Anda di halaman 1dari 11

KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM

MENERBITKAN SURAT EDARAN TERHADAP UNDANG-


UNDANG
Ahmad Barzanz Diba
Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
barzan.diba22@mhs.uinjkt.ac.id.
ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam menerbitkan
Surat Edaran. Surat Edaran merupakan suatu bentuk regulasi atau aturan yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, dengan berbentuk teguran, peringatan, dan petunjuk
bagi lembaga-lembaga peradilan di bawah naungan MA, antara lain; Pengadilan Umum,
Pengadilan Agama, PTUN, dan lain sebagainya sebagaimana berdasarkan dengan Pasal
32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) merupakan suatu aturan kebijakan yang bertujuan untuk
mengatasi apabila terjadi suatu kekosongan hukum atau timbulnya ketidakjelasan dalam
suatu undang-undang, dan menyelesaikan suatu permasalahan yang belum diregulasi
dengan jelas dalam undang-undang. SEMA dijadikan sebagai perwujudan dari fungsi
pengawasan yang dijalankan oleh Mahkamah Agung yang membawahi lembaga-lembaga
peradilan lainnya. Namun seiring berjalannya waktu terdapat perluasan fungsi dari
SEMA, yang sebelumnya SEMA hanya sebagai alat yang berfungsi untuk mengawasi
tingkah laku peradilan diperluas hingga mencakup sebagai fungsi administrasi maupun
pengaturan. Agar SEMA yang dibentuk dapat diterima oleh masyarakat, maka SEMA
tersebut harus meliputi kebenaran secara hukum, kebenaran secara etik, dan dapat
diterima oleh masyarakat sosial. Jurnal ini diteliti dengan menggunakan metode normatif
untuk memperoleh suatu jawaban terkait permasalahan yang dibahas melalui penelitian
ini. Bentuk penelitian normatif yang diaplikasikan dalam jurnal ini, yakni penelitian
hukum normatif yang bersumber dari regulasi-regulasi hukum yang berlaku untuk
mengamati persoalan yang diangkat dalam penelitian ini.
Kata Kunci: surat edaran; mahkamah agung, kewenangan, hukum.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana kedudukan SEMA terhadap Undang-Undang?


2. Bagaimana fungsi serta tujuan SEMA terhadap peraturan hukum yang berlaku di
Indonesia?

PENDAHULUAN

1
Indonesia merupakan negara hukum, penjelasan mengenai negara hukum yakni
negara yang mengokohkan supremasi hukum dengan tujuan untuk menegakkan keadilan.
Namun hukum yang seharusnya menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat, terkadang
tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat di Indonesia dan perkembangan peraturan
undang-undang di Indonesia dinilai lamban. Sehingga, undang-undang yang menjadi
sumber hukum seringkali mengalami ketidakjelasan bahkan tidak jarang terjadi
penafsiran ganda terhadap suatu undang-undang. Dengan demikian, kehadiran
Mahkamah Agung sebagai pucuk kekuasaan kehakiman di Indonesia menjadi sangat
penting untuk menciptakan rasa keadilan bagi masyarakat di Indonesia.

2
Mahkamah Agung menjadi salah satu lembaga tinggi negara yang menjalankan
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Penjelasan terkait kekuasaan kehakiman adalah
lembaga yang terpisah serta berdiri sendiri dari kekuasaan negara yang lainnya yang
bertujuan untuk menjamin kebebasan masyarakat dari kesewenang-wenangan negara.
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwasanya
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang berdiri sendiri dalam melaksanakan
peradilan yang bertujuan untuk mencapai keadilan. Independensi kekuasaan kehakiman
juga membuktikan integrasi lembaga peradilan. Seluruh hakim dalam lingkungan
pengadilan berperan penting untuk membentuk berbagai keputusan pengadilan yang
faktual dan tidak menyimpang atau menentang norma-norma yang berlaku.

Selaku lembaga tinggi negara, MA memiliki hak untuk memberikan pengawasan


serta peringatan terhadap lembaga yudikatif di bawahnya berdasarkan 3Pasal 31 Ayat (1)
UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.

