Anda di halaman 1dari 8

Lex Administratum, Vol. V/No.

2/Mar-Apr/2017

HAPUSNYA HAK MENUNTUT DAN seorang tersebut. Hal tidak dapatnya penuntut
MENJALANKAN PIDANA MENURUT umum untuk menuntut kemudian juga hakim
PASAL 76 KUHP1 kemudian tidak dapat mengadili, itu disebabkan
oleh : Jesica Pricillia Estefin Wangkil2 karena terdapatnya keadaan-keadaan yang
telah membuat tindakan atau perbuatan dari
ABSTRAK seseorang tersebut menjadi tidak bersifat
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melawan hukum ataupun juga bahwa pelaku
mengetahui hal-hal apa yang menyebabkan tersebut tidak dapat dipersalahkan atas
hapusnya hak untuk menuntut pidana dan perbuatan yang sudah dilakukannya karena
alasan-alasan apa yang menyebabkan hapusnya pada diri si pelaku tidak terdapat unsur
hak untuk menjalankan pidana. Dengan kesalahan.
menggunakan metode penelitian yuridis Keadaan-keadaan tertentu, pelaku tindak
normatif, maka disimpulkan: 1. Hal-hal yang pidana tidak dapat berbuat lain yang berujung
menghapuskan hak untuk menuntut pidana pada terjadinya tindak pidana, sekalipun
diatur dalam KUHP dan UUD 1945 yaitu dalam sebenarnya tidak dinginkan. Sehingga tidak
Pasal 76 sampai dengan Pasal 82 KUHP tentang pada tempatnya apabila masyarakat masih
nebis in idem, matinya terdakwa, daluwarsa mengharapkan kepada yang bersangkutan atau
dan penyelesaian di luar proses pengadilan si pelaku untuk berada pada jalur yang
berupa tindak pidana pelanggaran dengan ditetapkan hukum. Terjadinya tindak pidana
ancaman hukuman berupa hukuman denda dan adakalanya tidak dapat dihindari oleh pembuat
dalam UUD 1945 tentang Abolisi dan Amnesti. tindak pidana, karena sesuatu yang berasal dari
2. Alasan-alasan untuk menghapuskan hak luar dirinya.3
untuk menjalankan pidana adalah sebagaimana Berbicara tentang hak menuntut, maka
diatur dalam KUHP dan UUD 1945 yaitu dalam perhatian diarahkan kepada istilah subyektief
Pasal 83, Pasal 84 dan Pasal 85 KUHP yaitu strafrecht (jus puniendi), yaitu hak dari negara,
matinya terpidana dan daluwarsanya suatu hak diwakili oleh alat-alatnya untuk menghukum
untuk menjalankan pidana dan Pasal 14 UUD seorang oknum yang melanggar hukum pidana,
1945 tentang Grasi, Amnesti dan Abolisi yang hal ini diatur dalam Pasal 76 sampai pada Pasal
merupakan hak prerogratif dari Presiden. 82 KUHP. Dalam pasal-pasal ini diatur sejumlah
Kata kunci: Hapusnya Hak, menuntut, alasan-alasan yang mengakibatkan hapusnya
menjalankan pidana kewenangan menuntut pidana oleh penuntut
umum. Sedangkan Pasal 83 sampai dengan
PENDAHULUAN Pasal 85 KUHP diatur tentang hapusnya
A. Latar Belakang kewenangan untuk menjalankan pidana oleh
Pembentuk undang-undang telah membuat seorang terpidana. Hal-hal ini perlu untuk
sejumlah ketentuan yang bersifat khusus, baik dibahas agar supaya masyarakat terutama
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terpidana dapat mengetahui apa yang menjadi
maupun di dalam perundang-undangan lainnya, hak-haknya walaupun ia adalah seorang
dimana di dalam keadaan-keadaan tertentu, terpidana agar kepastian hukum dapat
ketentuan-ketentuan pidana itu dianggap tercapai. Kepastian hukum diperlukan agar
sebagai tidak dapat diberlakukan, sehingga suatu persoalan diselesaikan dengan tuntas
penuntut umum tidak dapat untuk melakukan sehingga tidak terus menerus tergantung. Hal
penuntutan terhadap seseorang pelaku yang itu kecuali untuk menegakkan martabat aparat
dianggap telah melanggar ketentuan-ketentuan penegak hukum dengan tindakan maupun
pidana tersebut.1 Apabila menghadapi hal yang putusannya, juga untuk menjaga perasaan
demikian, yaitu penuntut umum tidak dapat aman bagi seseorang yang terlibat di dalam
melakukan penuntutan, maka dengan suatu perkara. Contohnya, seseorang yang
sendirinya hakim pun tidak dapat mengadili telah melakukan suatu pelanggaran hukum
beberapa tahun lalu dan kemudian setelah
1
Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Cornelis Dj. Massie,
3
SH. MH; Audie H. Pondaag, SH. MH Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
2
Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. Menuju Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
120711277 Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006, hlm. 118.

