Anda di halaman 1dari 60

a.

Latar Belakang Masalah

Kelahiran negara Indonesia merupakan sebuah perjalanan panjang dari penjajahan

bangsa kolonial. Penjajahan yang dialami bangsa Indonesia tentu telah membuat masyarakat

Indonesia menderita. Namun dari penderitaan akibat penjajahan yang panjang tersebut, pada

sisi lain telah memberikan dampak positif dalam membangun dasar filosofi negara

(filosofiche grondslag). Dasar filosofi negara tersebut telah tertuang dalam 5 (lima) rumusan

yang dikenal dengan Pancasila. Dalam konteks penjajahan yang dialami bangsa Indonesia,

hal utama yang kerap dialami bangsa terjajah adalah sikap dan perilaku yang merendahkan

martabat kemanusiaan (inhuman degrading treatment). Perilaku merendahkan martabat

kemanusiaan telah menginspirasi lahirnya filosofi bangsa bahwa prinsip kemanusiaan harus

ditempatkan secara adil dan beradab. Untuk itu kemerdekaan menjadi pilihan yang bersifat

mutlak, dan pendirian suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan atas

kekuasaan semata (machtstaat), menjadi pilihan yang tak terelakan dalam rangka menjaga

prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pasca kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, berbagai perangkat dibidang

hukum sebagai implementasi dari prinsip negara hukum terus disusun dan dikembangkan.

Berbekal dari pengalaman atas perilaku yang tidak manusiawi oleh bangsa penjajah, aspek

kemanusiaan (humanity) atau yang saat ini lebih dikenal dengan hak asasi manusia menjadi

perhatian utama dalam pembangunan hukum di Indonesia. Dalam konteks bidang hukum

pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diundangkan melalui

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (Lembaran Negara 1981/76 dan Tambahan Lembaran

Negara Nomor 3209), oleh berbagai kalangan pada masanya dianggap sebagai suatu karya

“master piece” anak bangsa dalam rangka proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

Salah satu materi muatan yang diatur dalam KUHAP yang dianggap memberikan suatu

perbaikan dalam rangka memberikan perlindungan hak asasi warga negara adalah diaturnya

1
mekanisme praperadilan. Konsep praperadilan dalam KUHAP hakikatnya merupakan

mekanisme bagi seseorang untuk menuntut legalitas perampasan hak atas kemerdekaan

dirinya, akibat proses penahanan oleh aparatur penegak hukum (kepolisian atau kejaksaan)

atas suatu peristiwa tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Konsep praperadilan dalam

KUHAP ini, tak dapat dipungkiri terinspirasi dari Habeas Corpus Act dalam sistem peradilan

Anglo Saxon.1 Habeas Corpus Act sendiri merupakan sebuah statuta yang lahir pada tahun

1679 pada masa pemerintahan Raja Charles II. Jika ditelusuri secara historis, Habeas Corpus

Act juga diilhami oleh Magna Charta 1215 yang menyatakan, “…that no person may be

deprived of life, liberty or property unlesss by a fundamentally rational law (substantive due

process”) applied in a fundamentally fair proceeding (Procedural due process)”2. Pengaturan

dalam Magna Charta tersebut secara tegas menyaratkan adanya fundamentally rational law

dan fair process sebagai syarat untuk dapat dilakukan pembatasan hak asasi seseorang

(deprived of human right). Dengan demikian pengurangan terhadap hak asasi seseorang harus

dimuat dalam pengaturan hukum acara sebagai bagian dari due process of law.

Praperadilan secara limitatif diatur dalam Pasal 77 KUHAP yang berbunyi:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan


ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Meski mula kelahirannya konsep ini dianggap sudah ideal untuk memberikan

perlindungan hak asasi bagi seorang tersangka atau terdakwa dalam hal dikenakan tindakan

upaya paksa (dwang meddelen), namun melihat sifat limitatif yurisdiksi praperadilan

sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP di atas, tidak semua tindakan upaya paksa dapat

diuji keabsahannya dalam sidang praperadilan. Tindakan upaya paksa dimaksud antara lain

1
Lihat Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris (Beberapa Pemikiran
Mengenai Keduanya)”, Newsletter KHN, 2002, tanpa halaman.
2
Barnabas, D Johnson www.jurlandia.am/dueprocess.htm.

2
adalah penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat-surat. Padahal, terhadap tindakan

upaya paksa ini, mungkin saja terdapat pelanggaran hak asasi. Semisal dalam proses

penggeledahan rumah, jika hal tersebut dilakukan dengan sewenang-wenang, maka tindakan

penggeledahan rumah yang dilakukan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap

ketentraman kediaman seseorang yang merupakan bagian dari hak privatnya. Contoh lain

adalah dalam penggeledahan badan. Jika hal tersebut dilakukan dengan cara yang

melecehkan, maka tindakan itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap

kehormatan, harkat, dan martabat seseorang. Begitu pula terhadap penyitaan. Jika hal tersebut

dilakukan secara sewenang-wenang, maka penyitaan yang dilakukan dapat dikategorikan

sebagai suatu pelanggaran yang serius terhadap hak kepemilikan. Ketiga contoh di atas

tentang kemungkinan adanya pelanggaran dalam melakukan tindakan hukum berupa

penyitaan, penggeledahan, dan pemeriksaan surat-surat, dapat dikategorikan sebagai bentuk

pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G

ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,

keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak

atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang

merupakan hak asasi”. Dengan tidak diaturnya ketiga objek tindakan upaya paksa di atas

dalam Pasal 77 KUHAP tersebut, maka secara normatif tidak terbuka ruang hukum bagi

pihak yang merasa dirugikan akibat dikenakan tindakan upaya paksa dimaksud dalam forum

pengadilan.

Ketidaktersediaan pengaturan semua tindakan upaya paksa dalam ruang lingkup

praperadilan sebagaimana termuat dalam Pasal 77 KUHAP, praktik penegakan hukum dalam

sidang praperadilan untuk memberikan perlindungan hak konstitusional warga negara bagi

seseorang yang dikenakan penahanan atau penangkapan sesuai dengan yurisdikisi Pasal 77,

juga cenderung masih sangat lemah. Dalam praktik, hakim praperadilan lebih cenderung

3
memeriksa kelengkapan formal semata dalam dua tindakan upaya paksa dimaksud,

dibandingkan dengan memeriksa dan menilai apakah seseorang tersangka yang diduga keras

melakukan tindak pidana, telah dilakukan berdasarkan bukti permulaan yang cukup, atau

dalam konteks dilakukannya penahahan, tidak dilakukan penilaian secara konkrit perihal

adanya alasan yang kuat bahwa seorang tersangka akan melarikan diri, menghilangkan

barang bukti, maupun mengulangi perbuatannya.3 Hakim praperadilan, secara umum hanya

menyerahkan penilaian penahanan sebagai hak subjektif/diskresi penyidik yang memiliki

kewenangan untuk itu. Dengan demikian, menjadi sulit bagi seorang tersangka untuk

mendapatkan keadilan melalui upaya praperadilan yang ditempuhnya, jika hal-hal

sebagaimana terurai di atas masih menjadi praktik dalam sidang praperadilan.

Hal yang mengemuka tentang kemungkinan terabaikannya hak konstitusional warga

negara akibat Pasal 77 KUHAP yang bersifat limitatif, selain hal-hal yang telah diterangkan

di atas yaitu, tentang penetapan seseorang sebagai tersangka. Meskipun hal ini bukan

persoalan baru dalam praktik penegakan hukum di tanah air, namun karena pemberitaan yang

sedemikian masif, persoalan penetapan tersangka menjadi topik hangat yang kerap

mengundang diskusi. Beberapa isu hukum yang sering menjadi topik pembicaraan dalam

penetapan tersangka antara lain, seputar ketiadaan batas waktu status tersangka (dalam

konteks tidak dilakukan penahanan) pasca ditetapkannya seseorang sebagai tersangka hingga

pelimpahan perkara ke persidangan, pemulihan hak bagi tersangka yang ditetapkan secara

keliru atau sewenang-sewenang, dan pertanyaan tentang apakah tindakan penetapan

tersangka dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan upaya paksa.

Diskusi tentang penetapan tersangka dikaitkan dengan yurisdiksi praperadilan,

kembali mengemuka pasca dikeluarkannya Putusan Praperadilan oleh Pengadilan Negeri

3
Lihat Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang berbunyi, “Perintah penahanan atau penahanan lanjutan
dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan
bukti permulaan yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.

4
Jakarta Selatan pada hari Senin tanggal 16 Februari 2015 dalam Perkara Nomor:

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., yang diajukan oleh Komisaris Jenderal Polisi (Komjenpol)

Drs. Budi Gunawan, SH., Msi. Salah satu objek yang diputus dalam perkara tersebut adalah,

dikabulkannya permohonan Pemohon agar penetapan tersangka yang dikenakan kepadanya

masuk ke dalam ruang lingkup objek yang dapat diadili dalam sidang praperadilan. Meski

putusan ini bukan putusan pertama yang mengabulkan dengan membatalkan penetapan

tersangka melalui sidang praperadilan4, putusan ini menuai kontroversi dan mendapat

perhatian yang luas dari publik. Salah satu bentuk kontroversi yang mengundang perdebatan

adalah bahwa yurisdiksi praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, tidak

sama sekali mengatur ‘penetapan tersangka’ sebagai objek praperadilan. Namun, untuk

menerobos limitasi objek praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP, dalam

perkara a quo dipertimbangkan bahwa, hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena

ketiadaan hukum yang mengaturnya, bahkan seorang hakim memiliki kewajiban untuk

menggali norma-norma hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, untuk mencapai

keadilan terhadap perkara yang dihadapinya. Lebih lanjut dalam pertimbangan perkara

tersebut dikemukakan bahwa segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala

tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan, termasuk dalam kategori tindakan upaya

paksa karena telah menggunakan label “Pro Justisia”. Pokok pertimbangan hukum ini yang

menjadi dasar bagi Hakim perkara a quo untuk memperluas yurisdiksi objek praperadilan

sebagaimana diatur dalam Pasal 77 yang semula tidak memuat ‘penetapan tersangka’ sebagai

objek perkaranya.5

Meski Putusan dalam Perkara Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., dan Putusan

Perkara sebelumnya dalam Perkara Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel telah menempatkan

4
Sebelumnya terdapat Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam
Perkara Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel atas nama Bachtiar Abdul Fatah yang membatalkan penetapan
tersangka.
5
Lihat Putusan Perkara Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., hlm. 221-226.