1
Irwan Adi Cahyadi, “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum Positif di
Indonesia”, Artikel Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Universitas Brawijaya,
2014.
2
Tim Penulis APHTN HAN, Hukum Tata Negara, Depok: Rajagrafindo Persada, 2023, h. 227-228.
3
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Peringatan yang diberikan oleh Mahkamah Agung terhadap lembaga yudikatif di
bawahnya dapat berbentuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA). SEMA termasuk
kategori suatu aturan kebijakan. Jika ditinjau dari perspektif penamaan yang
mengesampingkan dasar hukum dan argumentasi yang sah demi validitas setiap surat
edaran yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa SEMA hanyalah suatu aturan kebijakan.

Pengawasan dan peringatan sekaligus peraturan yang berasal dari Mahkamah


Agung tidak dapat disamakan dengan undang-undang. Mahkamah Agung sekadar dapat
menerbitkan suatu peraturan jika terdapat sebuah peraturan perundang-undang yang
dianggap menimbulkan ketidakjelasan dan kebingungan di masyarakat. Umumnya
undang-undang mempunyai struktur yang terdiri dari pembukaan, penamaan, batang
tubuh, dan penutup. Sementara itu, SEMA tidak memiliki struktur formal seperti yang
telah disebutkan sebelumnya.

4
Berdasarkan permasalahan di atas, seringkali muncul pertanyaan terkait
bagaimana kedudukan SEMA terhadap UU, dan bagaimana perkembangan fungsi SEMA,
serta bagaimana kewenangan MA dalam membentuk SEMA. Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, diperlukan kajian yang mendasar terkait kewenangan Mahkamah
Agung dalam menerbitkan SEMA dan kedudukan hierarki SEMA dalam hukum yang
berlaku di Indonesia. Hingga, hasil dari kajian tersebut dapat menjelaskan bagaimana
kewenangan Mahkamah Agung dalam menerbitkan surat edaran terhadap undang-undang
dan kedudukannya dalam hierarki peraturan hukum di Indonesia.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan materi


pustaka yang diantaranya adalah berupa jurnal-jurnal hukum dan berbagai buku hukum
yang berhubungan dengan perkara yang dibahas serta bersumber dari peraturan hukum,
keputusan pengadilan, dan berbagai teori hukum yang memiliki hubungan yang berkaitan
dengan problematika yang dibahas.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4
Raihan A, Elan Djaelani, Utang Rosidin, “Kedudukan dan Kekuatan Hukum Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum Positif Indonesia”, Jurnal Publikasi Ilmu Hukum, Volume
1, Nomor 4, Desember 2023, h. 8-9.
5
Berdasarkan dengan apa yang telah tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung
Indonesia berisi bahwanya MA dapat mengawasi perilaku pengadilan maupun para
hakim. Oleh karena itu, Mahkamah Agung memiliki hak dan kewenangan dalam
memberikan peringatan, pengawasan, maupun petunjuk yang dianggap penting dan
berfungsi baik yang berbentuk surat edaran. Hal tersebut dikarenakan bahwa Mahkamah
Agung 6merupakan pucuk kekuasaan kehakiman yang membawahi peradilan umum,
agama, PTUN, serta pengadilan militer.

Apabila ditinjau dari segi penggunaan, SEMA merupakan sebuah aturan


kebijakan yang ditujukan kepada lingkungan internal lembaga pengadilan seperti hakim,
panitera, dan jabatan yang lainnya. Tetapi jika ditinjau dari segi muatan SEMA, dapat
dilihat bahwa SEMA tidak seluruhnya dapat dikategorikan sebagai suatu kebijakan.
Sebagai contoh dari hal tersebut terdapat dalam SEMA No. 3 Tahun 1963 yang
menghapuskan beberapa ketentuan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek karena
dianggap tidak memiliki nilai keadilan. Aturan kebijakan memiliki sifat yang tidak terikat
dengan hukum, namun tetap memiliki hubungan atau keterkaitan dengan hukum. Aturan
kebijakan menjadi pembuka jalan bagi lembaga-lembaga pemerintah dalam menjalan
wewenang yang diberikan oleh pemerintah.

