Anda di halaman 1dari 7

Nama : Regina Rahma Antika

NIM : E0020376

Kelas : Hk. Acara PTUN G

UJIAN TENGAH SEMESTER

1. MA, MK, dan PTUN Memiliki persamaan sebagai pengadilan administratif karena
ada proses dismissal dalam sistem beracaranya. Proses dimsissal merupakan
prosespenelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh
Ketua Pengadilan. Dalam proses penelitian itu, Ketua Pengadilan dalam rapat
permusyawaratan memutuskan dengan Penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak
diterima atau tidak. Dalam arti, ketika gugatan yang masuk bukanlah merupakan
kewenangan dari MK atau PTUN untuk mengadilinya, maka gugatan tersebut tidak
dapat diterima. Terkait MA, karena PTUN merupakan salah satu bagian dari lingkup
peradilan di MA, sehingga MA dan PTUN tentu memiliki persamaan; perbedaannya
hanya terletak pada tingkat pengadilannya.

2. Asas self obidience atau self respect merupakan asas yang mana diwajibkan untuk
menghormati putusan peradilan administrasi atau eksekusi putusan pengadilan. Dalam
kaitannya perihal menjadi poin lemah dalam penegakan putusan hakim PTUN
dikarenakan tidak dikenal adanya upaya pemaksa yang langsung melalui juru
sitaseperti halnya dalam prosedur hukum perdata. Dengan begitu, para pihak telah
dianggap mematuhi putusan hakim tanpa adanya upaya paksa dari pengadilan.

3. Sebelum diuraikan terkait perbedaannya, akan penulis cantumkan terlebih dahulu


definsi dari masing-masing istilah tersebut, sebagaimana tertuang dalam UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni:
a. Pasal 1 angka 22: Atribusi adalah pemberian Kewenangan kepada Badan
dan/atau Pejabat Pemerintahan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 atau Undang-Undang.
b. Pasal 1 angka 23: Delegasi adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat
beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi.
c. Pasal 1 angka 24: Mandat adalah pelimpahan Kewenangan dari Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang lebih tinggi kepada Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap
berada pada pemberi mandat.
Setelah teruraikan definisi dari istilah-istilah tersebut, maka dapat diketahu beberapa
perbedaan diantaranya, yakni:
a. Atribusi:
- Kewenangan diperoleh melalui UUD 1945 dan/atau UU [Pasal 12 ayat (1)];
- Sifat wewenangnya baru;
- Kewenangan atribusi tidak dapat didelegasikan, kecuali ditentukan lain [Pasal
12 ayat (3)].
b. Delegasi:
- Wewenang diberikan oleh badan/pejabat di atasnya melalui PP, Perpres,
dan/atau Perda [Pasal 13 ayat (2)];
- Sifat wewenangnya telah ada sebelumnya;
- Kewenangan delegasi tidak dapat didelegasikan lebih lanjut, kecuali
ditentukan lain [Pasal 13 ayat (3)]
c. Mandat:
- Wewenang diberikan oleh badan/pejabat di atasnya melalui PP, Perpres,
dan/atau Perda [Pasal 14 ayat (1)], yang mana sifatnya pelaksanaan tugas
rutin;
- Pengalihan kewenangan tidak diatur; dan
- Penerima mandat tidak berwenang untuk mengambil Keputusan dan/atau
Tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status
hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.

4. Dalam rumus, dinyatakan bahwa: KTUN = [Pasal 1 angka 3 + Pasal 3] – [Pasal 2 +


Pasal 49].
Sebagaimana dinyatakan dalam rumus, penulis membaginya menjadi dua bagian
terlebih dahulu. Sehingga, dapat diuraikan dalam penjelasan sebagai berikut ini:
i. Bagian Satu
a. Pasal 1 angka 3: Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi
tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata;
b. Pasal 3:
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut
disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana
ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat,
maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah
menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka
setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan,
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah
mengeluarkan keputusan penolakan.
ii. Bagian Dua
a) Pasal 2: Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
menurut Undang-undang ini :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat
hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia;
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai
hasil pemilihan umum.
b) Pasal 49: Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang
disengketakan itu dikeluarkan :
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau
keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Setelah diuraikan menjadi dua bagian, maka timbullah analisis terkait objek sengketa
TUN sebagai berikut:

Dalam Bagian Satu menjelaskan terkait objek sengketa TUN, yakni KTUN.
Sebagaimana kita ketahui, Pasal 1 angka 3 telah menjelaskan terkait KTUN. Namun,
disamping itu, ada KTUN tambahan yang tidak tertulis dalam Pasal 1 angka 3
tersebut, namun tertulis dalam Pasal 3. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa yang
termasuk ke dalam objek sengketa TUN/KTUN yakni:

