Anda di halaman 1dari 9

Page |1

ANALISIS KEKUATAN PUTUSAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Samsul Hidayat

Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Sebelas Maret, Indonesia


Email Penulis Korespondensi: samsulhidayat@student.uns.ac.id

Abstrak Kekuatan hukum Tata Usaha Negara (TUN) pencabutan suatu putusan
atau aturan yang tidak memenuhi syarat merupakan satu paket yang dimiliki oleh
instansi pemerintah yang berwenang. Namun, masyarakat sebagai obyek dari suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, juga masih banyak yang belum memahami tentang
hal tersebut. Kekuatan hukum Tata Usaha Negara (TUN) dapat digolongkan
menjadi 2, yaitu yang memiliki kekuatan hukum tetap dan juga yang memiliki
kekuatan hukum sementara. . Pemahaman mengenai pencabutan keputusan KTUN
terdapat syarat tertentu yang harus diperhatikan. Apabila ketentuan atau syarat
tersebut dilanggar maka baru putusan yang sudah dibuat dapat dibatalkan dan
dihapus karena tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh pejabat yang
berwenang.

Kata Kunci : kekuatan utusan, kencabutan suatu putusan


2|Page

I. PENDAHULUAN

Menurut Elidar Sari dan Hadi Iskandar, Hukum Acara Tata Usaha Negara
adalah seperangkat peraturan hukum tentang tata cara perlengkapan tata usaha
negara dalam menjalankan tugasnya demi mencapai keadilan dan kemakmuran
masyarakat.1 Sedangkan Sjachran Basah memilih menggunakan istilah “Hukum
Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Administrasi (HAPLA)”, sehingga
memuat pengertian yang lebih luas mengenai Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara.2
Putusan hakim merupakan pernyataan yang dikeluarkan dan diucapkan oleh
hakim di dalam persidangan. Hakim berdiri sebagai pejabat negara yang diberi
wewenang untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antar
pihak.3
Kekuatan hukum Tata Usaha Negara (TUN) dapat digolongkan menjadi 2,
yaitu yang memiliki kekuatan hukum tetap dan juga yang memiliki kekuatan hukum
sementara. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht Van
Gewijsde), adalah putusan pengadilan yang tidak dapat dillakukan upaya hukum
lagi terhadap putusan tersebut. Pencabutan suatu putusan atau aturan yang tidak
memenuhi syarat dan terdapat penyelewengan, dicabut dan dibatalkan oleh instansi
pemerintah yang berwenang.
Indonesia sebagai negara hukum, akan sangat penting untuk melaksanakan
putusan pengadilan demi menjamin kepastian hukum. Suatu keputusan Pengadilan
Tata Usaha Negara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak dapat

1
SARI, E., SH, M., & ISKANDAR, H. (2015). Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, hlm.1
2
Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Admnistrasi (HAPLA),
Jakarta;Rajawali Pers, 1989, hlm. 1
3
Soedikno Merokoesomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Pertama Edisi Kedua,
Yogyakarta; Liberty, 1985, hlm. 172
Page |3

diganggu gugat lagi, dengan arti putusan tersebut harus dilaksanakan oleh siapa saja
termasuk juga Pemerintah.
Permasalahan yang terjadi saat ini adalah, Pejabat Tata Usaha Negara yang
memiliki wewenang untuk membuat produk hukum, kurang memahami apa yang
menjadi keinginan masyarakat untuk dituangkan dalam produk hukum. Hal ini
menyebabkan masyarakat tidak dapat menjalankan produk hukum yang dibuat oleh
Pejabat Tata Usaha Negara dengan sepenuhnya. Masyarakat sebagai obyek dari
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, juga masih banyak yang belum memahami
apa itu Keputusan Tata Usaha Negara, syarat-syarat sahnya, kapan dan dalam hal
apa suatu keputusan tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, serta keputusan apa
yang ideal dan dapat mengakomodir keinginan seluruh masyarakat.
Dari pemaparan di atas penulis telah merumuskan beberapa rumusan
masalah yang kemudian akan diangkat sebagai hasil pembahasan. Rumusan
masalah yang pertama yaitu bagaimana kekuatan keputusan pada PTUN? Serata
apa yang membatalkan keputusan PTUN?

