2 SKS
Disusun Oleh:
FAKULTAS HUKUM
Doni Yanto
Abstrak
Eksekusi putusan pengadilan tata usaha negara seringkali buntu karena pejabat
terhukum tidak melaksanakan putusan tersebut. Padahal peradilan tata usaha negara
merupakan platform pencarian keadilan bagi masyarakat. Meskipun telah diatur
upaya paksa dan sanksi terhadap pejabat terhukum, nyatanya kesadaran hukum dan
self respect pejabat terhukum tersebut masih rendah untuk melaksanakan putusan.
Upaya paksa pengummuman melalui media masa pun tidak relevan karena para
pejabat pemerintahan tidak memiliki shame culture dalam budaya hukum mereka.
Sehingga perlu alternatif lain seperti pembentukan Lembaga eksekutorial, penguatan
uang paksa, contempt of court dan pengenaan sanksi administrative secara mutatis
mutandis.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Budi Suhariyanto. (2019). Urgensi Kriminalisasi Contempt of Court untuk Efektivitas
Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal Konstitusi, 16(1). Hal. 193.
2
Dezonda Rosiana Pattipawae. (2019). Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara di Era Otonomi. SASI, 25(1), Hal. 94.
3
Khaleed, Badriyah. (2017). Mekanisme Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pustaka
Yustisia, Yogyakarta. Hal. 56-57.
yang dinyatakan “salah” oleh pengadilan tata usaha negara justru tidak
mengeksekusi putusan tersebut karena berbagai alassan. Padahal
(Amarullah Sali, 2000) berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung
pada dilaksanakan atau tidaknya setiap putusan yang inkracht. Hal ini
juga merupakan ukuran dari apakah hukum itu benar-benar ada atau
tidak4.
4
Ibid.
PTUN dapat dipaksakan oleh Pengadilan. Sistem ini mengatur juga
mekanisme bagi pejabat tata usaha negara yang masih belum
melaksanakan putusan dapat dikenakan uang paksa atau dwangsom dan
sanksi administratif, bilamana masih belum juga dilaksanakan maka
pejabat tersebut akan diumumkan melalui media massa cetak setempat
oleh Panitera. Disamping adanya pengumuman tersebut, Ketua
Pengadilan juga berkeharusan mengajukan perkara ini kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat agar adanya perintah terhadap pejabat
bersangkutan untuk melaksanakan putusan pengadilan dan dilakukan
pengawasan.
B. Rumusan Masalah
II. PEMBAHASAN
1. Relevansi hukuman pengumuman melalui media masa bagi Pejabat
yang tidak melaksanakan putusan pengadilan tata usaha negara
Objek sengketa dalam peradilan Tata Usaha Negara adalah
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang ditetapkan oleh pejabat
TUN dan dianggap merugikan penggugat. Sehingga dalam konteks ini,
PTUN merupakan platform hukum yang digunakan untuk mencari
perlindungan hukum bagi semua masyarakat yang dirugikan organ dan
pejabat pemerintahan.
Putusan akhir dari PTUN merupakan output penegakan keadilan
dan kepastian hukum yang berupaya mengayomi masyarakat dan
hubungannya dengan badan atau pejabat TUN. Putusan apapun yang
dikeluarkan tersebut harus dilaksanakan oleh semua pihak secara
konsekuen, khususnya pejabat TUN. Mekanisme pelaksanaannya
sendiri sudah diatur melalui Pasal 116 UU Peratun sebagaimana
tercantum.
Menurut Paulus Effendi Lotulung, konsepsi dan mekanisme
eksekusi putusan PTUN dapat berupa eksekusi otomatis di mana
hilangnya kekuatan hukum KTUN tersebut apabila eksekusi
putusannya adalah beschikking karenanya pengadilan tidak perlu
melakukan tindakan tambahan dan eksekusi hirarkis dimana pengadilan
meminta kepada atasan pejabat terhukum memerintahkan pejabat
terhukum melaksanakan eksekusi apabila ia mengabaikan eksekusi
untuk mencabut dan menerbitkan KTUN baru.