- Unsur-unsur Keputusan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 1 angka 3 dan


Penjelasannya UU Nomor 5 Tahun 1986, adalah sebagai berikut:
o Penetapan Tertulis
Istilah penetapan tertulis terutama menujukan kepada isi dan bukan
kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun
yang disyaratkan tertulis bukan bentuk formalnya seperti Surat
Keputusan Pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu
diharuskan untuk kemudaham segi pembuktian, sebuah memo atau
nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu
Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-undang ini apabila
sudah jelas:
 Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
 Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu;
 Kepada siapa tulisan itu ditunjukan dan apa yang ditetapkan
didalamnya.
o Dikeluarakan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di
pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
o Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara
Tindakan Hukum Tata Usaha Negara yaitu tindakan hukum yang
bersumber pada suatu ketentuan Hukun Tata Usaha Negara yang dapat
menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
o Bersifat kongkrit, individual dan final
 Bersifat kongret artinya objek yang diputuskan dalam KTUN
itu tidak abstrak tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan,
umpamanya Keputusan mengenai rumah si ”A”, ijin usaha bagi
Si “ B’, pemberhentian Si “A’ sebagai Pegawai Negeri.
 Bersifat Individual artinya keputusan Tata Usaha Negara itu
tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat
maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang
maka tiap-tiap nama orang yang terkena Keputusan itu,
disebutkan. Umpamanya keputusan tentang pembongkaran atau
pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-
nama orang yang terkena Keputusan tersebut.
 Bersifat Final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih
memerlukan persetujuan instansi lain belum bersifat final
karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban
pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan
penangkapan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan
dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
- Jika ada badan/pejabat TUN yang tidak mengeluarkan keputusan, yang mana
itu merupakan kewajibannya;
- Jika ada Badan/Pejabat TUN yang tidak mengeluarkan keputusan yang
dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan data peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan/pejatab TUN tersebut
dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud; dan
- Jika peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat
jangka waktu empat bulan sejak diterimnya permohonan, badan/pejabat TUN
yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.

Selanjutnya, Bagian Dua menjelaskan terkait hal-hal yang bukan menjadi objek
sengketa TUN, dan menjelaskan pula terkait kondisi Pengadilan TUN dimana
tidak berwenang untuk mengadili sengketa TUN.

Maka dapat disimpulkan bahwa rumus yang dimaksud dalam nomor 4 yakni
menjelaskan terkait objek sengketa TUN (KTUN). Objek sengketa TUN tersebut
dikecualikan dengan objek-objek yang berada dalam Pasal 2; juga, dikecualikan
pula dengan Pasal 49 terkait ketidakwenangan pengadilan TUN untuk mengadili
dalam beberapa kondisi tertentu.

5. Dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peratun, dikenal ada dua jalur penyelesaian
sengketa TUN yaitu;
a. Melalui upaya administratif (Pasal 48)
b. Melalui gugatan ke PTUN (Pasal 50)

Dengan begitu, pembahasan kali ini akan penulis akan bagi menjadi dua yaknki:

a. Upaya administratif
Menurut Pasal 1 angka 16 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan, didefinisikan bahwa Upaya Administratif adalah proses
penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam lingkungan Administrasi
Pemerintahan sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan dan/atau Tindakan yang
merugikan. Pada pokonya upaya administratif yakni suatu prosedur yang dapat
ditempuh oleh orang atau Badan Hukum Perdata apabila dia tidak puas terhadap
suatu keputusan atau tindakan badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Prosedur
itu dilaksanakan di lingkungan Pemerintah (eksekutif) sendiri.
Upaya Administratif terdiri dari dua bentuk, yaitu:
o Keberatan, yakni dalam hal penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
tersebut diajukan kepada dan diselesaikan sendiri oleh Badan atau Pejabat
TUN yang mengeluarkan Keputusan itu.
o Banding Administratif, yakni dalam hal penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara tersebut diajukan kepada dan diselesaikan oleh atasan pejabat atau
instansi lain dari pejabat yang mengeluarkan keputusan.
Dalam hal Banding Administratif, penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
dilakukan oleh atasan pejabat atau instansi lain dari pejabat yang
mengeluarkan keputusan yang bersangkutan.
b. Gugatan ke PTUN
Pasal 50 UU Peratun mengatur bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara di tingkat pertama. Pada prinsipnya, orang atau Badan Hukum Perdata
yang mengajukan gugatan ke PTUN melalui alur yang dimlaui dari PTUN,
kemudian mengajukan banding ke PT.TUN, kemudian Kasasi ke MA, seperti
jalur berperkara di Peradilan Umum.

Anda mungkin juga menyukai