Anda di halaman 1dari 17

Dewasa ini dalam era Reformasi, paralel dengan perkembangan dunia yang semakin

transparan serta informasi yang sangat cepat, masyarakat atau rakyat sudah tidak dapat
dibohongi lagi oleh pihak penguasa bahkan semakin tidak takut, mereka semakin kritis
dan jeli memandang setiap persoalan-persoalan dan gejolak yang timbul.

Dalam negara Republik Indonesia sebagai suatu negara yang didasarkan atas hukum,
pelaksanaan hukum sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah sebagai Penguasa
(Eksekutif),. Pemerintah yang melaksanakan segala sesuatu mengenai kehidupan
rakyatnya. Pemerintah dan yang diperintah sebenarnya merupakan dua subyek yang
saling membutuhkan dan seharusnya saling melengkapi, saling membantu dan saling
menghargai. Sebagai pelaksana keputusan-keputusan Legislatif dibidang hukum, maka
pemerintah membentuk suatu instansi yang khusus dapat mengamati kehidupan serta
pelaksanaannya didalam masyarakat. Wakil-wakil pemerintah (Aparatur Hukum)
dibidang pelaksana penegakan hukum antara lain adalah Lembaga Mahkamah Agung
atau Pengadilan.

Bahwa eksistensi dari Indonesia sebagai negara hukum antara lain tercermin dari asas
bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasarkan atas
hukum baik tertulis maupun tidak tertulis. Hal ini membawa konsekwensi disatu sisi
hukum digunakan sebagai rel pijakan bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya, disisi lain hukum yang sama digunakan sebagai dasar pengujian terhadap
tindakan pemerintah.

Administrasi Negara Cq. Pemerintah yang disebut sebagai Badan/Pejabat TUN menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
adalah yang diberi tugas oleh peraturan perundang-undangan untuk mengurus berbagai
segi kehidupan masyarakat.

Badan/Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang untuk melakukan perbuatan Tata
Usaha Negara yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) macam perbuatan :

a) Mengeluarkan Keputusan (beschikking) ;

b) Mengeluarkan Peraturan (regeling)

c) Melakukan perbuatan materiil (Materiele daad)

Karena perbuatan-perbuatan Administrasi Negara/Tata Usaha Negara tersebut lalu


lahirlah hubungan hukum antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan TUN yang bersangkutan dengan warga masyarakat atau badan
hukum perdata yang terkena oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Dari ke-3 (tiga)
macam perbuatan tersebut, yang menjadi wewenang Peradilan Tata Usaha Negara
adalah terbatas pada perbuatan mengeluarkan Keputusan tersebut dalam butir a, artinya
keputusan yang dikeluarkan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dapat dinilai oleh
Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan mengenai perbuatan-perbuatan Administrasi
Negara pada butir b dan c tidak termasuk kompetensi Peradilan TUN tetapi menjadi
kompetensi Mahkamah Konstitusi maupun Peradilan Umum.

Dengan demikian semua perbuatan Administrasi Negara dapat dinilai oleh Pengadilan,
walaupun yang menilai itu mungkin tidak termasuk lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.

Bahwa yang dapat menjadi objek sengketa di Peradilan TUN adalah Keputusan Tata
Usaha Negara (beschikking) . Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, “Keputusan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata”.

Dari bunyi ketentuan pasal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa yang dimaksud
Keputusan TUN yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan
adanya ciri-ciri khusus yang meliputi beberapa elemen.

Bahwa segenap elemen-elemen tersebut adalah bersifat kumulatif untuk dapat menjadi
objek sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara ;

Walaupun suatu keputusan sudah memenuhi pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tersebut, ada beberapa kategori
Keputusan TUN yang tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara yaitu
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 peraturan perundangan tersebut.

Batal atau Tidak Sahnya Keputusan Tata Usaha Negara.

Bahwa dalam tindakan Hukum Administrasi dianut asas “Presumtio Justae Causa” yang
maksudnya bahwa suatu Keputusan TUN harus selalu dianggap benar dan dapat
dilaksanakan, sepanjang Hakim belum membuktikan sebaliknya.

Badan Peradilan yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyatakan batal
atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara adalah Peradilan Tata Usaha Negara
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004.

