bangsa kolonial. Penjajahan yang dialami bangsa Indonesia tentu telah membuat masyarakat
Indonesia menderita. Namun dari penderitaan akibat penjajahan yang panjang tersebut, pada
sisi lain telah memberikan dampak positif dalam membangun dasar filosofi negara
(filosofiche grondslag). Dasar filosofi negara tersebut telah tertuang dalam 5 (lima) rumusan
yang dikenal dengan Pancasila. Dalam konteks penjajahan yang dialami bangsa Indonesia,
hal utama yang kerap dialami bangsa terjajah adalah sikap dan perilaku yang merendahkan
kemanusiaan telah menginspirasi lahirnya filosofi bangsa bahwa prinsip kemanusiaan harus
ditempatkan secara adil dan beradab. Untuk itu kemerdekaan menjadi pilihan yang bersifat
mutlak, dan pendirian suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan atas
kekuasaan semata (machtstaat), menjadi pilihan yang tak terelakan dalam rangka menjaga
hukum sebagai implementasi dari prinsip negara hukum terus disusun dan dikembangkan.
Berbekal dari pengalaman atas perilaku yang tidak manusiawi oleh bangsa penjajah, aspek
kemanusiaan (humanity) atau yang saat ini lebih dikenal dengan hak asasi manusia menjadi
perhatian utama dalam pembangunan hukum di Indonesia. Dalam konteks bidang hukum
pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diundangkan melalui
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Lembaran Negara 1981/76 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3209), oleh berbagai kalangan pada masanya dianggap sebagai suatu karya
“master piece” anak bangsa dalam rangka proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Salah satu materi muatan yang diatur dalam KUHAP yang dianggap memberikan suatu
perbaikan dalam rangka memberikan perlindungan hak asasi warga negara adalah diaturnya
1
mekanisme praperadilan. Konsep praperadilan dalam KUHAP hakikatnya merupakan
mekanisme bagi seseorang untuk menuntut legalitas perampasan hak atas kemerdekaan
dirinya, akibat proses penahanan oleh aparatur penegak hukum (kepolisian atau kejaksaan)
atas suatu peristiwa tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Konsep praperadilan dalam
KUHAP ini, tak dapat dipungkiri terinspirasi dari Habeas Corpus Act dalam sistem peradilan
Anglo Saxon.1 Habeas Corpus Act sendiri merupakan sebuah statuta yang lahir pada tahun
1679 pada masa pemerintahan Raja Charles II. Jika ditelusuri secara historis, Habeas Corpus
Act juga diilhami oleh Magna Charta 1215 yang menyatakan, “…that no person may be
deprived of life, liberty or property unlesss by a fundamentally rational law (substantive due
dalam Magna Charta tersebut secara tegas menyaratkan adanya fundamentally rational law
dan fair process sebagai syarat untuk dapat dilakukan pembatasan hak asasi seseorang
(deprived of human right). Dengan demikian pengurangan terhadap hak asasi seseorang harus
dimuat dalam pengaturan hukum acara sebagai bagian dari due process of law.
Meski mula kelahirannya konsep ini dianggap sudah ideal untuk memberikan
perlindungan hak asasi bagi seorang tersangka atau terdakwa dalam hal dikenakan tindakan
upaya paksa (dwang meddelen), namun melihat sifat limitatif yurisdiksi praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP di atas, tidak semua tindakan upaya paksa dapat
diuji keabsahannya dalam sidang praperadilan. Tindakan upaya paksa dimaksud antara lain
1
Lihat Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris (Beberapa Pemikiran
Mengenai Keduanya)”, Newsletter KHN, 2002, tanpa halaman.
2
Barnabas, D Johnson www.jurlandia.am/dueprocess.htm.
2
adalah penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat-surat. Padahal, terhadap tindakan
upaya paksa ini, mungkin saja terdapat pelanggaran hak asasi. Semisal dalam proses
penggeledahan rumah, jika hal tersebut dilakukan dengan sewenang-wenang, maka tindakan
penggeledahan rumah yang dilakukan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap
ketentraman kediaman seseorang yang merupakan bagian dari hak privatnya. Contoh lain
adalah dalam penggeledahan badan. Jika hal tersebut dilakukan dengan cara yang
kehormatan, harkat, dan martabat seseorang. Begitu pula terhadap penyitaan. Jika hal tersebut
sebagai suatu pelanggaran yang serius terhadap hak kepemilikan. Ketiga contoh di atas
pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G
ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak
atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”. Dengan tidak diaturnya ketiga objek tindakan upaya paksa di atas
dalam Pasal 77 KUHAP tersebut, maka secara normatif tidak terbuka ruang hukum bagi
pihak yang merasa dirugikan akibat dikenakan tindakan upaya paksa dimaksud dalam forum
pengadilan.
praperadilan sebagaimana termuat dalam Pasal 77 KUHAP, praktik penegakan hukum dalam
sidang praperadilan untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara bagi
seseorang yang dikenakan penahanan atau penangkapan sesuai dengan yurisdikisi Pasal 77,
juga cenderung masih sangat lemah. Dalam praktik, hakim praperadilan lebih cenderung
3
memeriksa kelengkapan formal semata dalam dua tindakan upaya paksa dimaksud,
dibandingkan dengan memeriksa dan menilai apakah seseorang tersangka yang diduga keras
melakukan tindak pidana, telah dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau
dalam konteks dilakukannya penahahan, tidak dilakukan penilaian secara konkrit perihal
adanya alasan yang kuat bahwa seorang tersangka akan melarikan diri, menghilangkan
barang bukti, maupun mengulangi perbuatannya.3 Hakim praperadilan, secara umum hanya
kewenangan untuk itu. Dengan demikian, menjadi sulit bagi seorang tersangka untuk
negara akibat Pasal 77 KUHAP yang bersifat limitatif, selain hal-hal yang telah diterangkan
di atas yaitu, tentang penetapan seseorang sebagai tersangka. Meskipun hal ini bukan
persoalan baru dalam praktik penegakan hukum di tanah air, namun karena pemberitaan yang
sedemikian masif, persoalan penetapan tersangka menjadi topik hangat yang kerap
mengundang diskusi. Beberapa isu hukum yang sering menjadi topik pembicaraan dalam
penetapan tersangka antara lain, seputar ketiadaan batas waktu status tersangka (dalam
konteks tidak dilakukan penahanan) pasca ditetapkannya seseorang sebagai tersangka hingga
pelimpahan perkara ke persidangan, pemulihan hak bagi tersangka yang ditetapkan secara
3
Lihat Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
4
Jakarta Selatan pada hari Senin tanggal 16 Februari 2015 dalam Perkara Nomor:
Drs. Budi Gunawan, SH., Msi. Salah satu objek yang diputus dalam perkara tersebut adalah,
masuk ke dalam ruang lingkup objek yang dapat diadili dalam sidang praperadilan. Meski
putusan ini bukan putusan pertama yang mengabulkan dengan membatalkan penetapan
tersangka melalui sidang praperadilan4, putusan ini menuai kontroversi dan mendapat
perhatian yang luas dari publik. Salah satu bentuk kontroversi yang mengundang perdebatan
adalah bahwa yurisdiksi praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, tidak
sama sekali mengatur ‘penetapan tersangka’ sebagai objek praperadilan. Namun, untuk
menerobos limitasi objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, dalam
perkara a quo dipertimbangkan bahwa, hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena
ketiadaan hukum yang mengaturnya, bahkan seorang hakim memiliki kewajiban untuk
menggali norma-norma hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, untuk mencapai
keadilan terhadap perkara yang dihadapinya. Lebih lanjut dalam pertimbangan perkara
tersebut dikemukakan bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala
tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan, termasuk dalam kategori tindakan upaya
paksa karena telah menggunakan label “Pro Justisia”. Pokok pertimbangan hukum ini yang
menjadi dasar bagi Hakim perkara a quo untuk memperluas yurisdiksi objek praperadilan
sebagaimana diatur dalam Pasal 77 yang semula tidak memuat ‘penetapan tersangka’ sebagai
objek perkaranya.5
4
Sebelumnya terdapat Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam
Perkara Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel atas nama Bachtiar Abdul Fatah yang membatalkan penetapan
tersangka.
5
Lihat Putusan Perkara Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., hlm. 221-226.
5
penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan, namun karena sistem hukum di
Indonesia tidak mengenal asas preseden, maka putusan dalam perkara dimaksud, tidak
mengikat bagi hakim praperadilan lainnya. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama pasca
putusan tersebut dikeluarkan, bahkan dalam lingkup pengadilan yang sama (Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan), putusan praperadilan menjadi sangat bervariasi. Setidaknya terdapat
empat perkara praperadilan yang diajukan, ditolak oleh hakim atau gugur karena sidang
Putusan praperadilan yang bervariasi disebabkan antara lain karena sebagian hakim
masih tetap berpandangan bahwa yurisdiksi praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77
KUHAP adalah ketentuan yang bersifat limitatif, dan hakim tidak diperkenankan untuk
menerobos hukum acara pidana karena bukan merupakan kewenangannya. Hal tersebut
yang dibacakan pada tanggal 14 April 2015, dengan salah satu amar putusan menolak
tersebut dibacakan hanya berselang kurang dari dua bulan pasca Putusan Nomor:
“Menimbang, bahwa dengan mengacu kepada pasal-pasal tersebut diatas 8 telah jelas
dan tegas diatur wewenang yang dimiliki oleh Hakim Praperadilan dan dari
kewenangan tersebut tidak termasuk kewenangan untuk mengadili tentang
penetapan tersangka maupun tentang penyidikan yang tidak sah;
“Menimbang, bahwa Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang
menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, serta ancaman pidana yang
ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa
orang telah melakukan perbuatan pidana;
6
Keempat perkara dimaksud diajukan oleh Surya Dharma Ali, Sutan Bhatoegana, Udar Pristono,
Suroso Atmo Martoyo.
7
Putusan Perkara Nomor 18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.SEL, hlm. 118-121.
8
Dalam bagian pertimbangan sebelumnya, Hakim Perkara a quo merujuk Pasal 77, Pasal 82 ayat (1)
huruf b, Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.
6
“Menimbang, bahwa dengan tidak diaturnya kewenangan tentang penetapan
tersangka maupun tentang tidak sahnya penyidikan apakah merupakan kekosongan
hukum sehingga Hakim bisa melakukan penafsiran, analogi, penafsiran memperluas
Makna (extensive) konstruksi dan rechtfinding?”
