0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan5 halaman
1. Kebijakan DMO yang mendadak mewajibkan penjualan batubara dalam negeri sebesar 25% telah menyebabkan pelaksanaan perjanjian pengiriman batubara antara PT MR dan SEP menjadi sulit.
2. Jenis batubara PT MR sesuai spesifikasi DMO sehingga harus dipenuhi terlebih dahulu, namun harga jual ke PLN lebih rendah dari perjanjian asli dengan SEP.
3. Kebijakan ini menimbulkan bi
1. Kebijakan DMO yang mendadak mewajibkan penjualan batubara dalam negeri sebesar 25% telah menyebabkan pelaksanaan perjanjian pengiriman batubara antara PT MR dan SEP menjadi sulit.
2. Jenis batubara PT MR sesuai spesifikasi DMO sehingga harus dipenuhi terlebih dahulu, namun harga jual ke PLN lebih rendah dari perjanjian asli dengan SEP.
3. Kebijakan ini menimbulkan bi
1. Kebijakan DMO yang mendadak mewajibkan penjualan batubara dalam negeri sebesar 25% telah menyebabkan pelaksanaan perjanjian pengiriman batubara antara PT MR dan SEP menjadi sulit.
2. Jenis batubara PT MR sesuai spesifikasi DMO sehingga harus dipenuhi terlebih dahulu, namun harga jual ke PLN lebih rendah dari perjanjian asli dengan SEP.
3. Kebijakan ini menimbulkan bi
Bahwa overmacht atau force majeure adalah kejadian yang terjadi
diluar kemauan dan kemampuan para pihak dan membuat kewajiban kontraktual tidak dapat dipenuhi. Overmacht dapat terjadi karena kebijakan atau peraturan pemerintah, misalnya membuat objek perjanjian tidak mungkin dilaksanakan dan dapat terjadi juga dimana pemenuhan prestasi menimbulkan kesulitan (difficulitas) pelaksanaannya atau disebut juga hardship. 2. Bahwa overmacht juga dapat terjadi karena adanya ketidakpraktisan (impracticability). Dimana secara teori, pelaksanaan perjanjian masih memungkinkan, namun memerlukan pengorbanan yang besar dari segi biaya, waktu dan yang lainnya, misalnya harga barang yang melonjak tinggi atau adanya larangan mengirim barang oleh Pemerintah. Karena adanya larangan dari pemerintah ini maka tertutupnya alternatif legal untuk memenuhi perjanjian (Yurisprudensi Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958). 3. Dalam hal terjadinya force majeure atau overmacht tidak ada kewajiban membayar ganti rugi dan dalam perjanjian timbal balik, kreditur tidak dapat menuntut pembatalan karena perikatannya gugur. 4. Dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata, force majeure sebagai alasan hukum yang membebaskan dari kewajiban melaksanakan perjanjian dan ganti rugi. Membebaskan ini dapat bersifat relative bila keadaan memaksanya bersifat sementara, artinya kebebasan hanya bertujuan menunda, bukan membatalkan. 5. Peraturan DMO adalah fakta hukum dan kebijjakan yang tidak dapat dilanggar oleh PT MR karena sifatnya yang mengikat dan terdapatnya ancaman pembekuan izin, denda dan kompensasi atas pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Kondisi ini merupakan force majeure bagi PT MR. 6. Unsu tidak terduga dalam force majeure tidak cukup dibantah atas dasar kemungkinan terjadinya saja, harus ada kepastian bahwa peristiwa itu akan terjadi sehingga orang berpikiran sehat dapat memperhitungkannya. 7. Bahwa unsur dari force majeure yang harus dipenuhi adalah sebab yang tidak terduga (Pasal 1244), peristiwa tersebut bukan kesalahan para pihak (Pasal 1245), peristiwa tidak disengaja dan tidak adanya itikad buruk. 8. Ketentuann hardship di Indonesia belum ada pengaturan jelasnya, sehingga dapat dipersamakan atau diatur dengan ketentuan overmacht. 9. Menurut Mariam Datus Badrulzaman, terdapat overmacht khusus dimana berlaku suatu peraturan yang mana pelaksanaan prestasi bukan tidak dapat dilakukan, namun tidak boleh dilakukan. 10. Menurut Munir Fuady, Force majeure dapat terjadi juga karena adanya aturan hukum yang melarang pelaksanaan kontrak tersebut. Meskipun tidak melarang, namun pelaksanaannya karena suatu peraturan menjadi tidak reasonable. 11. Pada kebijakan DMO yang menjadi masalah PT MR, keadaan memaksanya tidak diketahui sampai kapan berlakunya. Sehingga alih-alih menambah biaya karena penangguhan kewajiban dan merugikan PT MR, maka dibatalkanlah perjanjian tersebut. SEP tidak dapat menuntut kepada PT MR karena adanya keadaan memaksa yang tak terduga ini. 12. Karena overmacht, maka tidak ada kewajiban pemenuhan prestasi dan gugurnya kewajiban mengganti kerugian. Hilangnya kewajiban pemenuhan prestasi juga berlaku gugur bagi pihak lainnya. 13. Pada perjanjian timbal balik, saat terjadi force majeure dan salah satu pihak tidak lagi berkewajiban, maka pihak lainnya juga bebas dari kewajibannya. 14. Hardship dalam hukum Indonesia dapat dipersamkan dengan overmacht atau force majeure yang sifatnya relative. 15. Jika force majeure dapat dibuktikan maka perjanjian dapat dibatalkan dan tidak dapat dibebankan penggantian kerugian padanya (Yurisprudensi Putusan MA RI No. 409K/Sip/1983). 16. Tindakan administrative penguasa yang mengikat merupakan kejadian yang tidak dapat diatasi dan merupakan force majeure sehingga membebaskan dari dampak dan penggantian kerugian. Hal ini sifatnya relative dan sementara sampai ada perubahan kebijakan sebelumnya. 17. Kebijakan pemerintah dianggap force majeure bila kebijakan tersebut melarang pelaksanaan perjanjian dan bila memaksakan pelaksanaannya, maka dianggap melanggar dan akan ditangkap atau dikenai hukuman.