Bahwa secara umum syarat-syarat untuk sahnya suatu keputusan Tata Usaha Negara
adalah sebagai berikut :

SYARAT MATERIIL :

a) Keputusan harus dibuat oleh alat negara (organ) yang berwenang ;


b) Karena keputusan itu suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring) maka pembentukan
kehendak itu tidak boleh memuat kekurangan yuridis ;

c) Keputusan harus diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya dan
pembuatnya harus memperhatikan cara (prosedur) membuat keputusan itu, bilamana hal
ini ditetapkan dengan tegas dalam peraturan dasar tersebut.

d) Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar ;

SYARAT FORMIL :

a) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya keputusan dan


berhubung dengan cara dibuatnya keputusan harus dipenuhi ;

b) Keputusan harus diberi bentuk yang ditentukan ;

c) Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan dilakukannya keputusan harus


dipenuhi ;

d) Jangka waktu yang ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya
keputusan dan diumumkannya keputusan itu tidak boleh dilewati ;

Bahwa bagi Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara, masalah yang sangat erat
hubungannya dengan fungsi peradilan adalah masalah hak menguji (toetsing recht).

Berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-


Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menganut
pendirian yang mewajibkan penyelesaian sengketa Administrasi tertentu melalui Upaya
Administratif sebelum gugatan diajukan. Setelah upaya administratif ditempuh, maka
gugatan dapat diajukan ke Pengadilan. Maksudnya adalah agar diberi kesempatan untuk
menyelesaikan administrasi terlebih dahulu melalui saluran yang tersedia berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Badan Peradilan Tata Usaha Negara hanya menilai apakah suatu tindakan
Badan/Pejabat TUN dalam menjalankan urusan pemerintah itu sudah sesuai dengan
norma-norma hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang berlaku bagi
tindakan tersebut. Dengan perkataan lain penilaian yang dilakukan oleh Peradilan Tata
Usaha Negara terbatas hanya dari segi hukumnya (peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik).

Dasar pengujian sebagaimana diatur dalam pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, yaitu :

a) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku ;
b) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut ;

c) Badan atau Pejabat TUN pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan
keputusan tersebut.

Di dalam praktek Peradilan Tata Usaha Negara pengujian Hakim Tata Usaha Negara
terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan Pasal 53 diatas, adalah
meliputi 3 (tiga) aspek yaitu :

1. Aspek kewenangan :

yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau melanggar kewenangan,

Dasar kewenangan Badan/Pejabat TUN adalah secara ATRIBUSI (berasal dari


perundang-undangan yang melekat pada suatu jabatan), DELEGASI (adanya
pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada) dan MANDAT (dalam hal ini
tidak ada pengakuan kewenangan atau pengalihan kewenangan).

2. Aspek Substansi/Materi :

yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangannya apakah secara


materi/substansi telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

3. Aspek Prosedural :

yaitu apakah prosedur pengambilan Keputusan Tata Usaha Negara yang disyaratkan
oleh peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut telah
ditempuh atau tidak.

Pengujian tersebut tidak saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku


tetapi juga dengan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB),
yaitu :

1. Asas yang berkaitan dengan proses persiapan dan proses pembentukan keputusan

– Persiapan yang cermat ;

– Asas fair play ;

– Larangan detournement de procedure (menyalahi prosedur);


2. Asas yang berkaitan dengan pertimbangan serta susunan keputusan :

– Keharusan memberikan pertimbangan terhadap semua kepentingan pada suatu


keputusan ;

– Pertimbangan tersebut harus memadai ;

3. Asas yang berkaitan dengan isi keputusan :

1. Asas kepastian hukum dan asas kepercayaan ;

2. Asas persamaan perlakuan ;

3. Larangan detournement de pouvoir ;

4. Asas kecermatan materiil ;

5. Asas keseimbangan ;

6. Larangan willekeur (sewenang-wenang)

Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat
diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari

1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis

Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan
hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara
lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk
tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan
Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3
UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai
syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena
sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat
digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :
– Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.

– Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.

– Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat
konkrit, individual dan final.

– Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.

2. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.

Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu
instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan

atau Pejabat TUN dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan.
Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan

Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :

“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan
urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan
Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga
apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja
yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu
Badan atau Pejabat TUN.

Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan
mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun
yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-
instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi
dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun
yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan
atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.

3. Berisi Tindakan Hukum TUN.

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu
bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu
merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah
suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk
dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu
harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu
akibat hukum TUN.

1. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan


urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-
undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas)
urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah).
Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat
TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau
bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

1. Bersifat Konkret, Individual dan Final.

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam
Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan,
seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan
sebagainya.

Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi
tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal
yang dituju. Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu
yang nyata dan ada.

Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan
mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang
definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan
posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan
bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang
bersangkutan secara final.

1. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.

Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam


suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan
hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan
akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat
menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan
suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus
mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah
ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang
telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas,
dalam UU Peratun diatur juga ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan
TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :

(1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan


jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu
empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”

Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan
TUN yang Fiktif atau Negatif.

Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau
Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang
diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan
atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan
kewajibannya, maka walaupun ia tidak mengeluarkan keputusan terhadap suatu
permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan
tersebut.

Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu
permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat
waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga
menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak
permohonan yang diterimanya.

Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak
menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan
yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat
TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah
menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3
ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi
pengadilan).

.
.

Pasal 53 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dinyatakan bahwa:

Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.

Ada dua hal penting yang menjadi perhatian dalam sengketa TUN, yaitu: (1) adanya
”kepentingan” bagi seseorang atau badan hukum perdata terhadap obyek keputusan
TUN; dan (2) adanya bentuk kerugian yang diderita oleh orang atau badan hukum
perdata. Kata ”kepentingan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesiadiartikan sebagai
”keperluan” atau ”kebutuhan”, atau dalam bahasa inggris disebut sebagai interest.
Interest diartikan sebagai keuntungan atas barang yang dimiliki (Advantage For It Is
Your). Apabila dikaitkan dengan sengketa hukum, maka kata ”kepentingan” yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) diartikan sebagai ”hak” yang dipunyai oleh seseorang
atau badan hukum perdata.

Pemberian makna ”kepentingan” sebagai ”hak”, terkait dengan penjelasan dalam Pasal
tersebut bahwa, hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai
subyek hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke PTUN. Sebagai subyek hukum,
maka seseorang atau badan hukum perdata berkedudukan sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Jadi yang dimaksud dengan ”kepentingan” dalam Pasal 53 ayat (1) adalah
hak yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum perdata.

G. Tinjauan: dasar pengujian Keputusan TUN

Menurut pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, ada 2 (dua) hal yang
dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan di PTUN, yaiu: (1) KTUN bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2) KTUN bertentangan dengan
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.

1. Bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan

Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga


negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahwa, yang termasuk dalam kelompok Peraturan
Perundang-Undangan adalah: (1) Undang-Undang Dasar 1945; (2) Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (3) Peraturan Pemerintah;
(4) Peraturan Presiden; dan (5) Peraturan Daerah. Selain 5 (lima) peraturan tersebut
sebagai peraturan perundang-undangan, keputusan-keputusan lembaga kenegaraan
memiliki kedudukan sebagai peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 53 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan istilah
”Perundang-Undangan Yang Berlaku”. Tidak ada penjelasan mengenai istilah tersebut,
namun dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan ”Perundang-Undangan yang
berlaku” adalah hukum positif. Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang
telah dicabut, atau pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku oleh Badan/Pejabat yang
berwenang, tidak dapat dijadikan sebagai dasar bagi hakim PTUN untuk melakukan
pengujian terhadap Keputusan Badan/Pejabat TUN.

Mengacu pada pengertian Peraturan Perundang-Undangan yang disebutkan dalam


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka hukum yang ”tidak” tertulis dan
dikeluarkan oleh Badan/Pejabat yang ”tidak” berwenang, tidak dapat dijadikan dasar
untuk menguji keputusan Badan/Pejabat TUN.

Kata ”bertentangan” tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.


Kata ”bertentangan” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 53 Ayat (2a) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, yaitu: (a) bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
perundang-undangan yang bersifat prosedural (formal); (b) bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan yang bersifat substansial (materil); dan
(c) dikeluarkan oleh Badan/Pejabat yang tidak berwenang.

1. 2. Bertentangan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik

Sebagian ahli berpendapat bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik


(AAUPB) merupakan asas-asas hukum yang tidak tertulis, dan dalam keadaan tertentu
dapat ditarik dalam aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan. Praktek hukum di
Belanda, AAUPB yang mendapat tempat dalam aturan hukum adalah: (1) asas
persaman; (2) asas kepercayaan; (3) asas kepastian hukum; (4) asas kecermatan; (5) asas
pemberian alasan (motivasi); (6) asas larangan penyalahgunaan wewenang
(detournement depouvoir).

