Anda di halaman 1dari 17

DRAFT

MENAKAR PROSPEKTIVITAS KEWENANGAN KONSULTASI (Consultative


Power) OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
(Solusi Alternatif Mewujudkan Undang-undang Berkualitas di Indonesia)

Ali Rido
Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum
Universitas Islam Indoensia
Jl. Lawu No. 01, Kotabaru, Yogyakarta
ridho.alihasyim@yahoo.com

Pendahuluan
Seiring dengan momentum perubahan Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945)
pada masa reformasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin
menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001, yaitu ketika ide pembentukan MK
diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang kemudian dirumuskan ke dalam ketentuan Pasal 24C UUD 1945
Perubahan Ketiga UUD 1945. Hingga pada akhirnya, tepat tanggal 13 Agustus 2003
diresmikan sebagai hari lahirnya MK Republik Indoensia. Dilihat dari aspek kuantitas,
Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK, sementara dilihat dari
kacamata ketatanegaraan maka lahirnya MK menjadi titik balik keinginan sekaligus
kesadaran bersama bahwa ke depan proses legislasi di Indonesia harus dilakukan secara
konstitusional, sehingga tidak merenggut hak konstitusional warga negara.1

Di usianya yang telah memasuki satu dasawarsa, MK telah berperan penting


dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Melalui salah satu kewenangannya menguji
untuk undang-undang (UU) terhadap UUD Negara Republik Indoensia (UUD NRI)
1945, hingga kini ratusan UU telah diuji dan diputus olehnya. Berbagai putusannya juga
menjadi „alarm‟ bagi legislatif dan ekseksutif yang diberi mandat untuk membahas UU
bahwa dalam prosesnya tidak semata mengejar target dan memenuhi program legislasi
nasional (proglegnas), melainkan aspek konstitusionalitas harus dipegang dan

1
Adanya MK RI juga menjadi bentuk pengejewantahan nyata atas argumentasi Hans Kelsen
bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ
selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau
tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan
organ khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Lihat Hans Kelsen, General
Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), Hlm.157.

1
diperhatikan. Dengan demikian, konteks tersebut dapat dipandang bahwa keberadaan
MK adalah sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan sebagai
penafsir konstitusi (the interpreter of constitution).

Di sisi lain, adanya mekanisme judicial review oleh MK memang dapat


dipandang sebagai niat baik penyelenggara negara untuk menjamin hak asasi manusia
(HAM) warga negaranya yang merasa direnggut pscapengundagangan UU. Namun
lebih dari itu, apabila semakin banyaknya UU yang diajukan ke MK untuk diuji
konstitusionalitasnya maka justru menjadi problem serius dalam penyelenggaraan
negara. Karena hal itu menandakan bahwa proses legislasi yang dilakukan oleh cabang
kekuasaan di negeri ini (legislatif dan eksekutif) masih jauh dari kata baik, sehingga
produknya dapat dengan mudah dibatalkan karena dinilai inkonstitusional. Idealnya
pembuatan sebuah UU haruslah berpijak pada ketentuan dasar yaitu UUD NRI 1945,
bukan malah sebaliknya. Oleh karenanya apabila ada sebuah UU yang diuji di MK
kemudian putusannya inkonstitusional maka dapat dikatakan ada yang salah dalam
mekanisme proses legislasinya. Apabila melihat data yang ada, jumlah putusan yang
dikabulkan oleh MK totalnya relatif banyak sehingga sudah seharusnya menjadi bahan
kontemplasi bersama terhadap putusan tersebut.

Tabel
Rekapitulasi Perkara Pengujian Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
(2003-2014) Per 09 Mei 2014
Jenis Putusan Jml Jml UU
Terima Jml
K T TD TK Putusan Diuji
596 946 141 198 160 53 552 258
Keterangan:
K = Kabul; T = Tolak; TD = Tidak Diterima; TK = Tarik Kembali
(Sumber: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.RekapPUU, diakses 09 Mei 2014).

Terlepas adanya perdebatan terhadap alasan MK dalam memutus sebuah UU, namun
dengan adanya data UU yang diuji kemudian dikabulkan atau dibatalkan oleh MK
karena inkonstitusional bisa menjadi indikasi bahwa kualitas legislasi di Indonesia patut
dipertanyakan. Bisa jadi buruknya kualitas legislasi tersebut dipengaruhi oleh kuatnya
faktor politis dalam proses legislasi. Faktor tersebut berdampak pada ketidaksinkronan

2
undang-undang dengan konstitusi atau ketidakharmonisan undang-undang dengan
undang-undang lain. 2

Kemudian, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah berkenaan dengan factor
pembiayaan dalam pembuatan sebuah UU. Jamak diketahui bahwa proses pembuatan
sebuah UU bisa dikatakan akan memakan waktu dan biaya tinggi, misalnya data dari
Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyebutkan di tahun 2011
untuk menyusun satu Rancangan Undang-undang (RUU) usulan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), anggaran yang digunakan sekitar Rp. 1,8 miliar. Nominal tersebut
kemudian meningkat menjadi Rp. 5,2 miliar pada tahun 2012. Kegiatan lain yang
berhubungan dengan pembahasan RUU juga menghabiskan biaya yang tak sedikit.
Misalkan kegiatan rapat untuk membentuk RUU memakan anggaran Rp. 114 juta,
pencetakan Rp. 44 Juta, mengundang pakar Rp. 100 Juta dan konsinering Rp. 567 juta,
serta kunjungan kerja di dalam negeri Rp. 843 juta dan luar negeri Rp. 3,2 miliar.3
Dengan melihat besaran anggaran yang dikeluarkan negara tersebut apabila hasilnya
tak berbanding lurus dengan kualitas UU yang dihasilkan, maka menjadi mubadzir dan
sia-sia produk hukum yang telah dikeluarkan tersebut.