II. PEMBAHASAN

A. Kekuatan Hukum Dalam Putusan Tata Usaha Negara


Pengertian Keputusan TUN dijelaskan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara , berbunyi:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”4

Menururt Indroharto, Keputusan Badan atau Jabatan TUN yang merupakan


suatu tindakan hukum TUN (administratieve rechtschandeling) selalu berbentuk
penetepan tertulis (beschikking).5 Bersifat konkret, artinya objek putusan TUN

4
UU No 51 Tahun 2009
5
Indroharto, Peerbuatan Pmerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Jakarta;
Rajawali Pers, 1992, hlm.117
4|Page

berwujud tertentu, dapat ditemukan dan tidak abstrak. Individual artinya putusan
TUN tidak di tunjukan kepada umum, melainkan untuk hal tertentu yang dituju.
Dan final artinya putusan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum.

Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan kekuatan hukum yang dimiliki dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum yang mutlak.

Kekuatan hukum mutlak memiliki arti kekuatan hukumnya berlaku terus


menerus apabila telah dikeluarkan suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Namun
terdapat juga kekuatan hukum bersifat relatif, yaitu Keputusan TUN yang
digunakan hanya sekali saja, contohnya Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang memiliki kekuatan hukum sementara.

Keputusan Tata Usaha Negara ini secara tegas mengatur tenggat waktu dari
keputusan itu sendiri, contohnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Izin
Mengemudi (SIM).

Keputusan TUN ada juga yang memiliki jangka waktunya sementara namun
samar-samar, seperti contoh Surat Keterangan (SK) Pengangkatan Pegawai.
Keputusan Tata Usaha Negara ini dapat dipercepat atau diperlambat masa
berakhirnya karena tidak diatur tenggat waktunya secara tegas.

Ada beberapa jenis kekuatan hukum dari putusan hakim di lingkungan Tata Usaha
Negara, antara lain;

a. Kekuatan pembuktian

Kekuatan pembuktian dari putusan hakim dapat didefinisikan sebagai kekuatan


hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa dengan putusan
tersebut telah diperoleh bukti tentang kepastian sesuatu. Putusan hakim
Page |5

merupakan akta autentik, sehingga putusan hakim mempunyai kekuatan


pembuktian yang sempurna (Pasal 1868 jo Pasal 1870 KUH Perdata).

b. Kekuatan mengikat

Kekuatan mengikat dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan
kepada putusan hakim yang menyatakan bahwa putusan tersebut mengikat yang
berkepentingan untuk melaksanakan dan menaatinya. Dalam Peradilan Tata
Usaha Negara terdapat asas erga omnes, artinya putusan tersebut berlaku untuk
semua, sehingga pihak yang berkepentingan adalah semua orang dan/atau
semua badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum publik.

c. Kekuatan eksekutorial.

Kekuatan eksekutorial adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu


putusan hakim yang menyatakan bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan.
Syarat dari suatu putusan hakim memperoleh kekuatan eksekutorial adalah
tercantumnya irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” pada putusan hakim tersebut.

Putusan Pengadilan yang telah mempunyai hukum tetap antara lain:


1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dilawan atau
dimintakan pemeriksaan banding lagi;
2. Putusan pengadilan tinggi yang sudah tidak dimintakan pemeriksaan
kasasi lagi;
3. Putusan MA dalam tingkat kasasi.
Putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht Van
Gewijsde), adalah putusan pengadilan yang tidak lagi dapat dilakukan upaya hukum
terhadap putusan tersebut. Sebagai negara hukum sangat penting untuk
melaksanakan putusan pengadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi
menjamin kepastian hukum. Suatu keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
telah memiliki kekuatan hukum tetap dan tidak dapat diganggu gugat lagi, dengan
arti putusan tersebut harus dilaksanakan oleh siapa saja termasuk juga Pemerintah.
6|Page

Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (kracht
van gewisde) yang dapat dilaksanakan.

Penghitungan jangka waktu suatu putusan yang telah dibacakan sampai


dengan putusan berkekuatan hukum tetap dalam pengadilan TUN yang pada
akhirnya akan sampai pada eksekusi dari putusan tersebut, mempunyai karakteristik
yang berbeda dengan hukum acara Perdata. Eksekusi merupakan pelaksanaan
putusan pengadilan (executie) ketika putusan telah dijatuhkan.
Para pihak yang bersengketa dapat mempperoleh salinan putusan meskipun
putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum tetap, namun harus ada
catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas hari) Salinan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para
pihak. Salinan tersebut harus dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan
setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama.
Tenggang waktu 14 hari tersebut, dihitung saat putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.