103
Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

sekian tahun kejadian itu baru diketahui, Nebis in idem (non bis in idem) berasal dari
apakah orang itu masih dapat dituntut di muka bahasa Latin yang berarti tidak atau jangan dua
pengadilan? Untuk itulah diperlukannya suatu kali yang sama. Dalam Kamus Hukum, Nebis in
pengaturan yang jelas dalam peraturan idem artinya suatu perkara yang sama tidak
perundang-undangan, agar kehidupan boleh lebih dari satu kali diajukan untuk
masyarakat tercipta ketenangan, keamanan diputuskan oleh pengadilan.4 Di dalam KUHP,
dan kepastian. asas ini diatur dalam Pasal 76 yang berbunyi:
(1) Kecuali dalam hal putusan hakim masih
B. Rumusan Masalah mungkin diulangi, orang tidak boleh
1. Hal-hal apa yang menyebabkan hapusnya dituntut dua kali karena perbuatan yang
hak untuk menuntut pidana? oleh hakim Indonesia terhadap dirinya
2. Alasan-alasan apa yang menyebabkan telah diadili dengan putusan yang menjadi
hapusnya hak untuk menjalankan pidana? tetap.
(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal
C. Metode Penelitian dari hakim lain, maka terhadap orang itu
Dalam penulisan Skripsi ini, penulis dan karena tindak pidana itu pula, tidak
menggunakan metode pendekatan yang tepat boleh diadakan penuntutan dalam hal:
sesuai dengan permasalahan yang telah a. putusan berupa pembebasan dari
ditentukan. Pendekatan masalah yang dipilih tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
dalam penulisan Skripsi ini adalah dengan b. putusan berupa pemidanaan dan telah
menggunakan pendekatan yuridis normatif. dijalani seluruhnya atau telah diberi
ampun atau wewenang untuk
PEMBAHASAN menjalankannya telah hapus karena
A. Hal-hal Yang Dapat Menghapuskan Hak daluwarsa.
Untuk Menuntut Pidana Dari bunyi Pasal 76 ayat (1) KUHP ini terlihat
Seseorang yang telah melakukan perbuatan bahwa asas ini mengandung arti bahwa
pidana pada dasarnya dapat dituntut di muka seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua
pengadilan untuk diadili, dan jika dalam kalinya atas dasar perbuatan yang sama,
persidangan dapat dibuktikan perbuatan terhadap mana atas perbuatan itu orang yang
pidana yang dituduhkan kepadanya, maka akan bersangkutan telah pernah diadili dan telah
diputuskan bersalah untuk dapat dijatuhkan diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan
pidana sesuai dengan ancaman pidana dari yang berwenang untuk itu di Indonesia, serta
peraturan pidana yang dilanggar. Namun putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum
demikian, dalam kenyataan hukum tidak selalu tetap.5 Azas nebis in idem ini termasuk salah
demikian adanya, karena terdapat hal-hal yang satu hak asasi manusia yang harus dilindungi
menurut hukum, hak untuk melakukan hukum dan sekaligus dimaksudkan untuk
penuntutan pidana menjadi gugur. Dasar tegaknya kepastian hukum. Bahwa seseorang
aturan hak untuk melakukan penuntutan tidak diperkenankan mendapat beberapa kali
pidana diadakan, dengan maksud aagar tercipta hukuman atas suatu tindak pidana yang
kepastian hukum bagi seseorang, sehingga dilakukannya. Apabila terhadapnya telah
terhindar dari keadaan tidak pasti atau tidak pernah diputus suatu tindak pidana baik
menentu dalam menghadapi penuntutan putusan itu berupa pemidanaan, pembebasan,
pidana. Tentang hapusnya kewenangan atau ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan
hak untuk menuntut pidana ini diatur baik putusan itu telah memperoleh keputusan
dalam KUHP maupun di luar KUHP yaitu dalam hukum yang tetap, terhadap orang tersebut
UUD 1945. tidak lagi dapat dilakukan pemriksaan,
Di dalam KUHP, mulai Pasal 76 sampai penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya
dengan Pasal 82 KUHP disebutkan bahwa ada atas peristiwa yang bersangkutan.
empat hal yang dapat menggugurkan
penuntutan pidana yaitu: 4
Alfitra, Op-Cit, hlm. 134.
1. Nebis in idem 5
Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan
Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 437.