Sebagai upaya untuk mencegah atau meminimalisir timbulnya kuantitas UU


yang tidak bekualitas ataupun inkonstitusional, maka penting untuk dicarikan
mekanisme jalan keluarnya. Salah satu mekanisme antisipatif maupun preventif yang
coba ditawarkan adalah dengan dibukanya mekanisme konsultasi pada lembaga yang
diisi oleh individu-individu yang dipandang faham terkait konstitusi. Dalam konteks itu,
maka nantinya akan ada lembaga yang memiliki kewenangan memberikan pendapat dan
pandangan terhadap konstitusionalitas suatu RUU yang sedang dibahas. Degan kata
lain, lembaga tersebut memiliki kewenangan konsultasi atau consultative power. 4

2
Victor Imanuel W. Nalle, “Konstruksi Model Pengujian Ex Ante terhadap Rancangan Undang-
Undang di Indonesia”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 3, September 2013, Hlm. 220.
3
Borosnya Biaya Pembuatan Undang-Undang, dalam
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50e199f0bc17d/borosnya-biaya-pembuatan-undang-undang,
diakses 20 Mei 2014.
4
Sederhananya consultative power dapat dikatakan sebagai kewenangan untuk memberikan
pandangan ataupun pendapat kepada lembaga negara pembuat undang-undang (UU) yang memintanya
terhadap rancangan undang-undang. Oleh karenanya, mekanisme tersebut bisa dimanfaatkan lembaga
negara seperi legislatif dan yudikatif untuk memanfaatkan hak tanya kepada lembaga Negara, seperti MK
agar proses pembuatan UU yang nantinya disahkan konstitusional. Mengingat sifatnya hanya sebagai
pendapat bukan sebagai putusan, maka menurut penulis sifat keberlakuannya tidaklah bersifat final and
binding, sehingga masih terbuka pintu untuk diajukan judicial review bilamana UU yang telah disahkan
3
Tujuan adanya mekanisme konsultasi bukan hanya untuk melihat sebuah RUU yang
dibuat nantinya berpotensi merugikan orang lain, tetapi juga sebagai uapaya untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih aturan (overlapping regulation).

Berdasarkan paparan di atas, maka pertanyaan yang muncul adalah lembaga


mana yang akan diberikan kewenangan tersebut?. Ada kemungkinan lembaga yang
diberikan mandat tersebut adalah adalah lembaga baru atau lembaga yang telah ada
seperti Mahkamah Konstitusi (MK), dengan pertimbangan bahwa selama ini lembaga
yang dipandang memiliki kualifikasi menilai konstitusionalitas sebuah UU adalah MK 5.
Namun demikian, jika MK nantinya mengemban amanah tersebut apakah tidak
memunculkan asumsi bahwa UU akan kehilangan hakikatnya sebagai produk legislatif
jika ditentukan “nasibnya” oleh lembaga di luar legislatif, atau justru akan
menghilangkan kewenangan judicial review yang selama ini dipraktekan oleh MK itu
sendiri. Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka tulisan ini akan menguraikan
tantangan dan peluangnya bagi MK dalam mekanisme tersebut.

Pembahasan

Urgensi Konstitusionalitas undang-undang dan Kewenangan Konsultasi oleh MK

Idealnya tujuan dikeluarkannya sebuah produk hukum adalah untuk


mewujudkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan6. Undang-undang (UU) sebagai
salah satu produk hukum tentu juga diharapkan memiliki tiga nilai tersebut, sehingga

ternyata masih memiliki sisi yang inkonstitusional. Dalam konteks ini lah menjadi letak perbedaan antara
judicial preview atau constitutional preview.
5
Alasan menjadikan MK sebagai lembaga yang sangat mungkin memegang kewenangan
tersebut adalah dengan melihat ketentuan Pasal 24C ayat (5) yang mensyaratkan bahwa sebagai hakim
MK harus memiliki integritas dan kepribadian yang yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidakmerangkap sebagai pejabat negara. Disamping itu, dengan
melihat adanya syarat harus negarawan bagi hakim MK, maka semakin meyakinkan penulis bahwa dalam
prosesnya (konsultasi) tidak didasarkan pada pandangan kepentingan. Bahkan apabila harus
membandingkan syarat untuk menjadi pejabat di lembaga negara lainnya, nampaknya hanyalah di MK
saja yang hakimnya harus memiliki sikap negarawawan.
6
Tujuan ketiganya dapat uraiakan; Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat
yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara
melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan
bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya
mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum
terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Di sisi lain, hukum juga dapat
digunakan untuk memperoleh atau mencapai manfaat tertentu dalam kehidupan berbangda dan bernegara.
Lihat Moh. Mahfud MD, “Penegakan Hukum Dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik”, Makalah, Pada
Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA.
Jakarta, 8 Januari 2009. Hlm. 2-3.
4
dapat dilaksanakan norma ataupun isinya. Untuk memfungsikan hukum sebagai as a
tool of social engineering, maka banyak aspek yang perlu diperhatikan. Salah satu
dimensi pentingnya adalah dalam proses pembuatan UU atau dalam bentuknya sebagai
RUU, yang harus dilakukan adalah dengan merujuk pada asas pembuatan perundang-
undangan yang baik. Oleh Karena itu, rasionalitas antara norma aturan menjadi penting
ketika dalam proses perumusannya, bahkan lebih penting lagi norma tersebut harus
koheren dengan aturan yang lebih tinggi sehingga tidak menimbulkan pertentangan
dengan aturan yang diatasnya.