5
penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan, namun karena sistem hukum di

Indonesia tidak mengenal asas preseden, maka putusan dalam perkara dimaksud, tidak

mengikat bagi hakim praperadilan lainnya. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama pasca

putusan tersebut dikeluarkan, bahkan dalam lingkup pengadilan yang sama (Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan), putusan praperadilan menjadi sangat bervariasi. Setidaknya terdapat

empat perkara praperadilan yang diajukan, ditolak oleh hakim atau gugur karena sidang

pokok perkaranya telah digelar.6

Putusan praperadilan yang bervariasi disebabkan antara lain karena sebagian hakim

masih tetap berpandangan bahwa yurisdiksi praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77

KUHAP adalah ketentuan yang bersifat limitatif, dan hakim tidak diperkenankan untuk

menerobos hukum acara pidana karena bukan merupakan kewenangannya. Hal tersebut

sebagaimana contoh dalam Putusan dalam Perkara Nomor 18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.SEL,

yang dibacakan pada tanggal 14 April 2015, dengan salah satu amar putusan menolak

penetapan tersangka masuk ke dalam wilayah yurisdiksi praperadilan. Padahal, putusan

tersebut dibacakan hanya berselang kurang dari dua bulan pasca Putusan Nomor:

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel., dibacakan. Dalam Perkara Nomor

18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.SEL., hakim praperadilan menguraikan beberapa pokok

pertimbangan hukumnya sebagai berikut.7

“Menimbang, bahwa dengan mengacu kepada pasal-pasal tersebut diatas 8 telah jelas
dan tegas diatur wewenang yang dimiliki oleh Hakim Praperadilan dan dari
kewenangan tersebut tidak termasuk kewenangan untuk mengadili tentang
penetapan tersangka maupun tentang penyidikan yang tidak sah;
“Menimbang, bahwa Hukum Acara Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara yang memberikan dasar-dasar dan aturan-aturan yang
menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, serta ancaman pidana yang
ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa
orang telah melakukan perbuatan pidana;
6
Keempat perkara dimaksud diajukan oleh Surya Dharma Ali, Sutan Bhatoegana, Udar Pristono,
Suroso Atmo Martoyo.
7
Putusan Perkara Nomor 18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.SEL, hlm. 118-121.
8
Dalam bagian pertimbangan sebelumnya, Hakim Perkara a quo merujuk Pasal 77, Pasal 82 ayat (1)
huruf b, Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.

6
“Menimbang, bahwa dengan tidak diaturnya kewenangan tentang penetapan
tersangka maupun tentang tidak sahnya penyidikan apakah merupakan kekosongan
hukum sehingga Hakim bisa melakukan penafsiran, analogi, penafsiran memperluas
Makna (extensive) konstruksi dan rechtfinding?”
“Menimbang, bahwa tidak diaturnya penetapan tersangka maupun tidak sahnya
penyidikan dalam KUHAP menurut Hakim Praperadilan bukanlah disebabkan
adanya kekosongan hukum. Tidak diaturnya penetapan tersangka maupun tidak
sahnya penyidikan dalam KUHAP adalah karena KUHAP sendiri sudah dengan
jelas membatasi secara limitatif obyek praperadilan. Sehingga hal-hal lain yang tidak
termuat harus dibaca bukan merupakan obyek praperadilan. Hukum acara pidana
harus dibaca sebagaimana yang tertulis secara kontekstual. Tidak dibenarkan hakim
membuka ruang interpretasi terhadap hukum acara pidana. Prinsip ini menutup
peluang hakim untuk melakukan penafsiran hukum terhadap hukum acara”;
“Menimbang, bahwa Hukum atau peraturan yang mengatur cara melaksanakan
Permohonan atau tuntutan hak merupakan aturan permainan (spelregels) dalam
melaksanakan Permohonan atau tuntutan hak tersebut. Sebagai aturan permainan
dalam melaksanakan Permohonan, maka hukum acara pidana mempunyai fungsi
yang sangat penting, oleh karenanya harus bersifat strict, fixed, correct, pasti, tidak
boleh disimpangi, dan harus bersifat imperatif (memaksa), sehingga Hakim harus
tunduk serta terikat pada hukum acaranya dan tidak boleh bebas untuk
menafsirkannya atau melakukan analogi karena analogi sering dipandang bukan lagi
bagian dari penafsiran, melainkan suatu metode konstruksi. Penafsiran yang
memperluas makna, biasanya masih diperbolehkan di dalam hukum acara pidana,
tetapi tidak dengan konstruksi yang memperluas. Apabila kita kembali ke Pasal 77
KUHAP, sebuah pemaknaan masih dianggap penafsiran yang memperluas
(ekstensif), jika hakim masih setia berpijak kepada konsep-konsep yang disebut di
dalam huruf a dan huruf b pasal 77 KUHAP, yaitu soal penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, lalu soal ganti rugi dan
rehabilitasi. Sehingga jika Hakim Praperadilan menambahkan ketentuan yang baru
sama sekali, maka seakan-akan Hakim menambah ketentuan huruf c dan d atas Pasal
77 itu yaitu soal penetapan tersangka atau tidak sahnya penyidikan dan itu berarti
Hakim Praperadilan sudah melakukan konstruksi dan telah menambahkan norma
baru di luar konsep-konsep hukum yang sudah tercantum di dalam Pasal 77
KUHAP;

Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, setidaknya terdapat dua pokok pikiran

sebagai berikut. Pertama, hakim secara tegas menyatakan bahwa hukum acara pidana tidak

mengatur kewenangan untuk mengadili penetapan tersangka. Kedua, tidak diaturnya

kewenangan tersebut bukan berarti bahwa hakim dapat melakukan penafsiran dan analogi

untuk memperluas makna (extensive) tentang kewenangan praperadilan karena hukum acara

harus bersifat strict, fixed, correct, pasti, tidak boleh disimpangi, dan harus bersifat

imperatif (memaksa), sehingga Hakim harus tunduk serta terikat pada hukum acaranya dan

7
tidak boleh bebas untuk menafsirkannya. Cara pandang hakim dalam pertimbangan tersebut

di atas, mencerminkan cara pandang bahwa hakim dalam menerapkan hukum acara pidana

harus memegang teguh prinsip lex scripta, lex stricta, dan lex certa.

Pertimbangan lainnya yang memberikan konteks dan menjadi alasan hakim dalam

menolak perkara ini adalah:

“.....maraknya tindak pidana dimana Indonesia yang memasuki Fase Darurat Korupsi
karena tindak pidana Korupsi terjadi hampir di semua level mulai dari jabatan paling
bawah hingga pejabat tinggi, Pengusaha, Politisi, Penegak Hukum dari nilai jutaan
rupiah hingga triliunan rupiah dan notoir feit sementara disatu sisi masih banyak
anggota masyarakat dan rakyat Indonesia berada dalam kondisi memprihatinkan
hidup di bawah garis kemiskinan dan semua hal tersebut telah dikhawatirkan oleh
pembentuk Undang-Undang akan timbulnya kerugian Negara, yang sangat besar,
dan hancurnya perekonomian negara dan sebagai dampak berikutnya adalah krisis
diberbagai bidang maka Hakim Pra Peradilan dengan memperhatikan keadilan
masyarakat harus tetap regid (teguh, kokoh), strict, fixed memagang teguh ketentuan
pasal 77 sampai dengan 95 KUHAP sebagai kompetensi dari Pra Peradilan dan tidak
akan menafsirkan, memperluas, menganalogi, mengkonstruksi, atau melakukan
rechtfinding karena ketentuan pasal 77 sampai dengan 95 KUHAP telah limitatif
tegas dan jelas”;
“menimbang, bahwa dengan pertimbangan tersebut diatas maka permohonan Pra
Peradilan tentang penetapan tersangka dan tentang tidak sahnya penyidikan
bukanlah obyek Pra Peradilan sebagaimana diatur dalam pasal 77 sampai dengan 95
KUHAP sehingga Hakim Pra Peradilan tidak mempunyai kompetensi untuk
mengadili perkara permohonan Pra Peradilan pemohon tersebut”;

Pertimbangan hukum ini jelas berangkat dari pertimbangan sosiologis, dengan

menyatakan bahwa “tindak pidana korupsi telah memasuki fase darurat”, sehingga untuk

memberikan keadilan kepada masyarakat maka hakim harus memegang teguh kepada

ketentuan Pasal 77 sampai dengan Pasal 95 KUHAP secara limitatif. Selain itu, terdapat

alasan lain bahwa jika hakim praperadilan harus memeriksa terlalu dalam terhadap bukti

permulaan yang cukup sebagaimana telah digunakan oleh penyidik untuk menetapkan

seseorang sebagai tersangka, maka hal tersebut sebenarnya sudah memasuki pemeriksaan

terhadap pokok perkara yang bukan merupakan kewenangan dari hakim praperadilan.

Dengan kondisi seperti ini, maka kepastian hukum bagi seseorang yang ditetapkan sebagai

tersangka, menjadi sulit untuk mendapatkan keadilan manakala ia menganggap bahwa dalam

8
penetapannya sebagai tersangka terdapat kesewenang-wenangan atau kekeliruan di

dalamnya.

Praktik praperadilan sebagaimana diuraikan di atas, tentu pada akhirnya

bersinggungan dengan hak konstitusional, utamanya bagi seseorang yang ditetapkan sebagai

tersangka mengenai haknya atas kepastian dan perlindungan hukum terhadap peristiwa

pidana yang menimpanya, jika penetapannya sebagai tersangka dapat dibuktikan dilakukan

secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk itu.

Jika tidak dibuka ruang upaya hukum terhadap tindakan penetapan tersangka yang diduga

terdapat pelanggaran di dalamnya, maka hal tersebut menjadi tidak sejalan dengan cita

hukum dibentuknya KUHAP, sebagaimana tercantum dalam konsideran huruf a dan b yang

pada pokoknya menjunjung konsep negara hukum yang menjamin pelaksanaan HAM,

menuju tegaknya hukum dan keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia, ketertiban serta kepastian hukum dan demi terselenggaranya negara hukum sesuai

dengan UUD 1945.

Dalam konteks pemberian jaminan perlindungan HAM bagi seseorang yang

ditetapkan sebagai tersangka tersebut, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa:

“...penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan


perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh
penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar
hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang
dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi
ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, padahal dalam prosesnya ternyata ada
kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata praperadilan yang dapat
memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak tersangka
tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak
menggugurkan dugaan adanya tindak pidana, sehingga tetap dapat dilakukan
penyidikan kembali sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar.
Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka sebagai objek pranata praperadilan
adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan
tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang
sama di hadapan hukum”9
9
Putusan Perkara Nomor: 21/PUU-XII/2014, hlm. 105-106.