“Menimbang, bahwa tidak diaturnya penetapan tersangka maupun tidak sahnya
penyidikan dalam KUHAP menurut Hakim Praperadilan bukanlah disebabkan
adanya kekosongan hukum. Tidak diaturnya penetapan tersangka maupun tidak
sahnya penyidikan dalam KUHAP adalah karena KUHAP sendiri sudah dengan
jelas membatasi secara limitatif obyek praperadilan. Sehingga hal-hal lain yang tidak
termuat harus dibaca bukan merupakan obyek praperadilan. Hukum acara pidana
harus dibaca sebagaimana yang tertulis secara kontekstual. Tidak dibenarkan hakim
membuka ruang interpretasi terhadap hukum acara pidana. Prinsip ini menutup
peluang hakim untuk melakukan penafsiran hukum terhadap hukum acara”;
“Menimbang, bahwa Hukum atau peraturan yang mengatur cara melaksanakan
Permohonan atau tuntutan hak merupakan aturan permainan (spelregels) dalam
melaksanakan Permohonan atau tuntutan hak tersebut. Sebagai aturan permainan
dalam melaksanakan Permohonan, maka hukum acara pidana mempunyai fungsi
yang sangat penting, oleh karenanya harus bersifat strict, fixed, correct, pasti, tidak
boleh disimpangi, dan harus bersifat imperatif (memaksa), sehingga Hakim harus
tunduk serta terikat pada hukum acaranya dan tidak boleh bebas untuk
menafsirkannya atau melakukan analogi karena analogi sering dipandang bukan lagi
bagian dari penafsiran, melainkan suatu metode konstruksi. Penafsiran yang
memperluas makna, biasanya masih diperbolehkan di dalam hukum acara pidana,
tetapi tidak dengan konstruksi yang memperluas. Apabila kita kembali ke Pasal 77
KUHAP, sebuah pemaknaan masih dianggap penafsiran yang memperluas
(ekstensif), jika hakim masih setia berpijak kepada konsep-konsep yang disebut di
dalam huruf a dan huruf b pasal 77 KUHAP, yaitu soal penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, lalu soal ganti rugi dan
rehabilitasi. Sehingga jika Hakim Praperadilan menambahkan ketentuan yang baru
sama sekali, maka seakan-akan Hakim menambah ketentuan huruf c dan d atas Pasal
77 itu yaitu soal penetapan tersangka atau tidak sahnya penyidikan dan itu berarti
Hakim Praperadilan sudah melakukan konstruksi dan telah menambahkan norma
baru di luar konsep-konsep hukum yang sudah tercantum di dalam Pasal 77
KUHAP;
sebagai berikut. Pertama, hakim secara tegas menyatakan bahwa hukum acara pidana tidak
kewenangan tersebut bukan berarti bahwa hakim dapat melakukan penafsiran dan analogi
untuk memperluas makna (extensive) tentang kewenangan praperadilan karena hukum acara
harus bersifat strict, fixed, correct, pasti, tidak boleh disimpangi, dan harus bersifat
imperatif (memaksa), sehingga Hakim harus tunduk serta terikat pada hukum acaranya dan
7
tidak boleh bebas untuk menafsirkannya. Cara pandang hakim dalam pertimbangan tersebut
di atas, mencerminkan cara pandang bahwa hakim dalam menerapkan hukum acara pidana
harus memegang teguh prinsip lex scripta, lex stricta, dan lex certa.
Pertimbangan lainnya yang memberikan konteks dan menjadi alasan hakim dalam
“.....maraknya tindak pidana dimana Indonesia yang memasuki Fase Darurat Korupsi
karena tindak pidana Korupsi terjadi hampir di semua level mulai dari jabatan paling
bawah hingga pejabat tinggi, Pengusaha, Politisi, Penegak Hukum dari nilai jutaan
rupiah hingga triliunan rupiah dan notoir feit sementara disatu sisi masih banyak
anggota masyarakat dan rakyat Indonesia berada dalam kondisi memprihatinkan
hidup di bawah garis kemiskinan dan semua hal tersebut telah dikhawatirkan oleh
pembentuk Undang-Undang akan timbulnya kerugian Negara, yang sangat besar,
dan hancurnya perekonomian negara dan sebagai dampak berikutnya adalah krisis
diberbagai bidang maka Hakim Pra Peradilan dengan memperhatikan keadilan
masyarakat harus tetap regid (teguh, kokoh), strict, fixed memagang teguh ketentuan
pasal 77 sampai dengan 95 KUHAP sebagai kompetensi dari Pra Peradilan dan tidak
akan menafsirkan, memperluas, menganalogi, mengkonstruksi, atau melakukan
rechtfinding karena ketentuan pasal 77 sampai dengan 95 KUHAP telah limitatif
tegas dan jelas”;
“menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut diatas maka permohonan Pra
Peradilan tentang penetapan tersangka dan tentang tidak sahnya penyidikan
bukanlah obyek Pra Peradilan sebagaimana diatur dalam pasal 77 sampai dengan 95
KUHAP sehingga Hakim Pra Peradilan tidak mempunyai kompetensi untuk
mengadili perkara permohonan Pra Peradilan pemohon tersebut”;
menyatakan bahwa “tindak pidana korupsi telah memasuki fase darurat”, sehingga untuk
memberikan keadilan kepada masyarakat maka hakim harus memegang teguh kepada
ketentuan Pasal 77 sampai dengan Pasal 95 KUHAP secara limitatif. Selain itu, terdapat
alasan lain bahwa jika hakim praperadilan harus memeriksa terlalu dalam terhadap bukti
permulaan yang cukup sebagaimana telah digunakan oleh penyidik untuk menetapkan
seseorang sebagai tersangka, maka hal tersebut sebenarnya sudah memasuki pemeriksaan
terhadap pokok perkara yang bukan merupakan kewenangan dari hakim praperadilan.
Dengan kondisi seperti ini, maka kepastian hukum bagi seseorang yang ditetapkan sebagai
tersangka, menjadi sulit untuk mendapatkan keadilan manakala ia menganggap bahwa dalam
8
penetapannya sebagai tersangka terdapat kesewenang-wenangan atau kekeliruan di
dalamnya.
bersinggungan dengan hak konstitusional, utamanya bagi seseorang yang ditetapkan sebagai
tersangka mengenai haknya atas kepastian dan perlindungan hukum terhadap peristiwa
pidana yang menimpanya, jika penetapannya sebagai tersangka dapat dibuktikan dilakukan
secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk itu.
Jika tidak dibuka ruang upaya hukum terhadap tindakan penetapan tersangka yang diduga
terdapat pelanggaran di dalamnya, maka hal tersebut menjadi tidak sejalan dengan cita
hukum dibentuknya KUHAP, sebagaimana tercantum dalam konsideran huruf a dan b yang
pada pokoknya menjunjung konsep negara hukum yang menjamin pelaksanaan HAM,
menuju tegaknya hukum dan keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban serta kepastian hukum dan demi terselenggaranya negara hukum sesuai
9
Terkait penggeledahan dan penyitaan, Mahkamah merujuk pada Putusan terdahulu
“...salah satu pengaturan kedudukan yang sama dihadapan hukum yang diatur dalam
KUHAP tersebut adalah adanya sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme
kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau
penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik
yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi ataupun tidak.
Adapun maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses
praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai
tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian
dibuatnya sistem praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83
KUHAP adalah untuk kepentingan pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak
tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80
KUHAP). Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik
peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan
dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela
kepentingan di dalam proses hukum...”.10
pemeriksaan surat, Mahkamah berpendapat, hal tersebut merupakan bagian dari tindakan
dasar, maka objek praperadilan yang menyangkut penetapan tersangka, penggeledahan, dan
penyitaan, menjadi sah secara hukum berada pada ruang lingkup yurisdiksi lembaga
praperadilan.
terhadap masuknya penetapan tersangka sebagai objek baru dalam yurisdiksi praperadilan,
berbagai diskursus perihal perlindungan hak konstitusional bagi seseorang yang ditetapkan
sebagai tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana belumlah usai. Masih terdapat
10
Ibid., hlm. 106-107.
10
berbagai isu hukum yang belum terjawab, di antaranya seputar batas waktu status tersangka,
hak seorang tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana, pembatalan penetapan
tersangka yang tidak membatalkan pokok perkara, mekanisme hukum dimulainya kembali
suatu proses penyidikan terhadap objek perkara dan tersangka yang sama, dan kepastian
hukum terhadap tersangka dan objek pokok perkara jika penetapan tersangka dibatalkan oleh
pokok perkara yang sama ditetapkan kembali sebagai tersangka, adalah dalam perkara Ilham
Arief Sirajuddin. Dalam perkara praperadilan pertama yang diputus pada tanggal 12 Mei
2015, permohonan Ilham Arief Sirajuddin dikabulkan dengan salah satu amar putusan
Tersangka Pemohon Dr. H. Ilham Arief Sirajuddin, MM oleh Termohon. Dalam perkara a
11
Putusan Perkara Nomor:32/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel., hlm. 206-234.
11
“Menimbang bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi aquo maka
kewenangan Pengadilan dalam memeriksa dan memutus obyek praperadilan yang
berkaitan dengan Pasal 77a KUHAP dimaknai tentang: Sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penahanan, penghentian
penyidikan, atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan dan
penyitaan”.
“Menimbang bahwa setelah mempelajari permohonan Pemohon yang pada pokoknya
adalah mengenai tidak sahnya penetapan tersangka dan tidak sahnya penyitaan dan
penggeledahan, maka Pengadilan Negeri dalam lembaga praperadilan berwenang
memeriksa dan memutus permohonan praperadilan tentang sah atau tidaknya
penetapan tersangka dan sah atau tidaknya penyitaan dan penggeledahan”.
“Menimbang bahwa bukti yang diajukan Termohon menetapkan Tersangka pada
tanggal 2 Mei 2014 belum ditemukan bukti awal 2 alat bukti. Oleh karena dugaan
terjadi perbuatan pidana, maka penetapan tersangka baru dapat ditetapkan setelah
ditemukan 2 alat bukti, yaitu setelah dilakukan pengumpulan bukti pada tahap
penyidikan, hal ini juga sejalan dengan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 bahwa penetapan tersangka bagian dari proses penyidikan
yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia”.
“Menimbang bahwa LHP yang dibuat Penyelidik yang akan disampaikan kepada
Penyidik bukti yang diajukan Termohon dalam proses penyelidikan belum ditemukan
minimal dua alat bukti sah yang membuat terang suatu perbuatan pidana yang terjadi
guna menentukan tersangkanya”.