104
Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

penuntutan dan pemeriksaan di sidang


2. Tersangka meninggal dunia pengadilan, segera saja dihentikan demi
Pasal 77 KUHP menentukan bahwa: hukum, karena undang-undang
“Kewenangan menuntut pidana hapus, jika mengamanatkan demikian. Sehubungan
terdakwa meninggal dunia.”6 Ketentuan ini dengan hapusnya kewenangan untuk
adalah sebagai konsekuensi dari sifat pidana melakukan penuntutan karena
yang hanya didasarkan atas kesalahan diri terdakwa/tersangka meninggal dunia, berikut
pribadi seorang manusia. Artinya harus ini contoh kasus yang mendapatkan putusan
dianggap bahwa hanya seorang pribadi itu dari Mahkamah Agung:
sendirilah yang harus bertanggung jawab. Putusan Mahkamah Agung Nomor:
Kesalahan hanya dapat dituntut dari seseorang 29/K/Kr/1974 tanggal 19 Nopember 19748
yang melakukan perbuatan pidana yang masih memutuskan: hak untuk menuntut hukuman
hidup. Dengan meninggalnya tersangka, gugur karena tertuduh meninggal dunia, oleh
dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. karena mana permohonan kasasi dari jaksa
Hal ini sesuai dengan prinsip hukum yang dinyatakan tidak dapat diterima.
berlaku universal pada abad modern, yakni
kesalahan tindak pidana yang dilakukan oleh 3. Daluwarsa atau Lampau Waktu
seseorang adalah menjadi tanggung jawab Apabila suatu tindak pidana oleh karena
sepenuhnya dari pelaku yang bersangkutan. beberapa hal tidak diselidik dalam waktu yang
Prinsip hukum ini adalah penegasan agak lama, maka masyarakat tidak begitu ingat
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, lagi kepada peristiwa tindak pidana tersebut,
yang mengajarkan bahwa tanggung jawab sehingga seakan-akan tidak begitu dirasakan
seseorang dalam hukum pidana, hanya perlunya dan manfaatnya menjatuhkan
ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya. hukuman kepada si pelaku. Hal ini terutama
Tanggung jawab itu tidak dapat dialihkan berlaku bagi tindak-tindak pidana yang ringan,
kepada ahli waris. Dengan meninggalnya yaitu golongan pelanggaran seluruhnya dan
tersangka, penyidikan dengan sendirinya golongan kejahatan yang diancam dengan
berhenti dan hapus menurut hukum. hukuman kurungan, terlebih hukuman denda.9
Penyidikan dan pemeriksaan tidak dapat Untuk kasus-kasus yang demikian, maka apabila
dialihkan kepada ahli waris. Di dalam ilmu lebih lama pengusutuan tidak dilakukan, maka
pengetahuan hukum pidana, akan mengakibatkan lebih sulit lagi untuk
pertanggungjawaban pidana itu adalah mendapatkan bukti-bukti yang cukup apabila
pertanggungjawaban personal atau individual, kemudian tersangka/terdakwa tidak mengakui
artinya tidak bisa dibebankan kepada orang akan perbuatannya.
lain.7 Pertanggungjawaban dalam hukum Dengan dasar pertimbangan hal-hal yang
pidana memang berbeda dengan demikian, maka pembentuk undang-undang
pertanggungjawaban dalam hukum perdata, dalam hal ini KUHP dalam Pasal 78 menentukan
dimana dalam hukum eprdata mengenal bahwa : “kewenangan menuntut pidana hapus
pengalihan pertanggungjawaban terhadap ahli karenaa daluwarsa.” Ketentuan tentang
waris. Daluwarsa di dalam KUHP diatur mulai Pasal 78
Menjadi satu pertanyaan, bagaimanakah sampai dengan Pasal 81 KUHP. Dalam bahasa
apabila tersngka/terdakwa meninggal dunia Belanda, daluwarsa dikenal dengan istilah
pada saat penyidikan belum selesai? Untuk hal ‘verjaring’. Yang dimaksud dengan verjaring,10
yang demikian, sebagaimana sudah ditetapkan adalah : pengaruh dari lampau waktu yang
oleh peraturan perundang-undangan bahwa diberikan oleh undang-undang untuk menuntut
kewenangan untuk menuntut pidana hapus seorang tertuduh dalam perbuatan pidana.
sejak tersangka/terdakwa meninggal dunia,
maka tentu saja dalam proses pemeriksaan B. Alasan-alasan Penghapusan Hak Untuk
tingkatan apapun baik itu penyidikan, Menjalankan Pidana

6 8
KUHAP dan KUHP, Op-Cit, hlm. 30. Alfitra, Op-Cit, hlm. 149.
7 9
Djisman Samosir, Segenggam tetang Hukum Acara Wirjono Prodjodikoro, Op-Cit, hlm. 168.
10
Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 108. I Made Widnyana, Op-Cit, hlm. 326.