9
Terkait penggeledahan dan penyitaan, Mahkamah merujuk pada Putusan terdahulu

dalam Perkara Nomor 65/PUU-IX/2011 yang berpendapat bahwa:

“...salah satu pengaturan kedudukan yang sama dihadapan hukum yang diatur dalam
KUHAP tersebut adalah adanya sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme
kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau
penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, baik
yang disertai dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi ataupun tidak.
Adapun maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi dalam proses
praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebagai
tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian
dibuatnya sistem praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83
KUHAP adalah untuk kepentingan pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak
tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80
KUHAP). Kehadiran KUHAP dimaksudkan untuk mengoreksi pengalaman praktik
peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan
dan penegakan hak asasi manusia. Selain itu, KUHAP memberikan perlindungan dan
penegakan hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela
kepentingan di dalam proses hukum...”.10

Berdasarkan kedua pertimbangan di atas, Mahkamah memutuskan bahwa yurisdiksi

praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 KUHAP harus dimaknai, termasuk di

dalamnya adalah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Sedangkan untuk

pemeriksaan surat, Mahkamah berpendapat, hal tersebut merupakan bagian dari tindakan

penggeledahan dan penyitaan. Berdasarkan Putusan MK a quo dan kewenangan yang

melekat kepadanya, yaitu untuk menguji suatu undang-undang terhadap undang-undang

dasar, maka objek praperadilan yang menyangkut penetapan tersangka, penggeledahan, dan

penyitaan, menjadi sah secara hukum berada pada ruang lingkup yurisdiksi lembaga

praperadilan.

Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang hukum

terhadap masuknya penetapan tersangka sebagai objek baru dalam yurisdiksi praperadilan,

berbagai diskursus perihal perlindungan hak konstitusional bagi seseorang yang ditetapkan

sebagai tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana belumlah usai. Masih terdapat

10
Ibid., hlm. 106-107.

10
berbagai isu hukum yang belum terjawab, di antaranya seputar batas waktu status tersangka,

hak seorang tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana, pembatalan penetapan

tersangka yang tidak membatalkan pokok perkara, mekanisme hukum dimulainya kembali

suatu proses penyidikan terhadap objek perkara dan tersangka yang sama, dan kepastian

hukum terhadap tersangka dan objek pokok perkara jika penetapan tersangka dibatalkan oleh

hakim namun perkara tidak berlanjut.

Sebagai contoh ketidakpastian hukum bagi seseorang yang ditetapkan sebagai

tersangka yang permohonan praperadilannya dikabulkan, namun dikemudian hari dengan

pokok perkara yang sama ditetapkan kembali sebagai tersangka, adalah dalam perkara Ilham

Arief Sirajuddin. Dalam perkara praperadilan pertama yang diputus pada tanggal 12 Mei

2015, permohonan Ilham Arief Sirajuddin dikabulkan dengan salah satu amar putusan

Perkara Nomor:32/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel., berbunyi, “Menyatakan tidak sah penetapan

Tersangka Pemohon Dr. H. Ilham Arief Sirajuddin, MM oleh Termohon. Dalam perkara a

quo, Hakim memberikan pertimbangan hukum sebagai berikut:11

“Bahwa kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sesuai


dengan ketentuan pasal 77 KUHAP tentang sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan ganti kerugian
dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan yang dilaksanakan dalam praperadilan, telah diperluas
kewenangan tersebut dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-
XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir,
telah menjatuhkan putusan dalam permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang diajukan oleh Bahtiar Abdul Fatah. Yaitu Pasal
77 huruf a Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Pasal 77 huruf a Undang Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan dan
penyitaan”.

11
Putusan Perkara Nomor:32/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel., hlm. 206-234.

11
“Menimbang bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi aquo maka
kewenangan Pengadilan dalam memeriksa dan memutus obyek praperadilan yang
berkaitan dengan Pasal 77a KUHAP dimaknai tentang: Sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penahanan, penghentian
penyidikan, atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penggeledahan dan
penyitaan”.
“Menimbang bahwa setelah mempelajari permohonan Pemohon yang pada pokoknya
adalah mengenai tidak sahnya penetapan tersangka dan tidak sahnya penyitaan dan
penggeledahan, maka Pengadilan Negeri dalam lembaga praperadilan berwenang
memeriksa dan memutus permohonan praperadilan tentang sah atau tidaknya
penetapan tersangka dan sah atau tidaknya penyitaan dan penggeledahan”.
“Menimbang bahwa bukti yang diajukan Termohon menetapkan Tersangka pada
tanggal 2 Mei 2014 belum ditemukan bukti awal 2 alat bukti. Oleh karena dugaan
terjadi perbuatan pidana, maka penetapan tersangka baru dapat ditetapkan setelah
ditemukan 2 alat bukti, yaitu setelah dilakukan pengumpulan bukti pada tahap
penyidikan, hal ini juga sejalan dengan pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014 bahwa penetapan tersangka bagian dari proses penyidikan
yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia”.
“Menimbang bahwa LHP yang dibuat Penyelidik yang akan disampaikan kepada
Penyidik bukti yang diajukan Termohon dalam proses penyelidikan belum ditemukan
minimal dua alat bukti sah yang membuat terang suatu perbuatan pidana yang terjadi
guna menentukan tersangkanya”.
“Menimbang bahwa Sprindik kedua Nomor Spin-Dik20A/01/11/2014 tertanggal 20
November 2014 ditetapkan juga berdasarkan LHP yang sama hingga permohonan
praperadilan ini diajukan Penyidik Termohon tidak dapat menunjukan 2 alat bukti
yang cukup/sah untuk membuat terang perbuatan pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya”.
“Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka Pengadilan Negeri berpendapat
Pemohon telah berhasil membuktikan dalil permohonannya sekedar mengenai
penetapan tersangka tidak memenuhi syarat ditemukan dua alat bukti sah”.
“Menimbang bahwa oleh karena penetapan tersangka tidak memenuhi syarat tentang
ditemukan 2 alat bukti sah pada tahap penyidikan maka Pengadilan Negeri
berpendapat penetapan Pemohon sebagai tersangka oleh Pemohon tidak sah menurut
hukum”.12

Selain membatalkan penetapan tersangka Pemohon, Putusan a quo juga menyatakan

tidak sah penyitaan dan penggeledahan oleh Termohon dalam perkara tindak pidana yang

dikenakan kepada Pemohon. Sehingga aset-aset Pemohon yang disita dan diblokir oleh

Termohon harus dikembalikan kepada Pemohon. Dalam amar putusan lainnya, Hakim

perkara a quo menyatakan “Memulihkan hak-hak Pemohon baik dalam kedudukan, harkat
12
Dalam persidangan perkara a quo, terungkap fakta bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh
Termohon adalah berupa fotokopi tanpa dapat menunjukan bukti aslinya. Alat bukti yang diajukan juga tanpa
leges dan tanpa stempel resmi dari lembaga yang mengeluarkannya.

12
serta martabatnya”. Namun tak lama berselang dari Putusan a quo, Termohon kembali

menetapkan Pemohon sebagai tersangka dengan Surat Perintah Penyidikan baru dengan

Nomor: Sprin.Dik 14/01/06/2015 bertanggal 5 Juni 2015. Kemudian Pemohon mengajukan

kembali penetapannya sebagai tersangka dalam Perkara

Nomor:55/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.,. Tetapi berbeda dengan perkara sebelumnya, dalam

putusan praperadilan yang kedua ini, permohonan Pemohon ditolak. Hakim dalam sidang

praperadilan yang kedua ini, memberikan pertimbangan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa pengertian nebis in idem adalah asas hukum yang melarang
terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan
yang menghukum atau membebaskannya. Asas ne bis in idem ini berlaku secara
umum untuk semua ranah hukum”.
“Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui
dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu:
seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in idem ini berlaku dalam
hal seseorang telah mendapat putusan bebas (vrisjpraak), lepas (onstlag van alle
rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) (lihat Pasal 76 ayat [2] KUHP)”.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pengertian asas ne bis in idem sebagaimana tersebut
diatas maka ternyata perkara Pemohon baru memasuki putusan Praperadilan yang
telah diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Putusan
Nomor:32/Pid.Prap/2015/PN.Jak.Sel, tanggal 12 Mei 2015.....dan seterusnya) dan hal
tersebut belum menyangkut mengenai materi pokok perkara pidana materielnya,
sehingga menurut hemat Hakim Praperadilan tindakan Termohon menetapkan
kembali Pemohon sebagai tersangka tidaklah dapat diartikan bahwa hal tersebut
masuk dalam kategori melanggar azas ne bis in idem”;
“Menimbang, bahwa mengenai dalil Pemohon yang menyatakan Termohon belum
melakukan pemeriksaan calon tersangka (pemohon) sehingga Penetapan Pemohon
sebagai tersangka yang kedua kalinya hal tersebut bertentangan dengan putusan MK
Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan: ”.....menurut Mahkamah, agar
memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum
pidana maka frasa “bukti permulaan”, bukti permulaan yang cukup” dan bukti yang
cukup sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat
(1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam
Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangka (Putusan MK,
hal:98)”.
“menimbang, bahwa mengenai hal ini Hakim Praperadilan mempertimbangkan
ternyata dalam pertimbangan putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 dalam halaman
(98) yang sama juga dinyatakan: “......kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan
tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia) Artinya,

13
terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa
kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka”.
“Bahwa pengertian peradilan in absentia adalah pemeriksaan suatu perkara tanpa
kehadiran pihak tergugat (dalam perkara perdata dan tata usaha negara) atau terdakwa
(dalam perkara pidana)”.
“Bahwa ternyata Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan tindak pidana Korupsi mengenal adanya Pengadilan secara in
absensia, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah tidak hadir di sidang Pengadilan
tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa
kehadirannya”.
“Sehingga dalil Pemohon yang menyatakan Termohon belum melaksanakan
pemeriksaan calon tersangka hal tersebut bertentangan dengan putusan MK Nomor
21/PUU-XII/2014, tidak dapat dibenarkan, karena untuk perkara dugaan tindak pidana
korupsi mendapat pengecualian karena dapat diadili secara in absentia”.
“Bahwa terhadap LKTPK Nomor: LKTPK-13/KPK/03/2014 Tanggal 14 Maret 2014
dan LKTPK Nomor: LKTPK-14/KPK/03/2014 Tanggal 14 Maret 2014 yang
dijadikan dasar Sprin.Dik 20/01/05/2014 tanggal 02 Mei 2014 dan Sprin.Dik
20A/01/05/2014 tanggal 20 November 2014 yang dijadikan dasar penetapan Pemohon
sebagai tersangka (Pemohon) oleh Termohon serta hasil penyelidikan yang dilakukan
Termohon sejak tanggal 29 Juni 2012 berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan
Nomor: Sprin n.Lidik-45/01/06/2012 tanggal 29 Juni 2012 dan Surat Perintah
Penyelidikan Nomor Sprin n.Lidik-45A/01/06/2012 tanggal 4 Nopember 2013 yang
telah melakukan permintaan keterangan-keterangan dan pengumpulan bukti-bukti
adalah sah dan dapat dipergunakan dalam Termohon menerbitkan Surat Perintah
penyidikan Nomor Sprin.Dik 14/01/06/2015, tanggal 5 Juni 2015”.
“Menimbang, bahwa Sesuai bukti Surat yang diajukan oleh Termohon yaitu bukti
T.30 yang sama dengan bukti P.56 telah ada hasil audit dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) Nomor: 02/HP/XIX/03/2012 tanggal 27 Maret 2012 yang intinya
dalam pelaksanaan Kerjasama Rehabilitasi Kelola dan Transfer untuk Instalasi
Pengelolaan Air antara PDAM Kota Makassar dengan Pihak Ketiga periode tahun
2005 s/d tahun 2013 terdapat potensi kerugian PDAM Kota Makassar (kerugian
negara)”.
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut diatas, menurut
Hemat Hakim Praperadilan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka sudah sesuai dengan Prosedur dan juga memenuhi ketentuan minimal
menemukan 2 (dua) Alat bukti. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 44 ayat
(2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

