Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH HUKUM ACARA PTUN

EKSEKUTORIAL PUTUSAN PTUN SEBAGAI LEMBAGA YUDIKATIF


Dosen pengampu : Bita Gadsia Spaltani, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

MOHD IKBAL EFER


MUHAMMAD KHOTIBUL UMAM

ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2021/2022
FAKULTAS HUKUM-UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

Abstrak

Lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara dapat disimpulkan sebagai tuntutan masyarakat
Indonesia yang merasa hak-haknya sebagai warga negara telah dilanggar oleh pemerintah,
selain untuk mencegah terjadinya maladministrasi, juga segala bentuk penyalahgunaan
wewenang oleh pemerintah. Namun, dalam perkembangan pembentukan PTUN di Indonesia,
lemahnya kekuatan hukum Putusan PTUN membuat masyarakat khawatir dengan kekuatan
hukum putusan PTUN yang membawa angin perdamaian bagi masyarakat yang haknya telah
telah dilanggar oleh pemerintah. Masyarakat menjadi meragukan kekuatan hukum yang dimiliki
lembaga peradilan ini dalam menegakkan keadilan ketika terjadi penyalahgunaan wewenang
oleh pemerintah. Lemahnya kekuatan hukum putusan PTUN tersebut disebabkan oleh beberapa
kendala, yaitu: Belum adanya lembaga pelaksana atau sanksi khusus yang berfungsi
melaksanakan putusan tersebut, rendahnya kesadaran pejabat Tata Usaha Negara dalam
mentaati putusan PTUN. , dan belum adanya peraturan yang lebih tegas mengenai pelaksanaan
putusan Pengadilan. Administrasi Negara. Untuk memperjelas hal tersebut, dalam tulisan ini
diajukan tiga rumusan masalah pokok, yaitu bagaimana bentuk putusan sela di lembaga
peradilan, bagaimana mekanisme pelaksanaan putusan PTUN (eksekutif) dan bagaimana
kekuasaan eksekutif Badan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Keputusan pengadilan
adalah. Yang dianalisis dengan metode yuridis normatif.

A. PENDAHULUAN

Masalah eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan fenomena
hukum umum yang sering terjadi, dan masih terus mengemuka serta bermasalah, terkait dengan
lembaga eksekutif yang berfungsi sebagai tindak lanjut. terhadap putusan pengadilan
(gerechtelijke tenuitvoerlegging atau execution force) dan bertujuan untuk mengefektifkan
pelaksanaan putusan yang isinya membebankan kewajiban (prestasi) bagi pihak yang kalah di
pengadilan. diskusi terus menerus antara akademisi dan praktisi hukum. Apalagi jika pemerintah
yang diminta untuk mematuhi putusan pengadilan yang kalah dalam proses persidangan.
Padahal, jika ditelaah lebih lanjut, prinsip keberadaan PTUN adalah menempatkan
kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik agar tidak bias dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Jika suatu keputusan PTUN tidak memiliki kekuasaan eksekutif,
bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintahan yang
dilakukan oleh pejabat PTUN. Akibatnya, sering kita jumpai masalah ketidakpatuhan terhadap
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melaksanakan putusan-putusan Peradilan Tata
Usaha Negara. Seperti yang dikemukakan oleh Supandi dalam penelitian disertasinya yang
menyebutkan bahwa masih sering terjadi putusan PTUN yang tidak dilaksanakan/ditaati oleh
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan, sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. . Lemahnya sistem eksekusi
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
menyebabkan masyarakat masih pesimis dengan keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara.

Jika ditelaah lebih lanjut dengan berbagai penyebab di atas, secara umum akan ditemukan
beberapa faktor penyebab lemahnya eksekusi putusan PTUN yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, yaitu: Pertama, tidak adanya aturan hukum yang memaksa penyelenggara negara
untuk melaksanakan putusan MK yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kedua, faktor
putusan hakim yang tidak berani mencantumkan pembayaran uang paksa apabila pejabat TUN
yang bersangkutan tidak melaksanakan putusan MK, dan Ketiga, faktor kepatuhan pejabat TUN
dalam menjalankan putusan MK yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Masalah pelaksanaan
putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, karena dengan
adanya otonomi daerah semua pejabat kepala daerah di kabupaten/kota memiliki kewenangan
yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal ini harus menggunakan metode putusan
administratif.

jauh dari pelaksanaan fungsi pendirian PTUN itu sendiri yang seharusnya mampu
mendorong terwujudnya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, yaitu terciptanya suasana
sikap yang bukan dari unsur negara yaitu penegakan hukum. masalah yang cacat hukum. Hal ini
sekali lagi karena putusan PTUN yang pertimbangan dan diktum hukumnya memuat pernyataan
bahwa KTUN tidak sah yang dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan/atau prinsip umum pemerintahan yang baik (AAUPB), harus dicabut. mampu memberikan
dorongan kepada pemerintah yaitu instansi. atau penyelenggara tata usaha negara untuk
memperbaiki sistem dan kinerjanya dalam menjalankan fungsi pemerintah guna mewujudkan
pemerintah yang bersih dan berwibawa (clean and strong government).

