Anda di halaman 1dari 17

Hukum Acara

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Kelompok 5 :

Septi Diah Ayu Putri B1A121486


Dinda Fajrianingtias B1A121499
Bunga Bunda Buana B1A121502
Hadratul Abyad B1A121505
A. PENGGUGAT, TERGUGAT, DAN PENGAJUAN GUGATAN

1. PENGGUGAT
Tentang siapa yang berhak menggugat atau pihak penggugat, dalam ketentuan Pasal 53
ditentukan, bahwa yang dapat menjadi penggugat adalah orang dan badan hukum perdata yang
kepentingannya dirugikan oleh keputusan tata usaha negara. Tolok ukur terhadap siapa yang
berkualitas atau yang berkedudukan sebagai penggugat adalah kepentingan yang dilanggar
Persoalan yang menjadikan masalah adalah siapa yang dimaksud dengan orang (natuurijke
persoon) dan badan hukum perdata (rechtpersoon). Undang- undang No. 51 Tahun 2009 jo
Undang-undang No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha negara tidak memberikan
penjelasan secara khusus mengenai orang atau badan hukum perdata. Oleh karenanya harus kita
telusuri bidang hukum lain untuk mengetahui arti sesungguhnya tentang orang atau badan hukum
perdata
A. Tentang Orang
Kalau kita telusuri bidang hukum lain, yaitu ketentuan dalam Hukum Perdata atau Hukum Dagang, khusus
yang mengatur tentang orang (Buku I BW), maka yang dimaksud dengan "orang" tidak hanya manusia biasa, tetapi
juga badan hukum Manusia dan badan hukum dapat mempunyai atau menjadi pendukung hak-hak, dan istilah
orang diartikan sebagai subyek hukum Dalam Buku I BW hanya diberikan ketentuan-ketentuan tentang manusia,
ketentuan- ketentuan tentang perhimpunan-perhimpunan (zedelijke lichaam) ditempatkan dalam Bab 9 Buku III
(pasal 1653 dan seterusnya) Perhimpunan-perhimpunan ini hanya merupakan bagian terkecil dari badan-badan
hukum Badan-badan hukum lain tidak diatur dalam BW (Periksa, Martiman Prodjohamidjojo, 1993 30).

Setiap orang cakap adalah pendukung hak, dan ia adalah subyek hukum Akan tetapi tidak semua orang
dapat melakukan perbuatan hukum, karena perbuatan hukum hanya dapat dilakukan oleh orang yang secara sah
sudah dewasa. Pada umumnya seseorang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan melakukan
perbuatan hukum atau menghadap di muka pengadilan sebagai penggugat atau tergugat. Untuk dapat melakukan
perbuatan hukum. maka seseorang yang belum dewasa harus diwakili orang tuanya atau walinya (Pasal 383 BW)
B. Tentang Badan Hukum
Tentang Badan Hukum PerdataMengenai pengertian badan hukum perdata dalam keitannya dengan
kemungkinan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terdapat berbagai persoalan. Dalam
kenyataan dapat dilihat bahwa pemerintah terdiri atas berbagai macam organ dan instansi dan dari mereka selain
memiliki wewenang pemerintahan menurut hukum publik juga memiliki kemandirian menurut hukum perdata.
Sudah barang tentu kalau ada gugatan, maka gugatan tersebut ditujukan pada organ dan atau instansi
pemerintahan yang memiliki dan melaksanakan wewenang pemerintahan menurut hukum publik dan bukan
terhadap badan keperdataannya Apakah organ atau instansi pemerintah seperti Pemerintah Pusat, Propinsi,
Kabupaten/Kota saat berkedudukan sebagai badan hukum perdata juga boleh mengajukan gugatan tata usaha
negara?, logika hukumnya harus dijawab boleh, namun karena yang digugat harus selalu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara, maka kemungkinan tersebut menjadi tidak boleh

Dengan demikian dalam kaitannya dengan penggugat, maka badan hukum perdata adalah badan atau
perkumpulan atau organisasi atau korporasi atau bentuk lainnya yang didirikan menurut ketentuan hukum perdata
yang merupakan badan hukum (rechtspersoon) murni dan tidak memiliki dual function sebagaimana halnya
fungsi pemerintahan yang berfungsi publik dan privat. Bagi badan hukum perdata demikian diberikan hak
menggugat, karena ia ikut dalam pergaulan dan lalu lintas hukum dalam masyarakat dan ia dianggap sebagai
subyek hukum.
2. TERGUGAT
Pasal 1 angka 12 Undang-undang No. 51 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 9 Tahun 2004 menentukan,
baliwa "Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata" Kemudian Pasal 53 ayat (1) mengatur, bahwa Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Pasal 1 angka 12 tersebut menunjuk siapa-siapa yang
menjadi pihak-pihak dalam proses peradilan tata usaha negara.

Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha
Negara berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya dan Penggugat adalah
selalu berupa orang atau badan hukum perdata Sedangkan yang dimaksud dengan berdararkan wewenang yang
ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya" itu menunjuk kepada ketentuan hukum yang dijadikan dasar
sehingga Pejabat itu berwenang melakukan tindakan hukum (dalam hal ini KTUN) yang disengketakan Ketentuan
hukum yang menjadi dasar dikeluarkan keputusan yang disengketakan itu mungkin menyebut dengan jelas Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang diberi wewenang pemerintahan. Jadi dasar wewenang demikian bersumber
pada atribusi Manakala Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang memperoleh wewenang pemerintahan
secara atribusi itu mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang kemudian disengketakan, maka yang harus
digugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang disebutkan dalam peraturan dasarnya telah
memperoleh wewenang pemerintahan secara atribusi.
Ada kalanya peraturan dasar yang memberikan wewenang pemerintahan yang bersumber pada atribusi
tersebut mendelegasikan kepada Badan atau Pejabat yang lain, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang menerima delegasi inilah yang menurut hukum harus bertanggungjawab atas keluarnya Keputusan Tata
Usaha Negara, karena merekalah yang harus digugat Pada pendelegasian wewenang pemerintahan itu menurut
hukum telah benar terjadi pelimpahan dalam arti perpindahan wewenang dari Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang satu kepada yang lain.

Selain cara pelimpahan wewenang pemerintahan bersumber delegasi, dapat juga terjadi pelimpahan
wewenang dengan cara atau bersumber pada mandat. Hal ini pada umumnya terjadi dalam hubungan intern suatu
Departemen atau Lembaga Pemerintahan. Perbedaannya dengan wewenang yang bersumber pada delegasi,
bahwa cara pelimpahan wewenang yang bersumber pada mandat, bahwa dalam hal penerima mandat
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara dan keputusan ini kemudian disengketakan, maka yang menurut
hukum harus dianggap bertanggung jawab atas keluarnya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dan
seharusnya digugat adalah tetap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pemberi mandat. Hal ini disebabkan
karena pada mandat tidak terjadi perubahan baik hubungan hirarkhis maupun pemilikan dan tanggung jawab
wewenang yang diatur dalam aturan dasarnya antara pemberi mandat dengan penerima mandat. Sedangkan pada
delegasi terjadi suatu perpindahan wewenang dan tanggung jawab pemerintahan yang diatur dalam aturan
dasarnya.
3. PENGAJUAN GUGATAN
Pasal 54 ayat (1) Undang-undang No. 51 Tahun 2009 jo Undang-undang No 9 Tahun 2004
menentukan bahwa "Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan (secara tertulis) kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat" Ketentuan tertulis (Pasal 53
ayat 1), dimaksudkan bahwa gugatan tersebut akan menjadi pegangan bagi hakim dan para pihak yang
bersengketa selama dalam pemeriksaan Dalam hal tergugat tidak bisa baca tulis dan tidak mampu
membayar pengacara, maka yang bersangkutan dapat meminta kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha
Negara untuk membuatkan dan merumuskannya dalam gugatan.

Jika tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak
dalam satu daerah hukum, maka gugatan diajukan pada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan
tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan
dapat diajukan kepada Pengadilan tempat kedudukan penggugat untuk diteruskan kepada Pengadilan
yang bersangkutan. Tanggal diterimanya gugatan oleh Panitera Pengadilan tempat kedudukan
penggugat dianggap sebagai tanggal diajukannya gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang
berwenang.

Apabila penggugat dan tergugat di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta, dan jika tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan tergugat
B. TENGGANG WAKTU MENGGUGAT
Pasal 55 Undang-undang No 51 Tahun 2009 jo Undang-undang No 9 Tahun 2004 menentukan
bahwa "Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diuinumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara" Menjadi
masalah bagi kita bahwa dalam praktek pemerintahan belum ada ketentuan yang pasti tentang
tata cara pengumuman terhadap Keputusan Tata Usaha Negara. Dalam beberapa hal memang ada
ketentuan tentang pengumuman tersebut seperti dalam ordonansi gangguan, namun bagi
sebagian besar dalam praktek pemerintahan kita hal itu belum diatur.