105
Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Alasan terpidana untuk tidak menjalani atau dibebankan kepada orang lain untuk
pidana yang telah dijatuhkan oleh pengadilan menjalaninya yaitu ahli warisnya, tetapi untuk
adalah merupakan penerapan hukum terhadap pidana tambahan berupa pidana denda dan
seorang yang telah dijatuhi sanksi pidana pada pidana perampasan barang-barang, hal ini bisa
suatu saat harus dihentikan. sebenarnya dijalankan oleh terpidana sebelum
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum ia meninggal dunia, sebab untuk pidana
Pidana (KUHP), hapusnya hak untuk tambahan berupa pidana perampasan barang-
menjalankan pidana atau kewenangan barang maka, barang-barang tersebut sudah
menjalankan pidana dapat hapus, dapat terjadi disita terlebih dahulu pada saat proses
karena beberapa hal, yaitu: pemeriksaan, jadi dapat langsung dilakukan
1. Matinya terdakwa (Pasal 83 KUHP) eksekusi bila terpidana meninggal dunia. Untuk
Dalam Pasal 83 KUHP ditentukan bahwa: pidana denda, pengadilan dapat melakukan
“Kewenangan menjalankan pidana hapus jika penyitaan ataupun menuntut pembayaran atas
terpidana meninggal dunia.” Matinya terpidana denda yang dijatuhkan, kecuali pidana denda
sebagai alasan penghapusan untuk yang dijatuhkan digantikan dengan pidana
menjalankan pidana berpijak pada sifat pribadi kurungan karena terpidana tidak sanggup untuk
pertanggung jawaban dalam hukum pidana dan membayarnya. Sebab pidana denda yang
pembalasan dari suatu pidana. Pada dasarnya dijatuhkan sangat bermanfaat sebagai sumber
yang harus menanggung akibat dari suatu pendapatan negara, dan ini tentunya dapat
tindak pidana adalah orang yang berbuat atau dibebankana pada harta benda terpidana yang
pelaku dan tidak pada orang lain. Hukum ditinggalkan pada keluarganya, demikian pula
pidana tidak mengenal pengalihan dengan pidana perampasan barang-barang
pertanggungjawaban, yang melakukan tindak yang dapat ditetapkan untuk menjadi milik
pidana yang harus bertanggungjawab terhadap negara.
akibat yang terjadi dan harus menjalani
hukuman yang dijatuhkan. Namun pada saat 2. Kadaluwarsa (Pasal 84-85 KUHP)
pelaku atau yang berbuat tindak pidana Pasal 84 ayat (1) KUHP menentukan :
meninggal dunia maka seacara praktis pidana “kewenangan menjalankan pidana hapus
tidak dapat dijalankan lagi. Memang dapat karena kadaluwarsa.” Ketentuan dalam Pasal
dimengerti bahwa seorang terpidana yang telah 84 ayat (1) KUHP ini berarti bahwa kewajiban
dijatuhi pidana oleh pengadilan, sebelum terpidana untuk menjalani atau melaksanakan
terpidana menjalani pidana dan kemudian pidana yang telah dijatuhkan kepadanya
meninggal dunia, maka dengan sendirinya menjadi hapus setelah lewat waktu tertentu.
kewajiban untuk menjalani pidana itu menjadi Ketentuan lewatnya waktu tertentu yang
gugur. menyebabkan hapusnya kewenangan negara
Apabila terdakwa meninggal dunia setelah untuk menjalankan pidana, berlatar belakang
kepadanya dijatuhi hukuman drngan putusan pada kepastian hukum baik bagi terpidana
hakim yang mempunyai kekuatan tetap maupun bagi negara.
(gewijsde), maka menurut Pasal 83 KUHP Suatu pemidanaan yang telah dijatuhkan
gugurlah (verwalt) hak untuk menjalankan kepada seorang terpidana namun dalam waktu
hukumannya, termasuk hukuman tambahan yang sekian lama tidak juga dapat dijalankan
seperti perampasan barang-barang.11 kepada terpidana, tidaklah dapat dibenarkan
Sebenarnya penulis tidak sependapat dengan sebab kalau keadaan ini terus berlangsung
Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa maka tidak ada kepastian hukum. Keadaan ini
gugurnya hak menjalankan pidana selain pidana tentunya membawa suatu situasi yang tidak
pokok juga pidana tambahan. Karena pidana baik yang menderitakan bagi terpidana, sangat
pokok yang berupa pemidanaan atau pidana mengganggu ketenangan hiupnya bahkan
penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa merupakan suatu penderitaan batin, oleh
dengan putusan hakim yang sudah berkekuatan karena itu pada waktu tertentu harus diakhiri.
hukum yang tetap itu tidaklah dapat dialihkan Menjalani pidana bagi terpidana di dalam sel di
lembaga pemasyarakatan tentunya merupakan
11
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di suatu penderitaan yang tidak diinginkan oleh
Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2014, hlm. 167.

