Ali Rido
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indoensia
Jl. Lawu No. 01, Kotabaru, Yogyakarta
ridho.alihasyim@yahoo.com
Pendahuluan
Seiring dengan momentum perubahan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945)
pada masa reformasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin
menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001, yaitu ketika ide pembentukan MK
diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang kemudian dirumuskan ke dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945
Perubahan Ketiga UUD 1945. Hingga pada akhirnya, tepat tanggal 13 Agustus 2003
diresmikan sebagai hari lahirnya MK Republik Indoensia. Dilihat dari aspek kuantitas,
Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK, sementara dilihat dari
kacamata ketatanegaraan maka lahirnya MK menjadi titik balik keinginan sekaligus
kesadaran bersama bahwa ke depan proses legislasi di Indonesia harus dilakukan secara
konstitusional, sehingga tidak merenggut hak konstitusional warga negara.1
1
Adanya MK RI juga menjadi bentuk pengejewantahan nyata atas argumentasi Hans Kelsen
bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ
selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau
tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan
organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Lihat Hans Kelsen, General
Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), Hlm.157.
1
diperhatikan. Dengan demikian, konteks tersebut dapat dipandang bahwa keberadaan
MK adalah sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan sebagai
penafsir konstitusi (the interpreter of constitution).
Tabel
Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(2003-2014) Per 09 Mei 2014
Jenis Putusan Jml Jml UU
Terima Jml
K T TD TK Putusan Diuji
596 946 141 198 160 53 552 258
Keterangan:
K = Kabul; T = Tolak; TD = Tidak Diterima; TK = Tarik Kembali
(Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU, diakses 09 Mei 2014).
Terlepas adanya perdebatan terhadap alasan MK dalam memutus sebuah UU, namun
dengan adanya data UU yang diuji kemudian dikabulkan atau dibatalkan oleh MK
karena inkonstitusional bisa menjadi indikasi bahwa kualitas legislasi di Indonesia patut
dipertanyakan. Bisa jadi buruknya kualitas legislasi tersebut dipengaruhi oleh kuatnya
faktor politis dalam proses legislasi. Faktor tersebut berdampak pada ketidaksinkronan
2
undang-undang dengan konstitusi atau ketidakharmonisan undang-undang dengan
undang-undang lain. 2
Kemudian, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah berkenaan dengan factor
pembiayaan dalam pembuatan sebuah UU. Jamak diketahui bahwa proses pembuatan
sebuah UU bisa dikatakan akan memakan waktu dan biaya tinggi, misalnya data dari
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan di tahun 2011
untuk menyusun satu Rancangan Undang-undang (RUU) usulan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), anggaran yang digunakan sekitar Rp. 1,8 miliar. Nominal tersebut
kemudian meningkat menjadi Rp. 5,2 miliar pada tahun 2012. Kegiatan lain yang
berhubungan dengan pembahasan RUU juga menghabiskan biaya yang tak sedikit.
Misalkan kegiatan rapat untuk membentuk RUU memakan anggaran Rp. 114 juta,
pencetakan Rp. 44 Juta, mengundang pakar Rp. 100 Juta dan konsinering Rp. 567 juta,
serta kunjungan kerja di dalam negeri Rp. 843 juta dan luar negeri Rp. 3,2 miliar.3
Dengan melihat besaran anggaran yang dikeluarkan negara tersebut apabila hasilnya
tak berbanding lurus dengan kualitas UU yang dihasilkan, maka menjadi mubadzir dan
sia-sia produk hukum yang telah dikeluarkan tersebut.
2
Victor Imanuel W. Nalle, “Konstruksi Model Pengujian Ex Ante terhadap Rancangan Undang-
Undang di Indonesia”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 3, September 2013, Hlm. 220.
3
Borosnya Biaya Pembuatan Undang-Undang, dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50e199f0bc17d/borosnya-biaya-pembuatan-undang-undang,
diakses 20 Mei 2014.