Dengan eksekusi terhadap putusan PTUN didasarkan pada self
respect dan kesadaran hukum pejabat TUN bersangkutan membuat
terhambatnya proses keadilan, sehinngga urgensi adanya dwang
middelen terhadap eksekusi putusan amat dibutuhkan. Sehingga
ketentuan pasal 116 UU Peratun ditambahkan dengan Undang-Undang
berikutnya, dengan ditambahkannya ketentuan uang paksa, sanksi
administrative, pengumuman melalui media massa cetak setempat dan
permohonan kepada Presiden bagi pejabat TUN yang tidak
melaksanakan eksekusi putusan. Meskipun dengan adanya upaya paksa
ini, eksekusi putusan PTUN masih terkendala, karena pelaksanaan
upaya paksanya sendiri masih menemui polemic baik secara substansi
dan pelaksanaan, sehingga pada akhirnya semuanya tergantung
political will masing-masing. Selain itu, upaya paksa dan
pelaksanannya masih terkendala karena apparat penegak hukum tidak
bisa terlibat. Hanya Presiden dan atau atasan pejabat bersangkutan yang
dapat ikut campur tangan.
Pasal 116 ayat (5) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang upaya paksa eksekusi putusan dengan diumumkannya melalui
media massa cetak setempat oleh Panitera apabila pejabat tergugat tidak
melaksanakan putusan PTUN setelah 60 hari merupakan salah satu
upaya paksa yang diatur dalam perundang-undangan. Pengaturan ini
dimaksudkan untuk memberikan shame punishment terhadap pejabat
terhukum agar memiliki kesadaran hukum dan budaya hukum malu
sehingga mau mengeksekusi putusan PTUN terhadapnya. Sayangnya,
secara pelaksanaan dan hasil, upaya paksa ini belum efektif dan bisa
dikatakan tidak relevan.
Tidak relevannya upaya paksa ini karena sejak awal, pejabat TUN
yang mengabaikan putusan PTUN kesadaran hukumnya rendah dan
tidak memiliki self respect sama sekali. Padahal meskipun pelaksanaan
putusan tergantung self respect yang bersangkutan, seharusnya ada
penghormatan kepada Pengadilan dan menjalankan asas res judicata
pro veritate habetur yang artinya putusan pengadilan merupakan
hukum dan karenanya para pihak yang tidak mau melaksanakan
putusan tersebut maka dianggap sebagai melawan hukum. Selain itu,
kedudukan pengumuman melalui media massa cetak sebagai upaya
paksa dirasa nirhasil dibanding upaya paksa lain seperti dwangsom dan
atau sanksi administrative yang dampaknya nyata-nyata ada terhadap
pejabat bersangkutan.
Selain itu, tujuan upaya paksa untuk menetapkan shame
punishment dirasa tidak efektif menimbang bagaimana kesadaran
hukum para pejabat khususnya dan masyarakat kita umumnya. Padahal
malu menurut Michael Lewis dipersonifikasikan sebagai sebuah
ekspresi ketika manusia gagal menutupi kesalahan yang sudah ia
perbuat, dimana manusia tersebut seakan dilucuti kehormatannya,
reputasinya dan nama baiknnya akibat kesalahannya dipublikasi ke
orang lain. Malu juga sebagai emosi kesadaran diri merupakan emosi
ontologis yang menjadi refleksi dari karakter pribadi seseorang5.
Padahal menurut Soedjito Sostrodihardjo masyarakat Indonesi
sebagai masyarakat ketimuran menganut shame culture. Dimana
kedudukan budaya malu ini merupakan nilai tradisional yang
berkembang dan mengatur interaksi antar anggota keluarga juga
masyarakat. Bentuk-bentuk dan model budaya malu di Indonesia dapat
ditelusuri di berbagai culture suku seperti Jawa, Tengger, dan
sebagainya. Pemberian hukuman rasa malu atau shame punishment
adalah model hukuman tidak resmi yang tujuannya memberikan
tekanan bagi pelaku. Hukuman ini melebihi hukuman resmi dan negara
dapat memanfaatkan efek ini untuk memberikan hukuman.