Lebih jauh lagi, dalam penelitian Adriaan Bedner tentang PTUN di Indonesia, ditemukan
permasalahan mengenai eksekusi. Menurut dia, pengaturan eksekusi dalam UU PTUN
menimbulkan kesalahpahaman tentang independensi peradilan, yaitu untuk melaksanakan isi
putusan PTUN harus dipatuhi atasan pejabat eksekutif yang menjadi tergugat, karena atasan
pejabat eksekutif dianggap memiliki hak veto. Prosedur ini diatur karena pembuat undang-
undang mengetahui bahwa pejabat di Indonesia enggan untuk mematuhi perintah pengadilan.

Selain itu, ada beberapa kasus di mana menurut atasan pejabat yang ditunjuk sebagai
terdakwa, mereka tidak bersedia menjalankan isinya. keputusan tersebut karena sifatnya yang
sensitif yang dianggap dapat membahayakan stabilitas masyarakat dan politik. Namun dalam
banyak kasus, sulit untuk membuktikan bahwa pejabat berusaha menekan hakim, tetapi tidak
diragukan lagi bahwa pertimbangan politik telah mempengaruhi sejumlah keputusan. Atas dasar
ini, tampaknya masalah utama dalam penyelenggaraan hukum administrasi oleh PTUN terkait
dengan pelaksanaan isi keputusan PTUN (eksekutif). Banyak putusan PTUN yang tidak
dilaksanakan oleh instansi dan/atau pejabat pemerintah (baik yang duduk sebagai tergugat
maupun sebagai atasan tergugat sendiri), tanpa alasan hukum yang jelas. Situasi seperti ini
tentunya tidak hanya merugikan para pencari keadilan, tetapi juga menghambat tegaknya
supremasi hukum di Indonesia.

Maka dalam tulisan ini, akan kami uraikan secara umum istilah-istilah yang terkait
dengan Peradilan Tata Usaha Negara dan langkah-langkah eksekusi di Peradilan Tata Usaha
Negara. (PTUN). Sebagai imbas daru Undang-undang yang mengatur hukum formil PTUN,
belum secara tegas dan rinci mengatur pelaksanaan eksekusi di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
B. Rumusan Masalah

Merujuk pada pembahasan pendahuluan di atas dan untuk menekankan beberapa aspek
yang dibahas dalam tulisan ini, dirumuskan tiga pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk putusan sela di lembaga peradilan?


2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan putusan (eksekutif) PTUN?
3. Apa kekuasaan eksekutif putusan PTUN?

B. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini digunakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang
menitikberatkan pada kajian penerapan kaidah atau norma hukum positif yang berlaku.
Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan menelaah berbagai macam kaidah hukum formal
seperti peraturan perundang-undangan, acuan konsep-konsep teoritis yang berkaitan dengan
masalah yang menjadi topik pembahasan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual.
Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menggunakan kajian terhadap semua
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hukum yang sedang dibahas.
Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang dilakukan dengan mempelajari pandangan dan
doktrin ilmu hukum, konsep hukum dan asas hukum yang relevan dengan persoalan yang
menjadi topik permasalahan.
Metode yang digunakan adalah metode pengumpulan data yang diperoleh melalui riset
kepustakaan tentang bahan hukum primer seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan, sumber bahan hukum sekunder.
D. PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis Putusan Peradilan Tata Usaha Negara

Putusan hakim atau yang biasa disebut dengan Putusan Pengadilan merupakan
sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh para penggugat agar
sengketanya dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Karena dengan putusan hakim,
para pihak yang bersengketa mengharapkan kepastian hukum dan keadilan dalam perkara
yang dihadapinya. Putusan hakim adalah pernyataan hakim sebagai pejabat yang
berwenang untuk itu, diucapkan di pengadilan dan ditujukan untuk mengakhiri atau
menyelesaikan suatu perkara atau perselisihan di antara para pihak. Berbagai putusan
hakim atau putusan pengadilan terdiri atas putusan-putusan yang belum mengakhiri
sengketa, yang disebut putusan sela dan putusan akhir. Selain itu, dalam hukum acara
PTUN juga dikenal dengan Putusan Dismissal.