Berdasarkan uraian di atas, khususnya terkait dengan perlindungan hak asasi

seseorang tatkala ditetapkan sebagai tersangka, dimana hak-hak tersangka tersebut

merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang harus dilindungi melalui proses

hukum yang memenuhi prinsip-prinsip hukum dan keadilan, maka peneliti berpandangan

14
bahwa topik tersebut menarik untuk didalami lebih lanjut. Ketertarikan peneliti untuk

mendalami permasalahan ini, setidaknya dilandasi beberapa alasan. Pertama, secara filosofis

bahwa keberadaan negara Indonesia yang menganut falsafah Pancasila sebagai dasar filosofi

negara (filosofiche grondslag), telah menetapkan prinsip kemanusiaan sebagai suatu prinsip

yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dan diwujudkan dalam kehidupan bernegara. Selain

itu, sebagai sebuah negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum sebagaimana secara tegas

dinyatakan dalam Pasal 1 UUD 1945, memiliki konsekuensi logis yang bermakna negara

memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional bagi warga

negaranya. Kedua, secara yuridis meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan ruang

hukum terhadap masuknya penetapan tersangka sebagai objek baru dalam yurisdiksi

praperadilan melalui Putusan Nomor: 21/PUU-XII/2014, berbagai persoalan tentang

perlindungan hak asasi bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam proses

penyidikan tindak pidana belumlah usai. Masih terdapat berbagai isu hukum yang belum

terjawab, di antaranya seputar batas waktu status tersangka dalam konteks tersangka tidak

ditahan, hak-hak tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana, dampak hukum

pembatalan penetapan tersangka yang tidak membatalkan pokok perkara, mekanisme hukum

dimulainya kembali suatu proses penyidikan terhadap objek perkara dan tersangka yang

sama, dan kepastian hukum terhadap tersangka dan objek pokok perkara jika penetapan

tersangka dibatalkan oleh hakim namun perkara tidak berlanjut. Ketiga, secara sosiologis

problematik mengenai persoalan penetapan tersangka bagi seseorang yang diduga melakukan

suatu tindak pidana tertentu, tidak hanya memiliki persoalan dimensi hukum semata, namun

juga memiliki dimensi sosial. Seseorang yang telah dinyatakan ditetapkan sebagai tersangka,

apalagi dinyatakan secara terbuka dan mendapat perhatian yang luas dari publik, seringkali

diasumsikan sebagai seseorang yang bersalah. Padahal baginya belum terdapat vonis hukum

terhadap peristiwa yang menimpanya. Sehingga tindakan penetapan tersangka bagi

15
seseorang, seolah menjadi suatu perampasan terhadap hak sosialnya yang tak dapat dihindari.

Bahkan, sanksi sosial tersebut tidak hanya diterima terhadap seseorang yang ditetapkan

sebagai tersangka saja, melainkan juga bagi keluarga tersangka turut menerima sanksi sosial

tersebut. Pada sisi lain, ruang hukum untuk memberikan kepastian hukum dalam rangka

penyelesaian persoalan penetapan tersangka, masih menjadi persoalan. Keempat secara

empiris Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah lahir sejak tahun

1981 mungkin saja perlu mendapat penyesuaian seiring dengan kondisi dan kebutuhan

hukum saat ini. Karena tak dapat dipungkiri, KUHAP merupakan hukum positif yang

menjadi aturan dasar dalam penyelesaian perkara pidana, namun dalam kenyataannya

persoalan tentang penetapan tersangka, tidak terdapat pengaturannya. Kelima, meski Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 telah memperluas Pasal 77 KUHAP, dengan

menetapkan kewenangan penetapan tersangka sebagai salah satu yurisdiksi praperadilan,

dalam praktiknya masih menimbulkan polemik baik secara praktik maupun teoritik.

b. Rumusan Masalah

Dalam penulisan disertasi ini, peneliti akan memfokuskan permasalahan penelitian

pada tiga rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa makna penetapan seseorang menjadi tersangka dalam perspektif perlindungan


hak konstitusional warga negara?
2. Apakah penetapan seseorang menjadi tersangka dalam norma dan proses praperadilan
di Indonesia telah mencerminkan perlindungan hak konstitusional warga negara?
3. Bagaimana pengaturan hukum acara pidana yang tepat di masa yang akan datang
mengenai praperadilan guna memberikan perlindungan hak konstitusional warga
negara bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka?

c. Tujuan Penelitian

Bertalian dengan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini ditujukan untuk:

16
1. mengetahui landasan teoritik dan filosofis tentang makna penetapan seseorang

menjadi tersangka dalam perspektif perlindungan hak konstitusional warga negara.

2. menganalisis landasan teoritik dan praktik apakah penetapan seseorang menjadi

tersangka dalam norma dan proses praperadilan di Indonesia telah mencerminkan

perlindungan hak konstitusional warga negara.

3. menemukan pengaturan hukum acara pidana yang tepat di masa yang akan datang

guna memberikan perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara bagi

seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka.

d. Manfaat Penulisan

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. secara teoritis penelitian ini diharapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu hukum dan hak asasi manusia, namun lebih khusus diharapkan

berguna untuk pengembangan konseptual dan teoritik, dalam memberikan

perlindungan terhadap hak konstitusional bagi seseorang yang ditetapkan sebagai

tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana menurut UUD 1945.

2. memberikan inspirasi dan motivasi bagi dilakukannya studi-studi lebih lanjut dalam

bidang hukum konstitusi dan HAM dalam rangka pembenahan dan pembaharuan

sistem hukum di Indonesia, khususnya terkait tentang perlindungan hak konstitusional

warga negara.

3. secara praktis, penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan dalam rangka

memberikan masukan dan saran bagi para perumus kebijakan hukum dan aparatur

penegak hukum (Pemerintah, DPR, lembaga peradilan, lembaga kepolisian, lembaga

kejaksaan, kementrian/lembaga negara), maupun lembaga kemasyarakatan yang

memiliki concern terhadap hukum konstitusi dan HAM serta perlindungan hak

17
konstitusional bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam proses

penyidikan tindak pidana.

e. Orisinalitas Penulisan

Untuk menghindari kesamaan penelitian ini dengan penelitian lainnya, serta untuk

menambah khasanah kajian teoritik dan kepustakaan bagi penelitian ini, peneliti berupaya

untuk menelusuri penelitian sejenis dan mendalami objek masalah yang diangkat dalam

berbagai penelitian sejenis tersebut. Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, terdapat

beberapa hasil penelitian berbasis tesis dan disertasi sebagai berikut:

1. Lembaga Praperadilan Dalam Perspektif Kini dan Masa Mendatang Dalam

Hubungannya Dengan Hak Asasi Manusia, Tesis I Gede Yuliartha, Universitas

Diponegoro Semarang, 2009.

2. Permohonan Praperadilan Oleh Pihak Ketiga Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi,

Tesis Alfonsius Gebhard Loe Mau, Universitas Indonesia, 2011.

3. Fungsi Praperadilan Sebagai Lembaga Pengawasan Horisontal Dalam Sistem Peradilan

Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), Tesis Wiyanto, Universitas Muria

Kudus, 2015.

4. Ketentuan Batas Waktu Penyidik Tindak Pidana Umum Dalam Perspektif Ius

Constitutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan

Hukum Acara Pidana (Ius Constituendum), Tesis I Dewa Gede Anom Rai, Universitas

Udayana, 2015.

5. Pretrial Supervision’s Prediction For Probation, Thesis Madeline Warren, University of

Missuri-Kansas City, 2009.

6. The impact and constitutionality of delayed trials on the rights of a suspect or accused

person during criminal proceedings, Thesis Arusha Gopaul, University of South Africa,

2015.

18
7. Pretrial Release in Criminal Courts: a Study of Three Oregon Countries, Dissertation by

Meelvin Earl DeGraw, Portland State University, United States, 1995.

8. Towards harmonized standards for pre-trial detention procedures throughout the

Europian Union, Dissertation by Voislav Stojanovski, Masaryk University, Brno Ceko,

2010.

Mencermati hasil penelitian di atas, peneliti tidak menemukan kesamaan baik dalam

judul maupun rumusan masalah dengan rencana penulisan disertasi yang hendak peneliti

susun. Namun demikian, tak dapat dipungkiri bahwa bagian-bagian dari hasil penelitian di

atas dapat membantu peneliti dalam menjawab dan mengelaborasi rumusan masalah yang

peneliti angkat dalam penelitian ini.

f. Kajian Pustaka

1. Konsep Hak Asasi Manusia

Diskursus mengenai hak asasi manusia sesungguhnya bukanlah merupakan suatu hal

yang baru, sebab masalah hak asasi manusia itu telah ada sejak manusia itu ada dan akan

berakhir apabila manusia itu telah tiada. Kondisi seperti itu terjadi dikarenakan hak asasi

manusia melekat (inherent) dalam diri manusia. Dalam Preambule Perjanjian Internasional

Hak-hak Sipil dan Politik yang dirumuskan oleh PBB, dikemukakan bahwa hak asasi

manusia adalah hak yang dimiliki setiap manusia, yang melekat atau inherent padanya,

karena dia adalah manusia.13

Berdasarkan batasan yang dikemukakan di dalam Preambule Perjanjian

Internasional ini dapat dikemukakan bahwa HAM sifatnya sangat mendasar atau asasi

(fundamental), dalam arti bahwa pelaksanaannya mutlak diperlukan agar manusia dapat

berkembang sesuai dengan bakat, cita-cita, serta martabatnya. Hak-hak ini juga dianggap

13
Dalam Preambule Perjanjian Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dari PBB dirumuskan :
“These rights derive from the inherent dignity of the human person” (Hak-hak ini berasal dari martabat
yang inheren dalam manusia). James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 19-22.