Selain itu, pentingnya sebuah undang-undang memiliki ruh konstitusi


(konstitusional) apabila dikaji maka setidaknya dapat dikategorikan atau diproyeksikan
untuk dua kepentingan. Pertama, bagi kepentingan rakyat. Konstitusionalitas sebuah
undang-undang bagi rakyat tidak lain adalah untuk memberikan kepastian bahwa
sebuah undang-undang yang dikeluarkan tidak berseberangan dengan nilai-nilai yang
terkandung di dalam konstitusi sehingga tidak merugikan. Kedua, bagi pihak penguasa.
Ketiadaan aturan hukum yang jauh dari jiwa konstitusi merupakan kendala utama bagi
pengembangan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan yang dicanangkan, sehingga
dapat menghambat keberhasilan pelaksanaan dan pencapaian tujuan kebijakan
pembangunan. 7

Paparan di atas menegaskan, bahwa sebuah undang-undang haruslah bertumpu


pada konstitusi guna menjamin kepentingan semua stakeholder pada sebuah negara.
Oleh karena itu, sebuah undang-undang harus bertumpu pada kaidah-kaidah rasional
yang temaktub dalam konstitusi. Seperti halnya diungkapkan oleh Flores, bahwa
terdapat (5) lima aspek rasionalitas yang perlu terintegrasi di setiap UU. Aspek tersebut
menjadi penting guna memberikan jaminan bahwa sebuah UU bisa dikatakan
berkualitas dan konstitusional, sehingga tidak berpotensi merugikan hak orang lain
ketika diimplementasikan pascapengundangannya. Adapun 5 (lima) aspek tersebut
yaitu:8

7
Adrian W. Bedner, dkk, Kajian Sosio-Legal, (Bali:Pustaka Larasan, 2012), Hlm. 120.
Kemudian untuk melihat uraian lengkap keterkaitan anatar pembangunan dan hukum, lihat J. M. Otto,
The Legal Oriental Connection, (Leiden: E.J. Brill, 1999), Hlm. 18-19.
8
Imer B. Flores, “Legisprudence: The Role and Rationality of Legislators-vis a vis judges-
Toward The Realization of Justice”, Mexican Law Reviewe, Vol. 1, No. 2, 26 Maret 2009: 108.
5
1. Linguistic rationality: laws must be clear and precise to avoid the problem
lems of ambiguity and vergueness (Rasionalitas bahasa: hukum (undang-
undang) harus jelas dan tepat untuk menghindari masalah ambiguitas dan
ketidakjelasan);
2. Legal-formal or systematic-rationality: laws must be not only valid-and as
such general, abstract, impersonal and permanent-but also coherent, non-
redundent, non-contradictory,prospective or non-retroactive, and publicized
to avoid problems of antinomies, redundancies and gaps, while promoting the
completenes of law as a system (Rasionalitas legal formal atau rasionalitas
sistematisasinya: hukum (undang-undang) bukan hanya harus berlaku umum
(abstrak,impersonal dan permanen), tetapi juga harus koheren (saling terkait),
tidak berlebihan, tidak kontradiktif, tidak berlaku surut, dan dipublikasikan
untuk menghindari pertentangan-pertentangan, berlebih-lebihan dan
kesenjangan sebagai upaya mewujudkan sistem perundang-undangan yang
lengkap/sempurna);
3. Teleological rationality: laws must be efficacious in serving as a means to a
end and consequenly, they can not establish something impossible or merely
symbolic (Rasionalitas teleologis; hukum harus berguna/bermanfaat guna
mencapai tujuan akhir. Artinya, hukum yang dibangun merupakan hal yang
ideal bukan hal yang mustahil atau hanya simbolis);
4. Pragmatic rationality: laws must be not only be efficious, but also socially
effective and ecnomically efficient in the case of conflict (Rasionalitas
Pragmatis: hukum bukan hanya harus bermanfaat tetapi juga efektif dari segi
sosial dan ekonomis efektif efisien dalam kasus atau konflik yang nyata);
5. Ethical rationality; laws must be just or fair and as a result can neither admit
an injustice or the violation of basic principles and rights (Rasionalitas etis;
hukum harus adil dan out put-nya adalah mengakui keadilan dan menghindari
pelanggaran-pelanggaran atas prinsip-prinsip arau hak-hak dasar).

Atas dasar tersebut, maka adaya mekanisme pembuatan undang-undang yang


berbasis pada keteraturan menjadi satu hal penting, sehingga bisa terhindar dari judicial
review dini oleh pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya. 9 Sebagai antitesanya,

9
Fakta terhadap undang-undang yangketika disahkan kemudian tak lama didaftarkan ke
Mhakamah Konstitusi untuk diuji materiilkan misalnya Undang-undang Nomor Nomor 17 Tahun 2013
Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pihak yang melakukan judicial review terhadap undang-undang a
quoadalah organisasi maysarakat yang diwakili oleh Pengurus Pusat Muhammadiyah. Beberapa lasan
yang mendasarinya karena terdapat + 25 pasal yang berpotensi membelenggu hak konstitusional warga
negara. Fakta menarik lainya adalah berkenaan dengan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (UU APBNP), undang-undang yang usianya baru dua puluh enam hari diketok
setelah mendapat persetujuan bersama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), bahkan
undang-undang tersebut belum diberi nomor dan ditandatangani oleh presiden namun sudah didaftarkan
oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke Mahkakamah Konstitusi untuk diuji kesahihan dan
konstitusionalitasnya. Hal tersebut seakan membenarkan bahwa masih banyak kelemahan dalam proses
pembuatan undang-undang, sehingga setelah disahkan banyak pihak yang memiliki legal standing merasa
haknya dilanggar, atau dengan kata lain substansi dari undang-undang ternyata tidak berpihak pada
kepentingan masyarakat.
6
maka diperlukan upaya yang bersifat preventif, dalam hal ini yang coba ditawarkan
adalah melalui mekanisme konsultasi kepada lembaga negara yang diisi oleh individu-
individu yang dipandang memiliki kualifikasi penguasaan terhadap konstitusi dan teknis
pembuatan perundang-undangan yang baik. Melalui mekanisme tersebut, legislatif
ataupun ekskeutif dapat melakukan tanya jawab kepada lembaga tersebut apakah norma
suatu rancangan undang-undang telah sinkron dengan norma dalam UUD NRI 1945.