Sebelum adanya perubahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, AAUPB


belum dijadikan sebagai alasan gugatan, namun setelah adanya Undan-Undang Nomor
9 Tahun 2004, AAUPB secara resmi dituangkan dalam Undang-Undang tersebut
sebagai dasar pengajuan gugatan. Dalam undang-undang ini tidak secara mendetail
menyebutkan AAUPB, karena acuannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004.

Dalam teori hukum, AAUPB terdiri atas 13 (tiga belas bagian) sebagaimana yang
dikemukakan oleh Marbun dan Mahfud, serta menurut pendapat Ridwan HR, namun
dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa, AAUPB hanya
meliputi 7 (tujuh) bagian, yaitu: (1) kepastian hukum; (2) tertib penyelenggaraan
negara; (3) kepentingan umum; (4) keterbukaan; (5) proporsionalitas; (6)
profesionalitas; (7) akuntabilitas, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.

Pengertian AAUPB disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 28


Tahun 1999, yaitu:

1. Asas kepastian hukum adalah asas yang mengutamakan landasan Peraturan


Perundang-Undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggara negara.
2. Asas tertib penyelenggara negara adalah asas yang menjadi landasan
keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan
negara.
3. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
4. Asas keterbukaan adalah membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak
dan kewajiban penyelenggara negara.
6. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang
berlandaskan kode etik dan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku.
7. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara.
8. K. Daftar pustaka
9. A. Mukthie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Bayumedia, cet.2, Malang, 2005.
10. Diana Halim Koentjoro, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet.1,
Jakarta, 2004.
11. E. Utrecht, Pengantar Hukum Admnistrasi Indonesia, Pustaka Tinta Mas, cet.4,
Surabaya, 1994
12. Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
Jilid 1, Pustaka Sinar Harapan, cet. 7, Jakarta, 2000
13. ————-, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara,
Jilid 2, Pustaka Sinar Harapan, cet. 8, Jakarta, 2003.
14. Philipus M. Hadjon et.all, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Gadja Mada
University Press, cet. 2, Yogyakarta, 1993.
15. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, cet. 10,
Jakarta, 1995.
16. Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2007.
17. S.F. Marbun dan Moh Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Liberty, cet.4, Yogyakarta, 2006.
18. Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi Di
Indonesia, cet.3, Alumni, Bandung, 1997, hlm. 245-246
19. Yos Johan Utama, Menggugat PTUN Sebagai Salah Satu Akses Warga Negara
Untuk Mendapatkan Keadilan Dalam Perkara Administrasi Negara, UMS e-
jurnals, Vol. 10, No. 1, Maret 2007, hlm. 40-41
20. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
21. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
22. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaran Negara Yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
23. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasan Kehakiman

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu ciri negara hukum moderen adalah adanya perlindungan hukum
terhadap hak asasi manusia termasuk perlindungan hukum terhadap warga negara dari
tindakan sewenang-wenang penguasa. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
selalu terjadi interaksi hubungan antara pejabat negara dan masyarakat. Hubungan
interaksi tersebut kebanyakan biasanya terjadi karena adanya tugas-tugas pemerintahan
dan pembanunan yang dilakukan oleh Pejabat negara dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Hubungan antara pejabat administrasi negara sebagai
pelaksana urusan pemerintahan dan pembangunan dengan masyarakat, sering terjadi
benturan kepentingan yang melibatkan kedua pihak. Benturan kepentingan ini biasanya
diakibatkan oleh adanya keputusan pejabat negara.
Tindakan hukum Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dituangkan dalam bentuk
Keputusan tertulis, dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan. Disatu sisi,
keputusan tersebut diambil atas dasar kewenangan yang diberikan, namun disisi lain,
pelaksanaan keputusan tidak boleh mengurangi hak-hak warga negara. Setiap keputusan
Badan/pejabat Tata Usaha Negara harus berdasarkan prinsip negara hukum, oleh karena
itu, keputusan tersebut tidak boleh melanggar hak-hak warga negara.
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik,
yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum
TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau
Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya
suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku . Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo.
UU No. 9 Tahun 2004).
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lembaga pelaksanan
kekuasaan kehakiman yang memberi keadilan bagi masyarakat dari tindakan sewenang-
wenang oleh Badan/Pejabat Tata Usaha Negara. Setiap warga negara berhak
mengajukan gugatan terhadap keputusan Badan/Pejabat Tata Usaha Negara, apabila
keputusan tersebut merugikan kepentingan orang yang bersangkutan. Peradilan Tata
Usaha Negara yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
dianggap masih belum secara signifikan melindungi kepentingan masyarakat. Adanya
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, memberi perubahan bagi kemajuan hukum yang
melindungi kepentingan individu sebagai warga negara.