19
“universal”, artinya dimiliki manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama,

atau jenis kelamin.14

Pendapat di atas juga sesuai dengan John Locke15 yang mengatakan bahwa ”semua

individu dikaruniai oleh alam, hak yang melekat atas kehidupan, kebebasan dan harta,

yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dipindahkan atau dicabut oleh

negara”. Di pihak lain, J.J. Rousseau16 menyatakan bahwa hukum kodrati tidak

menciptakan hak-hak kodrat individu, melainkan menganugerahi kedaulatan yang tidak

bisa dicabut pada warga negara sebagai satu kesatuan. Jadi, setiap hak yang diturunkan

dari hukum kodrati akan ada pada rakyat sebagai suatu kolektivitas dan dapat

diidentifikasi dengan mengacu pada kehendak umum. Bertalian dengan itu, C.de Rover 17

menyatakan:

“Hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia.
Hak hak tersebut dimiliki oleh setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki ataupun
perempuan. Biarpun hak-hak tersebut sering dilanggar akan tetapi tidak pernah dapat
dihapuskan”.

Pendapat C. de Rover ini sesuai dengan pendapat Lafayette yang mengatakan bahwa

hak asasi manusia merupakan dasar hukum umum dan dasar kemerdekaan manusia

sebagai konsekuensi dari pengakuan kemerdekaan dan hak persamaan. Manusia

dilahirkan merdeka dan tetap tinggal merdeka, serta mempunyai hak yang sama.18 Sebagai

hak hukum, maka seperti dikemukakan oleh Yoram Dinstein,19 bahwa, “Hak asasi

manusia dimaksudkan untuk menunjukkan dan melindungi martabat dan keutuhan

manusia secara individual”.

14
Miriam Budiardjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, (Jurnal Ilmu Politik), Edisi 10,
Gramedia, Jakarta, 1990, hlm. 37.
15
Terpetik dari Scott Davidson, Hak Asasi Manusia, Grafiti, Jakarta, 1994, hlm. 37. Lihat pula
Geoffrey Robertson QS, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Perjuangan Untuk mewujudkan Keadilan Global,
Komnas HAM, Jakarta, 2002, hlm. 7.
16
Ibid., hlm. 38.
17
Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan politik,
Editor Ifdhal Kasim, ELSAM, Jakarta, 2001, hlm. 128.
18
Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga Kriminologi
Universitas Indonesia, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1983, hlm.15.
19
Yoram Dinstein, Loc. Cit.

20
Dalam pada itu, James W. Nickel menyebutkan bahwa hak asasi manusia itu adalah

seperangkat hak. Sedangkan hak menurut C. de Rover,20 HAM adalah tuntutan yang

dapat diajukan seseorang terhadap orang lain sampai kepada batas-batas pelaksanaan hak

tersebut. Mencermati pendapat James W. Nikel dan C. de Rover, dapat disimpulkan

bahwa terdapat bermacam-macam hak. Tentang macam-macam hak yang dimaksud, dapat

ditinjau pendapat John Locke, Montesquieu, dan J.J. Rousseau, yang menyebutkan bahwa

hak-hak asasi manusia terdiri dari:21

1. Kemerdekaan atas diri sendiri.


2. Kemerdekaan beragama.
3. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat.
4. Hak Write of Habeas Corpus.
5. Hak kemerdekaan pikiran dan pers.

Demikian pula di dalam The Universal Declaration of Human Rights,22 bahwa hak

asasi manusia meliputi:

1. Hak personal yakni jaminan minimum yang perlu ada untuk kebutuhan jasmaniah
manusia seperti hak untuk hidup (Pasal 3); perlindungan dari diskriminasi atas dasar
seks, warna kulit, ras, agama, bahasa, atau pandangan politik (Pasal 2); pelarangan
atas perbudakan (Pasal 4); perlindungan atas tindakan kekerasan seperti penyiksaan
serta hukuman yang merendahkan martabat manusia serta perlakuan yang tidak
manusiawi (Pasal 5); persamaan di depan hukum (Pasal 6-7); hak untuk menjadi
warga sesuatu bangsa termasuk mengubah kewarganegaraannya (Pasal 15).
2. Hak legal maksudnya adalah perlindungan bagi seseorang yang berhubungan
dengan sistem hukum dalam suatu negara. Ke dalam hak legal ini termasuk: untuk
tidak diperlakukan dalam penangkapan dan penahanan sewenang-wenang atau
dibuang (Pasal 9); pengadilan yang adil (Pasal 10); perlakuan terhadap seseorang
sebagai tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan (Pasal 11); untuk tidak
mencampuri kehidupan seseorang seperti keluarga, rumah tangga, surat menyurat,
serta mencemarkan serta nama baik atau kehormatan seseorang (Pasal 20).
3. Hak politik maksudnya adalah hak-hak yang dibutuhkan untuk memperkuat warga
negara dalam berpartisipasi dalam mengontrol negara. Antara lain mencakup: hak
untuk ikut serta dalam proses pemerintahan baik secara langsung atau melalui
wakil-wakilnya; hak atas kesempatan yang sama dalam memperoleh pelayanan
publik di negaranya; bahwa kemauan rakyat merupakan dasar kekuasaan
pemerintahan melalui pemilu yang murni yang dilakukan secara teratur rahasia
secara bebas (Pasal 21).

20
C. de Rover, Acuan Universal Penegakan HAM, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 47.
21
Terpetik dari Ramdlon Naning, Op.Cit, hlm. 15.
22
Rustam Ibrahim, Hubungan Antar HAM dengan Demokrasi dan Pembangunan, dalam Diseminasi
Hak Asasi Manusia, Editor E. Shobirin Nadj, Naning Mardiniah, CESDA LP3ES, Jakarta, 2000, hlm. 46-47.

21
4. Hak-hak subsistensi adalah menjamin adanya sumber daya untuk menunjang
kehidupan minimum seperti hak untuk mendapatkan makanan dan pelayanan
kesehatan (Pasal 25).
5. Hak ekonomi termasuk didalamnya hak akan social security, (Pasal 22); hak untuk
memperoleh dan memiliki pekerjaan, membentuk serikat buruh, hak untuk
memperoleh pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama (equal pay for
equal work), upah yang adil dan layak untuk kehidupan diri dan keluarganya
sebagaimana layaknya manusia yang bermartabat, serta berbagai perlindungan
sosial lainnya (Pasal 23), hak untuk beristirahat dan bersenang-senang, termasuk
pembatasan jam kerja dan hak cuti dan liburan dengan pembayaran (Pasal 24).
6. Hak sosial mencakup hak untuk kehidupan pribadi (Pasal 12), hak untuk menikah
dan membina rumah tangga (Pasal 16), dan hak memperoleh pendidikan (Pasal 27).

Perkembangan konsep-konsep HAM telah membawa perubahan yang cukup

mendasar terhadap pandangan dalam lingkup internasional dan lingkup hukum nasional.

Perkembangan tentang HAM ini tidak terlepas dari keinginan masyarakat dunia

internasional untuk membentuk suatu sistem hukum yang humanis dan memperhatikan

hak-hak individu. Terdapat empat kelompok pandangan tentang HAM ini, yaitu

pandangan universal absolut, pandangan universal relatif, pandangan partikularistik

absolut dan pandangan partikulistik relatif.23

Pandangan universal absolut memandang HAM sebagai nilai-nilai universal

sebagaimana dirumuskan dalam dokumen-dokumen HAM dan profil sosial budaya yang

melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan. Tidak diperhitungkannya profil

sosial budaya dari yang melekat dari masing-masing negara membuat pandangan ini

sering memicu yang konflik saling menyalahkan karena pandangan akan konsepsi HAM

tiap tiap negara dipandang sama sebab dipandang sebagai suatu kewajiban moral berkaitan

dengan adanya dokumen-dokumen internasional tentang HAM.

Pandangan universal relatif, memandang HAM sebagai suatu masalah yang bersifat

universal dengan perkecualiaan dan batasan yang didasarkan pada asas-asas hukum

internasional. Pandangan ini mengakui keberadaan asas-asas hukum internasional sebagai

23
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro,
Semarang , 2002 hlm 56-57.

22
suatu hal yang dapat membatasi HAM, dan mengakui bahwa HAM tidaklah sesuatu yang

mutlak sepanjang hal tersebut dikecualikan oleh asas-asas hukum internasional.

Pandangan partikulistik absolut memandang HAM sebagai persoalan dari masing-

masing bangsa. Pandangan ini memperlihatkan sikap chauvinistik yang memberikan kesan

adanya penolakan-penolakan terhadap dokumen dokumen internasional sehingga

terkadang menimbulkan kesan egoisme, defensif dan pasif tentang HAM.24

Pandangan partikularistik relatif memandang HAM sebagai suatu masalah universal

dan juga masalah nasional dari masing-masing bangsa. Pandangan ini memperlihatkan ada

keseimbangan antara pandangan HAM menurut lingkup nasional dan pandangan HAM

berdasarkan dokumen-dokumen internasional oleh suatu bangsa terjadi setelah melalui

proses penyelarasan dan mendapat dukungan dari budaya bangsa.25

Perkembangan konsepsi HAM telah memberikan suatu pandangan baru akan

konsepsi pemidanaan dan penegakan hukum pidana dan khususnya dalam penegakan

hukum dimana timbul pandangan-pandangan yang menginginkan suatu perlakuan yang

humanis terhadap tersangka dan terdakwa dengan pandangan bahwa HAM adalah suatu

hal yang tetap melekat dan hanya bisa dicabut dengan kematian.26

Secara historis HAM dapat diurut di Inggris dalam Magna Charta 1215, Petition of

Rights 1628, Habeas Corpus Act 1679, Bill of Rights 1689, Declaration of Independent

1776, Parliament Act 1911. Di Prancis dokumennya terkenal dengan Declaration des

Droits de I’homme et du Citoyen 1789, dokumen khusus disamping The consitutotion of

the First Republic 1791 dan UDHR Tahun 19489494. Magna Charta, Declarations des

droit I ;homme et du citoyen” serta “Bill Of Right” bertujuan memperjuangkan

24
Ibid., hlm. 57.
25
Ibid.
26
Radhie Noviandi Yusuf, “Due Process of Law Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”,
Tesis, Unpad, 2004 hlm. 22.
9494
Sri Soemantri, “Refleksi HAM di Indonesia”, Makalah, disampaikan dalam pelatihan Hukum
Humaniter dan Hukum HAM, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 22 s/d 25 Juni 1998 di Yogyakarta,
hlm. 4.

23
perlindungan Hak asasi manusia terhadap kemungkinan terjadinya “diskresi” dalam

penggunanan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada aparatur penegak

hukum pada saat itu. Hal ini dapat dilihat dalam Magna Charta menyatakan, “…that no

person may be deprived of life, liberty or property unlesss by a fundamentallly rational

law (substantive due process”) applied in a fundamentally fair proceeding (Procedural

due process”). Bunyi pengaturan tersebut bahwa Magna Charta secara tegas

mengharuskan adanya fundamentally rational law dan fair process sebagai syarat untuk

dapat dilakukan pembatasan hak asasi seseorang (deprived of human right). Kemudian

pada saat revolusi Prancis (1789) menghasilkan sejumlah tuntutan untuk mengubah

hukum acara pidana yang menunjukkan perhatian yang sangat besar dari warga negaranya

terhadap hak-hak,27 mengingat konsepsi HAM merupakan suatu hal yang mutlak dan telah

diakui sifat dasarnya yang melekat (inherent dignity) pada manusia. Dengan demikian

tidak dapat dicabut (inalinable) dan tidak boleh dilanggar (invionable) dan konsep

pemikiran ini melahirkan pendekatan “due procees of law”.