Dalam perkembangannya, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) terjadi


pergeseran fungsi. Akibat dari pergeseran fungsi tersebut, SEMA mengalami perluasan
fungsi seperti fungsi pengaturan maupun fungsi administrasi sehingga SEMA tidak lagi
hanya berfungsi untuk mengawasi sikap perbuatan hakim maupun pengadilan.
Kewenangan MA dalam membentuk atau menerbitkan SEMA datang dari haknya dalam
memberikan peringatan atau petunjuk dan meminta sebuah keterangan dari lingkungan
pengadilan di bawah pengawasan MA. SEMA sendiri merupakan perwujudan fungsi
pengawasan Mahkamah Agung yang sesuai dengan perkembangan zaman.

7
Dasar hukum Mahkamah Agung dalam menerbitkan SEMA terdapat dalam
Pasal 79 UU Mahkamah Agung yang menguraikan hak-hak MA untuk mengatur lebih
dalam terkait perihal yang dibutuhkan demi fluensi lembaga-lembaga pengadilan dalam
menjalankan peradilan jika ditemukan beberapa hal yang belum dijelaskan dalam UU.
5
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan ,dan Jalan Pengadilan
Mahkamah Agung Indonesia.
6
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Depok: Rajawali Press, 2019, h. 314.
7
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Wewengan tersebut ditujukan kepada MA sehingga bisa menuntaskan suatu persoalan
yang secara terperinci belum dijelaskan oleh undang-undang. Namun regulasi yang
diterbitkan oleh MA mempunyai disimilaritas dengan aturan dari lembaga legislatif
selaku pihak yang membentuk bentuk UU. Sebagaimana yang telah tercantum pada Pasal
79 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, terdapat kalimat ‘penyelenggaraan
peradilan’, yang dimaksud kalimat tersebut yakni elemen dari hukum acara yang
menyeluruh. Dengan kata lain, MA tidak dapat ikut mengurusi serta melewati batas
ketentuan mengenai kewajiban dan hak dari masyarakat. Tetapi berdasarkan UU
Mahkamah Agung, tidak dipaparkan dengan jelas terkait SEMA, hal tersebut
mengakibatkan ketidakjelasan mengenai kedudukan SEMA. Akan tetapi, Mahkamah
Agung sering membentuk SEMA pada tiap tahunnya. Secara tidak langsung, hal tersebut
menjadi bukti tetap berlakunya SEMA hingga saat ini.

8
Memandang kedudukan SEMA terhadap undang-undang dapat dilihat melalui
jenis atau hierarki peraturan hukum positif di Indonesia yang terdapat dalam 9Pasal 7 dan
8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang antara lain :
Pasal 7 Ayat (1)
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
5. Peraturan Pemerintah;
6. Peraturan Presiden;
7. Peraturan Daerah Provinsi
8. Peraturan Daerah Kota/Kabupaten.
Pasal 8 :
(1) Jenis peraturan undang-undangan selain yang disebutkan pada Pasal 7 ayat (1)
merupakan peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPD, DPR, MK, MA, KY, BPK, Bank
Indonesia, Menteri, atau komisi lainnya yang memiliki persamaan tingkatan yang

8
Yuda Asmara, “Kedudukan SEMA Terhadap Suatu Undang-Undang”,
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kedudukan-sema-terhadap-suatu-undang-undang-
lt5da3d5db300a9 diakses pada tanggal 29 Desember 2023.
9
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
dibentuk oleh UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD
Kota/Kabupaten, Walikota/Bupati, Kepala Desa atau yang lainnya.
(2) Peraturan undang-undang seperti yang disebut pada ayat (1) diakui eksistensinya
serta berkekuatan hukum yang mengikat selama diperintah oleh undang-undang yang
lebih tinggi atau dibentuk dengan berdasarkan kewenangan.

Dengan kata lain, diperoleh penjelasan bahwa ketentuan yang dibentuk oleh MA
keberadaan eksistensinya juga diakui dalam tingkatan strata undang-undang yang berlaku
di Indonesia serta mempunyai kekuatan hukum.