4
Sederhananya consultative power dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk memberikan
pandangan ataupun pendapat kepada lembaga negara pembuat undang-undang (UU) yang memintanya
terhadap rancangan undang-undang. Oleh karenanya, mekanisme tersebut bisa dimanfaatkan lembaga
negara seperi legislatif dan yudikatif untuk memanfaatkan hak tanya kepada lembaga Negara, seperti MK
agar proses pembuatan UU yang nantinya disahkan konstitusional. Mengingat sifatnya hanya sebagai
pendapat bukan sebagai putusan, maka menurut penulis sifat keberlakuannya tidaklah bersifat final and
binding, sehingga masih terbuka pintu untuk diajukan judicial review bilamana UU yang telah disahkan
3
Tujuan adanya mekanisme konsultasi bukan hanya untuk melihat sebuah RUU yang
dibuat nantinya berpotensi merugikan orang lain, tetapi juga sebagai uapaya untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih aturan (overlapping regulation).
Pembahasan
ternyata masih memiliki sisi yang inkonstitusional. Dalam konteks ini lah menjadi letak perbedaan antara
judicial preview atau constitutional preview.
5
Alasan menjadikan MK sebagai lembaga yang sangat mungkin memegang kewenangan
tersebut adalah dengan melihat ketentuan Pasal 24C ayat (5) yang mensyaratkan bahwa sebagai hakim
MK harus memiliki integritas dan kepribadian yang yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidakmerangkap sebagai pejabat negara. Disamping itu, dengan
melihat adanya syarat harus negarawan bagi hakim MK, maka semakin meyakinkan penulis bahwa dalam
prosesnya (konsultasi) tidak didasarkan pada pandangan kepentingan. Bahkan apabila harus
membandingkan syarat untuk menjadi pejabat di lembaga negara lainnya, nampaknya hanyalah di MK
saja yang hakimnya harus memiliki sikap negarawawan.
6
Tujuan ketiganya dapat uraiakan; Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat
yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara
melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan
bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya
mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum
terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Di sisi lain, hukum juga dapat
digunakan untuk memperoleh atau mencapai manfaat tertentu dalam kehidupan berbangda dan bernegara.
Lihat Moh. Mahfud MD, “Penegakan Hukum Dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”, Makalah, Pada
Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA.
Jakarta, 8 Januari 2009. Hlm. 2-3.
4
dapat dilaksanakan norma ataupun isinya. Untuk memfungsikan hukum sebagai as a
tool of social engineering, maka banyak aspek yang perlu diperhatikan. Salah satu
dimensi pentingnya adalah dalam proses pembuatan UU atau dalam bentuknya sebagai
RUU, yang harus dilakukan adalah dengan merujuk pada asas pembuatan perundang-
undangan yang baik. Oleh Karena itu, rasionalitas antara norma aturan menjadi penting
ketika dalam proses perumusannya, bahkan lebih penting lagi norma tersebut harus
koheren dengan aturan yang lebih tinggi sehingga tidak menimbulkan pertentangan
dengan aturan yang diatasnya.
7
Adrian W. Bedner, dkk, Kajian Sosio-Legal, (Bali:Pustaka Larasan, 2012), Hlm. 120.
Kemudian untuk melihat uraian lengkap keterkaitan anatar pembangunan dan hukum, lihat J. M. Otto,
The Legal Oriental Connection, (Leiden: E.J. Brill, 1999), Hlm. 18-19.
8
Imer B. Flores, “Legisprudence: The Role and Rationality of Legislators-vis a vis judges-
Toward The Realization of Justice”, Mexican Law Reviewe, Vol. 1, No. 2, 26 Maret 2009: 108.