Kasus Miranda yang kemudian melahirkan doktrin “Miranda Rules” dimana pada

saat itu Miranda ditangkap tanpa dibacakan hak-hak dirinya oleh polisi. Pada saat ia

ditangkap, dan atas hal tersebut hakim kemudian menyatakan Miranda dibebaskan karena

dinilai polisi telah melanggar hak individu Miranda dengan tidak membacakan hak-

haknya.Lebih lanjut“Miranda Rule” dalam “Dictionary of legal Term: dijelaskan sebagai

berikut :

“ the requirment to inform a person of his or her privilege against self-incrimination


(the right to remain silent) and his or her right to the presence and advice of a
retained or appointed attorney before any cutodial interogation by law enforcement
authorities. Prior to any questioning, the person must also be warned that any
statement she or he does make may be used also as evidence against him or her”.

27
Mardjono Reksodiputro, Op.Cit., hlm. 29.

24
“Ratio decidendi” dalam kasus Miranda ini memperlihatkan sekaligus menjadi

sebuah: the binding force of presedents” terhadap penegakan hukum (law enforcement),

dimana bahwa hak seseorang tetaplah ada dan penghormatan terhadap hak seseorang

haruslah dikedepankan serta harus dijunjung tinggi meskipun ditempatkan dia dalam

posisi sebagai objek dari hukum pidana. Mekanisme internasional, dalam hal ini PBB

mengamanatkan pada The United Nation Charter 1945, Universal Declation of Human

Rights (UDHR/DUHAM) 1948 dengan kedua convenant yaitu ICESCR 1966 dan ICCPR

serta OPICCPR 1966.28 Mekanisme HAM secara nasional ditemukan hampir dalam setiap

konstitusi atau undang-undang dasar negara yang bersangkutan. Artinya, bahwa dalam

konstitusi atau undang-undang dasar disediakan satu bab atau bagian khusus yang memuat

tentang hak asasi manusia dan warga negaranya.29 Di Indonesia ditemukan dalam ketiga

konstitusi atau Undang-undang dasar yang pernah dan sedang berlaku ialah UUD 1945,

Konstisusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, dan UUDS 1950 serta peraturan

pelaksanaannya.30 Dalam UUD 1945, HAM selain diamanatkan dalam pembukaan juga

dijabarkan dalam batang tubuhnya yaitu dalam Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30,

Pasal 31 dan Pasal 34, dalam Pasal-pasal inilah tersurat secara jelas dan senafas dengan

HAM atau hak-hak dan kebebasan dasar manusia. Beberapa istilah yang dipergunakan

dalam Undang-undang Dasar 1945 adalah “ bersamaan kedudukannya” dan “wajib”,

“berhak”, “berhak dan wajib” serta kemerdekaan” (tanda miring penulis).31

Norma HAM yang terkandung dalam UUD 1945, mempunyai dua posisi, yaitu

sebagai norma pengarah atau pemandu (Leistern)32 bagi hukum positif untuk mencapai
28
Lihat Subhi Mahmassani, Arkan Huqul Insan, Terjemahan Konsep Dasar Hak Asasi Manusia,
Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, (Hasanuddin ) PT Tintamas, Indonesia
Bogor, 1993, hlm. 47.
29
G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Timun Mas NV, 1955 hlm. 123;
Lihat Juga Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konsitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 51.
30
Lihat K Wantjik Saleh, Tiga Undang-undang Dasar, Ghalia Indonesia, 1977.
31
Ibid., hlm. 6.
32
Leitstren dalam konsep Radolf Stammler, lebih mengarah pada tataran rechtidee yang oleh
Soepomo diartikan sebagai cita-cita hukum sedangkan Hamid Attamimi mengartikan sebagai cita hukum,
dalam perspektif hukum tata negara. Rechtidee adalah Pancasila, Lihat Firdaus, Ed., Muladi, Implikasi

25
cita-cita perlindungan HAM, dan sebagai norma penguji undang-undang atau hukum

positif apakah telah selaras dengan semangat HAM. Sebagai Leistern norma HAM yang

terkandung dalam UUD dapat berfungsi regulatif maupun konstitutif. Fungsi Regulatif

menempatkan norma HAM dalam UUD sebagi tolak ukur untuk menguji, apakah undang-

undang atau hukum positif telah selaras dengan cita-cita HAM. Sebagai fungsi konstitutif

menentukan tanpa semangat HAM dalam UUD atau hukum positif akan kehilangan

makna sebagai hukum yang bermanfaat untuk kemasylahatan masyarakat. Penghormatan

terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) termasuk penghormatan terhadap hak-hak tersangka,

terdakwa, terpidana selama ini cukup mendapat perhatian dari sistem hukum pidana

Indonesia.33

2. Teori Keadilan

Plato meletakan konsep keadilan pada umumnya sebagai kebijakan yang utama,

telah mengilhami Aristoteles dalam mengembangkan pemikiran konsep keadilan yang

merupakan kebajikan yang lengkap dalam arti seutuhnya karena keadilan bukan nilai yang

harus dimiliki dan berhenti pada taraf memilikinya bagi diri sendiri, melainkan juga

merupakan pelaksanaan aktif dalam artian harus diwujudkan dalam relasi dengan orang

lain.34

Mengintrodusir konsep keadilan Plato dan Aristoteles sebagaimana di atas, Jhon

Rawls dengan kreatif mengkonsepsikan keadilan dalam prinsip sistem sosial dan institusi

yang menjadikan suatu keharusan untuk menjunjung keadilan dan saling menghomati

antara negara dengan individu merupakan bagian dari perlindungan negara terhadap hak

individu yang dituangkan dalam aturan nasional sebagai suatu perbuatan fairness.35

Pengaturan HAM dalam UUD, Op.Cit., hlm 12-13.


33
Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Op Cit hlm. 63.
34
Jhon Rawls, A Theory of Justice – Teori Keadilan; Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Maret, 2011.
35
Ibid., hal. 129 -131.

26
Secara implisit filsafat keadilan yang menghendaki setiap tindakan hukum

didasarkan atas kebijakan moral penegak hukum. Secara implisit hal ini tertuang dalam

asas habeas corpus yang menyatakan:

“ a legal term which, in its original Latin, means: you are ordered to have the body;
a lawyer can obtain a writ of habeas corpus that order the police to produce the
arrested person in court who decides if the police have suffientreason to hold the
prisoner. The writ of habeas corpus is a basic guarantee of personal freedom in
English and America Law, it prevent unjust or wrongful impresonment or detention
by legal authorities”

Asas ini memberikan penekanan bagi polisi atau penyidik dalam melakukan

penangkapan agar tidak berbuat semena-mena, dan juga merupakan suatu sarana

pencegahan penangkapan dan penahanan yang tidak adil dengan meminta pengesahan

kepada pengadilan. Asas ini kemudian dikukuhkan pada tahun 1679 menjadi Habeus

Corpus Act oleh parlemen Inggris. Sistem hukum Amerika Serikat juga menganut Habeus

Corpus Act.36 Terdapat 4 (empat) piagam (charter) yang menyangkut kebebasan yang

dikukuhkan menjadi undang-undang di Inggris, yaitu:37

1) Magna Carta Charter (1215), sebagai dokumen hukum kebiasaan (common law)
menjadi dasar kebebasan dalam konstitusi Inggris;
2) Petition of Right Charter (1628), tidak boleh langsung dipaksakan untuk memberi
pemberian, pinjaman, derma, pajak, dan pengenaan biaya tanpa persetujuan undang-
undang yang disetujui oleh parlemen;
3) Habeas Corpus Carter (1679), dan
4) Bill of Right Charter (1689), dokumen yang berisikan hak-hak asasi manusia, yang
juga diadopsi dalam konstitusi Amerika Serikat pada 15 Desember 1791.

3. Teori Perlindungan Hukum

Konsep perlindungan hukum38 pada hakekatnya mengandung beberapa pengertian

sebagai berikut:

a. perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia


yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat
agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum;
36
Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Red & White Publising, 2009,
hal. 202.
Ibid.
37

Philipus Mandiri Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Gadjah Mada University Press, 1993,
38

hal. 287-304.

27
b. perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan
terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan
ketentuan hukum dari kesewenangan;
c. perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat
penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari
gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun;
d. perlindungan hukum adalah sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan
dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya;
e. perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya
perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait
pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia
sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta
lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk
melakukan suatu tindakan.

Sarana perlindungan hukum ada dua macam, yakni:39

a. Sarana Perlindungan Hukum Preventif


Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan
untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah
terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi
tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan
adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat
hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di
indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum
preventif.
b. Sarana Perlindungan Hukum Represif
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan
Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip
perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber
dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.
Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak
pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan
dengan tujuan dari negara hukum.

Berkaitan dengan konsep perlindungan hukum, negara dalam upaya melindungi hak-

hak tersangka maupun terdakwa dalam proses penyelesaian perkara pidana telah

memberikan perlindungan hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan, salah

39
Philipus Mandiri Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hal.
94.

28
satunya melalui lembaga praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 juncto

Pasal 77 KUHAP. Praperadilan pada dasarnya merupakan suatu bentuk usaha pemberian

perlindungan dan pernghormatan hak asasi manusia (HAM) kepada tersangka dari

pelaksanaan wewenang aparat penegak hukum yang meliputi penangkapan, penahanan,

penggeledahan, penyitaan, dan penetapan sebagai tersangka.

Perlindungan hukum yang dianut dalam hukum acara bertujuan untuk melindungi

orang yang tidak bersalah dari ancaman hukuman atas dugaan perbuatan pidana. Pada

pokoknya perlindungan hukum yang diberikan oleh KUHAP dimulai pada setiap proses

upaya hukum (legal action) yang dimulai dari proses penyelidikan dan penyidikan yang

menjurus pada tindakan unfair prejudice, serta proses penuntutan dan peradilan yang

memihak (unlawful legal evidence). Perlindungan hukum yang diberikan oleh undang-

undang (KUHAP) harus dilakukan oleh setiap penegak hukum dengan wajib memegang

prinsip demi keadilan (pro justitia).