Terkait upaya paksa diumumkannya pejabat TUN di media massa
cetak setempat sebagai shame punishment agar relevan seharusnya
pembangunan hukum nasional juga mencakup pembangunan budaya
5
Faizal Amrul Muttaqin. (2019). Budaya Hukum Malu sebagai Nilai Vital Terwujudnya
Kesadaran Hukum Masyarakat. Al Syakhsiyyah, 1(2). Hal. 190-191.
hukum, khususnya shame culture sebagai legal culture. Budaya hukum
berdasarkan Lawrence Friedman merupakan kekuatan-kekuatan sosial
yang secara kontinyu menggerakan hukum. Lebih lanjut budaya hukum
merujuk kepada kebudayaan seperti kebiasaan, pendapat, cara berpikir,
nilai, sikap, pendapat gagasan, dan harapan masyarakat mengenai
hukum seperti kapan dan bagaimana menentukan hukum, mengatur
hukum dan meninggalkan hukum, positif maupun negatif6. Dalam
hukum Indonesia, terminology ini pertama kali ada dalam Tap MPR
Nomor II/MPR/1998 mengenai GBHN yang pokoknya mengatur
mengenai Pembangunan dalam bidang hukum salah satunya melalui
platform budaya hukum7.
Pembangunan budaya hukum perlu direvitalisasi kembali agar
upaya paksa dalam eksekusi putusan PTUN dapat relevan dan efektif
diberlakukan. Pembangunannya sendiri dapat dilakukan dengan
mengedepankan budaya malu yang sudah ada di masyarakat kita.
Melalui institusi seperti Pendidikan hukum sejak dini dan model shame
punishment yang lebih membuat jera untuk dikenakan. Karena sejauh
ini, hukuman sosial melalui media massa tidak efektif untuk
memberikan rasa malu dan jera kepada para pejabat pemerintahan yang
berbuat salah.
Meskipun tidak terkait, namun contoh kasus bagaimana jajaran
pejabat PSSI dan apparat kepolisian yang seharusnya
bertanggungjawab penuh terhadap tragedy Kanjuruhan justru terkesan
cuci tangan dan membiarkan perkara tersebut berlarut tanpa adanya
pengusutan secara tuntas dan pemulihan kembali khususnya kepada
para korban. Padahal, melalui banyak platform media sosial seperti
twitter, Instagram, facebook dan lain-lain, masyarakat sudah
mengecam hal tersebut dan menuntut adanya pertanggunngjawaban
penuh. Bahkan hingga ada penandatanganan petisi secara elektronik
6
Parwata A.A.G.O., et all. (2016). Memahami Hukum dan Kebudayaan. Pustaka Ekspresi, Bali.
Hal. 26.
7
Wijayanto, Danang. (2017). Etika dan Budaya Hukum dalam Peradilan. Sekretariat Jenderal
Komisi Yudisial Republik Indonesia. Hal. 27.
oleh puluhan ribu orang ‘pun, pihak-pihak yang seharusnya
bertanggungjawab justru masih berdiam diri dengan jabatannya dan
cuci tangan atas tragedy tersebut.
Masih banyak kasus dimana shame culture di Indonesia telah
mati dari budaya hukum kita. Politisi di Indonesia selalu menempatkan
shame punishment sebagai suatu hal yang bisa dikubur dengan isu baru,
karenanya mereka sering mengabaikannya. Alih-alih memberikan
permohonan maaf dan bertanggungjawab, pejabat kita memilih
memberikan lip service kepada masyarakat.
Selain terkendala budaya hukum Indonesia yang tidak memiliki
shame culture, pelaksanaan upaya paksa melalui pengumuman media
cetak pun terkendala secara teknis. Untuk diumumkan oleh panitera
melalui media massa cetak setempat jelas-jelas memerlukan biaya,
dalam hal ini yang justru menanggung adalah penggugat. Padahal
penggugat telah mengalami 2 kali perampasan keadilan, pertama saat
adanya KTUN yang merugikannya dan kedua saat pejabat TUN
tersebut justru tidak memiliki kesadaran hukum untuk mengeksekusi
putusan PTUN8.
Adanya permasalahan fundamental dalam budaya hukum kita dan
teknis pelaksanaan pengumuman pejabat TUN yang tidak
melaksanakan putusan menunjukan bahwa upaya paksa ini tidak
relevan, setidaknya sampai para pejabat yang ada memiliki kesadaran
dan shame culture dalam menjalankan jabatannya.
Karena itulah, alih-alih mempertahankan upaya yang tidak
relevan dan justru menambah ketidakadilan kepada para pencari
keadilan, lebih baik memperkuat upaya lain yang lebih efektif. Seperti
penguatan sanksi lainnya seperti uang paksa dan sanksi administrative
atau inovasi hukum baru seperti pembentukan Lembaga eksekutorial
putusan PTUN dan atau diaturnya mengenai pemidanaan bagi pejabat
TUN yang mengabaikan
8
Untoro. (2018). Self-Respect dan Kesadaran Hukum Pejabat Tata Usaha negara Menuju
Keadilan. Pandecta, 13(1). Hal. 45.