5
1. Linguistic rationality: laws must be clear and precise to avoid the problem
lems of ambiguity and vergueness (Rasionalitas bahasa: hukum (undang-
undang) harus jelas dan tepat untuk menghindari masalah ambiguitas dan
ketidakjelasan);
2. Legal-formal or systematic-rationality: laws must be not only valid-and as
such general, abstract, impersonal and permanent-but also coherent, non-
redundent, non-contradictory,prospective or non-retroactive, and publicized
to avoid problems of antinomies, redundancies and gaps, while promoting the
completenes of law as a system (Rasionalitas legal formal atau rasionalitas
sistematisasinya: hukum (undang-undang) bukan hanya harus berlaku umum
(abstrak,impersonal dan permanen), tetapi juga harus koheren (saling terkait),
tidak berlebihan, tidak kontradiktif, tidak berlaku surut, dan dipublikasikan
untuk menghindari pertentangan-pertentangan, berlebih-lebihan dan
kesenjangan sebagai upaya mewujudkan sistem perundang-undangan yang
lengkap/sempurna);
3. Teleological rationality: laws must be efficacious in serving as a means to a
end and consequenly, they can not establish something impossible or merely
symbolic (Rasionalitas teleologis; hukum harus berguna/bermanfaat guna
mencapai tujuan akhir. Artinya, hukum yang dibangun merupakan hal yang
ideal bukan hal yang mustahil atau hanya simbolis);
4. Pragmatic rationality: laws must be not only be efficious, but also socially
effective and ecnomically efficient in the case of conflict (Rasionalitas
Pragmatis: hukum bukan hanya harus bermanfaat tetapi juga efektif dari segi
sosial dan ekonomis efektif efisien dalam kasus atau konflik yang nyata);
5. Ethical rationality; laws must be just or fair and as a result can neither admit
an injustice or the violation of basic principles and rights (Rasionalitas etis;
hukum harus adil dan out put-nya adalah mengakui keadilan dan menghindari
pelanggaran-pelanggaran atas prinsip-prinsip arau hak-hak dasar).
9
Fakta terhadap undang-undang yangketika disahkan kemudian tak lama didaftarkan ke
Mhakamah Konstitusi untuk diuji materiilkan misalnya Undang-undang Nomor Nomor 17 Tahun 2013
Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pihak yang melakukan judicial review terhadap undang-undang a
quoadalah organisasi maysarakat yang diwakili oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah. Beberapa lasan
yang mendasarinya karena terdapat + 25 pasal yang berpotensi membelenggu hak konstitusional warga
negara. Fakta menarik lainya adalah berkenaan dengan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (UU APBNP), undang-undang yang usianya baru dua puluh enam hari diketok
setelah mendapat persetujuan bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan
undang-undang tersebut belum diberi nomor dan ditandatangani oleh presiden namun sudah didaftarkan
oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke Mahkakamah Konstitusi untuk diuji kesahihan dan
konstitusionalitasnya. Hal tersebut seakan membenarkan bahwa masih banyak kelemahan dalam proses
pembuatan undang-undang, sehingga setelah disahkan banyak pihak yang memiliki legal standing merasa
haknya dilanggar, atau dengan kata lain substansi dari undang-undang ternyata tidak berpihak pada
kepentingan masyarakat.
6
maka diperlukan upaya yang bersifat preventif, dalam hal ini yang coba ditawarkan
adalah melalui mekanisme konsultasi kepada lembaga negara yang diisi oleh individu-
individu yang dipandang memiliki kualifikasi penguasaan terhadap konstitusi dan teknis
pembuatan perundang-undangan yang baik. Melalui mekanisme tersebut, legislatif
ataupun ekskeutif dapat melakukan tanya jawab kepada lembaga tersebut apakah norma
suatu rancangan undang-undang telah sinkron dengan norma dalam UUD NRI 1945.
