelalaian dan kesengajaan),
- Adanya kerugian,
- Adanya sanksi,
- Dapat berupa ganti rugi,
- Berakibat pembatalan perjanjian,
- Peralihan risiko, dan
- Membayar biaya perkara (apabila masalahnya sampai di bawa ke pengadilan).

Karena adanya kerugian yang disebabkan wanprestasi oleh pihak lain, maka pihak yang telah
melakukan wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat
berupa pembatalan perjanjian, pembatalan perjanjian disertai tuntutan ganti rugi, pemenuhan
perjanjian dan pemenuhan perjanjian disertai tuntutan ganti rugi. Namun demikian, debitur
tidak dapat secara serta merta dituduh melakukan wanprestasi tanpa adanya pembuktian
untuk hal tersebut, kemudian pihak yang dituduh melakukan wanprestasi juga harus diberi
kesempatan untuk dapat mengajukan tangkisan-tangkisan atau pembelaan diri, antara lain
berupa :

1. Tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi) terjadi karena keadaan terpaksa


(overmacht).
2. Tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi) terjadi karena pihak lain juga wanprestasi.
3. Tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi) terjadi karena pihak lawan telah
melepaskan haknya atas pemenuhan prestasi.
Akan tetapi adakalanya dalam keadaan tertentu untuk membuktikan adanya wanprestasi
debitur tidak diperlukan lagi pernyataan lalai, yaitu dalam hal untuk pemenuhan prestasi
berlaku tenggang waktu yang fatal, debitur menolak pemenuhan, debitur mengakui
kelalaiannya, pemenuhan prestasi tidak mungkin (di luar overmacht), pemenuhan tidak lagi
berarti, dan debitur melakukan pretasi tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal salah satu
pihak telah melakukan wanprestasi, maka pemutusan perjanjian oleh pihak yang telah
dirugikan akibat wanprestasi ini berlaku beberapa syarat secara yuridis yang harus
diperhatikan, berupa wanprestasi harus serius, hak untuk memutuskan perjanjian belum
dikesampingkan, pemutusan perjanjian tidak terlambat dilakukan, dan wanprestasi disertai
dengan unsur kesalahan.

B. Keadaaan memaksa/Force majuere/Overmacht.

Hubungan hukum yang lahir melalui kontrak tidak selalu terlaksana maksud dan tujuannya,
keadaan tersebut dapat terjadi akibat wanprestasi baik itu dilakukan oleh kreditur maupun
debitur, adanya paksaan, kekeliruan, perbuatan curang, maupun keadaan yang memaksaan
atau dikenal dengan force majeure atau dikenal dalam hukum Indonesia dengan overmacht.

Force majeure merupakan salah satu klausa yang lazimnya berada dalam suatu perjanjian,
dikatakan salah satu klausa karena kedudukan force majeure dalam suatu perjanjian berada di
dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan
perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir. Force majeure atau yang sering
diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur
terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga
pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan
beriktikad buruk. Adapun macam-macam keadaan memaksa, yaitu: keadaan memaksa yang
absolut (absolut onmogelijkheid) dan keadaan memaksa yang relatif (relatieve
onmogelijkheid).

Konsekuensi yang muncul dari keadaan ini menyebabkan suatu perjanjian (kontrak) dapat
dibatalkan dan yang batal demi hukum. Berkaitan dengan ketidaktercapaiannya maksud dan
tujuan perjanjian dapat disebabkan oleh force majeure atau keadaan memaksa dan lazimnya
ditujukan terhadap suatu peristiwa yang berada di luar jangkauan manusia untuk menghindar
dari peristiwa tersebut. Force majeure merupakan konsep hukum yang berasal dari hukum
Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai macam sistem hukum.
Doktrin dalam common law memaknai kata ini sebagai suatu ketidakmampuan untuk
melakukan sesuatu prestasi terhadap suatu kontrak, dengan di analogikan tetapi tidak identik
dengan force majeure. Force majeure merupakan salah satu konsep dalam hukum perdata
dan diterima sebagai prinsip dalam hukum. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa
force majeure atau vis major dapat diterima sebagai suatu alasan untuk tidak memenuhi
pelaksanaan kewajiban karena hilangnya/lenyapnya objek atau tujuan yang menjadi pokok
perjanjian. Keadaan ini ditujukan terhadap pelaksanaan secara fisik dan hukum, bukan
dikarenakan hanya kesulitan dalam melaksanakan kewajiban.

Mieke Komar Kantaatmadja memberikan pandangan senada yaitu:

1. Perubahan suatu keadaan tidak terdapat pada waktu pembentukan perjanjian.


2. Perubahan tersebut perihal suatu keadaan yang fundamental bagi perjanjian tersebut.
3. Perubahan tersebut tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh para pihak.
4. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas lingkup
kewajiban yang harus dilakukan menurut perjanjian itu.
5. Penggunaan asas tersebut tidak dapat diterapkan pada perjanjian perbatasan dan juga
terjadinya perubahan keadaan akibat pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang
mengajukan tuntutan.

Force majeure pengaturannya di Indonesia terdapat dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata,
namun apabila dikaji lebih lanjut ketentuan tersebut lebih menekankan bagaimana tata cara
penggantian biaya, rugi dan bunga akan tetapi dapat dijadikan acuan sebagai pengaturan
force majeure. Pada klausa force majeure memberikan perlindungan yang diberikan dari
terhadap kerugian yang disebabkan oleh kebakaran, banjir, gempa, hujan badai, angin topan,
(atau bencana alam lainnya), pemadaman listrik, kerusakan katalisator, sabotase, perang,
invasi, perang saudara, pemberontakan, revolusi, kudeta militer, terorisme, nasionalisasi,
blokade, embargo, perselisihan perburuhan, mogok, dan sanksi terhadap suatu pemerintahan.

Force majeure dalam hukum perdata diatur dalam buku III B.W dalam pasal 1244 dan 1245
KUHPerdata.

Pasal 1244 KUHPerdata: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum
mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak
atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu
hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya
itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.

Pasal 1245 KUHPerdata: Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila
lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang
berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-
hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Rumusan kausa force majeure dalam KUHPerdata dapat dirinci sebagai berikut:

a) Pertama, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut haruslah


“tidak terduga” oleh para pihak, atau tidak termasuk dalam asumsi dasar (basic
assumption) pada saat para pihak membuat kontrak itu (Pasal 1244 KUHPerdata);
b) Kedua, peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak yang
harus melaksanakan presentasi (pihak debitur) tersebut (Pasal 1244 KUHPerdata);
c) Ketiga, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure itu diluar kesalahan
pihak debitur, (Pasal 1244 KUHPerdata);
d) Keempat, peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut bukan
kejadian yang disengaja oleh Debitur. Ini merupakan perumusan yang kurang tepat,
sebab yang semestinya tindakan tersebut “diluar kesalahan para pihak (Pasal 1545
KUHPerdata), bukan tidak sengaja”. Sebab, kesalahan para pihak baik yang dilakukan
dengan sengaja ataupun yang tidak sengaja, yakni dalam bentuk “kelalaian”
(negligence);
e) Kelima, para pihak tidak dalam keadaan itikat buruk (Pasal 1244 KUHPerdata);
f) Keenam, jika terjadi force majeure, maka kontrak tersebut menjadi gugur, dan sedapat
mungkin para pihak dikembalikan seperti seolah–olah tidak pernah dilakukan
perjanjian (Pasal 1545 KUHPerdata);
g) Ketujuh, jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi.
Vide Pasal 1244 juncto Pasal 1245, juncto Pasal 1553 ayat (2) KUHPerdata.

Anda mungkin juga menyukai