Macam-macam Putusan PTUN adalah sebagai berikut: 1. Putusan Pemberhentian;


2. Keputusan Sementara; dan 3. Keputusan Akhir.

1.Putusan Dismissal

Putusan Dismissal merupakan putusan yang dikeluarkan oleh PTUN dalam


proses dismissal, Proses dismissal merupakan proses penyaringan untuk menghindari
litigasi karena good governance membutuhkan kepastian hukum. Proses inilah yang
membedakannya dengan proses peradilan di lingkungan peradilan lainnya, sehingga
kasus-kasus yang lolos proses pemberhentian diharapkan benar-benar menjadi perkara
yang menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikannya.
Ketua PTUN memutuskan dengan suatu Penetapan yang dilengkapi Dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan dinyatakan tidak dapat
diterima atau tidak berdasar sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU PTUN dalam hal ini:

a. Pokok-pokok gugatan itu jelas-jelas tidak berada dalam yurisdiksi pengadilan;


b. Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Peraturan Perundang-
undangan tidak dipenuhi oleh Penggugat meskipun telah diberitahukan dan
diperingatkan,
c. Gugatan tidak didasarkan pada alasan yang tepat.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan tersebut sebenarnya telah dipenuhi oleh
putusan TUN yang digugat.
e. Klaim diajukan sebelum waktunya atau telah kedaluwarsa.

Terhadap penetapan Ketua Peradilan Tata Usaha Negara, gugatan balik dapat
diajukan dalam jangka waktu 14 hari setelah diucapkan. Perkara perlawanan diperiksa
oleh Majelis Hakim dengan pemeriksaan singkat dalam acara singkat yang tidak diatur
dalam Peraturan Perundang-undangan, namun dalam praktek pemeriksaan dilakukan
tidak dengan sidang pengadilan karena tidak mencapai materi gugatan. , tetapi hanya
meneliti apakah pertimbangan-pertimbangan dalam penetapan Ketua PTUN pada intinya
menyatakan bahwa gugatan tidak lolos pemberhentian, apakah sudah sesuai dengan Pasal
62 UU. Aturan atau tidak.13 Meskipun kasus perlawanan diperiksa secara singkat,
putusan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. Dalam hal perlawanan
itu dibenarkan oleh Pengadilan, maka putusan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara itu
batal demi hukum dan pokok gugatan itu akan diperiksa seperti biasa. Terhadap putusan
mengenai gugatan terhadap suatu gugatan tidak dapat digunakan upaya hukum yang
berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

2. Putusan Sela
Putusan sela adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir dibuat dengan
tujuan memungkinkan atau memudahkan dilanjutkannya pemeriksaan perkara. Dalam
konteks hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara, putusan sela adalah putusan yang
dijatuhkan oleh hakim sebelum pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan
selesai.
Dalam Hukum Tata Usaha Negara yang termasuk putusan yang tidak keputusan
akhir, misalnya
a. penggugat atau tergugat datang sendiri ke sidang pengadilan meskipun telah
diwakili oleh kuasa hukumnya.
b. keputusan hakim ketua sidang yang menunjuk seorang juru bahasa atau orang
yang pandai bergaul dengan penggugat atau saksi sebagai juru bahasa.
c. Keputusan hakim ketua sidang yang mengangkat seseorang atau beberapa ahli
atas permintaan penggugat dan tergugat atau penggugat atau tergugat karena
kedudukannya.
d. Keputusan hakim tentang beban pembuktian.

3. Putusan Akhir

Putusan Akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah selesai
pemeriksaan suatu sengketa Tata Usaha Negara yang mengakhiri sengketa
tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Putusan akhir menurut sifat perintahnya
dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Putusan condemnatoir, yaitu putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk
memenuhi prestasi (to het verrichten van een pretatie)

2. Putusan declaratoir, yaitu putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi
hukum. Putusan hakim yang menyatakan bahwa permohonan atau gugatan ditolak
merupakan putusan deklaratif.
3. putusan konstitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum atau
menimbulkan keadaan hukum yang baru.

4. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara menurut Pasal 97 ayat (7) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terdiri atas:

1. Gugatan ditolak
Putusan berupa gugatan ditolak adalah a. putusan yang
menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan
sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara
yang tidak dinyatakan batal demi hukum.

2. Gugatan yang dikabulkan

Putusan berupa gugatan yang dikabulkan adalah putusan yang


menyatakan bahwa putusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan
sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara
yang dinyatakan batal atau tidak sah.

Karena adanya gugatan dalam Pasal 97 ayat (8) Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka
ditentukan bahwa dalam hal gugatan dikabulkan, putusan dapat
menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus ditentukan dalam Pasal
97 ayat (9) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara berupa:

a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau


b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
didasarkan pada Pasal 3.