Berkenaan dengan perlindungan HAM tersangka sebagaimana diatur dalam


KUHAP, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 018/PUU-IV/2006 dan 21/PUU-
XII/2014, berpendapat bahwa:
“acara pidana seharusnya mencerminkan penggunaan kekuasaan negara pada
proses penyelidikan, penyidikan, di mana penggunaan kewenangan tersebut
akan berakibat langsung kepada hak-hak warga negara. Penahanan merupakan
tindakan yang diperlukan dalam proses penegakan hukum, meskipun dalam
penahanan itu sendiri terdapat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Oleh
karena itu, penahanan harus diatur dengan undang-undang yang di dalamnya
ditentukan tata cara serta syarat-syarat yang jelas. Hal demikian, dilakukan
untuk seminimal mungkin menghindari pelanggaran hak asasi manusia.
Perubahan hukum acara pidana dari HIR ke KUHAP, dimaksudkan untuk
lebih, meningkatkan perlindungan terhadap hak asasi manusia”.

4. Teori Pengawasan

Praperadilan yang diatur dalam KUHAP, ditinjau dari sistem Eropa Kontinental,

menyerupai fungsi examinating judge (Rechter Commissaries), yakni mengawasi apakah

sah atau tidak suatu upaya paksa. Namun kewenangan rechter commissaries lebih luas,

29
karena memiliki kewenangan untuk melakukan “Investigating judge”. Kewenangan ini

diwujudkan dalam tindakan memanggil saksi-saksi, melakukan penahanan, dan

mendatangi rumah saksi dan tersangka untuk pengecekan suatu kebenaran keterangan

(Pasal 47, 46, 62, 56 RV).

Fungsi yang hampir mirip juga ditemui pada sistem hukum Anglo Saxon yaitu

Habeas Corpus, dimana prinsip dasarnya adalah bahwa di dalam masyarakat yang

beradab, pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang. Jika suatu

penahanan terjadi atas diri seseorang maka terbuka kemungkinan untuk mengujinya ke

pengadilan, sekalipun perkara pokok masih dalam pemeriksaan pendahuluan. Dengan kata

lain, hak untuk diperiksa di muka hakim sebelum perkara pokoknya diperiksa disebut

Habeas Corpus. Di dalam pengawasan secara horizontal dalam praperadilan terhadap

upaya paksa HIR tidak mengatur pengawasan dan penilaian terhadap upaya paksa

sebagaimana yang diatur dalam KUHAP. Pengawasan oleh hakim dalam hal perpanjangan

waktu penahanan sementara yang harus dimintakan persetujuan hakim tidak mampu

melindungi hak-hak tersangka atau terdakwa karena terbatas dan bersifat tertutup.40

Gagasan lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak

Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan

fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. 41 Konsep hukum

pengawasan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan pengendalian atas suatu pelaksanaan

tugas/kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan aturan dan tujuan yang telah

ditetapkan. Pengawasan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pengendalian atas

kewenangan suatu lembaga apabila disertai dengan tindakan korektif.

40
Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2001, hal. 321.
41
Ibid.

30
Konsep pengawasan pada umumnya dapat dibagi berdasarkan jenisnya,

penyelenggaraan pengawasan dibedakan atas segi waktu dan sifat. Pengawasan ditinjau

dari segi waktu dibagi menjadi:42

1. pengawasan a-priori atau pengawasan preventif, yakni pengawasan yang dilakukan


oleh aparatur pemerintah yang lebih tinggi terhadap keputusan-keputusan dari
aparatur yang lebih rendah. Pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu
keputusan atau ketetapan administrasi negara atau peraturan lainnya dengan cara
pengesahan terhadap ketetapan atau peraturan tersebut. Apabila ketetapan atau
peraturan tersebut belum disahkan maka ketetapan atau peraturan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum;
2. pengawasan a-posteriori atau pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh aparatur pemerintah yang lebih tinggi terhadap keputusan aparatur pemerintah
yang lebih rendah. Pengawasan dilakukan setelah dikeluarkannya keputusan atau
ketetapan pemerintah atau sudah terjadinya tindakan pemerintah. Tindakan dalam
pengawasan represif dapat mengakibatkan pencabutan apabila ketetapan pemerintah
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam
keadaan yang mendesak, tindakan dapat dilakukan sebelum pencabutan.

Pengawasan terhadap aparatur pemerintahan apabila dilihat dari segi sifat

pengawasan, terhadap objek pengawasan dibedakan menjadi 2, yakni:43

1. pengawasan dari dimensi hukum (rechtmatigheidstoetsing), yaitu pengawasan yang


dilakukan oleh badan peradilan, yang pada pokoknya menitikberatkan pada prinsip
legalitas. Pengawasan hukum dilakukan oleh hakim dilaksanakan dalam rangka
memberikan perlindungan (legal protection) bagi rakyat dalam hubungan hukum di
antara negara/pemerintah dengan warga masyarakat;
2. pengawasan dari dimensi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing), yaitu pengawasan
teknis administratif intern dalam lingkungan pemerintah sendiri (built in control)
selain bersifat legalitas, juga menitikberatkan pada segi penilaian kemanfaatan dari
tindakan yang bersangkutan.

Dimensi pengawasan lembaga praperadilan ini merupakan horizontal yang built-in

(melekat). Artinya, lembaga praperadilan ini sudah merupakan bagian mekanisme sistem

peradilan pidana yang diatur oleh KUHAP. Dengan kata lain, bahwa dengan adanya

lembaga praperadilan ini maka seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa

diberi hak oleh undang-undang untuk melakukan pengawasan atas jalannya suatu upaya

paksa dalam proses penyidikan dan/atau penuntutan atas dirinya. Tujuan adanya

42
Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Loc. Cit.
43
Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, Op. Cit., hal.125.

31
pengawasan ini adalah antara lain untuk konkretisasi konsep HAM dengan prinsip

akusatoris dan praduga tidak bersalah yang juga dimuat dalam KUHAP.

Praperadilan berfungsi sebagai alat kontrol dalam administrasi peradilan pidana

bertujuan untuk menghindarkan adanya penyalahgunaan wewenang penyidikan, yang

dilakukan dengan cara kontrol secara horizontal, yakni kontrol ke samping antara

penyidik, penuntut umum, timbal balik, tersangka, keluarga tersangka atau pihak ketiga.

Bukan dilakukan dengan kontrol vertikal, yakni pengawasan yang bersifat intern dalam

perangkat aparat itu sendiri yang bersifat antara atasan yang berwenang langsung dengan

bawahan.

Praperadilan sebagai salah satu fungsi kontrol yang dilekatkan pada kewenangan

pengadilan secara horizontal atas penerapan upaya paksa secara limitatif yang dilakukan

oleh kepolisian dan kejakasaan meliputi:

1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian


penuntutan (dikecualikan terhadap penyampingan perkara oleh Jaksa Agung demi
kepentingan umum)
2. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan
di tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77 KUHAP).
3. Sah atau tidaknya penyitaan terhadap barang bukti sebagai hasil kejahatan [Pasal 82
ayat (1) dan (2) KUHAP]
4. Tuntutan ganti rugi oleh tersangka atau keluarga ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang karena
kekliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan
ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat (2) KUHAP)
5. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
ditetapkan yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri [Pasal 97 ayat (3)
KUHAP]

32
Penerapan prinsip habeas corpus dalam praperadilan di Indonesia, rumusan pasal-

pasal KUHAP lebih mengarah kepada pengawasan administratif. Karena dalam

praperadilan yang menggunakan KUHAP, praperadilan tidak dapat digunakan menguji:

1. Apakah asas yuridis dan nesesitas dalam upaya paksa itu absah dalam arti materiil.
2. Apakah “bukti permulaan” sebagai dasar untuk menentukan status sebagai tersangka
dan kemudian menetapkan upaya-paksa seperti penahanan absah secara materiil.
KUHAP tidak mengenal investigating judge sebagaimana berlaku di Perancis atau
Rechter Commisaries di Belanda yang mempunyai wewenang dalam menentukan
tuduhan yang akan dikenakan terhadap seseorang.

5. Prinsip Legalitas

Secara konseptual prinsip legalitas merupakan dasar untuk menguji apakah tindakan

dari pejabat aparatur negara telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Menurut Komariah Emong Sapardjaja, dicantumkan secara tegas dalam konsideran

KUHAP huruf a yang menyatakan,

“bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang
menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”.44

Berdasarkan konsideran ini, pelaksanan KUHAP harus bersumber pada titik tolak

the rule of law, sedangkan tindakan penegak hukum harus berdasarkan ketentuan hukum

dan undang-undang. Maka jelas bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah

undang-undang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas.45

Sejalan dengan pendapat di atas, Yahya Harahap mengatakan bahwa asas atau pinsip

legalitas secara tegas dalam konsideran huruf a KUHAP.46 Lebih lanjut Yahya Harahap

mengemukakan bahwa KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah undang-undang yang
44
Komariah Emong Sapardjaja, Kajian dan Catatan Hukum Atas Putusan Praperadilan Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 16 Februari 2015 Pasca Kasus Budi Gunawan: Sebuah Analisis Kritis,
Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1 Tahun 2015, hal. 17.
45
Ibid.
46
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2009, hal. 36.

33
berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan dan penerapan KUHAP harus bersumber pada

titik tolak rule of law.47

Landasan asas legalitas dalam KUHAP mengandung makna yang menurut

Groenhuijsen sebagaimana dikutip oleh Komariah Emong Sapardjaja, terdapat empat

makna, yakni dua dari yang pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang dan dua

yang lainnya merupakan pedoman bagi hakim. Pertama, pembuat undang-undang tidak

boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana yang berlaku mundur. Kedua, semua

perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga,

hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana pada perbuatan

hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana

dilarang menerapkan analogi.48

Prinsip legalitas dalam hukum pidana formil, secara eksplisit dinyatakan dalam

Pasal 1 angka 10 KUHAP, yang menentukan bahwa lembaga praperadilan merupakan

wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus:

a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Selanjutnya, prinsip legalitas dalam KUHAP dinyatakan dalam Pasal 2 yang

menyatakan bahwa “Undang-Undang ini berlaku untuk melaksanakan tata cara peradilan

lingkungan peradilan umum pada semua tingkatan”, dan Pasal 3 menyatakan bahwa

“Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Dari ketentuan

47
Ibid.
48
Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Penerbit Alumni
Bandung, 2002, hal. 5-6.

34
Pasal 1 angka 10, Pasal 2, dan Pasal 3 KUHAP, tampak bahwa prinsip legalitas yang dapat

dijadikan sebagai ukuran keabsahan terhadap setiap tindakan hukum dan pelaksanaan dari

penyidikan dan penuntutan. Kriteria-kriteria yang yang ditentukan oleh Pasal 1 angka 10

KUHAP dapat dijadikan sebagai alat penguji legalitas tindakan penyidik dan penuntut

mengenai:

1. Apakah tindakan penyidikan dan penuntutan berdasarkan ketentuan hukum atau


tidak;
2. Apakah tindakan tersebut sesuai dengan kewenangannya atau tidak; dan;
3. Apakah tindakan tersebut tidak melampaui kewenangan yang diberikan atau
tidak.