106
Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

terpidana, itu sebabnya lampau waktu untuk a. Untuk kejahatan yang diancam dengan
menjalankan pidana haruslah ditentukan untuk pidana denda, pidana kurungan atau pidana
adanya kepastian hukum bagi terpidana itu penjara paling lama 3 (tiga) tahun, maka
sendiri. Demikian pula bagi negara, dengan tenggang daluwarsanya adalah 8 (delapan)
berakhirnya hak negara untuk menjalankan tahun, (6 tahun ditambah dengan
pidana, maka dapat diakhiri pula kewajibannya sepertiganya);
untuk melaksanakan pidana terhadap terpidana b. Untuk kejahatan yang diancam dengan
yang sudah sekian lama tidak dapat dijalankan. pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahun,
Dalam Pasal 84 ayat (2) KUHP diatur tentang maka tenggang daluwarsanya adalah
tenggang waktu untuk menjadi daluwarsa atau sesudah 16 (enam belas) tahun, (12 tahun
lewat waktunya kewenangan untuk ditambah sepertiganya).13 Menurut penulis,
menjalankan pidana, dan untuk semua tindak tenggang waktu ini adalah relevan dengan
pidana tidaklah sama daluwarsanya. Pasal 84 tuntutan pidana yang harus dijalankan oleh
ayat (2) KUHP menentukan sebagai berikut: terpidana, walaupun ancaman pidananya
a. Mengenai semua pelanggaran, lamanya hanyalah 3 (tiga) tahun atau lebih dari tiga
adalah 2 (dua) tahun; tahun.
b. Mengenai kejahatan yang dilakukan dengan Selain ketentuan dalam Pasal 84 ayat (2)
menggunakan sarana percetakan, lamanya KUHP, ketentuan hapusnya hak untuk
adalah 5 (lima) tahun; menjalankan pidana karena kadaluwarsa juga
c. Mengenai kejahatan-kejahatan lainnya, diatur dalam Pasal 78 ayat (2) KUHP, yang
lamanya sama dengan tenggang daluwarsa menentukan bahwa untuk orang yang pada
bagi penuntutan pidana ditambah dengan saat melakukan perbuatan pidana, umurnya
sepertiga. belum delapan belas tahun, masing-masing
Berdasarkan ketentuan Pasal 84 KUHP, tenggang daluwarsa dikurangi menjadi
pelaksanaan pidana menjadi gugur karena sepertiga. Ketentuan Pasal 78 ayat (2) KUHP ini
daluwarsa jika pidana yang dijatuhkan kepada sebenarnya mengatur tentang hapusnya
terpidana bukan pidana atau hukuman mati. kewenangan untuk menuntut pidana, namun
Bagi terpidana yang dijatuhi pidana atau menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa
hukuman mati, maka aturan mengenai ketentuan ini juga berlaku bagi hapusnya
daluwarsa sebagai alasan penghapusan kewenangan untuk menjalankan pidana khusus
menjalankan pidana tidaklah dapat bagi orang yang belum berusia delapan belas
diberlakukan. Bagaimana dengan terpidana tahun pada saat melakukan perbuatan pidana.
yang dijatuhi pidana atau hukuman seumur Untuk terpidana yang dijatuhkan putusan
hidup, bagaimana tenggang waktu hukuman mati, maka hak negara untuk
daluwarsanya? Ternyata KUHP tidak menjalankan pidana mati tidak dibatasi oleh
mengaturnya.ini merupakan kelemahan dari lampaunya waktu (Pasal 84 ayat (4) KUHAP).
KUHP.12 Aturan tentang tidak adanya tenggang Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
waktu daluwarsa bagi terpidana mati sudahlah berlaku sepanjang terpidana masih hidup,
tepat, karena pidana atau hukuman mati tetapi jika secara pasti terpidana sudah
haruslah dijalankan oleh terpidana karena meninggal saat berada dalam selnya di lembaga
kejahatan yang dilakukan oleh terpidana sangat pemasyarakatan, maka hak menjalankan
meresahkan masyarakat dan akibat dari pidana menjadi hapus.
perbuatan terpidana sungguh tidak bisa Penghitungan daluwarsa dimulai pada saat
ditolerir lagi oleh hukum. Contoh kasus keesokan hari sesudah putusan hakim dapat
pembunuhan dengan mutilasi, merupakan dijalankan atau dilaksanakan. Dari ketentuan
suatu perbuatan yang sangat tidak berperi penghitungan daluwarsa ini maka sebagai
kemanusiaan. contoh:
Menurut Adam Chazawi, penghitungan A melakukan tindak pidana perkosaan (Pasal
tenggang daluwarsa untuk kejahatan-kejahatan 285) yang diancam dengan pidana penjara
lainnya adalah: maksimal 12 tahun. A kemudian disidang dan