3. Gugatan tidak diterima

Putusan berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang


menyatakan bahwa syarat-syarat yang telah ditentukan tidak diterima.
dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh penggugat.
4. Gugatan Gugur

Sanggahan Putusan berupa gugatan batal adalah putusan yang


dijatuhkan oleh hakim karena penggugat tidak hadir dalam beberapa
kali sidang meskipun telah dipanggil secara patut atau penggugat
meninggal dunia.

Dengan melihat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Mataram


Nomor 31/G/2010/PTUN-MTR telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (in kracht van gewijsde), yang menyatakan: a. Mengkabulkan
sebagian gugatan Penggugat, b. Menyatakan keputusan KPUD
Lombok Tengah No. 27 Tahun 2010. c. tentang Penetapan Pasangan
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah untuk mengikuti
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten
Lombok Tengah Tahun 2010 atas nama H. Moh Suhaili FT.SH dan
Drs.HL. Suzana Normal melanggar Asas Umum Pemerintahan yang
Baik, yaitu asas kepastian hukum, asas ketepatan, asas persamaan, dan
asas larangan bertindak sewenang-wenang. d. Menyatakan bahwa
Keputusan Tata Usaha Negara berbentuk Keputusan. e. KPU
Kabupaten Lombok Tengah Nomor 27 Tahun 2010 tentang Penetapan
Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Untuk
Mengikuti Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Kabupaten Lombok Tengah Tahun 2010 atas nama H. Moh Suhaili FT
. SH dan Drs. HL. Susana biasa. f. Mengharuskan tergugat mencabut
Keputusan Tata Usaha Negara berupa Keputusan KPU Kabupaten
Lombok Tengah Nomor 27 Tahun 2010 tentang Penetapan Pasangan
Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Untuk Mengikuti
Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2010. dan pemilihan wakil kepala
daerah atas nama H. Moh Suhaili FT.SH dan Drs.HL. Susana biasa. g.
Menolak gugatan penggugat selain dan selebihnya. h. Menghukum
Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp370.000 (tiga
ratus tujuh puluh ribu rupiah).

Maka sifat Putusan PTUN adalah constitultief dan Condemnatoir,


hal ini karena salah urutan putusan menyatakan bahwa putusan PTUN
tidak berlaku Putusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Lombok
Tengah Nomor 27 Tahun 2010 tentang Penetapan Pasangan Caion
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Menjadi Peserta Pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Tahun 2010 pemilihan ketua
atas nama H. Moh Suhaill FT.SH dan Drs. HL. Susana biasa. Artinya
Putusan PTUN Mataram membatalkan situasi hukum, dengan batalnya
Putusan KPU Kabupaten Lombok Tengah Nomor 27 Tahun 2010
maka putusan KPU Kabupaten Kalombok Tengah Nomor 27 Tahun
2010 tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga bahwa itu
konstitutif.

Selain itu, putusan tersebut menyatakan bahwa terdakwa wajib


mencabut Keputusan Tata Usaha Negara berupa Keputusan Komisi
Pemilihan Umum Daerah Kabupaten Lombok Tengah Nomor 27
Tahun 2010 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan
Calon Kepala Daerah. Wakil Kepala Daerah untuk mengikuti
pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten
Lombok. Pertengahan Tahun 2010 Atas nama H.Moh Suhaili FT.SH
dan Drs.HL. Suzana Normal, artinya, perintah tersebut mengandung
hukuman yaitu Mewajibkan Terdakwa mencabut TUN berupa SK
KPU Kabupaten Lombok Tengah Nomor 27 Tahun 2010, sehingga
bersifat Condemnatoir. Akibat dari putusan Condemnatoir adalah
penggugat diberikan hak untuk meminta tindakan eksekutorial
terhadap tergugat.
B. Pengertian dan Tata Cara Eksekusi
Eksekusi adalah soal menjalankan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap. Selain itu, menurut Supomo, eksekusi diartikan sebagai aturan tentang cara dan
syarat yang digunakan oleh alat-alat negara, untuk membantu pihak-pihak yang
berkepentingan dalam melaksanakan putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia
memenuhi substansi putusan dalam jangka waktu tertentu. waktu yang ditentukan. Pendapat
Supomo di atas menunjukkan adanya fungsi bantuan dari aparatur negara, untuk
melaksanakan isi putusan apabila ada pembangkangan terpidana terhadap isi putusan.

Salah satu kekuatan hukum putusan pengadilan adalah kekuatan eksekutorial, yang
dimaksud dengan kekuatan hukum eksekutorial putusan hakim adalah kekuatan hukum yang
diberikan kepada putusan hakim agar putusan hakim dapat dilaksanakan.