10
Tujuan dari pembentukan SEMA, yakni untuk mengatasi apabila terjadi suatu
kekosongan hukum atau timbulnya ketidakjelasan dalam suatu undang-undang. Dengan
demikian, SEMA bisa diberlakukan dengan tetap memperhatikan dan tidak berlawanan
dengan peraturan undang-undang yang berada di atasnya. Pemberlakuan dari SEMA
memiliki sifat opsional, yang berarti bukan suatu keharusan serta mesti berlandaskan
pada hukum positif di Indonesia

Sehingga, mesti adanya keserasian antara aturan hukum yang tinggi dengan yang
aturan hukum di bawahnya yang sesuai mengikuti urutan strata tingkatan undang-undang
yang berlaku dengan alasan bahwa peraturan hukum yang tingkatannya lebih rendah
hanya sebuah bagian yang lebih kecil dari peraturan hukum yang tingkatannya lebih
tinggi. Apabila ditinjau dengan berlandaskan pada UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, penerbitan SEMA mesti
didasari dengan apa yang tercantum dalam urutan hierarki perundang-undangan,
kemudian apabila ditemukan suatu peraturan hukum yang berlawanan dengan peraturan
hukum yang lain maka dapat dipastikan bahwa peraturan hukum tersebut dinyatakan
tidak sah. Oleh karena itu, SEMA yang berlawanan dengan peraturan perundang-
undangan dapat dikesampingkan dengan alasan bahwa tingkatan hierarki SEMA lebih
rendah dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan.

Pembentukan SEMA didasari wewengan dari Ketua maupun Wakil Ketua


Mahkamah Agung. Namun sebelum membentuk SEMA, Ketua maupun Wakil Ketua MA
dapat meminta saran atau pandangan dan tanggapan hukum dari hakim ketua muda

10
Ari Iswahyuni, “KEDUDUKAN ANCAMAN PIDANA MINIMAL DALAM UNDANG- UNDANG
NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PASCA DIKELUARKANNYA SURAT EDARAN
MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2015”, Jurnal Panorama Hukum, Volume 3, Nomor 1, Juni
2018, h. 28.
terkait dengan pokok inti atau muatan materi surat edaran tersebut sesuai dengan bagian
keahliannya. Berikutnya, hakim ketua muda akan memaparkan pandangan serta
pendapatnya, lalu Ketua atau Wakil Ketua MA yang akan memutuskan apakah SEMA
tersebut dapat diterbitkan atau tidak. Dengan demikian, yang berhak untuk memutuskan
SEMA tersebut adalah Ketua Mahkamah Agung yang dibarengi dengan pendapat dari
hakim ketua muda Mahkamah Agung.

Akan tetapi, tidak jarang SEMA yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung justru
menimbulkan kontroversi dan pro kontra di masyarakat. Contohnya seperti SEMA No. 2
Tahun 2023. SEMA tersebut melarang seluruh hakim untuk mengabulkan permohonan
pencatatan pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama. SEMA tersebut
juga memiliki tujuan agar masyarakat memperoleh suatu kepastian dan kejelasan status
hukum terkait perkawinan beda agama. SEMA tersebut dibentuk karena belum adanya
suatu ketentuan yang secara jelas dan pasti yang mengatur terkait persoalan perkawinan
beda agama.

SEMA No. 2 Tahun 2023 memberikan petunjuk kepada para hakim untuk
mengadili permohonan pencatatan perkawinan beda agama yang bermuatan, antara lain :
11
1. Perkawinan dapat dikatakan sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan
berdasarkan masing-masing hukum agama dan kepercayaan yang diyakini, hal
tersebut sejalan dengan yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 8 Huruf
f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
2. Pengadilan melarang seluruh hakim untuk mengesahkan permohonan pencatatan
perkawinan beda agama dan kepercayaan.

