Anda di halaman 1dari 3

Jawaban Han :

Rosita (dila):
Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara (UU PTUN), Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Jika anda merasa bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara merugikan, Pasal 75 Undang-Undang
No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan)
menegaskan bahwa anda dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau
Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
Upaya administratif sendiri terdiri dari keberatan dan banding terhadap keberatan.
Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
diumumkannya Keputusan tersebut oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Keberatan diajukan
secara tertulis kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan keberatan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai dengan permohonan paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya tenggang waktu. Dalam hal Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan tidak menyelesaikan keberatan dalam jangka waktu tersebut, keberatan dianggap
dikabulkan. Jika warga negara yang bersangkutan tidak puas dengan keberatan, maka dapat
dilakukan banding, sebagaimana diatur dalam Pasal 78 UU Administrasi Pemerintahan.

Luisa (Afroza) :  apakah semua ktun dapat menjadi objek sengketa ?


 Adanya Objek Sengketa TUN merupakan syarat untuk timbulnya apa yang dinamakan dengan
sengketa tata usaha negara. Objek Sengketa TUN adalah  tindakan/perbuatan hukum badan
atau pejabat tata usaha negara dalam wujud/bentuk keputusan tertulis (KTUN) .Namun
Tidak semua KTUN dapat serta merta menjadi Objek Sengketa TUN, karena harus sesuai ciri
ciri keputusan TUN yang dapat dijadikan Objek Sengketa TUN, ciri cirinya adalah:
a. Perbuatan hukum badan atau pejabat TUN itu merupakan perbuatan hukum
dalam bidang hukum publik. Bersifat sepihak.
b. Perbuatan hukum itu diperoleh berdasarkan wewenang yang sah.
c. Dengan maksud terjadinya perubahan hubungan hukum yang ada.

Namun demikian. selain dari karena adanya tindakan/perbuatan hukum badan atau
pejabat tata usaha negara dalam wujud/bentuk KTUN sebagaimana saya jelaskan di
tadi, Objek Sengketa TUN termasuk juga sesuatu sikap tertentu yang dapat disamakan
dengan mengeluarkan suatu penetapan/keputusan tertulis, yaitu:
 Apabila Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal
itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan
TUN.
 Jika suatu Badan atau Pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat TUN
tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
 Dalam hal peraturan perundang undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu, maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya
permohonan, Badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan
 Bagaimana jika KTUN tidak dapat dilaksanakan?
Jadi Putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap, sejalan dengan Pasal 97 ayat (8) dan
ayat (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa:

a. Batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara ("KTUN") yang menimbulkan sengketa
dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan untuk mencabut
KTUN dimaksud. Paulus Effendi Lotulung menyebutnya sebagai eksekusi otomatis. Jika
putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi,
tidak perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan
b. Pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang
mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN baru.
c. Selain itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN
sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur tentang keputusan fiktif
negatif.
Pembentuk Undang-Undang mengharapkan Badan/Pejabat TUN melaksanakan putusan secara
sukarela. Namun, keberhasilan pelaksanaan putusan itu sangat bergantung pada wibawa
pengadilan dan kesadaran hukum para pejabat Kalau putusan yang sudah berkekuatan hukum
tetap tidak dijalankan juga, maka UU PTUN menyediakan mekanisme berupa sanksi
administratif dari atasan Badan/Pejabat TUN bersangkutan. Lewat ancaman sanksi itu, atasan
pejabat yang mengeluarkan KTUN pada dasarnya sedang melakukan upaya paksa. Mekanisme
lain yang disebut dalam UU PTUN adalah pengenaan uang paksa dan pengumuman lewat
media massa. Pasal 116 ayat (5) UU PTUN menyatakan pejabat yang tidak melaksanakan
putusan Pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak
terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja. Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan
permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan. Pasal 116 ayat (6)
UU PTUN menegaskan lebih lanjut, ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini kepada
Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan kepada DPR untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
Dari rumusan ini jelas bahwa Presiden punya kewenangan memaksa pejabat TUN untuk
melaksanakan putusan. Sedangkan, mekanisme uang paksa yang disebut dalam Pasal 116 ayat
(4) UU PTUN, hingga kini regulasinya belum jelas. Penjelasan Pasal 116 ayat (4) UU PTUN
hanya menyebutkan pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang dicantumkan dalam amar
putusan pada saat hakim memutuskan mengabulkan gugatan penggugat. Setidaknya, untuk
masalah uang paksa sebenarnya masihh pertanyaan saya setelah membaca dan mengerjakan
makalah itu apakah uang paksa itu digabung bersama gugatan ke PTUN atau terpisah, siapa
yang harus membayar (pribadi pejabat TUN atau dari anggaran badan), dan berapa besar uang
paksa atau dwangsom yang dimungkinkan mungkin nanti saya minta tolong pada pak ari
untuk menjelaskan perihal tersebut. Ini masalah krusial yang sering ditanyakan dan tampaknya
perlu segera diatasi .Meskipun demikian, sebenarnya sanksi administratif, pengenaan uang
paksa dan pengumuman di media massa tak perlu terjadi jika Badan/Pejabat TUN
menjalankan putusan secara sukarela.

Anda mungkin juga menyukai