Apabila mendasarkan konsepsi UUD NRI 1945 dan aturan organiknya, maka
akan lebih tepat jika lembaga yang bekompeten di ranah konstitusi adalah Mahkamah
Konstitusi. Pasal 24C UUD NRI 1945 dan Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, tentu semakin menjelaskan bahwa
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang legitimate sebagai lembaga yang
ditugaskan menegakan konstitusi dan prinsip negara hukum. Bahkan dalam Undang-
undang Nomo 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor
24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dalam konsiderannya disebutkan
sebagai berikut:
“………hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat Negara.”10
Dengan demikian, maka semakin menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan
lembaga yang berisi individu-individu berkemampuan unggul baik secara makro dan
mikro terhadap konstitusi dan ketatanegaraan. Oleh karenanya, dari segi tersebut kecil
kemungkinan untuk diperdebatkan. Penambahan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi, tentu tidak mungkin absen dari perdebatan mengingat sejauh ini Mahkamah
Konstitusi lingkup kewenangannya hanya menguji rancangan undang-undang yang
telah disahkan dan diundangkan, bukan sebaliknya. Munculnya perdebatan tersebut,
setidaknya akan bertumpu pada dimensi sebagai berikut; pertama, secara yuridis, maka
sebanarnya orbit Mahkamah Konstitusi sudah sangat jelas dalam Pasal 24C ayat (1)
UUD NRI 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
khususnya ayat (1) huruf a, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD NRI 1945.
Apabila mekanisme konsultasi berjalan, maka tanpa disadari, telah terjadi pergerakan
orbit yang pada akhirnya mengubah relasi antara DPR dan MK.

10
Lihat Konsideran huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
7
Namun demikian, ketentuan tersebut juga tidak memberikan garis larangan
bilamana Mahkamah Konstitusi dimintai pendapatnya oleh pembuat undang-undang
terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas. Hal tersebut terbukti ketika
dalam proses pembuatan Rancangan undang-undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (telah disahkan menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011).11 Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga menerima dan menyidangkan
pengajuan judicial review Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 yang diuji meteriilkan
oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi.12 Bahkan yang lebih mengejutkan pasal yang
diujikan adalah Pasal 7 berkenaan dengan masuknya Ketetapan Majelis
Permusyawraatan Rakyat (TAP MPR) yang masuk dalam hirarki peraturan perundang-
undangan.

Praktik Mahkamah Konstitusi tersebut, bisa dimaknai seakan memberi


pembenaran terhadap mekanisme konsultasi yang dilakukan oleh DPR ketika sedang
menyusun sebuah rancangan undang-undang. Hal demikian tentu tidak lah salah,
mengingat rumusan pasal dalam UUD 1945 yang mengatur kewenangan Mahkamah
Konstitusi tidak tegas dengan tidak menyebutkan larangan bagi Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) melakukan konsultasi ke Mahkamah Konstitusi, termasuk
mengkonsultasikan rancangan undang-undang baik yang akan atau belum diundangkan.
Hal itu tidak jauh berbeda dengan pendapat Mahfud MD yang merespon pendapat
bahwa ketatanegaraan Indonesia tidak mengenal judicial review13, ia memberikan

11
Seperti tercatat dalam Risalah Rapat Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-undang
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa Pansus telah melakukan konsultasi kepada
Mahkamah Konstitusi untuk mengkonsultasikan kedudukan TAP MPR yang dimasukan ke dalam
hirarkiperaturan perundang-undanga. Salah satu pendapat yang diberikan MK dalam forum konsultasi
tersebut adalah apabila TAP MPR masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan akan
menimbulkan persoalan dalam mekanisme uji materinya mengingat secara substansi materi dalam TAP
MPR berkaitan juga dengan materi UUD NRI 1945. Lihat Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan
Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: Dewan Perwakilan
Rakyat, 2011, Hlm. 21.
12
Perkembangan yang terjadi terkait jalannya uji materi UU No. 12 Tahun 2011, Mahkamah
Konstitusi telah memberikan pendapat dalam pemeriksaan pendahuluan. Salah satu pendapat mahkamah:
“…ada ketetapan-ketetapan MPR, misalnya mengenai reformasi agraria, mengenai dasar hukum atau
perintah yang memerintahkan KPK dan sebagainya itu masih tetap berlaku. Kalau ini kemudian tidak
dimasukkan dalam struktur peraturan perundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b
tadi, maka malah menimbulkan kekosongan hukum…”. Lihat Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi
Perkara Nomor 86/PUU-XI/2013, Acara Pemeriksaan Pendahuluan perihal pengujian Undang-undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Terhadap Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Jakarta: MK RI, 2013), hlm. 11.
13
Ada yang berpendapat bahwa ketatanegaraan di Indonesia tidak mengenal judicial review
karena UUD 1945 tidak menyinggung sama sekali tentang itu. Mahfud MD melihat bahwa pelembagaan
8
penegasan UUD 1945 memang tidak menyebut adanya judicial review tetapi UUD
tersebut juga tidak melarangnya, sehingga secara prinsip tidak ada larangan
konstitusionalnya, bahkan untuk kemanfaatan “tertib tata hukum” pelembagaannya
untuk undang-undang diperlukan.14 Logika itu lah yang nampaknya bisa dijadikan
jawaban mengapa Mahkamah Konstitusi selain melakukan uji materiil terhadap undang
yang telah diundangkan juga memberikan pintu bagi DPR ketika berkeinginan
melakukan konsultasi.