12 13
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Raja Grafindo
Jakarta, 2012, hlm. 210. Persada, Jakarta, 2005, hlm. 191.

107
Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

diputus pidana penjara 10 tahun oleh hakim sebagai anugerah yang dimiliki oleh raja. Akan
pada tanggal 1 Januari 2010. Sebelum tetapi saat ini grasi merupakan suatu alat untuk
menjalankan pidana, A kemudiaan melarikan menghapuskan sesuatu yang dirasakan tidak
diri. Bagi A, batas tenggang waktu daluwarsa adil jika hukum yang berlaku mengakibatkan
untuk tidak menjalankan pidana penjara adalah timbulnya ketidakadilan.15 Grasi berarti ampun,
kadaluwarsa penuntutan ditambah 1/3, jadi ampunan atau pengampunan yang diberikan
hitungannya adalah 12 tahun + (1/3 x 12 tahun) oleh Kepala Negara yaitu Presiden, hanya
= 16 tahun. Untuk dapat bebas dari kewajiban Presiden saja yang berhak memberikan grasi
menjalankan pidana penjara sesuai dengan kepada orang yang telah dijatuhi pidana oleh
tuntutan atau pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.
hakim, maka A harus berhasil melarikan diri Ketentuan khusus mengenai Grasi diatur
selama 16 tahun barulah A tidak akan lagi dalam UU Nomor 5 Tahun 2010 yang
menjalani pidana penjaranya karena sudah menggantikan UU Nomor 22 Tahun 2002
daluwarsa. Dengan demikian A baru bisa tentang Grasi. Grasi dapat berupa:
kembali dari pelariannya setelah tanggal 1 a. peringanan atau perubahan jenis pidana;
Januari 2020. b. pengurangan jumlah pidana; atau
Ketentuan tentang alasan-alasan c. penghapusan pelaksanaan pidana.16
penghapusan untuk menjalankan pidana Dari apa yang diatur dalam UU No. 5 Tahun
sebagaimana yang diatur dalam KUHP, oleh 2010 tentang Grasi maka grasi ternyata tidak
Teguh Prasetyo ditambahkan dengan menghilangkan putusan hakim yang
ketentuan ‘nebis in idem’. Alasan beliau bersangkutan, tetapi pelaksanaannya
bahwa, nebis in idem sebagai salah satu alasan dihapuskan atau dikurangi. Dengan demikian
hapusnya hak untuk menuntut adalah jika maka menurut penulis, grasi itu juga dapat
perkaranya telah diadili dan diputus dengan berupa tidak mengeksekusi seluruhnya, hanya
putusan yang menjadi tetap. Dengan demikian mengeksekusi sebagian saja dari pidananya
yang dimaksud dengan putusan tetap tidaklah atau hukumannya dan mengganti jenis pidana
sama dengan maksud dari ‘in kracht van atau hukuman dari terpidana.
gewijsde’, yaitu bila putusan itu tidak dapat lagi Pihak yang dapat mengajukan permohonan
dibantah melalui upaya hukum seperti verzet, grasi adalah terpidana atau pihak lain yang
banding maupun kasasi.14 Apa yang dikatakan mendapat persetujuan dari terpidana. Pasal 2
oleh Teguh Prasetyo tentang nebis in idem ayat (2) UU No. 5 Tahun 2010 tentang
sebagai salah satu alasan untuk menghapuskan Permohonan Grasi menentukan bahwa jika
hak untuk menjalankan pidana, menurut orang yang dihukum pidana tidak mengajukan
penulis ada benarnya juga karena nebis in idem grasi, hakim atau Ketua Pengadilan Negeri
dalam alasan untuk menuntut pidana biasanya harus mengajukan grasi karena jabatan.17
terjadi pada pemeriksaan tingkat pertama Menurut penulis, ketentuan permohonan grasi
bukan pada pemeriksaan pada tahap tidak ada oleh Ketua Pengadilan Negeri merupakan suatu
lagi upaya hukum yang dapat digunakan, hal yang memang menjadi hak dari terpidana,
putusan hakim adalah merupakan suatu terlebih bila terpidana selama berada di
putusan yang sudah final. lembaga pemasyarakatan ternyata melakukan
Diluar ketentuan KUHP, hapusnya hak perbuatan-perbuatan baik dan menunjukkan
menjalankan pidana juga diatur dalam Pasal 14 perilaku yang baik.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yaitu: Ketentuan permohonan grasi sebagaimana
1. Pemberian grasi dari Presiden. diatur dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 2010
Grasi adalah wewenang dari kepala negara selengkapnya berbunyi sebagai berikut:
untuk menghapuskan seluruh pidana yang telah (1) Terhadap putusan pengadilan yang telah
dijatuhkan hakim atau mengurangi pidana, atau memperoleh kekuatan hukum tetap,
menukar hukum pokok yang berat dengan
suatu pidana yang lebih ringan. Secara historis,
grasi merupakan hak raja, sehingga dianggap
16
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, edisi revisi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm. 201.
14 17
Ibid, hlm. 202. Alfitra, Op-Cit, hlm. 162.