B. RUMUSAN MASALAH
Yang menjadi Pembahasan makalah ini adalah dasar pengajuan gugatan pada
Peradilan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Masalah
dalam tulisan ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan PTUN?
2. Apa yang dimaksud dengan sengketa TUN? Serta landasan yuridisnya?
3. Apa dasar pengujian PTUN terhadap KTUN sebagai objek sengketa dalam gugatan ke-
TUN?
4. Bagaimanankah bentuk pengmbilan putusan yang dikeluarkan PTUN terhadap KTUN
sebagai objek sengketa?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN


Yang menjadi tujuan penulisan makalah yang berkaitan dengan Peradilan Tata
Usaha Negara ini adalah :
1. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang maksud dan tujuan di bentuknya PTUN.
2. Mahasiswa dapat memahami sengketa TUN serta dapat menjabarkan landasan
yuridisnya secara eksplisit.
3. Mahasiswa dapat mengetahui apa yang menjadi sengketa TUN dan proseduralnya.
4. Mahasiswa dapat memahami pengambilan keputusan dalam PTUN terhadap KTUN
yang menjadi objek sengketa.

Dan yang menjadi tujuan penulisan makalah yang berkaitan dengan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN) ini adalah :
1. Sebagai bahan imformasi dan pengetahuan bagi pihak yang berkepentingan (dalam hal
ini mahasiswa) dalam melihat kualitas dan kinerja PTUN dalam sengketa KTUN.
2. Untuk memperkaya kajian-kajian tentang Tata Usaha Negara (TUN), khususnya
mengenai sengketa dan penyelesaiannya di-PTUN pada era reformasi sekarang ini.

lingkup
kewenangan Pengadilan Tata Usaha
Negara saat ini adalah hanya terbatas pada
pengujian terhadap Keputusan Tata Usaha
Negara (beschikking), sedangkan tindakan
faktual yang sering menjadi perbuatan
melawan hukum oleh pemerintah belum
menjadi kewenangan PTUN untuk
memeriksa dan mengadilinya dan dalam
perkembangannya, Undang-Undang
Nomor 30 tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan memperluas
kewenangan absolut Pengadilan Tata
Usaha Negara melalui Pasal 87 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan menyebutkan
bahwa Keputusan tata usaha negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
MERCATORIA, 11 (1) (2018): 74-89
77
undang Nomor 5 tahun 1986
sebagaimana yang diubah dengan Undang-
undang Nomor 9 tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan tata Usaha Negara harus
dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup
tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat
Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-
undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum;
f. dan/atau
g. Keputusan yang berlaku bagi Warga
Masyarakat;
Dengan adanya tambahan
kewenangan untuk menguji perkara-
perkara yang berkaitan dengan tindakan
badan atau pejabat pemerintahan dan atau
badan hukum lainnya yang menimbulkan
kerugian material maupun immaterial,
maka semakin lengkap fungsi Pengadilan
Tata Usaha Negara sebagai fungsi kontrol
yuridis terhadap pemerintah. Lintong
Oloan Siahaan (2006) mengatakan bahwa
Pemerintah sebagai pelayan (public
service) mempunyai kekuasaan (power)
untuk melaksanakan tugas pelayanannya
tadi, yang apabila disalahgunakan akan
menjadi fatal akibatnya dari segi hukum.
Untuk itu perlu adanya kontrol, yang
dengan demikian kemungkinan akan
adanya penyalahgunaan kekuasaan,
kesewenangwenangan dan lain-lain dapat
dihindari atau diperkecil kemungkinan.
Didalam literatur yang lain beliau
menyebutkan bahwa kontrol yuridis
merupakan bagian dari kontrol lain-
lainnya terhadap pemerintah seperti
kontrol politis, kontrol melalui tromol-
tromol pos, kontrol intern administrasi,
kontrol ekstern organisasi/lembaga baik
yang struktural maupun non struktural
(Lintong Oloan Siahaan, 2005).
Penyalahgunaan wewenang sebelumnya pernah dimuat dalam pasal 53 UU
PTUN sebelum perubahan. Dasar penyalahgunaan wewenang sendiri menjadi
salah satu alasan untuk melakukan gugatan ke PTUN. Konsepsi
penyalahgunaan wewenang menurut pasal 53 UU PTUN, yakni badan atau
pejabat tata usaha negara yang menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain
dari maksud diberikannya wewenang tersebut. Tolak ukurnya adalah asas
spesialitas.

Penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) berbeda dengan tidak


berwenang maupun larangan berbuat sewenang-wenang. Tidak berwenang
diartikan dengan onbevoegdheid, baik tidak berwenang menurut wilayah
maupun waktu.

Sedangkan larangan berbuat sewenang-wenang (willikeur) diartikan badan


atau pejabat tata usaha negara ketika mengeluarkan atau tidak mengeluarkan
keputusan harus mempertimbangkan segala kepentingan yang terkait, adapun
tolak ukurnya adalah asas rasionalitas (masuk akal).

Semenjak UU PTUN mengalami 2 (dua) kali perubahan, terutama perubahan


pertama menjadi UU No. 9 Tahun 2004, pasal 53 merupakan salah satu pasal
yang juga ikut mengalami perubahan. Perubahan yang semula dalam pasal 53
memuat syarat diajukannya gugatan demikian berubah, yakni suatu surat
keputusan tata usaha negara (KTUN) yang dapat digugat itu dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-
asas umum pemerintahan yang baik.

Rezim penyalahgunaan wewenang dalam UU PTUN yang semula


dinormatifkan dalam UU PTUN menjadi lenyap dalam perubahan UU PTUN.
Sirnanya penyalahgunaan wewenang dalam UU PTUN tersebut bukan berarti
penyalahgunaan wewenang secara strict tidak lagi dapat dijadikan alasan
untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Frasa “dapat” dalam pasal 53 tersebut
membuka kemungkinan untuk mengajukan gugatan penyalahgunaan
wewenang ke PTUN.
Setelahnya diikuti dengan lahirnya UU Administasi Pemerintahan (UU AP)
mengenai penyelesaian sengketa penyalahgunaan wewenang ditegaskan
menjadi ranah kompetensi absolut PTUN, pengaturan penyalahgunaan
wewenang dimuat dalam pasal 17, 18, 19, 20, dan 21.

Penegasan penyelesaian sengketa penyalahgunaan wewenang ini bukan


berarti tidak meninggalkan persoalan sama sekali, justru hal ini semakin
memperumit penegakan hukum terhadap sengketa penyalahgunaan
wewenang, baik dalam ranah administrasi maupun ranah pidana

Latar blkang

Abstrak
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
memberikan atribusi kewenangan kepada PTUN untuk menerima,
memeriksa, dan memutus ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan
wewenang dalam keputusan dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan.
Pemberian kewenangan oleh PTUN dalam menguji unsur penyalahgunaan
wewenang muncul sebagai akibat dari tidak adanya forum pembelaan bagi
Pejabat Pemerintahan yang diduga telah melakukan penyalahgunaan
wewenang selain di ranah hukum pidana. Pejabat Pemerintahan seringkali
menjadi korban kriminalisasi terhadap kebijakan yang diambil.
Permasalahan penelitian ini adalah bagaimana konstruksi pengujian unsur
penyalahgunaan wewenang terhadap keputusan dan/atau tindakan Pejabat
Pemerintahan oleh PTUN dan implikasi hukum putusan PTUN bagi
pemohon yang dinyatakan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
wewenang terhadap proses pidana. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah dengan pendekatan undang-undang (statute approach) dan
pendekatan kasus (case approach). Data yang digunakan adalah data primer
dan data sekunder. Analisis data dilakukan secara analisis hukum (legal
analysis). Hasil penelitian menunjukan bahwa konstruksi pengujian unsur
penyalahgunaan wewenang terhadap Keputusan dan/atau tindakan Pejabat
Pemerintahan oleh PTUN meliputi wewenang PTUN yang didasari atas
Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 dan PERMA No. 4 Tahun 2015.
Substansi pengujian berkaitan dengan subjek permohonan yaitu Badan atau
Pejabat Pemerintahan serta objek permohonan yaitu Keputusan dan/atau
tindakan Pejabat Pemerintahan. Prosedur pengujian diberikan batasan yaitu
setelah adanya hasil pengawasan APIP dan sebelum adanya proses pidana.
Implikasi hukum Putusan PTUN yang menyatakan bahwa keputusan
dan/atau tindakan Pejabat Pemerintahan ada unsur penyalahgunaan
wewenang dapat berlanjut pada proses pidana (criminal process) sepanjang
terbukti ada niat jahat (mens rea).

Anda mungkin juga menyukai