Apabila mendasarkan konsepsi UUD NRI 1945 dan aturan organiknya, maka
akan lebih tepat jika lembaga yang bekompeten di ranah konstitusi adalah Mahkamah
Konstitusi. Pasal 24C UUD NRI 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tentu semakin menjelaskan bahwa
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang legitimate sebagai lembaga yang
ditugaskan menegakan konstitusi dan prinsip negara hukum. Bahkan dalam Undang-
undang Nomo 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dalam konsiderannya disebutkan
sebagai berikut:
“………hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat Negara.”10
Dengan demikian, maka semakin menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga yang berisi individu-individu berkemampuan unggul baik secara makro dan
mikro terhadap konstitusi dan ketatanegaraan. Oleh karenanya, dari segi tersebut kecil
kemungkinan untuk diperdebatkan. Penambahan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi, tentu tidak mungkin absen dari perdebatan mengingat sejauh ini Mahkamah
Konstitusi lingkup kewenangannya hanya menguji rancangan undang-undang yang
telah disahkan dan diundangkan, bukan sebaliknya. Munculnya perdebatan tersebut,
setidaknya akan bertumpu pada dimensi sebagai berikut; pertama, secara yuridis, maka
sebanarnya orbit Mahkamah Konstitusi sudah sangat jelas dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
khususnya ayat (1) huruf a, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Apabila mekanisme konsultasi berjalan, maka tanpa disadari, telah terjadi pergerakan
orbit yang pada akhirnya mengubah relasi antara DPR dan MK.
10
Lihat Konsideran huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
7
Namun demikian, ketentuan tersebut juga tidak memberikan garis larangan
bilamana Mahkamah Konstitusi dimintai pendapatnya oleh pembuat undang-undang
terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Hal tersebut terbukti ketika
dalam proses pembuatan Rancangan undang-undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (telah disahkan menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011).11 Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga menerima dan menyidangkan
pengajuan judicial review Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 yang diuji meteriilkan
oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi.12 Bahkan yang lebih mengejutkan pasal yang
diujikan adalah Pasal 7 berkenaan dengan masuknya Ketetapan Majelis
Permusyawraatan Rakyat (TAP MPR) yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-
undangan.
11
Seperti tercatat dalam Risalah Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Pansus telah melakukan konsultasi kepada
Mahkamah Konstitusi untuk mengkonsultasikan kedudukan TAP MPR yang dimasukan ke dalam
hirarkiperaturan perundang-undanga. Salah satu pendapat yang diberikan MK dalam forum konsultasi
tersebut adalah apabila TAP MPR masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan akan
menimbulkan persoalan dalam mekanisme uji materinya mengingat secara substansi materi dalam TAP
MPR berkaitan juga dengan materi UUD NRI 1945. Lihat Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan
Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Dewan Perwakilan
Rakyat, 2011, Hlm. 21.
12
Perkembangan yang terjadi terkait jalannya uji materi UU No. 12 Tahun 2011, Mahkamah
Konstitusi telah memberikan pendapat dalam pemeriksaan pendahuluan. Salah satu pendapat mahkamah:
“…ada ketetapan-ketetapan MPR, misalnya mengenai reformasi agraria, mengenai dasar hukum atau
perintah yang memerintahkan KPK dan sebagainya itu masih tetap berlaku. Kalau ini kemudian tidak
dimasukkan dalam struktur peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b
tadi, maka malah menimbulkan kekosongan hukum…”. Lihat Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 86/PUU-XI/2013, Acara Pemeriksaan Pendahuluan perihal pengujian Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Terhadap Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Jakarta: MK RI, 2013), hlm. 11.
13
Ada yang berpendapat bahwa ketatanegaraan di Indonesia tidak mengenal judicial review
karena UUD 1945 tidak menyinggung sama sekali tentang itu. Mahfud MD melihat bahwa pelembagaan
8
penegasan UUD 1945 memang tidak menyebut adanya judicial review tetapi UUD
tersebut juga tidak melarangnya, sehingga secara prinsip tidak ada larangan
konstitusionalnya, bahkan untuk kemanfaatan “tertib tata hukum” pelembagaannya
untuk undang-undang diperlukan.14 Logika itu lah yang nampaknya bisa dijadikan
jawaban mengapa Mahkamah Konstitusi selain melakukan uji materiil terhadap undang
yang telah diundangkan juga memberikan pintu bagi DPR ketika berkeinginan
melakukan konsultasi.
judicial review tidak ada halangan konstitusional dan istilah tersebut di dalam tulisan ini diberi arti sama
dengan istilah “hak menguji meteriil” yang telah dipakai di dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Lihat Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2012), Hlm. 79.
14
Ibid, Hlm.80.
15
Juduicial review post facto dapat diartikan uji materi yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi setelah diberlakukannya sebuah undang-undang dan ternyata atas keberlakuan undang-undang
tersebut akhirnya justru menimbulkan kerugian konstitusional seseorang. Kerugian konstitusional bisa
berlaku cepat atau bisa juga harus menunggu dengan rentang waktu yang tidak bisa ditentukan.
16
Victor Immanuel W. Nalle, Loc. Cit, Hlm. 443.
17
Adapun pasal yang diujikan adalah Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2),
ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Salah satu amar putusannya menyatakan bahwa “Kata
9
undang inkonstitusional dibutuhkan waktu yang sangat lama, yaitu 13 tahun. Artinya
model judicial review post facto telah menutup pintu bagi upaya pencegahan kerugian
konstitusional yang tersistem dan massif tersebut. Oleh karena itu, mekanisme
konsultasi tidak lain dimaksudkan untuk membantu meminimalisir potensi kerugian
konstitusional tersebut karena dilakukan sebelum RUU disahkan.
“negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945. Kata “negara” dalam
Pasal 1 angka 6 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga harus dipahami menjadi
“hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Putusan lain
yang bisa dijadikan peramater adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 terkait Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 terkait pengujian
Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
18
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Ke-2, (Jakarta: Rajawali Pres, 2009),
Hlm. 5.
10
substansi konstitusional yang harus masuk dalam undang-undang telah
menjadikan hasilnya jauh dari spirit UUD NRI 1945. Oleh karenanya agar
potret tersebut tidak menjadi laten dan mampu melahirkan undang-undang
yang konstitusional, maka mekanisme konsultasi kepada Mahkamah
Konstitusi bisa menjadi altenatif jalan keluarnya.
3. Upaya mencegah unsur mubadzir dalam pembuatan undang-undang, jika
merujuk data bahwa dalam membuat satu undang-undang membutuhkan dana
sampai 1 M, maka bisa dibayangkan berapa banyak anggaran yang harus
dikeluarkan dalam mensukseskan program legislasi nasional (prolrgnas) yang
jumlahnya puluhan rancangan undang-undang19. Jumlah besar anggaran
tersebut tentu akan menjadi sia-sia bilamana pascapengundangan justru
hasilnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai abai terhadap
muatan UUD NRI 1945. Dengan adanya mekanisme konsultasi, maka
diharapkan akan memberikan masukan konkret terhadap proses pembuatan
undang-undang yang syarat dengan nilai konstitusi. Dalam konteks itu, maka
bisa dijadikan upaya untuk menutup pintu lahirnya unsur mubadzir dalam
pemanfaatan anggaran prolegnas.
19
Misalnya berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, di tahun
2014 terdapat 66 rancangan undang-undang yang harus dikebut DPR untuk segera disahkan sebagai target
prolegnas. Lihat Prestasi Prolegnas DPR yang Selalu Jeblok, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2013/12/27/1602150/Prestasi.Prolegnas.DPR.yang.Selalu.Jeblok,
diakses 26 Mei 2014.
20
Inna Junaenah, “Filosofi Kriteria Pembentuk Undang-Undang: Refleksi Persyaratan Menjadi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 3, September
2013: 520. Lihat juga dalam Mutammimul Ula, “DPR dan Pemerintah Harus Ekstra Hati-Hati”, Jentera,
Jurnal Hukum, Edisi 11-Tahun III, (Januari-Maret 2006) : 80-81.
21
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, or Principles of Political Rights oleh G.D.H.