Sebagai syarat agar putusan hakim memperoleh kekuasaan eksekutif adalah pencantuman
irah-irah “demi keadilan BERDASARKAN TUHAN YANG MAHA ESA”. Selain itu, hanya
putusan penghukuman yang memiliki kekuatan eksekutorial, sedangkan putusan pengadilan
yang bersifat deklaratif dan konstitutif tidak memiliki kekuatan eksekusi.

Pada hakekatnya, eksekusi tidak lain adalah realisasi kewajiban para pihak yang
bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan MK. Pihak yang
menang dapat meminta eksekusi pada Pengadilan yang memutus perkara untuk
melaksanakan putusan dengan paksa (execution force).

Dalam melaksanakan eksekusi, ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi oleh
Mahkamah, yaitu sebagai berikut:

a. Putusan MK harus mempunyai kekuatan hukum tetap.


b. Keputusan tidak dilaksanakan secara sukarela.
c. Putusan tersebut berisi perintah penghukuman.
d. Eksekusi di bawah pimpinan Ketua Mahkamah Agung.
Tata cara eksekusi dalam hukum acara peradilan tata usaha negara diatur dalam Pasal 115
sampai dengan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara Jo. UU 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua
tentang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Pasal 115 menyatakan bahwa hanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Sebelum putusan dilaksanakan, pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh
panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya pada tingkat
pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 ( empat belas) hari kerja sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1).

Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja diterima putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya untuk
mencabut Putusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, maka putusan tata usaha negara
yang disengketakan tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 116 paragraf (2).

Dalam hal ditetapkan bahwa tergugat harus melaksanakan kewajiban pencabutan


Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara yang baru atau penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara, dalam hal gugatan
didasarkan pada Pasal 3 , kemudian setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban
tersebut belum dilaksanakan. , maka penggugat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan agar pengadilan memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan
pengadilan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (3)

Dalam hal terdakwa tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, pejabat yang bersangkutan dikenakan tindakan paksa
berupa pembayaran sejumlah uang secara paksa. uang dan/atau sanksi administratif. seperti
yang disebutkan dalam Pasal 116 ayat (4) Pejabat yang tidak melaksanakan putusan
pengadilan diumumkan di media massa cetak setempat oleh panitera karena tidak dipenuhi.
Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan berdasarkan Pasal 3 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 116 ayat (5)

Selain diumumkan di media massa cetak setempat, ketua pengadilan harus


menyampaikannya kepada Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pemerintah untuk
memerintahkan pejabat melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan
rakyat untuk menjalankan fungsinya. pengawasan. sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116
ayat (6)

Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan
perundang-undangan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 116 ayat (7) berdasarkan
ketentuan Pasal 116 tersebut di atas, sebenarnya ada dua jenis eksekusi yang kita kenal di
lingkungan peradilan tata usaha negara.

1. Pelaksanaan putusan pengadilan yang memuat kewajiban sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN yang bersangkutan.

2. Pelaksanaan putusan pengadilan yang memuat kewajiban sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 97 (9) huruf b dan huruf c, yaitu: Huruf b : pencabutan kTUN yang bersangkutan dan
menerbitkan KTUN baru; atau Huruf c : Penerbitan KTUN dalam hal gugatan didasarkan
pada Pasal 3.

Apabila terjadi eksekusi jenis pertama, tergugat tidak melaksanakan kewajibannya dalam
waktu 60 (enam puluh) hari, maka putusan Tata Usaha Negara yang disengketakan tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan demikian, tidak diperlukan tindakan atau upaya
lain dari pengadilan, seperti surat teguran dan sebagainya. Karena Keputusan Tata Usaha
Negara secara otomatis akan kehilangan kekuatan hukumnya. Cara eksekusi ini disebut
eksekusi otomatis.
Sebaliknya, jika ada eksekusi jenis kedua, dan tidak dipatuhi dalam waktu 90 (sembilan
puluh) hari, pejabat yang bersangkutan dikenakan tindakan paksa berupa pembayaran paksa
sejumlah uang dan/atau sanksi administratif dan diumumkan di media massa cetak setempat
oleh petugas.

Agar Putusan Pengadilan dapat dieksekusi dengan uang paksa, diperlukan syarat-syarat
sebagai berikut:

1. Pengenaan uang paksa harus dicantumkan dalam putusan pengadilan yang mengabulkan
gugatan
2. Uang paksa ditentukan oleh hakim karena kedudukannya
3. Uang paksa dapat dikenakan kepada terdakwa yang tidak bersedia melaksanakan putusan
pengadilan berupa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c,
apabila putusan pengadilan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Penerapan uang paksa (dwangsom) tidak dapat diterapkan pada semua putusan PTUN.
Permohonan dwangsom hanya dapat dikenakan atas putusan PTUN yang merupakan
keputusan penghukuman. Aparatur Negara yang menjalankan tugasnya dalam pelayanan
kemudian menimbulkan kerugian bagi masyarakat, tetapi tugas tersebut dilaksanakan sesuai
dengan undang-undang, maka kerugian yang diderita masyarakat harus ditanggung oleh
negara. Karena itu merupakan kesalahan teknis dalam melaksanakan dinas.