108
Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

terpidana dapat mengajukan permohonan Pasal 1 yang berbunyi: “Presiden atas


grasi kepada Presiden. kepentingan negara dapat memberikan
(2) Putusan pengadilan yang dapat amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang
dimohonkan grasi sebagaimana dimaksud melakukan sesuatu tindak pidana.”18 Apa yang
dalam ayat (1) adalah pidana mati, pidana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 ini adalah
penjara seumur hidup, atau pidana penjara merupakan hak prerogatif dari Presiden yang
paling rendah dua tahun. dapat diberikan oleh Presiden kepada orang-
(3) Permohonan grasi sebagaimana yang orang yang melakukan sesuatu tindak pidana.
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat Dalam memberikan amnesti dan abolisi, maka
diajukan 1 kali. Presiden harus mendapat nasehat tertulis dari
Prinsip pemberian grasi sebenarnya adalah Mahkamah Agung yang dimintakan oleh
bahwa grasi itu diberikan pada orang yang telah Menteri Kehakiman.
dipidana dengan putusan yang telah Amnesti adalah pengampunan dari Presiden
mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan yang mengapuskan semua akibat hukum
mengajukan grasi berarti dari sudut hukum, pidana bagi orang-orang yang telah melakukan
terpidana memang telah dinyatakan bersalah suatu tindak pidana. Amnesti ini dapat
dan sementara menjalani hukuman di lembaga diberikan kepada seorang yang telah
pemasyarakatan. Pemberian grasi tidak melakukan tindak pidana, baik sebelum
membatalkan putusan pemidanaan hakim, maupun sesudah adanya putusan pengadilan.
tetapi terpidana mendapatkan ampunan untuk Abolisi merupakan pengampunan dari Presiden
kejahatan yang sudah dilakukannya. Pemberian yang dapat menghapuskan penuntutan kepada
grasi itu sifatnya adalah memberikan pelaku tindak pidana. Abolisi ini hanya dapat
pengampunan dan tidak dapat menghilangkan diberikan kepada pelaku tindak pidana sebelum
atau meniadakan kesalahan terpidana. ada putusan pengadilan. Amnesti dan abolisi ini
Pemberian grasi hanyalah sekedar mengoreksi adalah merupakan kewenangan Presiden
substansi pertimbangan pidana yang sebagai Kepala Negara.
dijatuhkan, tidak mengoreksi pertimbangan
pokok perkaranya. Pemberian grasi biasanya PENUTUP
diberikan oleh pemerintah pada HUT A. Kesimpulan
Kemerdekaan Republik Indonesia yaitu setiap 1. Hal-hal yang menghapuskan hak untuk
tanggal 17 Agustus. Pemberian grasi menurut menuntut pidana diatur dalam KUHP dan
pemerintah adalah merupakan hak narapidana UUD 1945 yaitu dalam Pasal 76 sampai
sesuai prosedur hukum. dengan Pasal 82 KUHP tentang nebis in
Undang-undang tidak secara eksplisit idem, matinya terdakwa, daluwarsa dan
merinci alasan-alasan diberikannya grasi. Oleh penyelesaian di luar proses pengadilan
Utrecht disebutkan bahwa, biasanya alasan berupa tindak pidana pelanggaran
pemebrian grasi adalah karena kepentingan dengan ancaman hukuman berupa
keluarga dari terpidana, terpidana pernah hukuman denda dan dalam UUD 1945
berjasa kepada Negsra, terpidana menderita tentang Abolisi dan Amnesti.
penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan 2. Alasan-alasan untuk menghapuskan hak
terpidana berkelakuan baik selama berada di untuk menjalankan pidana adalah
lembaga pemasyarakatan dalam menjalani sebagaimana diatur dalam KUHP dan
hukumannya dan memperlihatakan bahwa UUD 1945 yaitu dalam Pasal 83, Pasal 84
terpidana insyaf atas kesalahan yang sudah dan Pasal 85 KUHP yaitu matinya
dilakukannya. terpidana dan daluwarsanya suatu hak
untuk menjalankan pidana dan Pasal 14
2. Pemberian Amnesti dan Abolisi dari Presiden UUD 1945 tentang Grasi, Amnesti dan
Di dalam Pasal 14 UUD 1945 disebutkan Abolisi yang merupakan hak prerogratif
bahwa Presiden memberi grasi, amnesti dan dari Presiden.
abolisi dan rehabilitasi. Ketentuan ini juga
diatur dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun
1954, Lembaran Negara No. 146 Tahun 1954
18
Ibid, hlm. 161.

109
Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

B. Saran Prajudi, Guse., Beberapa Aspek Tindak Pidana


Untuk terciptanya kepastian hukum dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
masyarakat terutama bagi seseorang yang Merkidd Press, Yogyakarta, 2008.
didakwa/disangka melakukan suatu tindak Prakoso, Djoko., Tindak Pidana Penerbangan di
pidana, maka hal-hal atau alasan-alasan yang Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
menghapuskan penuntutan bagi Sudarto., Hukum Pidana Jilid IA dan IB, Fakultas
tersangka/terdakwa oleh penuntut umum Hukum UNSOED Purwokerto, 1990.
ataupun untuk menjalankan pidana oleh Sianturi, S.R., Asas-Asas Hukum Pidana di
terpidana, haruslah diberitahukan dengan Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-
sejelas-jelasnya kepada penuntut umum PTHM, Jakarta, 1989.
maupun tersangka/terdakwa apabila memang Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji.,
bahwa perkara tersebut tidak layak lagi untuk Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan
diteruskan penuntutannya apalagi untuk Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
menjalankan hukuman yang sudah diputuskan 2003.
oleh hakim untuk dijalani oleh terpidana. Samosir, Djisman., Segenggam Tentang Hukum
Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013.
DAFTAR PUSTAKA Widnyana, I Made., Asas-Asas Hukum Pidana,
Ali, Mahrus., Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Fikahati Aneska, Jakarta, 2010.
Grafika, Jakarta, 2012.
Alfitra., Hapusnya Hak Menuntut dan SUMBER LAIN:
Menjalankan Pidana, Raih Asa Sukses, Indonesia, KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012. Jakarta, 2013.
Abdulssalam, H.R. dan D.P.M. Sitompul., Sistem Putra Prima Perdana, Napi Kasus Pembunuhan
Peradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, Tewas di Lapas Sukamiskin, sumber:
2007. http//kompas.com/napi-kasus-pembunuhan-
Chazawi, Adam., Pelajaran Hukum Pidana, tewas-dilapas-sukamiskin/,diakses
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005. tanggal 21 April 2016 dari
Huda, Chairul., Dari Tiada Pidana Tanpa knowledges.blogspot.co.id.
Kesalahan Menuju Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan, Kencana, Jakarta, 2006.
Harahap, Yahya., Pembahasan, Permasalahan,
Penerapan KUHAP; Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier
Indonesia, Armico, Bandung, 1984.
Muladi dan Barda Nawawi Arief., Teori-Teori
dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1984.
....................................................., Pidana dan
Pemidanaan, Badan Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, Semarang,
1984.
Maramis, Frans., Hukum Pidana Umum dan
Tertulis di Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2013.
Prodjodikoro, Wirjono., Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2014.
Prasetyo, Teguh., Hukum Pidana, edisi revisi,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2013.

110

Anda mungkin juga menyukai