2. Alternatif eksekusi putusan bagi pejabat yang tidak melaksanakan
putusan pengadilan tata usaha negara.
Tidak mudah untuk mendapatkan kepastian pelaksanaan putusan
PTUN oleh pejabat TUN. Banyak kendala yang ada, oleh Prildy
Nataniel kendala tersebut adalah (1) Tidak adanya Lembaga
eksekutorial atau Lembaga penegak sanksi dan hukuman yang
mengeksekusi putusan, (2) Tingkat kesadaran hukum para pejabat TUN
dalam menaati putusan PTUN yang rendah, dan (3) Tidak adanya
peraturan yang tegas terkait pelaksanaan putusan PTUN. Sejauh ini,
perkembangan sanksi terhadap pejabat TUN yang tidak melaksanakan
putusan PTUN masih sama seperti itu hingga hari ini.
Hukuman menggunakan shame punishment sendiri tidak relevan
dengan hilangnya shame culture para pejabat dalam budaya hukum
kita, diperparah dengan kesadaran hukum mereka yang dangkal.
Karena itulah diperlukan bentuk hukuman dan upaya paksa yang lebih
efektif dan bekerja terhadap eksekusi putusan PTUN. Sebenarnya
sudah ada beberapa mekanisme sanksi administrative yang dapat
dikenakan kepada pejabat yang melanggar sebagaimana dalam UU
Administrasi Pemerintahan, hanya saja dalam ranah eksekusi putusan
PTUN hal tersebut tidak diberlakukan.
Karena hal tersebut, setidaknya ada beberapa alternatif yang
dapat dikenakan dan digunakan agar para pejabat TUN mengeksekusi
putusan PTUN tersebut, antara lain adalah:
(1) Pemidanaan melalui Contempt of Court
Istilah Contempt of Court pada dasarnya merujuk kepada
penghinaan atau merendahkan pengadilan. Dalam konsepsi ini
bukan semata-mata keagungan dari pengadilan saja yang
dilindungi, namun keadilan dan hukum itu sendiri yang
dilindungi dari pencemoohan tersebut. Konsepsi ini hadir
pertama kali pada negara penganut common law seperti Inggris
yang mengaturnya dalam contempt of court act. 1981 dan negara-
negara lainnya9. Pengaturan mengenai hal ini sudah ditegaskan
melalui UU Mahkamah Agung dalam penjelasan umum butir 4,
meskipun begitu perdebatan dan polemic di baliknya masih
mengemuka hingga kini10.
Dalam UU Peratun, pranata mengenai Contempt of Court
sendiri tersirat diatur dalam Pasal 69 UU Peratun jo. KUHP Pasal
217. Dimana disyaratkan bagi setiap orang untuk bersikap,
berbuat, bertingkah laku, berucap dan menjunjung tinggi
kehormatan pengadilan dengan taat terhadap tata tertib yang
diberlakukan. Dikenakan sanksi bagi mereka yang melanggar
ketentuan ini, bahkan hingga pemidanaan.
Berangkat dari konsepsi tersebut, wajar apabila konsepsi
Contempt of Court ini diberlakukan juga bagi para pejabat TUN
yang mengidahkan putusan PTUN dan tidak melaksanakannya,
karena mereka secara nyata dan dengan itikad buruk telah
merendahkan dan tidak menghormati Pengadilan. Konsekuensi
bagi mereka dapat dikenakan sanksi denda bahkan kurangan
penjara.
Urgensi penerapan Contempt of Court ini selain datang karena
mogoknya banyak putusan PTUN, dalam satu survey terhadap
100 orang yang pernah bersengketa di PTUN, setidaknya 74%
setuju penerapan sanksi pidana terhadap pejabat TUN yang tidak
mengeksekusi putusan PTUN. Urgensi lainnya adalah
meningkatkan daya paksa dari pengaturan yang ada terhadap
pejabat TUN yang abai. Dengan uang paksa yang tidak jelas
bagaimana mekanismenya, sanksi administrative yang pada
akhirnya diserahkan kepada political will instansi atasan terkait
dan pengumuman melalui media massa yang tidak relevan lagi,
9
Adisti, N.A.R., Nurliyantika, R., Taslim. (2020). Contempt of Court. Universitas Sriwijaya,
Palembang. Hal. 30.