Lain halnya jika pada saat pejabat Tata Usaha Negara tidak patuh melaksanakan putusan
PTUN, pada saat itu pejabat Tata Usaha Negara tidak menjalankan peran negara. Apabila hal
ini terjadi, maka tanggung jawab secara pribadi menjadi tanggung jawab penyelenggara
Negara yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari
Counsil d'Etat Fikih yang membedakan kesalahan resmi (Faute de serve) dan kesalahan
pribadi (Faute de personelle). Dalam hal pelaksanaan kewajiban tergugat, untuk membayar
ganti rugi sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 97 ayat (10) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi Dan Tata Cara Pelaksanaannya Pada Peradilan
Tata Usaha Negara.

Proses ganti rugi sebagai pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, diawali
dengan pengiriman salinan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menetapkan putusan
tersebut, paling lambat 3 (tiga) hari setelah putusan diucapkan. Apabila putusan ganti
kerugian ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara atau Mahkamah Agung,
maka putusan tersebut juga harus dikirimkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada tingkat
pertama. Terdakwa atau tergugat atau badan tata usaha negara yang dipidana untuk
membayar ganti kerugian, setelah menerima permohonan atau pengajuan ganti rugi dari
pencari keadilan/penggugat, kemudian memberitahukan kepada pencari keadilan bahwa
permohonannya telah diterima.

Pemberitahuan dari instansi tata usaha negara atau termohon eksekusi atau terdakwa
harus sudah dilakukan dengan surat tercatat paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
tanggal diterimanya surat permohonan dari pencari keadilan.

Adapun tata cara pembayaran ganti rugi yang menjadi beban APBN, berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1129/KM.01/1991 tentang Tata
Cara Pembayaran Ganti Kerugian Pelaksanaan Putusan PTUN, prosedurnya dimulai dengan
pengajuan permohonan Ketua PTUN atas permintaan Penggugat kepada Menteri cq. .
Sekretaris Jenderal atau Pimpinan Lembaga yang bersangkutan yang dikenai ganti rugi harus
disertai dengan putusan Pengadilan. Atas permintaan Ketua Peradilan Tata Usaha Negara,
Menteri atau Sekretaris Jenderal atau Pimpinan Lembaga yang dikenai ganti kerugian
mengajukan Surat Kuasa (SKO) kepada Menteri Keuangan cq Direktur Jenderal Anggaran.
Menteri Keuangan cq Direktur Jenderal Anggaran melakukan penelitian terhadap berkas
permohonan SKO. Apabila tidak ada keberatan atau kekurangan berkas, Menteri Keuangan,
Dirjen Anggaran, menerbitkan SKO atas biaya Bagian Pembiayaan dan Perhitungan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rutin. SKO asli diserahkan kepada yang berhak.
Berdasarkan SKO tersebut, Penggugat mengajukan permohonan ganti rugi kepada Kas
Negara dan Perbendaharaan Negara (KPKN) melalui lembaga tata usaha negara setempat
(perwakilan BTUN yang dikenakan ganti rugi) dengan melampirkan:

a. Keputusan Otorisasi
b. Asli dan salinan petikan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Badan Tata Usaha Negara setempat mengajukan Surat Perintah Pembayaran Langsung
(SPLS) kepada KPKN yang membayar. KPKN kemudian menerbitkan Surat Perintah
Membayar Langsung (SPMLS) kepada yang berhak, dan melakukan pembayaran. Terhadap
putusan yang telah dibayar ganti rugi, dibubuhi stempel bahwa pembayaran ganti rugi telah
dilakukan.

Dalam hal termohon atau badan penyelenggara negara/terdakwa, belum dapat memenuhi
kewajiban membayar ganti rugi pada tahun anggaran berjalan, maka pembayaran ganti rugi
ini harus dibayarkan atau dilakukan pada tahun anggaran berikutnya. Sebagaimana diatur
dalam Pasal 8 PP Nomor 43 Tahun 1991 sebagai berikut:

Apabila pembayaran ganti rugi tidak dapat dilakukan oleh Tata Usaha Negara pada tahun
anggaran berjalan, maka pembayaran ganti rugi dimasukkan dan dilakukan pada tahun
anggaran berikutnya berdasarkan pada ketentuan Pasal 8 PP No. 43 Tahun 1991 berarti
apabila pada tahun berikutnya pembayaran ganti rugi tidak dapat dilakukan, dapat dilakukan
kembali pada tahun berikutnya, begitu seterusnya tanpa batas waktu yang jelas. Dari
ketentuan tersebut tergambar bagaimana pola yang ditawarkan oleh PTUN dalam
melaksanakan putusannya. Pada tahap awal dilakukan berdasarkan kesadaran terdakwa untuk
melaksanakannya, kemudian dengan paksaan administratif.