Keadaan demikian menjadikan Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran No. 2 Tahun 1991
yang isinya, bahwa bagi pihak III yang tidak dituju oleh Keputusan Tata Usaha Negara tersebut,
maka perhitungan sembilan puluh hari adalah sejak yang bersangkutan mengetahui adanya
Keputusan Tata Usaha Negara dan merasa kepentingannya dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 Tahun 1991 merupakan terobosan untuk
mengatasi kevakuman hukum, namun demikian sebenarnya substansi surat tersebut sangat
bertentangan dengan asas kepastian hukum Hal ini akan menyebabkan kemungkinan untuk tetap
menggugat Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah diterbitkan lebih dari sembilan puluh hari
yang lalu.
C. HAK GUGAT

Telah dijelaskan di atas bahwa siapa yang mempunyai hak untuk menggugat adalah
seseorang atau badan hukum perdata Seseorang atau badan hukum perdata itu tentunya adalah
manusia sebagai pendukung hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sedangkan dalam Hukum
Administrasi Negara hak untuk menggugat yang bersifat mandiri merupakan hal yang biasa. Dalam
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara hak untuk menggugat sering juga diberikan guna
melindungi sesuatu hak subyektif berdasarkan hukum publik atau untuk melindungi kepentingan-
kepentingan tertentu.

Dasar untuk menggugat semacam itu secara langsung ditentukan oleh undang-undang seperti
halnya diatur dalam Pasal 53 undang-undang ini Namun hak untuk menggugat baru boleh
digunakan jika yang diberikan hak untuk menggugat merasa kepentingannya telah dirugikan oleh
terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang berupa penetapan tertulis Jadi faktor terpenting
dalam mengajukan gugatan adalah baru ada gugatan kalau ada suatu kepentingan, maka hak
untuk menggugat itu boleh digunakan. Menggugat tanpa kepentingan apa-apa akan berarti
merugikan waktu, tenaga, dan biaya tanpa manfaat bagi siapapun.
Lanjutan..

Secara konkrit, maka orang atau badan hukum perdata yang dirugikan kepentingannya akibat
diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara dan berhak untuk menggugat ke Pengadilan Tata
Usaha Negara dapat digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu :

1. Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh Keputusan Tata
Usaha Negara Orang atau badan hukum perdata tersebut secara langsung terganggu
kepentingannya oleh terbitnya keputusan yang dialamatkan kepadanya, dan itu jelas menjadi
ia berhak mengajukan gugatan.
2. Orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketigayang
berkepentingan Di antaranya individu, atau organisasi-organisasi kemasyarakatan, dan3.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara lain, tetapi undang-undang ini tidak memberi peluang
untuk menggugat.
D. PETITUM
Pasal 53 ayat (1) Undang-undang No 51 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 9 Tahun 2004
mengatur bahwa "tuntutan dalam gugatan atau petitum pokok adalah agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan atau rehabilitasi“.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka tuntutan pokok adalah agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang diterbitkan tergugat dinyatakan sebagai keputusan melanggar hukum (sebutkan
hukumnya yang mana) dan dinyatakan tidak sah, kemudian setelah itu agar penggugat meminta
kepada tergugat diwajibkan untuk mencabut keputusan yang merugikan kepentingan penggugat.
Tuntutan ganti rugi dibatasi jumlahnya, yaitu berdasarkan ketentuan.

Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1991, maka ganti rugi berkisar antara Rp 250.000,- (dua
ratus lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Sedangkan
rehabilitasi hanya berlaku untuk sengketa kepegawaian, yaitu pemulihan hak sebagai pegawai
negeri. Dalam hal rehabilitasi tidak dapat dilakukan secara penuh, maka Pejabat yang harus
melaksanakan rehabilitasi dapat dibebani kewajiban kompensasi sebesar antara Rp 100.000,-
(seratus ribu rupiah) sampai dengan Rp 2.000.000,- (dua juta rupiah).
E. ALASAN MENGGUGAT

Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 51 Tahun 2009 jo Undang-undang No. 9
Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa norma pemerintahan sebagai dasar bagi
hakim untuk menguji Keputusan Tata Usaha Negara dan ini sekaligus sebagai alasan-alasan yang
dapat digunakan dalam gugatan adalah :

1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas- asas umum
pemerintahan yang baik.

Berdasarkan pasal ini, maka keputusan yang dikeluarkan oleh Badan alau Pejabat Tata Usaha
Negara selain dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, juga dibatasi oleh asas-
asas umum pemerintahan yang baik Sebelum amandemen Undang-undang No 5 Tahun 1986
terdapat penjelasan tentang alasan menggugat berdasarkan perataturan perundang-undangan,
yaitu bertentangan yang bersifat prosedural, material/substansial, dan berwenang tidaknya Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan keputusan Kalau ditelusuri aturan-aturan hukum
tertulis yang berlaku, maka alasan-alasan pengajuan gugatan seperti ini masih relevan karena
gugatan selalu menguji keputusan-keputusan tersebut atas dasar kewenangan, prosedur, dan
substansi.
Lanjutan...

Penggunaan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai alasan pengajuan gugatan
sebelumnya tidak diatur secara tegas oleh Undang-undang No 5 Tahun 1986. Namun dengan
perubahan undang-undang tersebut melalui Undang-undang No. 9 Tahun 2004, maka asas-asas
umum pemerintahan yang baik menjadi diatur secara tegasPenjelasannya, Pasal 53 ayat (2) huruf
b menjelaskan tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik menunjuk pada ketentuan Pasal
3 Undang- undang No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari
Kolusi Korupsi dan Nepotisme Secara normatif menjadi kewajiban bagi Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara agar tindakannya termasuk tindakan hukum menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara harus didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik .

Asas-asas tersebut terdiri atas :


1) Asas Kepastian Hukum,
2) Asas Tertib Penyelenggaan Negara,
3) Asas Kepentingan Umum,
4) Asas Keterbukaan,
5) Asas Proporsionalitas,
6) Asas Profesionalitas,
7) Asas Akuntabilitas.
Lanjutan...
Asas kepastian hukum menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara wajib didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku Sebagaimana dikemukakan oleh Bachsan Mustafa, bahwa
asas kepastian hukum mempunyai tiga arti yaitu Pertama, pasti mengenai peraturan hukumnya yang
mengatur masalah pemerintah tertentu yang abstrak Kedua, pasti mengenai kedudukan hukum dari
subyek dan obyek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara Ketiga,
mencegah kemungkinan timbulnya perbuatan sewenang- wenang (eigenrichting) dari pihak manapun, juga
tidak dari pihak pemerintah (I Wayan Suandi, 2003 117) Asas kepastian hukum ini tidak hanya dituntut
dilaksanakan oleh pihak tergugat, tetapi juga dituntut untuk dilaksanakan oleh penggugat, karena adanya
kepastian sedemikian ini akan memberikan akibat bagi pemerintah untuk memperoleh kepercayaan dari
masyarakat.

Asas tertib penyelenggaraan negara menghendaki agar Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mewujudkan keteraturan dan keseimbangan dalam penerapan norma pemerintahan sehingga
keharmonisan hubungan antara tegugat dengan penggugat dapat dipertahankan.

Asas kepentingan umum mengharapkan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara didasarkan pada kepentingan dari sebagian besar warga
masyarakat Asas ini mengharuskan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menjalankan kekuasaannya
untuk mencapai atau memenuhi berbagai kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara wajib mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif,
akomodatif, dan selektif
Lanjutan...
Asas keterbukaan menghendaki agar Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara membuka diri terhadap
hak warga masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif. Prosedur dan
substansi diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara wajib dinformasikan baik secara aktif maupun
pasif agar diketahui dan dipahami oleh warga masyarakat.

Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang bersifat terbuka dan transparan dalam
memberikan data dan informasi yang memadai bagi masyarakat, sebagai bahan untuk melakukan
penilaian atas jalannya pemerintahan.

Asas proporsionalitas mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara. Asas profesionalitas menghendaki
agar Keputusan Tata Usaha Negara didasarkan pada keahlian sehingga pelaksanaannya tepat dari segi
aturan hukum yang diterapkan maupun dari prosedurnya. Keputusan Tata Usaha Negara yang dibuat
secara ceroboh dapat menjadi sebab keputusan itu menjadi batal karena mengandung kekurangan yuridis.

Asas akuntabilitas menghendaki agar tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan
Akuntabilitas dimaksudkan sebagai kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau menjawab
dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hukum/pimpinan atau suatu organisasi kepada
pihak yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban.
Lanjutan...
Dengan dicantumkannya asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam undang-undang
menunjukkan bahwa kewenangan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam penyelenggaraan
pemerintahan telah diatur dalam hukum positif. Secara normatif, maka asas ini dapat digunakan sebagai
alasan gugatan oleh warga masyarakat jika mereka dirugikan oleh keputusan tata usaha negara.
Penggunaan konsep asas dalam hukum positif kurang tepat karena asas hukum berbeda dengan aturan
hukum.

Ron Jue membatasi pengertian asas hukum sebagai berikut: "Nilai-nilai yang membatasi kaidah-
kaidah hukum disebut asas-asas hukum. Asas itu menjelaskan dan melegitimasi kaidah hukum, di atasnya
bertumpu m ideologis dari tatanan hukum Karena itu, kasdah-kaidah hukum dapat dipandang sebagai
operasionalisasi atau pengolahan lebih jauh dari asas-asas hukum (Bruggink, 1996: 121).

Berdasarkan uraian tentang alasan gugatan diskresi tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan tindakan-tindakannya, termasuk tindakan yang
berkaitan dengan diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh peraturan perundang- undangan, juga
dibatasi oleh asas-asas umum pemerintahan yang baik (Periksa Pasal 53 ayat (2) Undang-undang No. 51
Tahun 2009 tentang "Peradilan Tata Usaha Negara").
ANY QUESTION ?
PLEASE LET ME KNOW!

THANK YOU!!!

Anda mungkin juga menyukai