“Menimbang bahwa Sprindik kedua Nomor Spin-Dik20A/01/11/2014 tertanggal 20
November 2014 ditetapkan juga berdasarkan LHP yang sama hingga permohonan
praperadilan ini diajukan Penyidik Termohon tidak dapat menunjukan 2 alat bukti
yang cukup/sah untuk membuat terang perbuatan pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya”.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Pengadilan Negeri berpendapat
Pemohon telah berhasil membuktikan dalil permohonannya sekedar mengenai
penetapan tersangka tidak memenuhi syarat ditemukan dua alat bukti sah”.
“Menimbang bahwa oleh karena penetapan tersangka tidak memenuhi syarat tentang
ditemukan 2 alat bukti sah pada tahap penyidikan maka Pengadilan Negeri
berpendapat penetapan Pemohon sebagai tersangka oleh Pemohon tidak sah menurut
hukum”.12
tidak sah penyitaan dan penggeledahan oleh Termohon dalam perkara tindak pidana yang
dikenakan kepada Pemohon. Sehingga aset-aset Pemohon yang disita dan diblokir oleh
Termohon harus dikembalikan kepada Pemohon. Dalam amar putusan lainnya, Hakim
perkara a quo menyatakan “Memulihkan hak-hak Pemohon baik dalam kedudukan, harkat
12
Dalam persidangan perkara a quo, terungkap fakta bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh
Termohon adalah berupa fotokopi tanpa dapat menunjukan bukti aslinya. Alat bukti yang diajukan juga tanpa
leges dan tanpa stempel resmi dari lembaga yang mengeluarkannya.
12
serta martabatnya”. Namun tak lama berselang dari Putusan a quo, Termohon kembali
menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan Surat Perintah Penyidikan baru dengan
putusan praperadilan yang kedua ini, permohonan Pemohon ditolak. Hakim dalam sidang
“Menimbang, bahwa pengertian nebis in idem adalah asas hukum yang melarang
terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan
yang menghukum atau membebaskannya. Asas ne bis in idem ini berlaku secara
umum untuk semua ranah hukum”.
“Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui
dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu:
seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem ini berlaku dalam
hal seseorang telah mendapat putusan bebas (vrisjpraak), lepas (onstlag van alle
rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) (lihat Pasal 76 ayat [2] KUHP)”.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pengertian asas ne bis in idem sebagaimana tersebut
diatas maka ternyata perkara Pemohon baru memasuki putusan Praperadilan yang
telah diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan
Nomor:32/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel, tanggal 12 Mei 2015.....dan seterusnya) dan hal
tersebut belum menyangkut mengenai materi pokok perkara pidana materielnya,
sehingga menurut hemat Hakim Praperadilan tindakan Termohon menetapkan
kembali Pemohon sebagai tersangka tidaklah dapat diartikan bahwa hal tersebut
masuk dalam kategori melanggar azas ne bis in idem”;
“Menimbang, bahwa mengenai dalil Pemohon yang menyatakan Termohon belum
melakukan pemeriksaan calon tersangka (pemohon) sehingga Penetapan Pemohon
sebagai tersangka yang kedua kalinya hal tersebut bertentangan dengan putusan MK
Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan: ”.....menurut Mahkamah, agar
memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum
pidana maka frasa “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” dan bukti yang
cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat
(1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangka (Putusan MK,
hal:98)”.
“menimbang, bahwa mengenai hal ini Hakim Praperadilan mempertimbangkan
ternyata dalam pertimbangan putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 dalam halaman
(98) yang sama juga dinyatakan: “......kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan
tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia) Artinya,
13
terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa
kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka”.
“Bahwa pengertian peradilan in absentia adalah pemeriksaan suatu perkara tanpa
kehadiran pihak tergugat (dalam perkara perdata dan tata usaha negara) atau terdakwa
(dalam perkara pidana)”.
“Bahwa ternyata Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan tindak pidana Korupsi mengenal adanya Pengadilan secara in
absensia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tidak hadir di sidang Pengadilan
tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya”.
“Sehingga dalil Pemohon yang menyatakan Termohon belum melaksanakan
pemeriksaan calon tersangka hal tersebut bertentangan dengan putusan MK Nomor
21/PUU-XII/2014, tidak dapat dibenarkan, karena untuk perkara dugaan tindak pidana
korupsi mendapat pengecualian karena dapat diadili secara in absentia”.
“Bahwa terhadap LKTPK Nomor: LKTPK-13/KPK/03/2014 Tanggal 14 Maret 2014
dan LKTPK Nomor: LKTPK-14/KPK/03/2014 Tanggal 14 Maret 2014 yang
dijadikan dasar Sprin.Dik 20/01/05/2014 tanggal 02 Mei 2014 dan Sprin.Dik
20A/01/05/2014 tanggal 20 November 2014 yang dijadikan dasar penetapan Pemohon
sebagai tersangka (Pemohon) oleh Termohon serta hasil penyelidikan yang dilakukan
Termohon sejak tanggal 29 Juni 2012 berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan
Nomor: Sprin n.Lidik-45/01/06/2012 tanggal 29 Juni 2012 dan Surat Perintah
Penyelidikan Nomor Sprin n.Lidik-45A/01/06/2012 tanggal 4 Nopember 2013 yang
telah melakukan permintaan keterangan-keterangan dan pengumpulan bukti-bukti
adalah sah dan dapat dipergunakan dalam Termohon menerbitkan Surat Perintah
penyidikan Nomor Sprin.Dik 14/01/06/2015, tanggal 5 Juni 2015”.
“Menimbang, bahwa Sesuai bukti Surat yang diajukan oleh Termohon yaitu bukti
T.30 yang sama dengan bukti P.56 telah ada hasil audit dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Nomor: 02/HP/XIX/03/2012 tanggal 27 Maret 2012 yang intinya
dalam pelaksanaan Kerjasama Rehabilitasi Kelola dan Transfer untuk Instalasi
Pengelolaan Air antara PDAM Kota Makassar dengan Pihak Ketiga periode tahun
2005 s/d tahun 2013 terdapat potensi kerugian PDAM Kota Makassar (kerugian
negara)”.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, menurut
Hemat Hakim Praperadilan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka sudah sesuai dengan Prosedur dan juga memenuhi ketentuan minimal
menemukan 2 (dua) Alat bukti. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 44 ayat
(2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.
merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi melalui proses
hukum yang memenuhi prinsip-prinsip hukum dan keadilan, maka peneliti berpandangan
14
bahwa topik tersebut menarik untuk didalami lebih lanjut. Ketertarikan peneliti untuk
mendalami permasalahan ini, setidaknya dilandasi beberapa alasan. Pertama, secara filosofis
bahwa keberadaan negara Indonesia yang menganut falsafah Pancasila sebagai dasar filosofi
negara (filosofiche grondslag), telah menetapkan prinsip kemanusiaan sebagai suatu prinsip
yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dan diwujudkan dalam kehidupan bernegara. Selain
itu, sebagai sebuah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum sebagaimana secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 1 UUD 1945, memiliki konsekuensi logis yang bermakna negara
memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional bagi warga
negaranya. Kedua, secara yuridis meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang
hukum terhadap masuknya penetapan tersangka sebagai objek baru dalam yurisdiksi
perlindungan hak asasi bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam proses
penyidikan tindak pidana belumlah usai. Masih terdapat berbagai isu hukum yang belum
terjawab, di antaranya seputar batas waktu status tersangka dalam konteks tersangka tidak
ditahan, hak-hak tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana, dampak hukum
pembatalan penetapan tersangka yang tidak membatalkan pokok perkara, mekanisme hukum
dimulainya kembali suatu proses penyidikan terhadap objek perkara dan tersangka yang
sama, dan kepastian hukum terhadap tersangka dan objek pokok perkara jika penetapan
tersangka dibatalkan oleh hakim namun perkara tidak berlanjut. Ketiga, secara sosiologis
problematik mengenai persoalan penetapan tersangka bagi seseorang yang diduga melakukan
suatu tindak pidana tertentu, tidak hanya memiliki persoalan dimensi hukum semata, namun
juga memiliki dimensi sosial. Seseorang yang telah dinyatakan ditetapkan sebagai tersangka,
apalagi dinyatakan secara terbuka dan mendapat perhatian yang luas dari publik, seringkali
diasumsikan sebagai seseorang yang bersalah. Padahal baginya belum terdapat vonis hukum
15
seseorang, seolah menjadi suatu perampasan terhadap hak sosialnya yang tak dapat dihindari.
Bahkan, sanksi sosial tersebut tidak hanya diterima terhadap seseorang yang ditetapkan
sebagai tersangka saja, melainkan juga bagi keluarga tersangka turut menerima sanksi sosial
tersebut. Pada sisi lain, ruang hukum untuk memberikan kepastian hukum dalam rangka
empiris Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah lahir sejak tahun
1981 mungkin saja perlu mendapat penyesuaian seiring dengan kondisi dan kebutuhan
hukum saat ini. Karena tak dapat dipungkiri, KUHAP merupakan hukum positif yang
menjadi aturan dasar dalam penyelesaian perkara pidana, namun dalam kenyataannya
persoalan tentang penetapan tersangka, tidak terdapat pengaturannya. Kelima, meski Putusan
dalam praktiknya masih menimbulkan polemik baik secara praktik maupun teoritik.
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penelitian
Bertalian dengan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini ditujukan untuk:
16
1. mengetahui landasan teoritik dan filosofis tentang makna penetapan seseorang
3. menemukan pengaturan hukum acara pidana yang tepat di masa yang akan datang
d. Manfaat Penulisan
1. secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu hukum dan hak asasi manusia, namun lebih khusus diharapkan
2. memberikan inspirasi dan motivasi bagi dilakukannya studi-studi lebih lanjut dalam
bidang hukum konstitusi dan HAM dalam rangka pembenahan dan pembaharuan
warga negara.
memberikan masukan dan saran bagi para perumus kebijakan hukum dan aparatur
memiliki concern terhadap hukum konstitusi dan HAM serta perlindungan hak
17
konstitusional bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam proses
e. Orisinalitas Penulisan
Untuk menghindari kesamaan penelitian ini dengan penelitian lainnya, serta untuk
menambah khasanah kajian teoritik dan kepustakaan bagi penelitian ini, peneliti berupaya
untuk menelusuri penelitian sejenis dan mendalami objek masalah yang diangkat dalam
berbagai penelitian sejenis tersebut. Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, terdapat
2. Permohonan Praperadilan Oleh Pihak Ketiga Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi,
Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Tesis Wiyanto, Universitas Muria
Kudus, 2015.
4. Ketentuan Batas Waktu Penyidik Tindak Pidana Umum Dalam Perspektif Ius
Hukum Acara Pidana (Ius Constituendum), Tesis I Dewa Gede Anom Rai, Universitas
Udayana, 2015.