Kemudian dalam hal Sanksi Tata Usaha Negara, ketua pengadilan harus menyerahkannya
kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan
pejabat melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
melaksanakan fungsi pengawasan. . Jika melihat hal ini, Presiden diposisikan sebagai
pemegang pemerintahan tertinggi, namun kewenangan Presiden dalam Pasal 116 ayat (6)
hanya menyangkut urusan (peristiwa) Aparatur Negara yang tidak melaksanakan keputusan-
keputusan Negara. Peradilan Tata Usaha Negara yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap hanya dinyatakan dengan menggunakan kata “perintah” yang sama sekali tidak
mengandung unsur sanksi.

Penegasan secara implisit kewenangan Presiden dalam pasal 116 ayat (6) dalam rangka
memberikan perlindungan hukum bagi Penggugat, tampak bahwa undang-undang
penegakannya lebih mungkin dikembalikan kepada pemerintah itu sendiri dalam hal ini
pejabat atasannya. Cara eksekusi ini disebut eksekusi hierarkis.

C. Kekuasaan Eksekutif Putusan Peradilan Tata Usaha Negara

Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara diselenggarakan dalam rangka memberikan


perlindungan kepada masyarakat pencari keadilan yang merasa dirugikan akibat adanya
Putusan Tata Usaha Negara. Pada dasarnya setiap putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang
bersifat penghukuman mempunyai kekuatan eksekutorial setelah putusan tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap, hal ini dikarenakan putusan tersebut mengandung
pemidanaan bagi para terdakwa, sehingga perlu adanya kekuatan paksaan bagi para terdakwa
yang tidak melaksanakan putusan tersebut. Pengadilan Tata Usaha Negara.31 Mulanya
mekanisme pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara yang lebih bertumpu pada adanya
hubungan hierarkis administrasi yang bersifat “top-down”, seperti dalam rancangan sistem
berdasarkan Pasal 115 dan 116 UU 5 Tahun 1986, jelas didasarkan pada kondisi yang ada
pada saat undang-undang itu diundangkan. dibuat. Dimana praktik kenegaraan saat itu
(zaman Presiden Suharto), sangat mengandalkan ujung kekuasaan yang sangat kuat, sehingga
diharapkan pada akhir kekuasaan akan menimbulkan rasa “ketaatan atau ketakutan” bagi
bawahan yang melakukannya. tidak mau menerapkannya.

Sementara itu, kondisi saat ini, di mana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
diatur menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, lebih
menekankan pada demokratisasi dan otonomisasi daya tentu saja merupakan prasyarat yang
tidak lagi sesuai dengan sistem yang ada.

Terjadi perubahan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menjadi Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004, mengubah sistem pelaksanaan keputusan. dari mengandalkan
struktur birokrasi top-down, ke sistem yang mengandalkan pola upaya paksa, melalui media
massa dan uang paksa serta sanksi administratif.'' Dari ketentuan Pasal 116 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang kedua amandemen Undang-Undang Nomor .5 Tahun Tentang
Peradilan Tata Usaha Negara mengatur unsur-unsur paksaan administratif seperti:

1. Uang paksa
2. Sanksi administratif
3. Diumumkan di media massa.
Meskipun ketentuan dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara telah memuat
ketentuan mengenai unsur paksaan, namun dalam pelaksanaannya terkadang putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak memiliki kekuatan eksekusi, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan bagi masyarakat pencari keadilan, yang merasa bahwa mereka
telah dirugikan sebagai akibat dari suatu Keputusan Tata Usaha Negara. BUMN, hal ini
dikarenakan tidak ada aparat atau badan pemaksa untuk melakukan eksekusi sehingga
terdakwa melaksanakan putusan MK maupun putusan penghukuman di pengadilan perdata
dan pidana.

Kondisi demikian menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan suatu keputusan harus


mendapat dukungan dari aparatur faktor determinan sehingga penekanannya lebih pada
tanggung jawab hukum. Artinya undang-undang dengan segala instrumen paksaannya akan
memaksa seseorang untuk melaksanakan isi putusan tersebut. Pemberlakuan putusan
Peradilan Tata Usaha Negara diletakkan pada kesadaran hukum para pejabat Tata Usaha
Negara. Tidak ada instrumen yang dapat memaksa tergugat untuk mematuhi dan
melaksanakan putusan. Pelaksanaan putusan PTUN sangat tergantung pada kesadaran hukum
terdakwa. Meski ada kemungkinan pemaksaan, namun upaya pemaksaan yang ditawarkan
masih belum mampu menjawab persoalan tersebut. Masalah semakin bertambah, dengan
kenyataan bahwa tanggung jawab administrasi negara bukanlah tanggung jawab pribadi atau
pribadi. Dalam hal tata usaha negara, kedudukan tanggung jawab hanya kepada jabatan,
sehingga beban moral yang dipikul terdakwa tidak terlalu besar.