Setelah SEMA tersebut diterbitkan, muncul berbagai tanggapan oleh berbagai


masyarakat, baik yang mendukung maupun yang menolak SEMA tersebut. Pihak yang
kontra terhadap SEMA tersebut beranggapan bahwa SEMA tersebut menunjukan suatu
kemunduran dalam dunia peradilan di Indonesia dalam menjamin hak-hak dan kebebasan
para warga negara Indonesia yang beranekaragam. 12Komnas Perempuan menjadi salah
satu pihak yang secara keras mengkritik kehadiran SEMA No. 2 Tahun 2023, Komnas
Perempuan menganggap bahwa SEMA tersebut merupakan suatu kebijakan yang

11
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam
Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang Berbeda Agama
12
Dan Kepercayaan.
diskriminatif. Komnas Perempuan juga mengajukan penarikan 13kembali SEMA tersebut
kepada MA karena dianggap tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila dan keberagaman
rakyat Indonesia, serta SEMA tersebut juga dianggap melanggar asas kebebasan hakim
dalam peradilan.

Namun, tidak sedikit masyarakat yang memberikan apresiasi kepada Mahkamah


Agung yang telah menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023 yang menganggap bahwa
SEMA tersebut telah memberikan kejelasan hukum terkait perkawinan beda agama yang
sebelumnya selalu menjadi polemik dan perbincangan panas di masyarakat. Pihak yang
pro terhadap SEMA tersebut juga meminta masyarakat untuk menghormati Surat Edaran
tersebut, karena pastinya Mahkamah Agung telah lebih dulu mempertimbangkan hukum
yang kuat sebelum menerbitkan Surat Edaran tersebut.

Dalam menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023, Mahkamah Agung sebatas


mempertimbangkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan dan
mengesampingkan isi dari Pasal 35 huruf a UU No. 23 Tahun 2006 Administrasi
Kependudukan. Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan tersebut menjelaskan
pencatatan perkawinan yang disebutkan pada Pasal 34 juga berlaku bagi perkawinan yang
ditetapkan oleh pengadilan. Dengan demikian, Mahkamah Agung dianggap kurang teliti
dalam menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023 yang hanya mempertimbangkan suatu
ketentuan dan mengecualikan ketentuan lainnya.

Akibat dari terbitnya SEMA tersebut, menyebabkan pengadilan tidak dapat lagi
mengesahkan permohonan perkawinan antara pasangan beda agama, dan pencatatan
perkawinan antar-umat yang beda agama tidak bisa dicatatkan secara administratif
kependudukan, meskipun perkawinan dapat dinyatakan sah jika dilangsungkan sesuai
dengan masing-masing agama dan kepercayaan sebagaimana yang tercantum dalam UU
Perkawinan. Hal tersebut tentunya berlawanan dengan asas dan prinsip kehakiman yang
memberikan kebebasan kepada hakim dalam memutuskan suatu perkara dengan
berlandaskan keadilan.

13
Siaran Pers Komnas Perempuan Perempuan Merespon Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor
2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan
Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan,
https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-komnas-perempuan-perempuan-
merespon-surat-edaran-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2023-tentang-petunjuk-bagi-hakim-
dalam-mengadili-perkara-permohonan-pencatatan-perkawinan-antar-umat-yang-berbeda-agama-
dan-kepercayaan diakses pada tanggal 29 Desember 2023.
Oleh karena itu, tentunya wajar apabila SEMA tersebut mendapat penolakan di
masyarakat karena SEMA No. 2 Tahun 2023 dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai
Pancasila serta keberagaman masyarakat di Indonesia sekaligus berlawanan dengan
prinsip kebebasan hakim dalam mengadili suatu permasalahan.

14
Dalam menerbitkan SEMA, MA seharusnya tidak hanya berfokus kepada satu
ketentuan saja melainkan mesti memperhatikan ketentuan lainnya yang berkaitan dengan
SEMA yang akan dibentuk. Sehingga dapat menghindari kontroversi dan pro-kontra di
masyarakat, serta dapat memberikan kepastian dan kejelasan hukum terhadap suatu hal
yang tidak secara jelas disebutkan dalam UU.

KESIMPULAN.

Mahkamah Agung memiliki hak maupun wewenang dalam memberikan


pengawasan, teguran, maupun petunjuk yang dianggap penting dan berfungsi baik dengan
bentuk surat edaran atau yang sering dikenal dengan SEMA. Pengawasan dan peringatan
oleh MA berbeda dengan undang-undang. MA hanya bisa menerbitkan suatu peraturan
jika terdapat sebuah peraturan undang-undang yang dianggap menimbulkan
ketidakjelasan dan kebingungan di masyarakat.