6. The impact and constitutionality of delayed trials on the rights of a suspect or accused
person during criminal proceedings, Thesis Arusha Gopaul, University of South Africa,
2015.
18
7. Pretrial Release in Criminal Courts: a Study of Three Oregon Countries, Dissertation by
2010.
Mencermati hasil penelitian di atas, peneliti tidak menemukan kesamaan baik dalam
judul maupun rumusan masalah dengan rencana penulisan disertasi yang hendak peneliti
susun. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa bagian-bagian dari hasil penelitian di
atas dapat membantu peneliti dalam menjawab dan mengelaborasi rumusan masalah yang
f. Kajian Pustaka
Diskursus mengenai hak asasi manusia sesungguhnya bukanlah merupakan suatu hal
yang baru, sebab masalah hak asasi manusia itu telah ada sejak manusia itu ada dan akan
berakhir apabila manusia itu telah tiada. Kondisi seperti itu terjadi dikarenakan hak asasi
manusia melekat (inherent) dalam diri manusia. Dalam Preambule Perjanjian Internasional
Hak-hak Sipil dan Politik yang dirumuskan oleh PBB, dikemukakan bahwa hak asasi
manusia adalah hak yang dimiliki setiap manusia, yang melekat atau inherent padanya,
Internasional ini dapat dikemukakan bahwa HAM sifatnya sangat mendasar atau asasi
(fundamental), dalam arti bahwa pelaksanaannya mutlak diperlukan agar manusia dapat
berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita, serta martabatnya. Hak-hak ini juga dianggap
13
Dalam Preambule Perjanjian Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dari PBB dirumuskan :
“These rights derive from the inherent dignity of the human person” (Hak-hak ini berasal dari martabat
yang inheren dalam manusia). James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 19-22.
19
“universal”, artinya dimiliki manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama,
Pendapat di atas juga sesuai dengan John Locke15 yang mengatakan bahwa ”semua
individu dikaruniai oleh alam, hak yang melekat atas kehidupan, kebebasan dan harta,
yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh
negara”. Di pihak lain, J.J. Rousseau16 menyatakan bahwa hukum kodrati tidak
bisa dicabut pada warga negara sebagai satu kesatuan. Jadi, setiap hak yang diturunkan
dari hukum kodrati akan ada pada rakyat sebagai suatu kolektivitas dan dapat
diidentifikasi dengan mengacu pada kehendak umum. Bertalian dengan itu, C.de Rover 17
menyatakan:
“Hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia.
Hak hak tersebut dimiliki oleh setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki ataupun
perempuan. Biarpun hak-hak tersebut sering dilanggar akan tetapi tidak pernah dapat
dihapuskan”.
Pendapat C. de Rover ini sesuai dengan pendapat Lafayette yang mengatakan bahwa
hak asasi manusia merupakan dasar hukum umum dan dasar kemerdekaan manusia
dilahirkan merdeka dan tetap tinggal merdeka, serta mempunyai hak yang sama.18 Sebagai
hak hukum, maka seperti dikemukakan oleh Yoram Dinstein,19 bahwa, “Hak asasi
14
Miriam Budiardjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, (Jurnal Ilmu Politik), Edisi 10,
Gramedia, Jakarta, 1990, hlm. 37.
15
Terpetik dari Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Grafiti, Jakarta, 1994, hlm. 37. Lihat pula
Geoffrey Robertson QS, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Perjuangan Untuk mewujudkan Keadilan Global,
Komnas HAM, Jakarta, 2002, hlm. 7.
16
Ibid., hlm. 38.
17
Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan politik,
Editor Ifdhal Kasim, ELSAM, Jakarta, 2001, hlm. 128.
18
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.15.
19
Yoram Dinstein, Loc. Cit.
20
Dalam pada itu, James W. Nickel menyebutkan bahwa hak asasi manusia itu adalah
seperangkat hak. Sedangkan hak menurut C. de Rover,20 HAM adalah tuntutan yang
dapat diajukan seseorang terhadap orang lain sampai kepada batas-batas pelaksanaan hak
bahwa terdapat bermacam-macam hak. Tentang macam-macam hak yang dimaksud, dapat
ditinjau pendapat John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rousseau, yang menyebutkan bahwa
Demikian pula di dalam The Universal Declaration of Human Rights,22 bahwa hak
1. Hak personal yakni jaminan minimum yang perlu ada untuk kebutuhan jasmaniah
manusia seperti hak untuk hidup (Pasal 3); perlindungan dari diskriminasi atas dasar
seks, warna kulit, ras, agama, bahasa, atau pandangan politik (Pasal 2); pelarangan
atas perbudakan (Pasal 4); perlindungan atas tindakan kekerasan seperti penyiksaan
serta hukuman yang merendahkan martabat manusia serta perlakuan yang tidak
manusiawi (Pasal 5); persamaan di depan hukum (Pasal 6-7); hak untuk menjadi
warga sesuatu bangsa termasuk mengubah kewarganegaraannya (Pasal 15).
2. Hak legal maksudnya adalah perlindungan bagi seseorang yang berhubungan
dengan sistem hukum dalam suatu negara. Ke dalam hak legal ini termasuk: untuk
tidak diperlakukan dalam penangkapan dan penahanan sewenang-wenang atau
dibuang (Pasal 9); pengadilan yang adil (Pasal 10); perlakuan terhadap seseorang
sebagai tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan (Pasal 11); untuk tidak
mencampuri kehidupan seseorang seperti keluarga, rumah tangga, surat menyurat,
serta mencemarkan serta nama baik atau kehormatan seseorang (Pasal 20).
3. Hak politik maksudnya adalah hak-hak yang dibutuhkan untuk memperkuat warga
negara dalam berpartisipasi dalam mengontrol negara. Antara lain mencakup: hak
untuk ikut serta dalam proses pemerintahan baik secara langsung atau melalui
wakil-wakilnya; hak atas kesempatan yang sama dalam memperoleh pelayanan
publik di negaranya; bahwa kemauan rakyat merupakan dasar kekuasaan
pemerintahan melalui pemilu yang murni yang dilakukan secara teratur rahasia
secara bebas (Pasal 21).
20
C. de Rover, Acuan Universal Penegakan HAM, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 47.
21
Terpetik dari Ramdlon Naning, Op.Cit, hlm. 15.
22
Rustam Ibrahim, Hubungan Antar HAM dengan Demokrasi dan Pembangunan, dalam Diseminasi
Hak Asasi Manusia, Editor E. Shobirin Nadj, Naning Mardiniah, CESDA LP3ES, Jakarta, 2000, hlm. 46-47.
21
4. Hak-hak subsistensi adalah menjamin adanya sumber daya untuk menunjang
kehidupan minimum seperti hak untuk mendapatkan makanan dan pelayanan
kesehatan (Pasal 25).
5. Hak ekonomi termasuk didalamnya hak akan social security, (Pasal 22); hak untuk
memperoleh dan memiliki pekerjaan, membentuk serikat buruh, hak untuk
memperoleh pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama (equal pay for
equal work), upah yang adil dan layak untuk kehidupan diri dan keluarganya
sebagaimana layaknya manusia yang bermartabat, serta berbagai perlindungan
sosial lainnya (Pasal 23), hak untuk beristirahat dan bersenang-senang, termasuk
pembatasan jam kerja dan hak cuti dan liburan dengan pembayaran (Pasal 24).
6. Hak sosial mencakup hak untuk kehidupan pribadi (Pasal 12), hak untuk menikah
dan membina rumah tangga (Pasal 16), dan hak memperoleh pendidikan (Pasal 27).
mendasar terhadap pandangan dalam lingkup internasional dan lingkup hukum nasional.
Perkembangan tentang HAM ini tidak terlepas dari keinginan masyarakat dunia
internasional untuk membentuk suatu sistem hukum yang humanis dan memperhatikan
hak-hak individu. Terdapat empat kelompok pandangan tentang HAM ini, yaitu
sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM dan profil sosial budaya yang
sosial budaya dari yang melekat dari masing-masing negara membuat pandangan ini
sering memicu yang konflik saling menyalahkan karena pandangan akan konsepsi HAM
tiap tiap negara dipandang sama sebab dipandang sebagai suatu kewajiban moral berkaitan
Pandangan universal relatif, memandang HAM sebagai suatu masalah yang bersifat
universal dengan perkecualiaan dan batasan yang didasarkan pada asas-asas hukum
23
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro,
Semarang , 2002 hlm 56-57.
22
suatu hal yang dapat membatasi HAM, dan mengakui bahwa HAM tidaklah sesuatu yang
masing bangsa. Pandangan ini memperlihatkan sikap chauvinistik yang memberikan kesan
dan juga masalah nasional dari masing-masing bangsa. Pandangan ini memperlihatkan ada
keseimbangan antara pandangan HAM menurut lingkup nasional dan pandangan HAM
konsepsi pemidanaan dan penegakan hukum pidana dan khususnya dalam penegakan
humanis terhadap tersangka dan terdakwa dengan pandangan bahwa HAM adalah suatu
hal yang tetap melekat dan hanya bisa dicabut dengan kematian.26
Secara historis HAM dapat diurut di Inggris dalam Magna Charta 1215, Petition of
Rights 1628, Habeas Corpus Act 1679, Bill of Rights 1689, Declaration of Independent
1776, Parliament Act 1911. Di Prancis dokumennya terkenal dengan Declaration des
the First Republic 1791 dan UDHR Tahun 19489494. Magna Charta, Declarations des
24
Ibid., hlm. 57.
25
Ibid.
26
Radhie Noviandi Yusuf, “Due Process of Law Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”,
Tesis, Unpad, 2004 hlm. 22.
9494
Sri Soemantri, “Refleksi HAM di Indonesia”, Makalah, disampaikan dalam pelatihan Hukum
Humaniter dan Hukum HAM, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 22 s/d 25 Juni 1998 di Yogyakarta,
hlm. 4.