10
Mulyadi, Lilik., Suharyanto, Budi. (2021). Contempt of Court di Indonesia: Urgensi, Norma,
Praktik, Gagasan dan Masalahnya. PT. Alumni, Bandung. Hal. 18.
penambahan ketentuan ini dapat dipertimbangkan, meskipun
sifatnya masih sangat sumir.
Penerapan hal ini dapat ditempuh melalui banyak jalan,
seperti penambahan ayat ancaman pemidanaan sebagaimana
dimaksud di atas dalam UU Peratun, revisi KUHP dengan
ditambahkannya ketentuan contempt of court, dan dibentuk juga
undang-undang yang secara khusus mengatur dan
mengakomodasi terkait contempt of court.
Manfaat pemidanaan ini adalah proses pemberian keadilan
bagi para pencari keadilan tidak memerlukan biaya dan waktu
yang lama. Selain itu konsepsi ini sudah berksesuaian juga
dengan asas ultimatum remedium dimana pidana merupakan
sarana terakhir ketika upaya hukum lain tidak mampu lagi
digunakan.
(2) Uang Paksa secara mutatis mutandis
Konsepsi Uang paksa atau dwangsom dalam peraturan
perundang-undangan yang ada menghadirkan permasalahan,
mengenai lembaga mana yang mengeksekusinya, besaran
biayanya, dan siapa yang menanggung uang paksa tersebut,
apakah individu yang berjabatan atau jabatannya itu sendiri.
Solusi terhadap permasalahan tersebut adalah eksekusi
menggunakan Hukum Acara Perdata secara mutatis mutandis
terhadap harta kekayaan pejabat terhukum11.
Selain itu, agar lebih luas pengaturannya uang paksa tersebut
dapat menyangkut juga penyerahan barang dan bentuk kekayaan
lainnya yang dapat dinilai dan dapat disita secara perdata. Selain
itu pelaksanaannya dapat mencontoh Thailand dengan pengenaan
sanksi uang paksa terhadap pejabat yang melanggar untuk
melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan terkait kontrak
administrasi.
11
Ahsana Nadiyya. (2022). Urgensi Contempt of Court dalam Pelaksanaan Putusan PTUN: Studi
Perbandingan Indonesia dan Thailand. Jurnal Yustitia. Hal. 50.
(3) Sanksi Administratif secara mutatis mutandis
Sanksi administrative terhadap pejabat pemerintahan diatur
dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan peraturan
pelaksananya yaitu PP Nomor 48 Tahun 2016. Sanksi
administratifnya dapat berupa uang paksa/ganti rugi,
pemberhentian sementara tanpa perolehan hak jabatan, atau
pemberhentian sementara dengan perolehan hak-hak jabatan12.
Dimaksud transplantasi hukum merupakan pengambilalihan
legal rule, doctrine, structure dan legal institution dari suatu
sistem hukum ke wilayah hukum lain. Transplantasi dapat
menciptakan harmonisasi hukum apabila adanya kesesuaian
meliputi ketentuan, doktrin, struktur dan instansi di dalamnya.
Transplantasi sifatnya wajar karena tak ada suatu sistem hukum
yang sempurna dan bebas dari pengaruh hukum lain.
Transplantasi hukum dalam konteks eksekusi putusan ini
adalah secara mutatis-mutandis terhadap ketetnuan pemberian
sanksi sedang dan mekanisme pemberian sanksi tersebut dalam
UU Administrasi Pemerintahan dan peraturan pelaksananya
kepada pengaturan UU Peratun, sehingga diperoleh kejelasan
mengenai penjatuhan sanksi administrative yang dapat diberikan
kepada pejabat TUN yang tidak melaksankan putusan PTUN.
Selain ditambahkan kepada UU Peratun, dapat juga melalui
Mahkamah Agung agar mengeluarkan pedoman untuk Ketua
PTUN berupa Surat Edaran Mahkamah Agung terkait pengenaan
sanksi administrates secara mutatis-mutandis dari peraturan lain.