Kedua, secara historis dipilihnya model pengujian rancangan undang-undang


pascapengundangan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan pilihan yang dinilai ideal
setelah DPR berkali-kali melakukan kunjungan dan kajian. Namun setelah berjalan
sepuluh tahun, apakah model demikian dapat dikatakan sebagai pilihan yang efektif ?.
Memang dalam setiap pilihan memiliki sisi plus dan minus, sehingga tidak bisa
disalahkan terhadap sebuah pilihan, termasuk pilihan judicial review model post facto15
yang selama ini diparektekan oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia. Model tersebut
bukan berarti telah sempurna, misalnya Nalle menjelaskan, sisi kelemahan tehadap
model judicial review post facto yang dipraktikan selama ini membuka peluang bagi
berlakunya legislasi dengan kualitas yang buruk dan dapat merugikan pihak-pihak yang
terkena dampaknya secara langsung dalam rentang waktu yang lama. 16

Model pengujian tersebut justru seakan memberikan peluang pembiaran


terhadap berlakunya undnag-undang dengan kualitas buruk berlaku lama, sehingga bisa
mensistematisasikan dan membuat massif terjadinya kerugian konstitusional. Salah satu
fakta konkretnya adalah dengan melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012 Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.17. Putusan tersebut menandakan untuk dapat dikatakannya sebuah undang-

judicial review tidak ada halangan konstitusional dan istilah tersebut di dalam tulisan ini diberi arti sama
dengan istilah “hak menguji meteriil” yang telah dipakai di dalam berbagai peraturan perundang-
undangan. Lihat Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, (Jakarta: PT
Raja Grafindo, 2012), Hlm. 79.
14
Ibid, Hlm.80.
15
Juduicial review post facto dapat diartikan uji materi yang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi setelah diberlakukannya sebuah undang-undang dan ternyata atas keberlakuan undang-undang
tersebut akhirnya justru menimbulkan kerugian konstitusional seseorang. Kerugian konstitusional bisa
berlaku cepat atau bisa juga harus menunggu dengan rentang waktu yang tidak bisa ditentukan.
16
Victor Immanuel W. Nalle, Loc. Cit, Hlm. 443.
17
Adapun pasal yang diujikan adalah Pasal 1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (1), ayat (2),
ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Salah satu amar putusannya menyatakan bahwa “Kata
9
undang inkonstitusional dibutuhkan waktu yang sangat lama, yaitu 13 tahun. Artinya
model judicial review post facto telah menutup pintu bagi upaya pencegahan kerugian
konstitusional yang tersistem dan massif tersebut. Oleh karena itu, mekanisme
konsultasi tidak lain dimaksudkan untuk membantu meminimalisir potensi kerugian
konstitusional tersebut karena dilakukan sebelum RUU disahkan.

Keselarasan undang-undang dengan konstitusi menjadi penting mengingat


secara konstitusional, lembaga legislatif di Indonesia berasal dari partai politik, yang
dipilih setiap lima tahun sekali melalui suatu pemilihan umum, sehingga patut diduga
produknya syarat akan kepentingan politik. Bahkan dalam faktanya (das sein), jika
hukum dikonsepsikan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka
tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia
merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang
saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh
kekuatan politik yang terbesar.18 Kondisi tersebut yang kemudian menjadikan
mekanisme konsultasi oleh Mahkamah Konstitusi memiliki esensi sebagai berikut:

1. Memberikan perhatian terhadap dimensi teknis yuridis, seperti uraian di atas


yang menjadikan hukum sebagai sub ordinasi politik sehingga berdampak
pada buruknya kualitas produknya. Kualitas buruk tersebut bisa disebabkan
karena minimnya perhatian pada aspek teknis yuridis yang dikarenakan
besarnya dominasi kepentingan politik yang jauh dari substansi rancangan
undang-undang. Oleh karena itu, maka mekanisme konsultasi dimaksudkan
untuk memberikan keseimbangan supaya proses pembuatan undang-undang
tidak hanya murni diisi kepentingan politik, namun dimensi teknis yuridis
tetap ikut di dalamnya sehingga keduanya dapat berjalan beriringan;
2. Meminimalisir lahirlnya undang-undang yang inkonstitusional, undang-
undang yang diujikan ke Mahkamah Konstitusi seringkali diputus karena
bertentangan dengan UUD NRI 1945. Data Mahkamah Konstitusi hingga Mei
2014 telah ada 141 undang-undang yang dinilai inkonstitusional, fenomena
tersebut tentu bisa dihindari bilamana dalam prosesnya dilakukan dengan cara
yang benar. Namun karena mungkin mayoritas legislatif belum paham

“negara” dalam Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945. Kata “negara” dalam
Pasal 1 angka 6 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga harus dipahami menjadi
“hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”. Putusan lain
yang bisa dijadikan peramater adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
Perihal Pengujian Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 terkait Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang
Minyak dan Gas Bumi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 terkait pengujian
Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
18
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Ke-2, (Jakarta: Rajawali Pres, 2009),
Hlm. 5.
10
substansi konstitusional yang harus masuk dalam undang-undang telah
menjadikan hasilnya jauh dari spirit UUD NRI 1945. Oleh karenanya agar
potret tersebut tidak menjadi laten dan mampu melahirkan undang-undang
yang konstitusional, maka mekanisme konsultasi kepada Mahkamah
Konstitusi bisa menjadi altenatif jalan keluarnya.
3. Upaya mencegah unsur mubadzir dalam pembuatan undang-undang, jika
merujuk data bahwa dalam membuat satu undang-undang membutuhkan dana
sampai 1 M, maka bisa dibayangkan berapa banyak anggaran yang harus
dikeluarkan dalam mensukseskan program legislasi nasional (prolrgnas) yang
jumlahnya puluhan rancangan undang-undang19. Jumlah besar anggaran
tersebut tentu akan menjadi sia-sia bilamana pascapengundangan justru
hasilnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai abai terhadap
muatan UUD NRI 1945. Dengan adanya mekanisme konsultasi, maka
diharapkan akan memberikan masukan konkret terhadap proses pembuatan
undang-undang yang syarat dengan nilai konstitusi. Dalam konteks itu, maka
bisa dijadikan upaya untuk menutup pintu lahirnya unsur mubadzir dalam
pemanfaatan anggaran prolegnas.