Sedangkan di pihak yang sama, tidak mungkin dilakukan penjaminan, seperti perampasan
barang milik terdakwa yang berguna untuk menjamin terselenggaranya PTUN (hal ini karena
berdasarkan ketentuan undang-undang keuangan negara dan perbendaharaan negara tidak
dimungkinkan untuk melakukan penyitaan konservatori atau eksekutif atas persediaan
penanam modal milik negara.Selain itu, asas hukum tata usaha negara yang dirasakan
menghambat pelaksanaan putusan PTUN

E.Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
pertama; Mekanisme pelaksanaan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara saat ini didasarkan
pada ketentuan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
yaitu: Putusan Pengadilan yang telah inkracht, dikirimkan kepada para pihak dengan surat
panitera setempat atas perintah Ketua Pengadilan dan yang mengadilinya pada tingkat pertama
dalam waktu 14 hari kerja di Pengadilan paling lambat, jika setelah 60 hari kerja putusan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diterima oleh tergugat tidak melaksanakan
kewajibannya; kemudian keputusan TUN yang disengketakan tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum, Tergugat bertekad harus melaksanakan kewajibannya setelah 90 (sembilan puluh) hari
kerja ternyata kewajiban itu belum dilaksanakan, maka penggugat mengajukan permohonan
kepada Penggugat Ketua Pengadilan sehingga Pengadilan memerintahkan terdakwa untuk
melaksanakannya. putusan pengadilan, Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan
Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pejabat yang bersangkutan dikenakan
tindakan paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan atau sanksi administrasi, pejabat
TUN yang tidak melaksanakan putusan pengadilan akan diumumkan di media massa cetak
setempat oleh panitera karena tidak dipenuhinya.
Secara keseluruhan, pengaturan mengenai sanksi disiplin terhadap pejabat yang tidak
melaksanakan keputusan TUN telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016
tentang Tata Cara Pemberian Sanksi Administratif kepada Pejabat Pemerintah, namun dalam
pelaksanaannya masih banyak yang tidak melaksanakan aturan tersebut, oleh karena itu menjadi
tugas petugas kepegawaian sebagai atasan untuk lebih tanggap terhadap permasalahan tersebut,
karena jika tidak dilaksanakan maka tentu masyarakat akan dirugikan.
DAFTAR PUSTAKA
Atmosudirdjo Prajudi, Masalah Organisasi Peradilan Administrasi Negara, Simposium PTUN,
BPHN-Binacipta, Bandung. 1977.
Amirudin Ibramsyan, Kedudukan KPU Daiam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta: Laksbang Mediatama, 2008.
Arifin Marpaung, “Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Melalui Upaya
Paksa”, Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2010.
Adrian Bedner, Administrative Courts in Indonesia : A Socio-Legal Study (Terjemahan),
London, The Hague: Kluwer International, 2003.
Assiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006.
Assiddiqie, Jimly. Negara Hukum Indonesia, Ceramah Umum dalam rangka Pelantikan
Dewan
Pimpinan Pusat Ikatan Alumni Universitas Jayabaya, di Jakarta, Sabtu, 23 Januari 2010.
Assiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral
dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, 2006.
Assiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Kostitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarata,
2010,
76.
Assiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara, KonstitusiPress.
Jakarta,
2006.
Assiddiqie, Jimly. Pengantar Iimu Hukum Tata Negara, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan
Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, 2006.
Assiddiqie, Jimly. Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral
dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, 2006.
Assiddiqie, Jimly.Perkembangan dan Konsolidasi Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jendral
dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI Jakarta, 2006.
Ibrahim, Johny. Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Banyu Media,
2008.
Simon Butt, The Eksekusi of the Negara Hukum : Implementing Judicial Decision in
Indonesia, dalam Timothy Lindsey (Editor), Indoneisa : Law and Society, The
Federation Press, Melbourne, 1999.
Supandi, “Kepatuhan Pejabat Dalam Menaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara”,
(Disertasi Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; Medan), 2005.
Mahmud Marzuki,Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/
zaebc8c90a40d7fe8908303931383535.html/https://ptun-mataram.go.id/layanan-publik/
transparansi/laporan-tahunan
https://ptun-mataram.go.id/layanan-publik/transparansi/laporan-tahunan.115-116 UU Nomor 5
Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai