Anda di halaman 1dari 30

“ SUBJEK DAN OBJEK

SENGKETA TUN

HENDRI DARMA PUTRA, S.H., M.H.
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA BANDUNG
A. SUBJEK SENGKETA TUN

 Ketentuan normatif mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Pasal
1 butir 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal tersebut memberikan
batasan pengertian sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarnya Keputusan TUN, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 Dari batasan pengertian pasal tersebut, maka dalam sengketa tata usaha
negara subyek hukumnya terdiri dari :
1. Penggugat : yaitu orang atau badan hukum perdata.
2. Tergugat : yaitu Badan atau Pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah.
1. PENGGUGAT
 Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN (Pasal 53 ayat 1 Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004).
 Badan hukum perdata di sini adalah murni Badan yang menurut pengertian
hukum perdata berstatus sebagai badan hukum. Jadi bukan lembaga hukum
publik yang berstatus sebagai badan hukum, seperti Propinsi, Kabupaten,
Departemen, dan sebagainya.
 Apabila Penggugat meninggal dunia, maka ahli warisnya dapat melanjutkan
gugatannya sepanjang dapat membuktikan adanya kepentingan untuk itu.
 Jadi, yang dapat bertindak sebagai Penggugat adalah :
1. Orang perorangan yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan TUN;
2. Badan hukum perdata yang merasa kepetingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan TUN
Terobosan Hukum dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2002
tentang Acara Gugatan Perwakilam Kelompok (Class
Action) :
Diakuinya pihak ketiga untuk menggugat atas nama kepentingan umum. Sebagai
contoh kasus adalah :
 Kasus dana reboisasi yang telah diputus oleh PTUN Jakarta Nomor perkara
88/G/1994/Piutang/PTUN Jakarta tanggal 9 Desember 1994, yang diajukan
oleh organisasi lingkungan hidup;
Sejak lahirnya UU No. 32 Tahun 2009, sudah tercantum dalam pasal 92 hak
untuk menggugat dari organisasi lingkungan hidup.
 Kasus Pembatalan Kepres pengangkatan Partialis Akbar dan Maria Farida
sebagai Hakim MK di PTUN Jakarta dengan nomor perkara 139/G/2013/PTUN-
JKT tanggal 23 Desember 2013, yang diajukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil
Selamatkan MK.
Yurisprudensi AROB menyatakan bahwa untuk adanya
suatu perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum
perdata dan berhak menggugat diperlukan syarat :
 Adanya lapisan anggota-anggota; hal ini dapat dilihat pada
pengadministrasian anggota-anggotanya;
 Merupakan suatu organisasi dengan suatu tujuan tertentu sering diadakan
rapat anggota, diadakan pemilihan pengurus, adanya kerja sama antara para
anggota dengan tujuan fungsioanlnya secara kontinyu;
 Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai suatu kesatuan misalnya
perundingan dengan instansi pemerintah sebagai suatu kesatuan, mengajukan
gugatan atau keberatan sebaga suatu kesatuan.
 Di dalam perkembangan dimungkinkan Pejabat TUN dapat menjadi Penggugat
bertindak mewakili instansi Pejabat TUN tersebut dalam mempermasalahkan
prosedur penerbitan Keputusan TUN yang ditujukan kepada instansi
Pemerintah yang bersangkutan.
 Misalnya, mengajukan gugatan terhadap Keputusan TUN tentang Pencabutan
Surat Ijin Penghunian (SIP) yang ditempati instansi Pemerintah, mengajukan
gugatan terhadap Keputusan TUN yang berisi perintah bongkar bangunan milik
instansi Pemerintah, mengajukan gugatan terhadap pembatalan sertipikat
tanah milik instansi Pemerintah, dan sebagainya
2. TERGUGAT

 Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan


berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,
yang diguguat oleh orang atau badan hukum perdata (Pasal 1 butir 6 Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986).
Jenis Wewenang Badan atau Pejabat
TUN :
a. Wewenang yang diberikan dengan Atribusi
b. Wewenang yang diberikan dengan Mandat
c. Wewenang yang diberikan dengan Delegasi
a. Wewenang yang diberikan dengan Atribusi

 Adalah wewenang yang langsung diberikan atau langsung


ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
Ciri-ciri dari atribusi :
o Pembentukan kekuasaan secara atribusi melahirkan
kekuasaan baru;
o Pembentukan kekuasaan secara atribusi harus dilakukan oleh
suatu badan yang pembentukannya didasarkan pada
peraturan perundanga-undangan.
 Baca ketentuan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan.
b. Wewenang yang diberikan dengan Mandat

 Adalah wewenang yang diberikan kepada penerima mandat dari pemberi


mandat yang melaksanakan wewenang untuk dan atas nama pemberi
mandat.
Ciri-ciri dari mandat :
o Pemberi kuasa hanya dapat diberikan oleh badan yang berwenang;
o Pemberian kuasa tidak membawa konsekwensi bagi penerima kuasa
untuk bertanggung jawab kepada pihak ketiga;
o Seorang pemegang kuasa harus bertindak atas nama pemberi kuasa;
o Penerima kuasa dapat melimpahkan kuasa kepada pihak ketiga hanya
atas izin dari pemberi kuasa.
 Baca ketentuan Pasal 14 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
c. Wewenang yang diberikan dengan Delegasi

 Adalah wewenang yang diberikan dengan penyerahan wewenang pemberi


delegasi kepada penerima delegasi.
Ciri-ciri dari delegasi :
o Pendelegasian harus dilakukan oleh badan yang berwenang;
o Pendelegasian menyebabkan hilangnya wewenang bagi pemberi delegasi
dalam jangka waktu yang telah ditentukan;
o Penerima delegasi harus bertindak atas nama sendiri;
o Sub delegasi dapat dilakukan dengan persetujuan pemberi delegasi.
 Baca ketentuan Pasal 13 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan.
Dengan memperhatikan jenis wewenang,
MA telah memberi petunjuk sbb:
 Jika wewenang yang diberikan Badan atau Pejabat TUN adalah Atribusi atau
Delegasi, maka yang menjadi Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang disengketakan;
 Jika wewenang yang diberikan kepada Badan atau Pejabat TUN itu adalah
Mandat, maka yang menjadi Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN yang
memberi wewenang kepada Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan
Keputusan TUN yang disengketakan.
Contoh

 Kewenangan Delegasi pada Pasal 8 ayat (3) Peraturan Menteri Perdagangan RI


Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Perdagangan
menyatakan : “Bupati atau Walikota melimpahkan kewenangan penerbitan
SIUP kepada Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan
atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu setempat.”
 Kewenangan Mandat : Atas nama Menteri Hukum dan Ham RI, Direktur
Jenderal AHU Kemenkumham RI dapat mengeluarkan Surat Keputusan
Pengesahan Badan Hukum.
Kesimpulan :

 Yang selalu menjadi pihak Tergugat adalah Badan atau Pejabat TUN. Namun
bukan semua Badan atau Pejabat TUN, tetapi hanya Badan atau Pejabat TUN
yang mengeluarkan Keputusan TUN yang disengketakan. Jadi Badan atau
Pejabat TUN yang tidak mengeluarkan Keputusan TUN (yang disengketakan)
tidak ada dasar hukumnya untuk ditarik sebagai Tergugat.
 Badan atau Pejabat TUN dalam mengeluarkan Keputusan TUN harus
berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
B. OBJEK SENGKETA TUN

1. Objek Sengketa yang bersifat Positif


2. Objek Sengketa TUN yang bersifat Fiktif Negatif
3. Objek Sengketa TUN yang bersifat Fiktif Positif (dicabut UU 11/2020 Ttg Cipta
Kerja)
4. Tidak termasuk Objek Sengketa TUN
1. Objek Sengketa yang bersifat Positif

 Pasal 1 angka 9 UU No. 51 tahun 2009 menyatakan : Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
 Unsur-unsur keputusan TUN :
a. penetapan tertulis
b. dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN
c. berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
d. bersifat konkret, individual, dan final
e. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata
a. penetapan tertulis

 Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 Istilah "penetapan


tertulis" terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu
memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk
formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.
 Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh
karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut
dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
menurut Undang-undang ini apabila sudah jelas
a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya;
b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;
c. kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
b. dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN

 Badanatau pejabat TUN adalah badan atau


pejabat di pusat maupun didaerah yang
melakukan kegiatan eksekutif
c. berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku

 Tindakan hukum TUN adalah perbuatan hukum badan atau


pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum
TUN yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban pada
orang lain.
 Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara
umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di
tingkat daerah serta semua keputusan badan atau pejabat
TUN.
d. bersifat konkret, individual, dan final

 Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara
itu tidak abstrak,tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya
keputusan mengenai rumah si A, Izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai
pegawai negeri.
 Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu
lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan.
Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran
yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut.
 Bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain
belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban
pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang
pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian
Negara.
e. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata

 Menimbulkan akibat hukum artinya


perbuatan hukum yang diwujudkan dalam
pembuatan keputusan TUN oleh Badan atau
pejabat TUN itu dapat menimbulkan hak
atau kewajiban pada seseorang atau badan
hukum perdata
Objek Sengketa TUN diperluas
Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan :
bahwa dengan berlakunya Undang-undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Objek Sengketa berdasarkan SEMA No. 4 Tahun 2016 huruf E angka 3 :
a. Objek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara meliputi:
1) Penetapan tertulis dan/atau tindakan faktual.
2) Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan.
3) Diterbitkan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau asas-asas umum pemerintahan
yang baik (keputusan tata usaha negaradan/atau Tindakan yang bersumber dari kewenangan
terikat atau kewenangan bebas).
4) Bersifat:
 Konkret-Individual (contoh: keputusan izin mendirikan bangunan, dsb).
 Abstrak-Individual (contoh: keputusan tentang syarat-syarat pemberian perizinan, dsb).
 Konkret-Umum (contoh: keputusan tentang penetapan upah minimum regional, dsb).
5) Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau Tindakan yang bersifat Final dalam arti luas yaitu
Keputusan Tata Usaha Negara yang sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih
memerlukan persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain (contoh: perizinan tentang
fasilitas penanaman modal oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Izin Lingkungan,
dsb).
6) Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau Tindakan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum
(contoh: LHP Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dsb).
b. Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau Tindakan Fiktif-Positif.
c. Keputusan Lembaga Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) permohonan pengujian
penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
2. Objek Sengketa TUN yang bersifat Fiktif Negatif

 Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima permohonan dianggap
telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut
apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah
diterimanya.
Objek sengketa yang bersifat fiktif negatif
diatur dalam pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 :

(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya,maka hal tersebut
disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan
data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat,maka Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), maka
setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak di terimanya
permohonan,Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan
dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.
3. Objek Sengketa TUN yang bersifat
Fiktif Positif (dihapus)
 Dasar hukum pasal 53 UU No. 30 Tahun 2014, yang menyatakan :
(1) Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan
dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas
waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau
melakukanKeputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10
(sepuluh)hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
(3) Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap
dikabulkan secara hukum.
(4) Pemohon mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
memperoleh putusan penerimaan permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
(5) Pengadilan wajib memutuskan permohonan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan untuk melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak putusan Pengadilan ditetapkan.
Syarat untuk mengajukan permohonan fiktif
positif :
1. Permohonan untuk mendapatkan keputusan benar-benar merupakan keputusan baru;
2. Permohonan untuk mendapatkan keputusan itu harus ditujukan kepada badan atau
pejabat yang mempunyai kewenangan;
3. Permohonan itu untuk dirinya sendiri. Sebab didalam beracara pekara fiktif positif tidak
ada acara intervensi.
4. Pejabat yang dimaksudkan adalah :
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif;
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;
c. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga legislatif; dan
d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahanyang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
4. Tidak termasuk Objek Sengketa TUN

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;


b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum.
Terima kasih

Anda mungkin juga menyukai