Berkaca pada hal tersebut, maka dapat diselaraskan bahwa mekanisme


konsultasi tidak lain untuk memberikan penegasan bahwa pembuat undang-undang
harus memperhatikan banyak aspek. bahkan Mutammimul Ula bersikap:
“Yang penting adalah pembentuk undang-undang, DPR dan Pemerintah, harus
ekstra hati-hati. Tidak boleh pentaklitan seenaknya, meski power atau otoritas
ada di tangan keduanya. DPR dan Pemerintah harus melakukan sinkronisasi
undang-undang secara ketat, baik menyamping maupun vertikal. Dalam konteks
judicial review, tentu saja sinkronisasi secara vertikal. Semangat konstitusi
harus tercermin di dalam setiap penyusunan UU. Sehingga ada akurasi. 20”
Dengan demikian, maka pemikiran Rousseau yang memposisikan legislatif memiliki
posisi sentral bisa dipertemukan dalam satu titik yang ideal, bahwa negara bertahan
hidup tidak oleh hukum atau undang-undang, tetapi oleh kekuasaan legislatif21. Artinya
jika legislatif mampu berperan baik, dengan membuat undang-undang yang berkualitas
maka dapat dipastikan eksistensi negara akan berjalan dengan baik karena produknya

19
Misalnya berdasarkan catatan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, di tahun
2014 terdapat 66 rancangan undang-undang yang harus dikebut DPR untuk segera disahkan sebagai target
prolegnas. Lihat Prestasi Prolegnas DPR yang Selalu Jeblok, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2013/12/27/1602150/Prestasi.Prolegnas.DPR.yang.Selalu.Jeblok,
diakses 26 Mei 2014.
20
Inna Junaenah, “Filosofi Kriteria Pembentuk Undang-Undang: Refleksi Persyaratan Menjadi
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 3, September
2013: 520. Lihat juga dalam Mutammimul Ula, “DPR dan Pemerintah Harus Ekstra Hati-Hati”, Jentera,
Jurnal Hukum, Edisi 11-Tahun III, (Januari-Maret 2006) : 80-81.
21
Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, or Principles of Political Rights oleh G.D.H.
Cole dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Vincent Bero, Cetakan Ke-1, (Jakarta:
Visimedia, 2007), 151.
11
bertumpu pada filsafat hidup bangsa sebagai cita hukum (rechtsidee), yaitu harapan
masyarakat terhadap hukum, cita-cita untuk mencapai keadilan, ketertiban,
kesejahteraan, dan sistem nilai.

Implementasi kewenangan konsultasi kepada Mahkamah Konstitusi jelas akan


menimbulkan isu hukum, yaitu misalnya proses legislasi akan kehilangan hakikatnya
sebagai produk hukum yang diproses melalui legislator karena “nasibnya” seakan lebih
dulu ditentukan oleh lembaga lain. Kemudian, apakah dengan melibatkan Mahkamah
Konstitusi dalam alur legislasi melalui mekanisme konsultasi justru akan
menghilangkan kewenangan judicial review yang selama ini dimiliki Mahkamah
Konstitusi. Guna menjawab isu hukum tersebut, maka dalam alur konsultasi tersebut
diperlukan aturan main atau rambu pembatasnya sehingga tidak menimbulkan kesan
Mahkamah Konstitusi memaksa masuk pada ranah otoritas pembentuk undang-undang.

Rambu Pembatas Mekanisme Konsultasi dalam Rancangan Undang-undang Oleh


Mahkamah Konstitusi

Mewujudkan proses legislasi yang transparan, akuntabel dan konstitusional tentu


menjadi harapan semua elemen bangsa. Idealita tersebut harus diejawantahkan dalam
setiap titik proses pembuatannya. Mekanisme konsultasi yang telah ditawarkan tersebut
bisa menjadi langkah konkret untuk mewujudkan kualitas undang-undang yang
konstitusional karena tujuannya tidak lain untuk memperbaiki kualitas undang-undang
ke depan, atau menjamin keselarasan dengan konstitusi. Namun guna memberikan
penjelasan bahwa mekanisme tersebut bukan lah langkah “pemaksaan” Mahkamah
Konstitusi untuk meninggalkan orbitnya atau bahkan sebagai bentuk nyata bahwa
Mahkamah Konstitusi “merebut” kewenangan legislatif dalam proses legislasi, maka
menjadi penting untuk diuraikan aturan mainnya.

Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan bilamana mekanisme konsultasi


dijalankan terhadap rancangan undang-undang, setidaknya beberapa aspek yang harus
menjadi acuan adalah sebagai berikut:

1. Mekanisme konsultasi dijalankan sebelum rancangan undang-undang


dilakukan pengesahan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari akibat yang
secara tidak langsung berupa hilangnya fungsi legislasi yang ada di
parelemen, karena jika mekanisme tersebut dijalankan pasca pengesahan
rancangan undang-undang maka yang ada akan mereduksi hakikat undang-

12
undang sebagai produk legislatif. Oleh karena itu, dalam konteks ini
pengujian lanjutan (judicial review) masih dibutuhkan sebagai jalan terakhir
pasca pengesahan rancangan undang-undang oleh legislator. Konstruksi
demikian menunjukan bahwa sesungguhnya peranan legislator tetap menjadi
yang utama, begitu pula dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi;
2. Mahkamah Konstitusi hanya sebatas memberikan pandangan yang berkaitan
dengan konstitusionalitas dan teknis yuridis rancangan undang-undang.
Artinya MK berperan hanya sebatas memberikan masukan-masukan terhadap
setiap lini pertanyaan yang diajukan oleh pembuat undang-undang
kepadanya. Selebihnya jika ada dimensi penting yang menurut MK perlu
diberikan masukan, namun tidak masuk dalam manifest yang dikonsultasikan
ke MK, maka MK tidak harus menjawabnya. Model demikian sebagai jalan
supaya MK tidak masuk terlalu jauh dalam proses tersebut, sehingga
semangat yang di bawa adalah tidak saling mengkooptasi kewenangan yang
dimiliki oleh kedua lembaga negara tersebut;
3. Sifat dari pendapat MK tidak final dan mengikat (final and binding),
pendapat MK terhadap hasil konsultasi harus dikonsespikan bukan memiliki
kekuatan hukum tetap dan bukan pula berarti sebagai bentuk upaya hukum
terakhir. Namun dalam hal ini, pendapat MK hanya bersifat rekomendasi.
Artinya pembuat undang-undang tetap boleh mengabaikannya atau
mematuhinya, dengan demikian kekhawatiran mekanisme konsultasi dapat
membawa “label” konstitusionalnya telah bersenyawa dan melekat pada
undang-undang dapat dihindarkan;
4. Pendapat MK dapat menjadi informasi tambahan jika rancangan undang-
undang setelah diundangkan diajukan judicial review ke MK. Seperti telah
teruraikan, bahwa mekanisme konsultasi dilakukan sebelum masa
pengundangan rancangan undang-undang, maka bukan berarti pendapat MK
menjadi sia-sia. Pandangan-padangan yang lahir dari MK bisa dijadikan input
tambahan bagi pihak pemohon dan bisa menjadi bahan pemikiran bagi
kemungkinan-kemungkinan pengaruuhnya terhadap kerugian
konstitusional22.
Di samping itu, mengingat ide awal pemberlakuan mekanisme konsultasi adalah
untuk mewujudkan kualitas undang-undang yang baik atau berkualitas, maka selain
memperhatikan substansi yang terkandung dalam UUD NRI 1945 juga perlu mengacu
pada kategori-kategori lain yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan
kualitas legislasi. Adapaun kategori tersebut antara lain 23, pertama, metodologi legislasi
(legislative methodology), yaitu berkaitan dengan substansi legislasi yang dapat

22
Model demikian bisa disejajarkan dengan model gagasan pengujian ex ante yang juga
memposisikan masukan MK dalam proses tersebut bisa menjadi alat tambahan yang sangat mungkin
untuk digunakan pemohon dalam melakukan pengujian undang-undang yang telah merugikan hak
konstitusional warga negara. Lihat Victor Immanuel W. Nalle, Konstruksi Model Pengujian Ex
Ante….Loc. Cit, Hlm. 447.
23
Luzius Mader, Evaluating the Effect: A Contribution to the Quality of Legislation dalam
Victor Immanuel W. Nalle, Konstruksi Model….Loc. Cit, Hlm. 444.
13
digunakan untuk mengelaborasi substansi normatif. Kedua, teknik legislasi (legislative
technique), berkaitan dengan mengukur kualitas legislasi dari aspek formalnya.
Misalnya struktur dalam substansi undang-undang. Ketiga, perancang legislasi
(legislative drafting), berkaitan dengan mengukur kualitas legislasi dari perumusa
norma dalam undang-undang.

Keempat, komunikasi legislasi (communication legislation), berkaitan dengan


mengukur kualitas legislasi dari bagaimana cara mengkomunikasikan substansi normatif
suatu peraturan. Kelima, prosedur legislasi (legislative procedure), berkaitan dengan
mengukur kualitas legislasi dengan melihat proses pembahasan, pengundangan, dan
implementasi suatu peraturan. Keenam, manajemen legislasi (the management of
legislation), berkaitan dengan mengukur kualitas legislasi dengan melihatnya sebagai
bagian dari suatu perencanaan peraturan perundang-undangan. Ketujuh, aspek
sosiologis dalam legislasi (the sociology of legislation), yaitu mengukur kualitas
legislasi dengan melihat proses politik dalam pembahasan, pengundangan, proses
implementasi, dan juga efek dari legislasi dari perspektif sosiologis 24. Kedelapan, teori
legislasi (the theory of legislation), yaitu mengukur kualitas legislasi dengan melihat
fungsi legislasi sebagai instrumen panduan sosial dan kontrol dari negara.