23
perlindungan Hak asasi manusia terhadap kemungkinan terjadinya “diskresi” dalam
hukum pada saat itu. Hal ini dapat dilihat dalam Magna Charta menyatakan, “…that no
due process”). Bunyi pengaturan tersebut bahwa Magna Charta secara tegas
mengharuskan adanya fundamentally rational law dan fair process sebagai syarat untuk
dapat dilakukan pembatasan hak asasi seseorang (deprived of human right). Kemudian
pada saat revolusi Prancis (1789) menghasilkan sejumlah tuntutan untuk mengubah
hukum acara pidana yang menunjukkan perhatian yang sangat besar dari warga negaranya
terhadap hak-hak,27 mengingat konsepsi HAM merupakan suatu hal yang mutlak dan telah
diakui sifat dasarnya yang melekat (inherent dignity) pada manusia. Dengan demikian
tidak dapat dicabut (inalinable) dan tidak boleh dilanggar (invionable) dan konsep
Kasus Miranda yang kemudian melahirkan doktrin “Miranda Rules” dimana pada
saat itu Miranda ditangkap tanpa dibacakan hak-hak dirinya oleh polisi. Pada saat ia
ditangkap, dan atas hal tersebut hakim kemudian menyatakan Miranda dibebaskan karena
dinilai polisi telah melanggar hak individu Miranda dengan tidak membacakan hak-
berikut :
27
Mardjono Reksodiputro, Op.Cit., hlm. 29.
24
“Ratio decidendi” dalam kasus Miranda ini memperlihatkan sekaligus menjadi
sebuah: the binding force of presedents” terhadap penegakan hukum (law enforcement),
dimana bahwa hak seseorang tetaplah ada dan penghormatan terhadap hak seseorang
haruslah dikedepankan serta harus dijunjung tinggi meskipun ditempatkan dia dalam
posisi sebagai objek dari hukum pidana. Mekanisme internasional, dalam hal ini PBB
mengamanatkan pada The United Nation Charter 1945, Universal Declation of Human
Rights (UDHR/DUHAM) 1948 dengan kedua convenant yaitu ICESCR 1966 dan ICCPR
serta OPICCPR 1966.28 Mekanisme HAM secara nasional ditemukan hampir dalam setiap
konstitusi atau undang-undang dasar negara yang bersangkutan. Artinya, bahwa dalam
konstitusi atau undang-undang dasar disediakan satu bab atau bagian khusus yang memuat
tentang hak asasi manusia dan warga negaranya.29 Di Indonesia ditemukan dalam ketiga
konstitusi atau Undang-undang dasar yang pernah dan sedang berlaku ialah UUD 1945,
Konstisusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, dan UUDS 1950 serta peraturan
pelaksanaannya.30 Dalam UUD 1945, HAM selain diamanatkan dalam pembukaan juga
dijabarkan dalam batang tubuhnya yaitu dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30,
Pasal 31 dan Pasal 34, dalam Pasal-pasal inilah tersurat secara jelas dan senafas dengan
HAM atau hak-hak dan kebebasan dasar manusia. Beberapa istilah yang dipergunakan
Norma HAM yang terkandung dalam UUD 1945, mempunyai dua posisi, yaitu
sebagai norma pengarah atau pemandu (Leistern)32 bagi hukum positif untuk mencapai
28
Lihat Subhi Mahmassani, Arkan Huqul Insan, Terjemahan Konsep Dasar Hak Asasi Manusia,
Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, (Hasanuddin ) PT Tintamas, Indonesia
Bogor, 1993, hlm. 47.
29
G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Timun Mas NV, 1955 hlm. 123;
Lihat Juga Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konsitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 51.
30
Lihat K Wantjik Saleh, Tiga Undang-undang Dasar, Ghalia Indonesia, 1977.
31
Ibid., hlm. 6.
32
Leitstren dalam konsep Radolf Stammler, lebih mengarah pada tataran rechtidee yang oleh
Soepomo diartikan sebagai cita-cita hukum sedangkan Hamid Attamimi mengartikan sebagai cita hukum,
dalam perspektif hukum tata negara. Rechtidee adalah Pancasila, Lihat Firdaus, Ed., Muladi, Implikasi
25
cita-cita perlindungan HAM, dan sebagai norma penguji undang-undang atau hukum
positif apakah telah selaras dengan semangat HAM. Sebagai Leistern norma HAM yang
terkandung dalam UUD dapat berfungsi regulatif maupun konstitutif. Fungsi Regulatif
menempatkan norma HAM dalam UUD sebagi tolak ukur untuk menguji, apakah undang-
undang atau hukum positif telah selaras dengan cita-cita HAM. Sebagai fungsi konstitutif
menentukan tanpa semangat HAM dalam UUD atau hukum positif akan kehilangan
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk penghormatan terhadap hak-hak tersangka,
terdakwa, terpidana selama ini cukup mendapat perhatian dari sistem hukum pidana
Indonesia.33
2. Teori Keadilan
Plato meletakan konsep keadilan pada umumnya sebagai kebijakan yang utama,
merupakan kebajikan yang lengkap dalam arti seutuhnya karena keadilan bukan nilai yang
harus dimiliki dan berhenti pada taraf memilikinya bagi diri sendiri, melainkan juga
merupakan pelaksanaan aktif dalam artian harus diwujudkan dalam relasi dengan orang
lain.34
Rawls dengan kreatif mengkonsepsikan keadilan dalam prinsip sistem sosial dan institusi
yang menjadikan suatu keharusan untuk menjunjung keadilan dan saling menghomati
antara negara dengan individu merupakan bagian dari perlindungan negara terhadap hak
individu yang dituangkan dalam aturan nasional sebagai suatu perbuatan fairness.35
26
Secara implisit filsafat keadilan yang menghendaki setiap tindakan hukum
didasarkan atas kebijakan moral penegak hukum. Secara implisit hal ini tertuang dalam
“ a legal term which, in its original Latin, means: you are ordered to have the body;
a lawyer can obtain a writ of habeas corpus that order the police to produce the
arrested person in court who decides if the police have suffientreason to hold the
prisoner. The writ of habeas corpus is a basic guarantee of personal freedom in
English and America Law, it prevent unjust or wrongful impresonment or detention
by legal authorities”
Asas ini memberikan penekanan bagi polisi atau penyidik dalam melakukan
penangkapan agar tidak berbuat semena-mena, dan juga merupakan suatu sarana
pencegahan penangkapan dan penahanan yang tidak adil dengan meminta pengesahan
kepada pengadilan. Asas ini kemudian dikukuhkan pada tahun 1679 menjadi Habeus
Corpus Act oleh parlemen Inggris. Sistem hukum Amerika Serikat juga menganut Habeus
Corpus Act.36 Terdapat 4 (empat) piagam (charter) yang menyangkut kebebasan yang
1) Magna Carta Charter (1215), sebagai dokumen hukum kebiasaan (common law)
menjadi dasar kebebasan dalam konstitusi Inggris;
2) Petition of Right Charter (1628), tidak boleh langsung dipaksakan untuk memberi
pemberian, pinjaman, derma, pajak, dan pengenaan biaya tanpa persetujuan undang-
undang yang disetujui oleh parlemen;
3) Habeas Corpus Carter (1679), dan
4) Bill of Right Charter (1689), dokumen yang berisikan hak-hak asasi manusia, yang
juga diadopsi dalam konstitusi Amerika Serikat pada 15 Desember 1791.
sebagai berikut:
Philipus Mandiri Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Gadjah Mada University Press, 1993,
38
hal. 287-304.
27
b. perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan
ketentuan hukum dari kesewenangan;
c. perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat
penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun;
d. perlindungan hukum adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan
dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya;
e. perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya
perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait
pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia
sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan.
Berkaitan dengan konsep perlindungan hukum, negara dalam upaya melindungi hak-
hak tersangka maupun terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana telah
39
Philipus Mandiri Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal.
94.
28
satunya melalui lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 juncto
Pasal 77 KUHAP. Praperadilan pada dasarnya merupakan suatu bentuk usaha pemberian
perlindungan dan pernghormatan hak asasi manusia (HAM) kepada tersangka dari
Perlindungan hukum yang dianut dalam hukum acara bertujuan untuk melindungi
orang yang tidak bersalah dari ancaman hukuman atas dugaan perbuatan pidana. Pada
pokoknya perlindungan hukum yang diberikan oleh KUHAP dimulai pada setiap proses
upaya hukum (legal action) yang dimulai dari proses penyelidikan dan penyidikan yang
menjurus pada tindakan unfair prejudice, serta proses penuntutan dan peradilan yang
memihak (unlawful legal evidence). Perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-
undang (KUHAP) harus dilakukan oleh setiap penegak hukum dengan wajib memegang
4. Teori Pengawasan
Praperadilan yang diatur dalam KUHAP, ditinjau dari sistem Eropa Kontinental,
sah atau tidak suatu upaya paksa. Namun kewenangan rechter commissaries lebih luas,
29
karena memiliki kewenangan untuk melakukan “Investigating judge”. Kewenangan ini
mendatangi rumah saksi dan tersangka untuk pengecekan suatu kebenaran keterangan
Fungsi yang hampir mirip juga ditemui pada sistem hukum Anglo Saxon yaitu
Habeas Corpus, dimana prinsip dasarnya adalah bahwa di dalam masyarakat yang
beradab, pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang. Jika suatu
penahanan terjadi atas diri seseorang maka terbuka kemungkinan untuk mengujinya ke
pengadilan, sekalipun perkara pokok masih dalam pemeriksaan pendahuluan. Dengan kata
lain, hak untuk diperiksa di muka hakim sebelum perkara pokoknya diperiksa disebut
upaya paksa HIR tidak mengatur pengawasan dan penilaian terhadap upaya paksa
sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Pengawasan oleh hakim dalam hal perpanjangan
waktu penahanan sementara yang harus dimintakan persetujuan hakim tidak mampu
melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa karena terbatas dan bersifat tertutup.40
Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak
Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan
fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. 41 Konsep hukum
pengawasan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan pengendalian atas suatu pelaksanaan
tugas/kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan aturan dan tujuan yang telah
40
Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2001, hal. 321.
41
Ibid.
30
Konsep pengawasan pada umumnya dapat dibagi berdasarkan jenisnya,
penyelenggaraan pengawasan dibedakan atas segi waktu dan sifat. Pengawasan ditinjau
(melekat). Artinya, lembaga praperadilan ini sudah merupakan bagian mekanisme sistem
peradilan pidana yang diatur oleh KUHAP. Dengan kata lain, bahwa dengan adanya
lembaga praperadilan ini maka seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa
diberi hak oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan atas jalannya suatu upaya
paksa dalam proses penyidikan dan/atau penuntutan atas dirinya. Tujuan adanya
42
Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Loc. Cit.
43
Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Op. Cit., hal.125.
31
pengawasan ini adalah antara lain untuk konkretisasi konsep HAM dengan prinsip
akusatoris dan praduga tidak bersalah yang juga dimuat dalam KUHAP.
dilakukan dengan cara kontrol secara horizontal, yakni kontrol ke samping antara
penyidik, penuntut umum, timbal balik, tersangka, keluarga tersangka atau pihak ketiga.