Cole dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Vincent Bero, Cetakan Ke-1, (Jakarta:
Visimedia, 2007), 151.
11
bertumpu pada filsafat hidup bangsa sebagai cita hukum (rechtsidee), yaitu harapan
masyarakat terhadap hukum, cita-cita untuk mencapai keadilan, ketertiban,
kesejahteraan, dan sistem nilai.
12
undang sebagai produk legislatif. Oleh karena itu, dalam konteks ini
pengujian lanjutan (judicial review) masih dibutuhkan sebagai jalan terakhir
pasca pengesahan rancangan undang-undang oleh legislator. Konstruksi
demikian menunjukan bahwa sesungguhnya peranan legislator tetap menjadi
yang utama, begitu pula dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi;
2. Mahkamah Konstitusi hanya sebatas memberikan pandangan yang berkaitan
dengan konstitusionalitas dan teknis yuridis rancangan undang-undang.
Artinya MK berperan hanya sebatas memberikan masukan-masukan terhadap
setiap lini pertanyaan yang diajukan oleh pembuat undang-undang
kepadanya. Selebihnya jika ada dimensi penting yang menurut MK perlu
diberikan masukan, namun tidak masuk dalam manifest yang dikonsultasikan
ke MK, maka MK tidak harus menjawabnya. Model demikian sebagai jalan
supaya MK tidak masuk terlalu jauh dalam proses tersebut, sehingga
semangat yang di bawa adalah tidak saling mengkooptasi kewenangan yang
dimiliki oleh kedua lembaga negara tersebut;
3. Sifat dari pendapat MK tidak final dan mengikat (final and binding),
pendapat MK terhadap hasil konsultasi harus dikonsespikan bukan memiliki
kekuatan hukum tetap dan bukan pula berarti sebagai bentuk upaya hukum
terakhir. Namun dalam hal ini, pendapat MK hanya bersifat rekomendasi.
Artinya pembuat undang-undang tetap boleh mengabaikannya atau
mematuhinya, dengan demikian kekhawatiran mekanisme konsultasi dapat
membawa “label” konstitusionalnya telah bersenyawa dan melekat pada
undang-undang dapat dihindarkan;
4. Pendapat MK dapat menjadi informasi tambahan jika rancangan undang-
undang setelah diundangkan diajukan judicial review ke MK. Seperti telah
teruraikan, bahwa mekanisme konsultasi dilakukan sebelum masa
pengundangan rancangan undang-undang, maka bukan berarti pendapat MK
menjadi sia-sia. Pandangan-padangan yang lahir dari MK bisa dijadikan input
tambahan bagi pihak pemohon dan bisa menjadi bahan pemikiran bagi
kemungkinan-kemungkinan pengaruuhnya terhadap kerugian
konstitusional22.
Di samping itu, mengingat ide awal pemberlakuan mekanisme konsultasi adalah
untuk mewujudkan kualitas undang-undang yang baik atau berkualitas, maka selain
memperhatikan substansi yang terkandung dalam UUD NRI 1945 juga perlu mengacu
pada kategori-kategori lain yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan
kualitas legislasi. Adapaun kategori tersebut antara lain 23, pertama, metodologi legislasi
(legislative methodology), yaitu berkaitan dengan substansi legislasi yang dapat
22
Model demikian bisa disejajarkan dengan model gagasan pengujian ex ante yang juga
memposisikan masukan MK dalam proses tersebut bisa menjadi alat tambahan yang sangat mungkin
untuk digunakan pemohon dalam melakukan pengujian undang-undang yang telah merugikan hak
konstitusional warga negara. Lihat Victor Immanuel W. Nalle, Konstruksi Model Pengujian Ex
Ante….Loc. Cit, Hlm. 447.
23
Luzius Mader, Evaluating the Effect: A Contribution to the Quality of Legislation dalam
Victor Immanuel W. Nalle, Konstruksi Model….Loc. Cit, Hlm. 444.