A. Batalnya Keputusan Tata Usaha Negara

Apabila Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking) tidak memenuhi persyaratan


dapat dinyatakan batal. Menurut Prof. Muchsan batalnya ptusan dibagi menjadi 3
(tiga), yaitu:

a. Batal mutlak.
Aparat yang berhak menyatakan batal mutlak ialah hakim dengan
putusannya. Batal mutlak dimaksudkan bahwa semua perbuatan yang telah
dilakukan dianggap belum pernah ada.
b. Batal demi Hukum.
Aparat yang memiliki hak untuk menyatakan adalah yudikatif dan
eksekutif, dan alternatif batal demi hukum ada dua (2) macam, yaitu:
1. Semua perbuatan yang telah dilakukan dianggap belum pernah ada;
Page |7

2. Sebagian perbuatan dianggap sah, yang batal hanya sebagian.


c. Dapat dibatalkan.
Aparat yang memiliki hak untuk menyatakannya adalah umum (eksekutif,
legislatif dan lain-lain). Dapat dibatalkan adalah semua perbuatan yang
dilakukan dianggap sah, pembatalan berlaku semenjak dinyatakan batal.

Suatu Keputusan TUN akan tetap dianggap berlaku walaupun tidak


memenuhi syarat diatas (formil dan materiil), apabila memenuhi 2 (dua) syarat yang
bersifat komulatif (menurut teori functionare de faite), yaitu:

a. Tidak absahnya keputusan karena kabur, terutama bagi penerima


keputusan;
b. Akibat dari keputusan itu berguna bagi kepentingan masyarakat.

B. Hapusnya Suatu Keputusan Tata Usaha Negara

Suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat dinyatakan hapus jika memenuhi unsur-
unsur dibawah ini:

a. Telah habis masa berlakunya;


b. Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh lembaga yang berwenang
(yudikatif, eksekutif dan legislatif);
c. Apabila dikeluarkan suatu KTUN baru namun substansinya sama dengan
KTUN yang lama;
d. Apabila peristiwa hukum yang menjadi motifasi lahirnya keputusan tersebut
sudah tidak relevan lagi. Dalam teori rebus sic stantibus, menurut Van poe
lie setiap peristiwa hukum terjadi karena adanya motifasi-motifasi tertentu.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan
8|Page

Dalam menentukan pemahaman dan kekuatan hukum tata usaha negara


dibedakan menjadi dua (2) yaitu KTUN yang mempunyai kekuatan hukum tetap
dan yang kekuatan hukumnya hanya sementara. Pemahaman mengenai pencabutan
keputusan KTUN terdapat syarat tertentu yang harus diperhatikan. Apabila
ketentuan atau syarat tersebut dilanggar maka baru putusan yang sudah dibuat dapat
dibatalkan dan dihapus karena tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh
pejabat yang berwenang. Sehingga kekuatan keputusan tata usaha negara dan juga
pencabutan tersebut sudah menjadi satu paket dalam kebijakan tata usaha negara
dan tidak dapat dipisahkan.
Karena kekuatan keputusan tata usaha negara dan pencabutan keputusan
tata usaha negara tidak dapat dipisahkan dan sudah menjadi hal yang
berkesinambungan, maka pejabat pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-
wenang terhadap kekuatan dan pencabutan kepuusan dari tata usaha negara
sehingga sistem dapat berjalan efektif dan saling melengkapi antara kekuatan dan
pencabutan keputusan tata usaha negara.

DAFTAR PUSTAKA
 Soegijatno R Tjakranegara , S.H , 1992, HUKUM ACARA PERADILAN
TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA, Sinar grafika, jakarta.
 Wiyono R, S.H., 2005, HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA
NEGARA, Sinar grafika, jakarta.
 Indroharto, Peerbuatan Pmerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum
Perdata, Jakarta; Rajawali Pers, 1992.
 SARI, E., SH, M., & ISKANDAR, H. (2015). Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara
 Sjachran Basah, Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Admnistrasi (HAPLA), Jakarta;Rajawali Pers, 1989.
 RozaliAbdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cetakan
Ketiga, Jakarta; PT RajaGrafindo Persada, 1994.
 Soedikno Merokoesomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan
Pertama Edisi Kedua, Yogyakarta; Liberty, 1985.
Page |9

 Bagir Manan, Good Governance hindarkan rakyat dari tindakan negara


yang merugikan, http//:www.transparansi.com.

 Philipus Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada


University Press, Yogyakarta, 1997.
 Iskatrinah, Pelaksanaan fungsi hukum administrasi Negara dalam
mewujudkan pemerintahan yang baik, http//:www.dephan.go.id.
 Muchsan, Bahan Kuliah Hukum Tata Usaha Negara, Magister Hukum
UGM, Yogyakarta, 2008.
 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara.
 UU No 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
 http://studihukum.blogspot.co.id/2010/11/keputusan-tata-usaha-negara-2-
syarat_20.html

Anda mungkin juga menyukai