Bukan dilakukan dengan kontrol vertikal, yakni pengawasan yang bersifat intern dalam
perangkat aparat itu sendiri yang bersifat antara atasan yang berwenang langsung dengan
bawahan.
Praperadilan sebagai salah satu fungsi kontrol yang dilekatkan pada kewenangan
pengadilan secara horizontal atas penerapan upaya paksa secara limitatif yang dilakukan
32
Penerapan prinsip habeas corpus dalam praperadilan di Indonesia, rumusan pasal-
1. Apakah asas yuridis dan nesesitas dalam upaya paksa itu absah dalam arti materiil.
2. Apakah “bukti permulaan” sebagai dasar untuk menentukan status sebagai tersangka
dan kemudian menetapkan upaya-paksa seperti penahanan absah secara materiil.
KUHAP tidak mengenal investigating judge sebagaimana berlaku di Perancis atau
Rechter Commisaries di Belanda yang mempunyai wewenang dalam menentukan
tuduhan yang akan dikenakan terhadap seseorang.
5. Prinsip Legalitas
Secara konseptual prinsip legalitas merupakan dasar untuk menguji apakah tindakan
dari pejabat aparatur negara telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang
menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.44
Berdasarkan konsideran ini, pelaksanan KUHAP harus bersumber pada titik tolak
the rule of law, sedangkan tindakan penegak hukum harus berdasarkan ketentuan hukum
dan undang-undang. Maka jelas bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah
Sejalan dengan pendapat di atas, Yahya Harahap mengatakan bahwa asas atau pinsip
legalitas secara tegas dalam konsideran huruf a KUHAP.46 Lebih lanjut Yahya Harahap
mengemukakan bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah undang-undang yang
44
Komariah Emong Sapardjaja, Kajian dan Catatan Hukum Atas Putusan Praperadilan Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 16 Februari 2015 Pasca Kasus Budi Gunawan: Sebuah Analisis Kritis,
Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1 Tahun 2015, hal. 17.
45
Ibid.
46
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2009, hal. 36.
33
berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan dan penerapan KUHAP harus bersumber pada
makna, yakni dua dari yang pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang dan dua
yang lainnya merupakan pedoman bagi hakim. Pertama, pembuat undang-undang tidak
boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana yang berlaku mundur. Kedua, semua
perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga,
hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana pada perbuatan
hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana
Prinsip legalitas dalam hukum pidana formil, secara eksplisit dinyatakan dalam
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
menyatakan bahwa “Undang-Undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan
lingkungan peradilan umum pada semua tingkatan”, dan Pasal 3 menyatakan bahwa
“Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Dari ketentuan
47
Ibid.
48
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Penerbit Alumni
Bandung, 2002, hal. 5-6.
34
Pasal 1 angka 10, Pasal 2, dan Pasal 3 KUHAP, tampak bahwa prinsip legalitas yang dapat
dijadikan sebagai ukuran keabsahan terhadap setiap tindakan hukum dan pelaksanaan dari
penyidikan dan penuntutan. Kriteria-kriteria yang yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 10
KUHAP dapat dijadikan sebagai alat penguji legalitas tindakan penyidik dan penuntut
mengenai:
Sedangkan kriteria-kriteria yang dapat dijadikan sebagai alat uji keputusan yang
Dari berbagai kriteria tersebut, maka setiap tersangka maupun terdakwa, atau kuasa
hukum tersangka maupun terdakwa dapat menilai apakah tindakan hukum dan keputusan
penyidik maupun penuntut telah sesuai dengan undang-undang yang ada. Apabila tindakan
hukum dan keputusan penyidik maupun penuntut dianggap merugikan, maka tersangka
maupun terdakwa, atau kuasa hukum tersangka maupun terdakwa, dapat mengajukan
Negeri).
Berdasarkan uraian di atas, tampak perbedaan antara landasan asas legalitas dalam
pidana materiil dengan pidana formil. Asas legalitas dalam hukum pidana meteriil yang
35
dinyatakan secara tegas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Suatu perbuatan
yang telah ada”. Prinsip legalitas merupakan prinsip hukum yang paling fundamental dan
bersifat universal, yang menitik beratkan pada perlindungan individu untuk memperoleh
Adanya perbedaan prinsip legalitas yang dianut dalam KUHAP dengan KUHP
dikarenakan, tujuan KUHAP sebagai hukum pidana formil adalah hukum untuk
melaksanakan hukum pidana materiil yang berisi asas-asas dan proses beracara dalam
sistem peradilan pidana yang dimulai dari penyelidikan sampai dengan eksekusi putusan
Dengan demikian, prinsip legalitas dalam hukum pidana formil dijadikan sebagai
dasar pengujian tindakan penyidik dan penuntut umum telah sesuai dengan ketentuan
hukum untuk bertindak di luar hukum atau undue to law maupun undue process dan
49
Eddy O.S.Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014, hal. 15.
50
M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
51
Ibid.
36
Konstitusi memberi hak istimewa atau hak privilege dalam pelaksanaan fungsi
penyidikan dan penuntutan dimana hak istimewa tersebut tunduk pada prinsip due
“a legal principle that requires the government to respect all a person’s right. It
mean that the government must obey the law, act in a reasonable manner, and use
fair procedurs when it acts to a limit a person’s life, liberty, and property”52
Prinsip hukum mensaratkan pemerintah untuk menghormati hak seseorang. Hal itu
berarti pemerintah harus mematuhi hukum, bertindak dalam perilaku yang wajar,
dan menggunakan prosedur dasar yang adil ketika bertindak untuk membatasi hak
hidup seseorang, mengurangi kebebasan, dan menarik aset).
“rule of law” yang bercirikan adanya supremasi hukum, persamaan di depan hukum, dan
Penekanan terhadap due process of law sebagai salah satu ciri negara hukum,
saja harus didasarkan pada ketentuan hukum formil yang mengatur prosedur untuk
Norma hukum prosedur atau formil harus bersifat fair, dan ketentuan-ketentuan tentang
prosedur tidak boleh bersifat arbitre menurut selera penyelenggara kekuasaan negara.54
Due Process of law harus diartikan sebagai perlindungan atas kemerdekaan seorang
warga negara yang dijadikan tersangka dan terdakwa, dimana status hukumnya berubah
ketika ia ditangkap atau ditahan, tetapi hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hilang.
52
Peter Grant, Due Process of Law, Governing Wisconsin From the Wisconsin Legislative Reference
Bereau, diunduh tanggal 19 Mei 2015, http://www.legis.wisconsin.gov/lrb/gw/gw_18.pdf .
53
AV Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Introduction to the Study of the Law of the
Constitution), Nusamedia, Jakarta, 2014, hal. 89.
54
Ibid.
37
Walaupun kemerdekaannya dibatasi oleh hukum dan mengalami degradasi moral bukan
Istilah “Criminal Justice system” atau sistem peradilan Pidana (SPP) menunjukan
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mempunyai pengertian
suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several
parts.57 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling
berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling
berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan:
Justice Process” dan “Criminal Justice System” yang pertama adalah setiap tahap dari
membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi antar
55
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisianisme,
Op.,Cit hlm. 14.
56
Ibid., hlm. 4.
57
Stanford Optner, Systems Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,
hlm. 3. Seperti Terpetik dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet. 1, Jakarta, 1986,
hlm. 5. Sistem dapat juga diartikan sebagai suatu kompleks elemen dalam satu kesatuan interaksi Lihat dalam
Lili Rasjidi,Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, 2003, Bandung, hlm. 63.
58
Ibid.
59
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana…, Op Cit hlm. 14.
38
Sistem yang tersusun dari sekumpulan unsur-unsur ini dapat dilihat pada sistem
peradilan pidana yang bertujuan untuk menegakkan hukum secara proporsional yang
dilakukan baik secara normatif maupun secara filosofis. Sistem peradilan pidana berarti
terdapat suatu keterpaduan pendapat, sikap dan langkah terhadap pencegahan serta
adalah salah satu tujuan hukum sistem peradilan pidana yang dipengaruhi oleh
kelembagaan yang diatur oleh sistem peradilan pidana. Salah satu faktor mendasar yang
bahwa:63
“Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub-
sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat
mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Sub-sub sistem ini berupa polisi,
jaksa, pengadilan dan lembaga koreksi baik yang sifatnya institusional maupun yang
nonkonstitusional. Dalam hal ini mengingat peranannya yang semakin besar,
penasihat hukum dapat dimasukkan sebagai quasi sub-system”.
60
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII, Yogyakarta, 2005, hlm. 93.
61
Loebby Loqman, “Pidana dan Pemidanaan”Datacom, Jakarta, 2002 hlm. 27. Lihat juga Pontang
Moerad, Op.Cit hlm.186.
62
Sidik Sunaryo, Op. Cit., hlm. 255.
63
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro,
Semarang, 1995, hlm. 21.
39
Kombinasi antara efisiensi dan efektivitas dalam sistem sangat penting, sebab belum
Kegagalan pada sub-sistem akan mengurangi efektivitas sistem tersebut, bahkan dapat
40
apabila masalah administrasi peradilan tidak bagus dalam konsep dan
implementasinya, tujuan yang ingin dicapai oleh adanya sistem peradilan pidana
yang terpadu, tidak mungkin bisa terwujud dan yang terjadi justru akan sebaliknya,
yakni kegagalan dari prinsip-prinsip dan asas hukum yang menjadi dasar dari
kerangka normatif sistem peradilan pidana terpadu”.
Dari pandangan tersebut, maka dapat digambarkan bahwa kajian terhadap sistem
Dinyatakan dalam Pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman. (2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. (3) Mahkamah Agung
teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan. (4) Mahkamah Agung berwenang
memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di
dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan
68
Tim Universitas Indonesia Fakultas Hukum, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan
Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-Asas Umum, 2001.
41
Sedangkan advokat adalah organisasi profesi yang mandiri, tidak berada di bawah
Dalam membela perkara, advokat mempunyai hak imunitas untuk menjalankan tugas
profesinya. Seperti dinyatakan dalam Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat:
“advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi
tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan
perundang-undangan”.
Konsekuensi di atas akan berdampak pada tujuan dari pembentukan sistem peradilan
pidana. Adapun tujuan sistem peradilan pidana dirumuskan Mardjono sebagai berikut:69
Pelaksanaan sistem peradilan pidana sesuai dengan fungsi yang sebenarnya akan
membuat masyarakat terlindungi dari kejahatan. Fungsi yang harus dijalankan dalam
hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun
69
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi dalam Sistem Peradilan Pidana Op.Cit., hlm.85. Lihat juga
Mien Rukmini, Op.Cit., hlm. 77.