Untuk melengkapi solusi ini, perlu diatur juga mengenai
upaya hukum dari pejabat terhukum yang dikenai sanksi
administrative agar tidak dapat mengajukan gugatan kembali ke
PTUN. Dapat digunakan pertimbangan bahwa Sanksi
12
Mulyano, Sudarsono, Agustono. (2018). Transplantasi Ketentuan Sanksi Administratif Pada
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 dalam Proses Eksekusi oleh Ketua Pengadilan Tata
Usaha Negara. Jurnal Hukum Peratun, 1(2). Hal. 147.
Administratif tersebut pada dasarnya merupakan bagian tak
terpisahkan dari pemeriksaan dan pengadilan sebelumnya. Hal ini
bertujua untuk menutup kompetensi PTUN agar tidak perlu
menangani gugatan terhadap pengenaan sanksi administrative
bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan PTUN.
(4) Lembaga Eksekutorial
Sebagaimana di Thailand pengaturan uang paksa
dilaksanakan secara mutatis-mutandis dengan acara perdata, di
sana juga terdapat Lembaga eksekusi putusan PTUN yang
dinaungi kementerian kehakiman dan ada dalam klister Peradilan
Administrasi, Lembaga tersebut adalah Legal Execution
Departement. Hal ini perlu dicontoh oleh Indonesia dan
membentuk Lembaga eksekusi putusan PTUN, mengingat salah
satu kendala dijalankannya putusan PTUN adalah tidak adanya
Lembaga eksekutorial yang berwenang dan berkewajiban
menjamin dijalankannya eksekusi putusan tersebut.
Upaya ini digunakan untuk memperkuat legal structure dari
peradilan tata usaha negara itu sendiri, dimana setidaknya
diperlukan instumen kelembagaan yang mendukung dan
menjamin penyelenggaraan good governance. Opsi terhadap
permasalahan ini adalah membentuk Lembaga baru yang berdiri
indevenden antara kekuasaan kehakiman dan eksekutif untuk
mengeksekusi putusan PTUN atau menambah kewenangan dari
Lembaga yang ada, salah satu opsinya adalah Ombudsman
Republik Indonesia.
Sebagaimana tujuan dari Lembaga tersebut dan lapangan
kerjanya seputar pelayanan administrasi dan mewujudkan
pemerintahan yang baik, Ombudsman dapat menjadi opsi
institusi untuk mengawal pelaksanaan putusan PTUN. Dalam
konteks sistematika hukum, Ombudsman hanya ditingkatkan
fungsi dan wewenangnya sebagai eksekutor putusan PTUN.
Mengingat bahwa hakim tidak dapat secara langsung menerapkan
upaya paksa atau menjatuhkan sanksi administrative kepada
pejabat terhukum karena dianggap bertentangan terhadap prinsip
separation of powers, karena hal tersebut Ombudsman yang
paling mungkin untuk mengambil peranan tersebut sebagai
institusi pengawas dan control yuridis.
Apalagi selama ini Ombudsman berperan memberikan
rekomendasi kepada pelaksanaan Pemerintahan salah satunya
pada polemik GKI Yasmin di Bogor. Selain itu, independensi
kelembagaan dapat menjadi pertimbangan berikutnya untuk
meningkatkan kewenangan Ombudsman dalam eksekutorial
putusan PTUN. Meskipun kemudian Ombudsman menjalankan
putusan yang dikeluarkan PTUN, kedudukannya hanya sebagai
partner yang sejajar dalam kesatuan sistem hukum13.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
13
Enrico Simanjuntak. (2014). Prospek Ombudsman Republik Indonesia dalam Rangka
Memperkuat Pelaksanaan Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal Hukum dan
Peradilan, 3(2). Hal. 171.
REFERENSI
Buku
Jurnal
Untoro. (2018). Self-Respect dan Kesadaran Hukum Pejabat Tata Usaha negara
Menuju Keadilan. Pandecta, 13(1). Hal. 45.
Faizal Amrul Muttaqin. (2019). Budaya Hukum Malu sebagai Nilai Vital
Terwujudnya Kesadaran Hukum Masyarakat. Al Syakhsiyyah, 1(2). Hal. 190-
191.
Budi Suhariyanto. (2019). Urgensi Kriminalisasi Contempt of Court untuk
Efektivitas Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal
Konstitusi, 16(1). Hal. 193.
Dezonda Rosiana Pattipawae. (2019). Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara di Era Otonomi. SASI, 25(1), Hal. 94.