Tujuan dari pembentukan SEMA, yakni untuk mengatasi apabila terjadi suatu
kekosongan hukum atau timbulnya ketidakjelasan dalam suatu undang-undang. Dengan
kata lain, SEMA dapat diberlakukan dengan tetap memperhatikan ketentuan yang lainnya
dan tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang lebih tinggi.

Aturan yang dikeluarkan oleh MA seluruhnya berbeda dengan ketentuan yang


dibentuk oleh lembaga legislatif sebagai pihak yang memiliki hak untuk membentuk
undang-undang. Dalam Pasal 79 UU Mahkamah Agung, terdapat kalimat
‘penyelenggaraan peradilan’, maksud dari kalimat tersebut yakni elemen hukum acara
secara menyeluruh. Oleh karena itu, MA tidak dapat ikut mengurusi serta melewati batas
ketentuan mengenai kewajiban dan hak masyarakat.

Dengan demikian, mesti adanya keserasian antara aturan hukum yang rendah
dengan yang lebih tinggi sesuai dengan strata tingkatan perundang-undangan di

14
Aurora Vania, Gunawan Djajaputra, “Analisis Perspektif Pro Kontra Masyarakat Terhadap
Penerapan SEMA No. 2 Tahun 2023” Jurnal Unes Law Review, Volume 6, Nomor 1, Tahun 2023,
h. 2978.
Indonesia, dengan alasan bahwa peraturan hukum yang tingkatannya lebih rendah hanya
sebuah bagian yang lebih kecil dari peraturan hukum yang tingkatannya lebih tinggi.

Pembentukan SEMA didasari wewengan dari Ketua maupun Wakil Ketua


Mahkamah Agung. Namun sebelum membentuk SEMA, Ketua maupun Wakil Ketua MA
dapat meminta saran atau pendapat hukum dari hakim ketua muda mengenai pokok inti
atau muatan materi surat edaran tersebut sesuai dengan bagian keahlian masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA.

Buku :

Tim Penulis APHTN HAN, Hukum Tata Negara, Depok: Rajagrafindo Persada, 2023

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Depok: Rajawali Press, 2019

Jurnal :

Irwan Adi Cahyadi, “Kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum
Positif di Indonesia”, Artikel Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang, Universitas Brawijaya, 2014.

Raihan A, Elan Djaelani, Utang Rosidin, “Kedudukan dan Kekuatan Hukum Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) dalam Hukum Positif Indonesia”, Jurnal Publikasi Ilmu
Hukum, Volume 1, Nomor 4, Desember 2023

Ari Iswahyuni, “KEDUDUKAN ANCAMAN PIDANA MINIMAL DALAM UNDANG- UNDANG


NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA PASCA DIKELUARKANNYA
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 3 TAHUN 2015”, Jurnal Panorama
Hukum, Volume 3, Nomor 1, Juni 2018

Aurora Vania, Gunawan Djajaputra, “Analisis Perspektif Pro Kontra Masyarakat Terhadap
Penerapan SEMA No. 2 Tahun 2023” Jurnal Unes Law Review, Volume 6, Nomor
1, Tahun 2023, h. 2976.

Internet :

Siaran Pers Komnas Perempuan Perempuan Merespon Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara
Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan
Kepercayaan, https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-pers-
komnas-perempuan-perempuan-merespon-surat-edaran-mahkamah-agung-
nomor-2-tahun-2023-tentang-petunjuk-bagi-hakim-dalam-mengadili-perkara-
permohonan-pencatatan-perkawinan-antar-umat-yang-berbeda-agama-dan-
kepercayaan

Yuda Asmara, “Kedudukan SEMA Terhadap Suatu Undang-Undang”,


https://www.hukumonline.com/klinik/a/kedudukan-sema-terhadap-suatu-
undang-undang-lt5da3d5db300a9

Peraturan Perundang-undang :

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang


Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan ,dan Jalan


Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


undangan.

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Petunjuk Bagi Hakim
Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Yang
Berbeda Agama dan Kepercayaan.

Anda mungkin juga menyukai