70
Malcolm Devies, Hazel and Jane Tyrer, Criminal Justice, London Longman, 1995, page 4-6,
terpetik dalam Sidik Sunaryo, Kapita Selekta ..., Op. Cit., hlm. 257 –261.
42
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika
dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa
ketidakadilan.71
yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana
merupakan kontruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia (didalamnya ada
aparatur hukum, pengacara, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam
“sistem peradilan pidana mempunyai dua dimensi fungsional ganda. Di satu pihak
berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan
pada tingkatan tertentu (crime containment system). Di lain pihak sistem peradilan
pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder (secondary prevention), yakni
mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan
tindak kejahatan dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses
deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana”.
Asas menurut kamus umum Bahasa Indonesia, Asas berarti (1) dasar, (2) sesuatu
kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir, (3) Cita-cita yang menjadi
71
Muladi terpetik dalam Romli Atmasasmita, Ibid., hlm. 16; Lihat juga Anthon F Susanto, Op. Cit.,
hlm. 77.
72
Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan ,Mekanisme
Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2004 hlm. 76.
73
Ibid., hlm. 77.
74
Muladi, Kapita Selekta ..., Op. Cit., hlm. 22.
43
dasar.75 Menurut Mahadi Asas ialah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan
yang mendasari adanya satu norma hukum. Sedangkan Asas menurut Mulder, mengutip
pendapat Jossef Esser:”Rech beginselen zijn inhoud ,integens telling hot devorm,d.w.z, de
norm. Het beginsel is grond, criterium en rechts vaardiging voor de richtlijn” (asas-asas
hukum adalah isinya, yang berbeda dengan bentuknya yaitu norma. Asas adalah dasar,
Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum.
Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak
berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak juga bagi pembentuk
Undang-undang dan interprestasi undang-undang tersebut”.77
Asas- asas yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak asasi atau keluhuran
harkat dan martabat manusia telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diubah
setelah sebelas tahun kemudian asas-asas tersebut dituangkan dalam UU No.8 Tahun 1981
Penegak hukum harus berpegang teguh kepada hukum acara yang berlaku, yakni
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang syarat dengan asas-asas
peradilan pidana, agar tidak terjadi pelanggaran dalam melakukan pembatasan hak asasi
tersangka maupun terdakwa. Fungsi dari suatu undang-undang acara pidana (Formeel
bertindak terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
75
WJS Poerwadarminta, Kamus umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Cet. IV, Jakarta,1996,
hlm. 61; Lihat juga dalam Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2003 hlm. 122.
76
Terpetik dalam Komariah Emong Sapardjaja, Pembahasan terhadap buku kesatu dan bab II RUU
KUHP, Jurnal legislasi Indonesia, Vol. 1 Nomor 2, September 2004.
77
Ibid.
78
H. M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Cetakan ke IV, UMM Press, Malang,
2004, hlm.138.
44
Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana melindungi para tersangka dan terdakwa
“Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur, tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.79
Mien Rukmini menyatakan, KUHAP merupakan pedang bermata dua, artinya bahwa
disatu pihak harus melindungi hak tersangka dan terdakwa sesuai dengan Asas Praduga
Tak Bersalah (APTB) dan Asas Persamaan kedudukan dihadapan hukum (APKDH), di
pihak lain memberikan peluang pula kepada para penegak hukum untuk melakukan upaya
paksa yang seringkali dalam praktik melanggar hak asasi tersangka dan terdakwa.80
Asas-asas hukum acara pidana sebagaimana ditemukan dalam bagian penjelasan umum,
setidaknya dikenal sepuluh asas yang menjadi acuan kebenaran atau ajaran dari kaidah-
79
Pedoman Pelaksana KUHAP, Penerbit Departemen Kehakiman RI, Cetakan ketiga,1982 hlm. 1;
Lihat Juga dalam Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm. 10; Bandingkan dengan Lobby Loqman, Pra-Peradilan di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 15.
80
Istilah Rechts guterschutz durch Rechtsguterverletzung (Perlindungan Hukum benda melalui
penyerangan benda hukum oleh karena itu ada sesuatu yang menyedihkan (tragis) dalam hukum pidana
sehingga hukum pidana sering dinyatakan sebagai “pedang bermata dua”, Lihat Mien Rukmini, Op.Cit., hlm.
98; bandingkan pula dengan Barda Nawawi Arief, Beberapa aspek kebijakan penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 18.
81
Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta, Cet. III, 2005 hlm. 3, Lihat
juga Andi Hamzah, Hukum Acara ..., Op. Cit., hlm. 11; Bandingkan dengan Mardjono Reksodipoetro, “Sistem
Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas
Toleransi”, Pidato Pengukuhan Penerimaan Guru Besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1993, hlm. 11-13, Terpetik dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana ... , Op.
Cit., hlm. 41; Bandingkan pula dengan Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Cet. 2, Denpasar, 2002; Lihat Loebby
Loqman, Pra Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 80 serta H.MA Kuffal, Op.Cit.,
hlm. 138-139.
45
1. Asas equality before the law: perlakuan yang sama atas diri setiap orang dihadapan
penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang
oleh Undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan
Undang-undang;
dituntut dan atau dihadapan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
kekuatan hukum;
4. Asas Remedy and rehabilitation, kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena
kekeliruannya mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum
yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut
5. Asas fair, impartial, impersonal and objective, Peradilan harus dilakukan dengan
cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus
6. Asas legal asistance: Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
7. Miranda Rule: kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan
46
kepadanya juga wajib diberitahukan haknya termasuk hak untuk menghubungi dan
10. Asas Pengawasan: Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
pada perlindungan atas harkat dan martabat tersangka dan terdakwa. Oleh karena itu, dari
kesepuluh asas tersebut diatas, sembilan asas diantaranya adalah demi perlindungan atau
kepentingan hak asasi tersangka atau terdakwa, sedangkan satu asas (asas kesepuluh)
lembaga permasyarakatan.82
Sedangkan asas-asas umum menurut Andi Hamzah terdiri dari sembilan asas antara
lain:83
Bandingkan dengan Mien Rukmini Op. Cit hlm 85,”… Kesepuluh asas tersebut harus
82
dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan
dan melindungi HAM”.
83
Andi Hamzah, Hukum Acara ..., Op. Cit., hlm. 11.
47
g. Desain Penelitian
Prinsip Historis
Due Process
Bagaimana pengaturan of Law
hukum acara pidana Sistematis
yang tepat di masa
yang akan datang Sistem
mengenai praperadilan Peradilan Interpretasi
guna memberikan Pidana
perlindungan hak
konstitusional warga
negara bagi seseorang Asas-Asas Simpulan dan
yang ditetapkan Umum saran
sebagai tersangka? Hukum Acara
Pidana
i. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
menemukan fakta-fakta hukum secara menyeluruh yang berkaitan dengan prinsip hak bagi
seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana
48
mekanisme praperadilan. Selain itu untuk mengkaji secara sistimatis pengaturan hukum
khususnya mengenai hak konstitusional bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka
2. Metode Pendekatan
(philosophical approach).
1. Comprehensive memiliki arti bahwa norma hukum yang ada memiliki keterkaitan
2. Inclusive memiliki arti bahwa suatu kumpulan norma hukum yang berada dalam suatu
dikemudian hari, sehingga kumpulan norma hukum yang berada dalam suatu sistem
3. Systematic, memiliki arti bahwa selain memiliki keterkaitan antara satu dengan yang
Pendekatan ini bertujuan untuk melihat bahan-bahan hukum yang berupa peraturan
atas.
84
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Bayumedia
Publishing, 2006, hlm. 300-322.
49
Konsep merupakan peleburan dua kata yaitu con yang berarti bersama, dan capere
yang berarti (menangkap, menjinakkan). Konsep dalam pengertian yang relevan adalah
unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang
kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang
partikular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan objek-objek yang
menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan
kata-kata dengan objek tertentu. Penggabungan itu memungkina ditentukannya arti kata-
kata secara tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran.85 Dalam terminologi
filsafafat, konsep dinyatakan sebagai “an idea that includes everything characteristically
konsep yang terkandung dalam sejumlah terminologi yang relevan dengan penelitian ini,
semisal tentang konsep hak konstitusional warga negara, negara hukum, hak asasi manusia
dan lain sebagainya. Pendekatan konsep menjadi suatu kebutuhan dalam penelitian ini,
dalam penelitian ini sangat bergantung pada ketepatan proposisi-proposisi yang diajukan.
yang terkait dengan penelitian ini. Norma hukum positif yang menjadi objek penelitian ini
merupakan rangkaian konsep yang harus dipahami. Oleh karena itu, kekeliruan dalam
kekeliruan pada proposisi yang diajukan, sehingga pada akhirnya penalaran pun menjadi
keliru.
85
Ibid., hlm. 306.
86
Encyclopedia Americana, Volume 7, Grolier Incorporated, 1990, hlm. 500. Konsep juga memiliki
pengertian yang berbeda-beda dalam ajaran filsafat Scolastic, Kant, dan Husserl; lihat Dagobert D. Runes (Ed.),
1962, Dictionary of Philosophy, Ancient-Medieval-Modern, Littlefield, Adams & Co., hlm. 61.
50
Pendekatan kasus (case approach) bertujuan untuk melihat bagaimana hukum itu
bekerja secara nyata dalam putusan-putusan yang telah dibuat oleh hakim pada situasi
hukum tertentu. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Jacobstein dan Mersky yang
menyatakan, “seeking to find those authorities in the primary sources of the law that are
applicable to a particular legal situation”.87 Bagian utama dalam putusan yang harus
dicermati adalah ratio decidendi (pertimbangan hukum) hakim yang melahirkan amar
konsep, teori, asas, dan doktrin yang melingkupinya. Dengan demikian diharapkan
terdapat gambaran persoalan yang jernih antara hukum yang dicita-citakan (ius
constituendum) dengan hukum positif yang berlaku (ius constitutum). Dengan jelasnya
persoalan hukum dimaksud, maka diharapkan solusi hukum yang ditawarkan dapat tepat
sasaran sebagai alternatif pemecahan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.
penerapan dan putusan-putusan hukum yang dikeluarkan. Penggunaan pendekatan ini juga
berupaya menyibak interpretasi hukum yang digunakan dalam setiap penerapan hukum
dan putusan yang diambil. Secara prinsipil, analisis hukum pada akhirnya memiliki
kewajiban untuk dapat mengungkapkan pengertian, kaidah, asas, dan berbagai konsep
87
J. Myron Jacobstein and Roy M. Mersky, Fundametals of Legal Research, Ed. IV., The Foundation
Press, New York, 1973, hlm. 8.
