Anda di halaman 1dari 3

Wanprestasi, force majeur dan keadaan sulit ( Hardship)

Pengertian Wanprestasi
Wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak dipenuhi atau ingkar janji atau
kelalaian yang dilakukan oleh debitur baik karena tidak melaksanakan apa yang telah
diperjanjikan maupun malah melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan.

Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang melakukannya dan membawa
konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang
melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan
agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

Bentuk dan Syarat Wanprestasi


1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali. Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak
memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya. Apabila prestasi debitur masih dapat
diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat
waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru. Debitur yang memenuhi prestasi tapi
keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan
tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Penyebab Terjadinya Wanprestasi


a. Adanya Kelalaian Debitur (Nasabah)
b. Karena Adanya Keadaan Memaksa (overmacht/force majure)
force majeur
adalah keadaan memaksa (overmacht) dimana posisi salah satu pihak, misalnya Pihak Pertama
gagal melakukan kewajiban akibat sesuatu yang terjadi diluar kuasa Pihak Pertama. Jadi, dengan
adanya keadaan force majeure tidak ada pihak yang diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak
lain karena wanprestasi. Dan keadaan yang terjadi di luar kemampuan  manusia sehingga
kerugian tidak dapat dihindari, seperti adanya keadaan bencana alam contohnya : banjir
dan gempa bumi .

Force Majeure dalam Hukum Indonesia


Ketentuan mengenai force majeure diatur dalam pasal 1244 KUHPerdata dan pasal 1245
KUHPerdata. Berikut adalah kutipannya:

Pasal 1244
“Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila ia
tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya
perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan
padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.”

Pasal 1245
“Tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal
yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya“.

Dalam ketentuan ini, ada 5 hal yang menyebabkan debitur tidak dapat melakukan penggantian
biaya, kerugian, dan bunga, yakni:

1. Terjadi suatu peristiwa yang tidak terduga (tidak termasuk dalam asumsi dasar dalam
pembuatan kontrak)
2. Peristiwa yang terjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan pada pihak debitur
3. Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan pihak debitur
4. Peristiwa yang terjadi di luar kesalahan para pihak yang terkait
5. Tidak ada itikad yang buruk dari pihak debitur

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Force Majeur sangat penting dicantrumkan di dalam
perjanjian atau Kontrak guna untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin terjadi di masa
depan dan berpotensi menyebabkan konflik diantara para pihak terkait.

Hardship
 lebih menekankan pada keadaan yang tidak seimbang secara mendasar di antara para pihak,
sedangkan force Majeure memiliki pengertian nampak lebih 'umum' yang menunjuk pada
peristiwa-peristiwa tak terduga di luar kekuasaan para pihak.

 Unsur-Unsur Force majeure


a.       terjadinya keadaan kejadian di luar kemauan, kemampuan atau kendali para pihak;
b.      menimbulkan kerugian bagi para pihak atau salah satu pihak;
c.       terjadinya peristiwa tersebut menyebabkan tertunda, terhambat, terhalang, atau tidak dilaksanakannya
prestasipara pihak;
d.      para pihak telah melakukan upaya sedemikian rupa untuk menghindari peristiwa tersebut
e.       kejadian tersebut sangat mempengaruhi pelaksanaan perjanjian
Pembedaan mencolok hardship dan force majeure didasarkan pada terbukanya
kemungkinan renegosiasi kontrak ataukah tidak jika terjadi peristiwa tak terduga. Pada
force majeure, renegosiasi telah tertutup semenjak disepakatinya kontrak, kecuali kedua
belah pihak sepakat untuk melakukan perubahan klausula kontrak. Sebaliknya, hardship
membuka peluang itu. Untuk itu, klausula hardship maupun force majeure menjadi teramat
penting untuk diakomodasi dalam kontrak guna menghadapi peristiwa yang tak terduga
yang mengancam keberlangsungan kontrak. Walau tidak dikenal di dalam rezim hukum
perdata kita, namun dengan adanya asas kebebasan berkontrak (vide pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata) bukan mustahil klausula hardship tetap mengikat para pihak di dalam
kontrak.

Anda mungkin juga menyukai