Penutup

Berdasarkan pemaparan tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan dan sekaligus


jawaban atas permasalahan kajian dalam tulisan ini. Pertama, secara normatif,
kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bisa masuk pada ranah legislasi yang
selama ini diemban oleh cabang kekuasaan negara seperti legislatif dan eksekutif.
Namun normatifisasi pasal terkait kewenangan MK yang termaktub dalam Pasal 24C
ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tidak secara tegas
melarang mempraktikan mekanisme konsultasi terhadap rancangan undang-undang
(RUU) yang sedang dibahas. Dalam praktiknya, MK pun ternyata menjalankan
mekanisme tersebut yang salah satunya dengan memberikan pendapat terhadap RUU

24
Hal ini dapat diberikan komentar bahwa suatu peraturan perundang-undangan dikatakan
mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuan sesuai dengan keyakinan umum atau
kesadaran hukum masyarakat. Hal ini berarti bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat harus
dipahami oleh masyarakat, sesuai dengan kenyataan hidup masyarakat yang bersangkutan. Produk
perundang-undangan tidak sekedar merekam keadaan seketika (moment opname). Lihat Bagir Manan,
Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Ind Hill Co, 1992), Hlm. 15.
14
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (kini menjadi UU Nomor 12
Tahun 2011). Dalam perjalannya UU tersebut kemudian diajukan judicial review ke
MK dan MK menyidangkan uji materi tersebut. Praktik MK itu seakan memberi
pembenaran terhadap mekanisme konsultasi yang dilakukan oleh DPR ke MK ketika
sedang menyusun rancangan undang-undang.

Pertimbangan lain, model judicial review post facto sesungguhnya memiliki titik
kelemahan karena harus menunggu waktu untuk dapat dikatakan sebuah UU memiliki
atau berpotensi dapat merugikan hak konstitusional warga negara. Lahirnya kerugian
konstitusional tersebut, bisa disebabkan dalam prosesnya kepentingan politik lebih kuat
disbanding dimensi teknik yuridis, terlebih dengan posisi legislatif sebagai salah satu
organ pembuat UU merupakan lembaga politik maka tidak bisa menutup mata unsur
kepentingan lebih dikedepankan, akibatnya aspek penting dalam legal drafting
terabaikan. Oleh karena itu, melalui mekanisme konsultasi dimaksudkan untuk
memberikan keseimbangan agar proses pembuatan undang-undang tidak hanya murni
diisi kepentingan politik, namun dimensi teknis yuridis tetap ikut di dalamnya sehingga
keduanya dapat berjalan beriringan.

Kedua, guna memberikan penjelasan agar mekanisme konsultasi tidak


merugikan MK dan lembaga Negara pembuat UU, maka sejumlah rambu pembatas
perlu dilaksanakan. Rambu pembatas tersebut misalnya, mekanisme konsultasi
dijalankan sebelum rancangan undang-undang dilakukan pengesahan, karena jika
konsultasi dijalankan pasca pengesahan RUU maka akan mereduksi hakikat undang-
undang sebagai produk legislatif. Kemudian, sifat dari pendapat MK tidak final dan
mengikat. Artinya pendapat MK hanya bersifat rekomendasi, sehingga pembuat
undang-undang tetap boleh mengabaikannya atau mematuhinya. Dengan demikian
kekhawatiran mekanisme konsultasi yang dapat membawa “label” konstitusionalnya
telah bersenyawa dan melekat pada undang-undang dapat dihindarkan. Melalui
guidelines tersebut, diharapkan nantinya tidak akan menyandera MK karena telah
memberikan pendapat sebelum UU diundangkan. Selain itu, adanya batasan-batasan
yang dimaksud diharapkan juga dapat menjawab asumsi bahwa mekanisme konsultasi
bukan sebagai sebagai model judicial preview terselubung dengan dalih konsultasi.

15
DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Bedner, Adrian W., et.al, 2012, Kajian Sosio-Legal, Bali:Pustaka Larasan, 2012.
Kelsen, Hans, 1961, General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel.
Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Jakarta: Ind Hill
Co.
Moh. Mahfud MD., 2009, Politik Hukum di Indonesia, Cetakan Ke-2, Jakarta: Rajawali
Pres.
_______________, 2012, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2012.
Otto, J. M., 1999, The Legal Oriental Connection, Leiden: E.J. Brill.
Rousseau, Jacques, 2007, The Social Contract, or Principles of Political Rights,
diterjemahkaan oleh Vincent Bero, Cetakan Ke-1, Jakarta: Visimedia.

Jurnal dan Makalah

Flores, Imer B., 2009, “Legisprudence: The Role and Rationality of Legislators-vis a vis
judges-Toward The Realization of Justice”, Mexican Law Reviewe, Vol. 1, No. 2,
26 Maret.
Junaenah, Inna, 2013 “Filosofi Kriteria Pembentuk Undang-Undang: Refleksi
Persyaratan Menjadi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat”, Jurnal Mahkamah
Konstitusi, Volume 10 Nomor 3, September.
Moh. Mahfud MD., 2009, “Penegakan Hukum Dan Tata Kelola Pemerintahan Yang
Baik”, Makalah, Pada Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang
diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari.
Nalle, Victor Imanuel W., 2013, “Konstruksi Model Pengujian Ex Ante terhadap
Rancangan Undang-Undang di Indonesia”, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume
10 Nomor 3, September.
Ula, Mutammimul, 2006, “DPR dan Pemerintah Harus Ekstra Hati-Hati”, Jentera,
Jurnal Hukum, Edisi 11-Tahun III, Januari-Maret.

Media Cetak dan Elektronik

Borosnya Biaya Pembuatan Undang-Undang, dalam


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50e199f0bc17d/borosnya-biaya-
pembuatan-undang-undang, diakses 20 Mei 2014.

16
Prestasi Prolegnas DPR yang Selalu Jeblok, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2013/12/27/1602150/Prestasi.Prolegnas.DPR.yan
g.Selalu.Jeblok, diakses 26 Mei 2014.

Peraturan Perundang-undangan, Risalah Sidang dan Putusan Pengadilan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.
Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-undang tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.
Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 86/PUU-XI/2013, Acara
Pemeriksaan Pendahuluan perihal pengujian Undang-undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Terhadap Undang-
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 Perihal Pengujian Undang-
undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009 Perihal Pengujian Undang-
undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Perihal Pengujian Undang-
undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Perihal Pengujian Undang-
undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden.

17

Anda mungkin juga menyukai