88
Vibhute dan Aynalem menyatakan, “By undertaking analytical research, historical and comparative
research, he can also formulate his proposals for reform in precise terms. Analytical research, as stated above, is
concerned with the ascertainment of law”., Khusal Vibhute & Filipos Aynalem, Legal Research Methods
Teaching Material, Prepare under the Sponshorship of the Justice and Legal System Research Institute,
chilot.wordpress.com., 2009, hlm. 32.
51
Pendekatan perbandingan (comparative approach) bermanfaat untuk dapat
melengkapi pendekatan lainnya yang telah digunakan. Sehingga penelitian hukum yang
secara umum mencakup tentang penelaahan terhadap penafsiran, prinsip, norma, kaidah,
konsep, teori, dan doktrin hukum yang berlaku dalam suatu sistem hukum yang bersifat
nasional, dapat ditinjau dari perspektif lain di luar sistem hukum nasional. Dengan
demikian, alternatif solusi dan saran terhadap permasalahan permasalahan hukum yang
diteliti dapat menjadi lebih bervariasi. Pendekatan ini juga diharapkan dapat menyibak jika
terdapat suatu konsep yang bersumber dari suatu tradisi hukum yang sama, namun pada
sisi yang lain melahirkan ketentuan hukum positif dan praktik yang berbeda. Namun
sebaliknya, jika terdapat suatu tradisi hukum yang berbeda pada satu sisi, namun pada sisi
lainnya dapat melahirkan konsep dan praktik yang secara prinsipil dapat dikatakan
serupa.89
mengungkapkan situasi, kondisi, maksud dan tujuan (original intent) dari dilakukannya
pembentukan hukum dimaksud, serta memahami evolusi hukum yang terjadi pada suatu
tertentu, maka ukuran-ukuran di masa lalu baik itu berupa konsep, teori, asas, dan doktrin
yang melingkupinya, dapat diuji validitas dan aktualitasnya dalam mencari alternatif solusi
permasalahan hukum yang dihadapi. Hal terpenting dari penggunaan pendekatan ini
89
Zweigert & Kötz mengatakan, “The primary aim of comparative law, as of all sciences, is
knowledge. If one accepts that legal science includes not only the techniques of interpreting the texts, principles,
rules, and standards of a national system, but also the discovery of models for preventing or resolving social
conflicts, then it is clear that the method of comparative law can provide a much richer range of model solutions
than a legal science devoted to a single nation, simply because the different systems of the world can offer a
greater variety of solutions than could be thought up in a lifetime by even the most imaginative jurist who was
corralled in his own system”; lihat lebih jauh K. Zweigert & H. Kötz, 1998, An Introduction to Comparative
Law (translated by Tony Weir), Third Edition, Clarendon Press: Oxford, hlm. 16, terpetik dalam, Pengaduan
Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara (Studi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan), Disertasi I Dewa Gede Palguna,
Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana, UI, 2011, hlm. 40.
52
permasalahan hukum yang belum tentu sama, atau bahkan kesalahan yang sama dalam
hukum.90
Dalam rangka menunjang penelitian ini sumber bahan hukum yang digunakan
meliputi: sumber bahan hukum primer dan sekunder. Sumber bahan hukum primer
tertinggi, selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara
sebagai bahan hukum primer dalam penelitian normatif ini dan berbagai putusan lainnya
Sumber bahan hukum sekunder meliputi buku-buku literatur pendapat para sarjana
(doktrin) baik dalam lingkup penelitian hukum, hukum acara pidana, hukum pidana, dan
Sesuai dengan penelitian yang hendak dilakukan, yaitu penelitian hukum normatif,
maka peneliti akan melakukan studi kepustakaan dan mengumpulkan serta mempelajari
bahan-bahan hukum yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan
90
“Historical research, on the other hand, deals with the past and it involves an inquiry into historical
antecedents and evolution of law. The past often explains the present, most vividly. It reveals different
alternative legislative measures, other than the current ones, thought of when the law was in the making”. Ibid.
91
Lihat Moris L. Cohen, et.all, Legal Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn,
l992, hlm. 3. Penelitian hukum di Amerika Serikat menggunakan keputusan pengadilan (judicial decisions)
sebagai bahan utama dalam penelitian. Doktrin yang digunakan oleh hakim dalam keputusan yang mereka buat
lebih diutamakan daripada prinsip secara abstrak diartikulasikan atau dikodifikasikan dalam undang-undang.
53
bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri atas UUD 1945, konvensi-konvensi atau
pokok masalah yang diteliti. Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri atas, buku-buku,
jurnal, makalah-makalah, laporan hasil penelitian dan bentuk tulisan-tulisan lain yang
atas penafsiran, prinsip, norma, kaidah, konsep, teori, dan doktrin hukum yang ada sesuai
dengan kerangka teoritik dan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Kajian
praperadilan" dan konsep “perlindungan hak konstitusional warga negara dalam proses
peradilan pidana”, juga dilakukan dengan cara melakukan kajian atas praktik yang
dilakukan oleh lembaga praperadilan yang berkembang dalam hukum formil pidana.
putusan tersebut, akan diketahui bagaimana konkritisasi atas konsep bentuk perlindungan
j. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam lima bab, yaitu:
Bab pertama pada disertasi ini akan berisi pendahuluan yang terdiri dari latar
penulisan, kajian pustaka, desain penelitian, metode penelitian dan sistimatika penulisan.
Bab kedua penelitian ini akan menguraikan teori-teori yang berkenaan dengan judul
dan permasalahan yang diangkat, yang terdiri dari tinjauan umum tentang teori negara
54
hukum, konsep HAM, teori keadilan, teori perlindungan hukum dan hak konstitusional,
Bab ketiga penelitian ini akan menguraikan hasil penelitian berupa kajian
kaidah, konsep, teori, dan doktrin hukum yang berlaku terhadap persoalan yang diteliti.
secara ringkas dan padat, serta hanya terkait dengan identitas, dan pertimbangan hukum
hakim yang menjadi legal reasoning amar putusan. Selain itu, putusan-putusan tersebut
akan dikelompokan sesuai dengan perbedaan jenis amar putusan dan pertimbangan hukum
diharapkan dapat menguraikan persamaan dan perbedaan suatu konsep yang bersumber
dari suatu tradisi hukum yang sama, namun pada sisi yang lain dapat melahirkan ketentuan
hukum positif dan praktik yang berbeda serta begitu pula sebaliknya.
Bab keempat penelitian ini akan menguraikan analisis dan pembahasan dari
permasalahan hukum yang diangkat, yang terdiri dari analisis terhadap penafsiran, prinsip,
norma, kaidah, konsep, teori, dan doktrin hukum yang ada serta perbandingan hukumnya
dengan konsep yang bersumber dari suatu tradisi hukum yang sama maupun berbeda, serta
Bab kelima penelitian ini akan menguraikan kesimpulan dan saran sesuai dengan
55
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
AV Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Introduction to the Study of the Law of the
Constitution), Nusamedia, Jakarta, 2014.
Barda Nawawi Arief, Beberapa aspek kebijakan penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
C. de Rover, To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, terj. Supardan
Mansyur, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Eddy O.S.Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014.
G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Timun Mas NV, 1955.
Gudmundur Alfredson and Asbjorn Eide (ed), The Universal Declaration of Human Rights A
Common Standard of Achievement, Kluwer Law International, Hague, 1999.
H. M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Cetakan ke IV,UMM Press,
Malang, 2004.
Henry J. Steiner dan Philip Aston, International Human Rights in Context Law, Politics,
Morals, Oxford University Press, 1999.
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-
Hak Konstitusional Warga Negara (Studi Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan), Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Program Pascasarjana, UI, 2011.
J. Myron Jacobstein and Roy M. Mersky, Fundametals of Legal Research, Ed. IV., The
Foundation Press, New York, 1973.
56
Jhon Rawls, A Theory of Justice – Teori Keadilan; Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Maret 2011.
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua,
Bayumedia Publishing, 2006.
Khusal Vibhute & Filipos Aynalem, Legal Research Methods Teaching Material, Prepare
under the Sponshorship of the Justice and Legal System Research Institute,
chilot.wordpress.com., 2009.
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam
Yurisprudensi), Penerbit Alumni Bandung, 2002.
Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, 2003, Bandung.
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Cet. 2, Denpasar, 2002.
Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta, Cet. III, 2005.
Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Red & White Publising,
2009
Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2001.
Moris L. Cohen, et.all, Legal Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn,
l992.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro,
Semarang, 1995.
-----, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbitan
Universitas Diponogoro, Semarang, 2002.
Philipus Mandiri Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Gadjah Mada University Press,
1993.
57
-----, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987.
Radhie Noviandi Yusuf, “Due Process of Law Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme”, Tesis, Unpad, 2004.
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,
Jakarta, 1983.
Rustam Ibrahim, Hubungan Antar HAM dengan Demokrasi dan Pembangunan, dalam
Diseminasi Hak Asasi Manusia, (ed) E. Shobirin Nadj, Naning Mardiniah, CESDA
LP3ES, Jakarta, 2000.
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia Sejarah, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994.
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, 2004.
Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konsitusi, Alumni, Bandung, 1987.
Subhi Mahmassani, Arkan Huqul Insan, Terjemahan Konsep Dasar Hak Asasi Manusia,
Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, (Hasanuddin )
PT Tintamas, Indonesia Bogor, 1993.
Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan
politik, Editor Ifdhal Kasim, ELSAM, Jakarta, 2001.
-------- Pembahasan terhadap buku kesatu dan bab II RUU KUHP, Jurnal legislasi Indonesia,
Vol. 1 Nomor 2, September 2004.
58
Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan
dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi”, Pidato Pengukuhan
Penerimaan Guru Besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1993.
Pedoman Pelaksana KUHAP, Penerbit Departemen Kehakiman RI, Cetakan ketiga, 1982.
Sri Soemantri, “Refleksi HAM di Indonesia”, Makalah, disampaikan dalam pelatihan Hukum
Humaniter dan Hukum HAM, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 22 s/d 25
Juni 1998.
-----, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.
D. Dokumen-dokumen
Universal Declaration on Human Rights.
E. Internet
www.jurlandia.am/dueprocess.htm.
www. Mahkamahkonstitusi.go.id.
http://www.legis.wisconsin.gov
http://en.wikipedia.org
59
F. Kamus dan Ensiklopedia
Bryan A. Garner, Black’s Law, Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul,
Minn, 1999.
Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Red & White Publising,
2009.
Tim Penyusun Kamus, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta, 1988.
WJS. Poerwadarminta, Kamus umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Cet. IV, Jakarta,
1996.
G. Putusan Pengadilan
60