13
digunakan untuk mengelaborasi substansi normatif. Kedua, teknik legislasi (legislative
technique), berkaitan dengan mengukur kualitas legislasi dari aspek formalnya.
Misalnya struktur dalam substansi undang-undang. Ketiga, perancang legislasi
(legislative drafting), berkaitan dengan mengukur kualitas legislasi dari perumusa
norma dalam undang-undang.
Penutup
24
Hal ini dapat diberikan komentar bahwa suatu peraturan perundang-undangan dikatakan
mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuan sesuai dengan keyakinan umum atau
kesadaran hukum masyarakat. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat harus
dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Produk
perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname). Lihat Bagir Manan,
Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Ind Hill Co, 1992), Hlm. 15.
14
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (kini menjadi UU Nomor 12
Tahun 2011). Dalam perjalannya UU tersebut kemudian diajukan judicial review ke
MK dan MK menyidangkan uji materi tersebut. Praktik MK itu seakan memberi
pembenaran terhadap mekanisme konsultasi yang dilakukan oleh DPR ke MK ketika
sedang menyusun rancangan undang-undang.
Pertimbangan lain, model judicial review post facto sesungguhnya memiliki titik
kelemahan karena harus menunggu waktu untuk dapat dikatakan sebuah UU memiliki
atau berpotensi dapat merugikan hak konstitusional warga negara. Lahirnya kerugian
konstitusional tersebut, bisa disebabkan dalam prosesnya kepentingan politik lebih kuat
disbanding dimensi teknik yuridis, terlebih dengan posisi legislatif sebagai salah satu
organ pembuat UU merupakan lembaga politik maka tidak bisa menutup mata unsur
kepentingan lebih dikedepankan, akibatnya aspek penting dalam legal drafting
terabaikan. Oleh karena itu, melalui mekanisme konsultasi dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan agar proses pembuatan undang-undang tidak hanya murni
diisi kepentingan politik, namun dimensi teknis yuridis tetap ikut di dalamnya sehingga
keduanya dapat berjalan beriringan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Bedner, Adrian W., et.al, 2012, Kajian Sosio-Legal, Bali:Pustaka Larasan, 2012.
Kelsen, Hans, 1961, General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel.
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Ind Hill
Co.
Moh. Mahfud MD., 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Ke-2, Jakarta: Rajawali
Pres.
_______________, 2012, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2012.
Otto, J. M., 1999, The Legal Oriental Connection, Leiden: E.J. Brill.
Rousseau, Jacques, 2007, The Social Contract, or Principles of Political Rights,
diterjemahkaan oleh Vincent Bero, Cetakan Ke-1, Jakarta: Visimedia.
Flores, Imer B., 2009, “Legisprudence: The Role and Rationality of Legislators-vis a vis
judges-Toward The Realization of Justice”, Mexican Law Reviewe, Vol. 1, No. 2,
26 Maret.
Junaenah, Inna, 2013 “Filosofi Kriteria Pembentuk Undang-Undang: Refleksi
Persyaratan Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat”, Jurnal Mahkamah
Konstitusi, Volume 10 Nomor 3, September.
Moh. Mahfud MD., 2009, “Penegakan Hukum Dan Tata Kelola Pemerintahan Yang
Baik”, Makalah, Pada Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang
diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari.
Nalle, Victor Imanuel W., 2013, “Konstruksi Model Pengujian Ex Ante terhadap
Rancangan Undang-Undang di Indonesia”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume
10 Nomor 3, September.
Ula, Mutammimul, 2006, “DPR dan Pemerintah Harus Ekstra Hati-Hati”, Jentera,
Jurnal Hukum, Edisi 11-Tahun III, Januari-Maret.
16
Prestasi Prolegnas DPR yang Selalu Jeblok, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2013/12/27/1602150/Prestasi.Prolegnas.DPR.yan
g.Selalu.Jeblok, diakses 26 Mei 2014.
17