a. Clausula Rebus Sic Stantibus adalah perubahan keadan yang
menimbulkan kesilutan ekstrim bagi salah satu pihak melaksanakan perjanjian. Perubahan tersebut harus mengubah dasar, objek, dan tujuan perjanjian. b. Klausul ini tidak dapat menjadi alasan hukum pengakhiran perjanjian tanpa adanya persetujuan. Perjanjian harus dijalankan sebaik-baiknya sebagaimana asas pacta sunt servanda atau perjanjian berlaku sebagai undang-undang (Pasal 1338 ayat 1) c. Pasal 1381 KUH Perdata mengatur mengenai hapusnya perikatan, dimana secara khusus berakhirnya perjanjian dapat juga karena ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak atau dengan persetujuan. d. Pada pasal 1318 KUH Perdata, perikatan hapus apabila karena berlakunya suatu syarat batal. Secara khusus, berakhirnya perjanjian dapat disebabkan karena ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak atau para pihak menentukan bahwa dengan peristiwa tertentu perjanjian akan hapus. e. Tidak terjadi overmacht bila sudah ada perkiraan akan adanya peristiwa tersebut. Hal ini dilihat dari tingkat pengetahuan dan pengalaman yang semestinya menjadi alasan memperhitungkan tentang akan terjadinya peristiwa tersebut. f. Pembebasan ganti rugi karena overmacht merupakan pembebasan mutlak sepanjang bisa dibuktikannya. g. Bahwa bila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak, pihak tersebut tunduk untuk melaksanakan kontrak sesuai dengan ketentuan hardship. h. Bila perubahan keadaan pelaksanaan konntrak dapat dihitung dengan keuangan, maka perubahan tersebut nilainya 50% atay lebih dari biaya awal, sehinngga nilainya dapat dianggap jumlah yang fundamental. i. Perubahan fundamental keseimbangan kontrak dapat dilihat dari adanya kenaikan substansial dari ongkos yang harus ditanggung oleh salah satu pihak saat melaksanakan kewajibanya dan hal tersebut hanya ditanggung olehnya, dan/atau adanya peruntunan substansial dari nilai pelaksanaan kontrak yang diterima oleh salah satu pihak atau tidak bernilai sama sekali. j. Perubahan regulasi DMO merupakan hal yang tak bisa diprediksi. Meskipun regulasi DMO sudah terjadi, namun perubahan regulasi yang secepat dan tiba-tiba dalam perjanjian dengan jangka waktu yang tak lama merupakan diluar analisis risiko atau perhitungan para pihak saat membuat perjanjian. Sebelumnya pun, PT MR belum mengalami hal seperti ini sebelumnya. k. Untuk membuktikan hardship, harus dibuktikan dahulu perubahan keseimbangan yang fundamentalnya, meningkatnya biaya pelaksanaan kontra, dan/atau menurunnya nilai kontrak yang diterima salah satu pihak. l. Bilamana terjadi ketidakseimbangan dalamm perjanjian dan dapat dibuktikannya, harus dinilai apakah adil dan patut apabila perjanjian tersebut tetap dilaksanakan.
1. Bahwa kebijakan DMO (domestic market obligation) sebanyak 25%
telah membuat pelaksanaan perjanjian menjadi sulit hingga waktu yang belum ditentukan. 2. Bahwa jenis batubara yang dimiliki oleh PT MR merupakan batubara yang spesifikasinya sesuai dengan spesifikasi kebutuhan batubara dalam kebijakan DMO sehingga perlu melaksanakan kontrak dengan PLN untuk memenuhi kewajiban DMO, kalau tidak maka akan dikenai hukuman penghentian sementara produksi, pencabutan izin, denda dan kompensasi. 3. Bahwa dikeluarkannya kebijakan DMO ini sangat mendadak dan tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan para penguasaha batubara. 4. Dalam waktu yang belum ditentukan sampai kapan, kebijakan DMO ini menunda pelaksanaan perjanjian yang menyebabkan naiknya ongkos bagi PT MR karena harus menanggung biaya demurrage kapal pengangkut yang nilai rata-ratanya 20K-40K USD per harinya apabila terjadi overstay. 5. Bahwa ada kerugian yang dihadapi PT MR dengan adanya kebijakan DMO, dimana sisa batubara yang akan dikirimkan ke SEP harus dijual ke PLN dengan nilai jual yang lebih rendah. Selain itu, tanpa menghitung biaya penundaan untuk memenuhi kebutuhan DMO, PT MR juga harus menambah operational cost untuk memenuhi sisa pengiriman kepada SEP jika perjanjiannya tetap dilanjutkan. 6. Bahwa harga jual batubara kepada PLN adalah sebesar USD70 per metrik ton dengan spesifikasi kalori 6.322 kcal/kg-nya.