Sedangkan kriteria-kriteria yang dapat dijadikan sebagai alat uji keputusan yang

dibuat oleh penyidik dan penuntut, sebagai berikut:

1. Apakah keputusan penyidikan dan penuntutan mempunyai dasar hukum atau


tidak;
2. Apakah keputusan tersebut yang dibuat sesuai dengan kewenangan yang
diberikan atau tidak;
3. Apakah keputusan tersebut tersebut melampaui kewenangan yang diberikan atau
tidak.

Dari berbagai kriteria tersebut, maka setiap tersangka maupun terdakwa, atau kuasa

hukum tersangka maupun terdakwa dapat menilai apakah tindakan hukum dan keputusan

penyidik maupun penuntut telah sesuai dengan undang-undang yang ada. Apabila tindakan

hukum dan keputusan penyidik maupun penuntut dianggap merugikan, maka tersangka

maupun terdakwa, atau kuasa hukum tersangka maupun terdakwa, dapat mengajukan

keberatan dengan membawa gugatan praperadilan ke Pengadilan Umum (Pengadilan

Negeri).

Berdasarkan uraian di atas, tampak perbedaan antara landasan asas legalitas dalam

pidana materiil dengan pidana formil. Asas legalitas dalam hukum pidana meteriil yang

35
dinyatakan secara tegas pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Suatu perbuatan

tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana

yang telah ada”. Prinsip legalitas merupakan prinsip hukum yang paling fundamental dan

bersifat universal, yang menitik beratkan pada perlindungan individu untuk memperoleh

kepastian dan persamaan hukum, dan menghindarkan penguasa tidak melakukan

perbuatan sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana.

Adanya perbedaan prinsip legalitas yang dianut dalam KUHAP dengan KUHP

dikarenakan, tujuan KUHAP sebagai hukum pidana formil adalah hukum untuk

melaksanakan hukum pidana materiil yang berisi asas-asas dan proses beracara dalam

sistem peradilan pidana yang dimulai dari penyelidikan sampai dengan eksekusi putusan

pengadilan.49 Adapun tujuan hukum pidana formil adalah:50

1. Mencari kebenaran materiil;


2. Melindungi hak-hak dan kemerdekaan orang serta warga negara;
3. Memberikan kedudukan yang sama terhadap tersangka dan terdakwa(equality
before law) dan dituntut untuk delik yang sama harus diadili dengan ketentuan
yang sama (equal protection on law);
4. Mempertahankan sistem konstitusional terhadap pelanggaran kriminal;
5. Tersangka dan terdakwa, mendapatkan perlakuan yang berkeadilan yang sama di
bawah hukum (equal justice under the law).

Dengan demikian, prinsip legalitas dalam hukum pidana formil dijadikan sebagai

dasar pengujian tindakan penyidik dan penuntut umum telah sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang ada, sehingga tidak dibenarkan tindakan aparat penegak

hukum untuk bertindak di luar hukum atau undue to law maupun undue process dan

bertindak sewenang-wenang atau abuse of power.51

6. Prinsip Due Process of Law

49
Eddy O.S.Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014, hal. 15.
50
M. Yahya Harahap, Loc. Cit.
51
Ibid.

36
Konstitusi memberi hak istimewa atau hak privilege dalam pelaksanaan fungsi

penyidikan dan penuntutan dimana hak istimewa tersebut tunduk pada prinsip due

process of law. Pengertian prinsip due process of law adalah:

“a legal principle that requires the government to respect all a person’s right. It
mean that the government must obey the law, act in a reasonable manner, and use
fair procedurs when it acts to a limit a person’s life, liberty, and property”52

Prinsip hukum mensaratkan pemerintah untuk menghormati hak seseorang. Hal itu
berarti pemerintah harus mematuhi hukum, bertindak dalam perilaku yang wajar,
dan menggunakan prosedur dasar yang adil ketika bertindak untuk membatasi hak
hidup seseorang, mengurangi kebebasan, dan menarik aset).

Berkenaan dengan prinsip tersebut, AV Dicey dalam merumuskan negara hukum

“rule of law” yang bercirikan adanya supremasi hukum, persamaan di depan hukum, dan

due process of law. Dicey mengartikan due process of law sebagai:

“a fundamental, constitutional guerantee that a legal proceeding will be fair and


that one will be given notice of the proceedings and an opportunity to be hear the
government act take away one’s life, liberty or property. Also a contitutional
guarantee that law shall not be unreasonable, arbitary, or capricus”. 53

Penekanan terhadap due process of law sebagai salah satu ciri negara hukum,

membawa konsekuensi bahwa tindakan-tindakan aparatur penyelenggara negara, bukan

saja harus didasarkan pada ketentuan hukum formil yang mengatur prosedur untuk

menegakkan ketentuan-ketentuan hukum materiil yang memenuhi syarat-syarat keadilan.

Norma hukum prosedur atau formil harus bersifat fair, dan ketentuan-ketentuan tentang

prosedur tidak boleh bersifat arbitre menurut selera penyelenggara kekuasaan negara.54

Due Process of law harus diartikan sebagai perlindungan atas kemerdekaan seorang

warga negara yang dijadikan tersangka dan terdakwa, dimana status hukumnya berubah

ketika ia ditangkap atau ditahan, tetapi hak-haknya sebagai warga negara tidaklah hilang.

52
Peter Grant, Due Process of Law, Governing Wisconsin From the Wisconsin Legislative Reference
Bereau, diunduh tanggal 19 Mei 2015, http://www.legis.wisconsin.gov/lrb/gw/gw_18.pdf .
53
AV Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Introduction to the Study of the Law of the
Constitution), Nusamedia, Jakarta, 2014, hal. 89.
54
Ibid.

37
Walaupun kemerdekaannya dibatasi oleh hukum dan mengalami degradasi moral bukan

berarti hak-haknya sebagai tersangka/terdakwa menjadi hilang.

7. Sistem Peradilan Pidana

Istilah “Criminal Justice system” atau sistem peradilan Pidana (SPP) menunjukan

mekaniseme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar

pendekatan sistem. Remington dan Ohlin mengemukakan:55

“Criminal justice system dapat diartikan sebagian pemakaian pendekatan sistem


terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem peradilan
pidana merupakan suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan
dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasan”.56

Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani “systema” yang mempunyai pengertian

suatu keseluruhan yang tersusun dari sekian banyak bagian whole compounded of several

parts.57 Secara sederhana sistem ini merupakan sekumpulan unsur-unsur yang saling

berkaitan untuk mencapai tujuan bersama, yang tersusun secara teratur dan saling

berhubungan dari yang rendah sampai yang tinggi. Stanford Optner menyebutkan:

”sistem tersusun dari sekumpulan komponen yang bergerak bersama-sama untuk

mencapai tujuan keseluruhan”.58 Hagan membedakan pengertian antara “Criminal

Justice Process” dan “Criminal Justice System” yang pertama adalah setiap tahap dari

suatu putusan yang mengahadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang

membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan yang kedua adalah interkoneksi antar

keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan.59

55
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisianisme,
Op.,Cit hlm. 14.
56
Ibid., hlm. 4.
57
Stanford Optner, Systems Analysis for Business Management, Prentice Hall, Inc., New York, 1968,
hlm. 3. Seperti Terpetik dalam Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet. 1, Jakarta, 1986,
hlm. 5. Sistem dapat juga diartikan sebagai suatu kompleks elemen dalam satu kesatuan interaksi Lihat dalam
Lili Rasjidi,Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, 2003, Bandung, hlm. 63.
58
Ibid.
59
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana…, Op Cit hlm. 14.

38
Sistem yang tersusun dari sekumpulan unsur-unsur ini dapat dilihat pada sistem

peradilan pidana yang bertujuan untuk menegakkan hukum secara proporsional yang

dilakukan baik secara normatif maupun secara filosofis. Sistem peradilan pidana berarti

terdapat suatu keterpaduan pendapat, sikap dan langkah terhadap pencegahan serta

pemberantasan kejahatan dalam masyarakat. Terpadu dalam sistem peradilan, adalah

keterpaduan hubungan antar penegak hukum.60 Masing-masing komponen dalam proses

peradilan pidana tidak mungkin akan dapat menanggulangi pencegahan dan

pemberantasan kejahatan menurut kepentingan dan lembaganya sendiri. Masing-masing

komponen merupakan sub-sistem dalam keseluruhan sistem peradilan pidana.61

Adapun komponen sistem peradilan pidana ini terkandung di dalamnya gerak

sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya, yakni yang terdiri dari kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, lembaga permasyarakatan, dan advokat yang secara keseluruhan

dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan yang menjadi

tujuan sistem peradilan pidana.62 Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan,

adalah salah satu tujuan hukum sistem peradilan pidana yang dipengaruhi oleh

kelembagaan yang diatur oleh sistem peradilan pidana. Salah satu faktor mendasar yang

menghalangi efektivitas sistem peradilan pidana ini adalah ketidakteraturan dari

penyelenggaraan peradilan pidana. Berkaitan dengan hal ini Muladi menyatakan

bahwa:63

“Sebagai suatu sistem, peradilan pidana mempunyai perangkat struktur atau sub-
sistem yang seharusnya bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif agar dapat
mencapai efisiensi dan efektivitas yang maksimal. Sub-sub sistem ini berupa polisi,
jaksa, pengadilan dan lembaga koreksi baik yang sifatnya institusional maupun yang
nonkonstitusional. Dalam hal ini mengingat peranannya yang semakin besar,
penasihat hukum dapat dimasukkan sebagai quasi sub-system”.
60
Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII, Yogyakarta, 2005, hlm. 93.
61
Loebby Loqman, “Pidana dan Pemidanaan”Datacom, Jakarta, 2002 hlm. 27. Lihat juga Pontang
Moerad, Op.Cit hlm.186.
62
Sidik Sunaryo, Op. Cit., hlm. 255.
63
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro,
Semarang, 1995, hlm. 21.

39
Kombinasi antara efisiensi dan efektivitas dalam sistem sangat penting, sebab belum

tentu efisiensi masing-masing sub-sistem, dengan sendirinya menghasilkan efektivitas.

Kegagalan pada sub-sistem akan mengurangi efektivitas sistem tersebut, bahkan dapat

menjadikan sistem tersebut disfungsional.64

Menurut Marjono Reksodiputro,65 apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak

dilakukan, maka ada tiga kerugian yang dapat diperkirakan :

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing


instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;
2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok masing-masing instansi sebagai
subsistem dari sistem peradilan pidana ; dan
3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka
setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem
peradilan pidana.

Terhadap pandangan demikian Romli Atmasamita memberikan penjelasan berikut :

“Pengertian sistem pengendalian dalam batasan tersebut diatas merupakan bahasa


manajemen yang berarti mengendalikan atau menguasai atau melakukan
pengekangan (mengekang). Dalam istilah tersebut terkandung aspek manajemen
dalam upaya penanggulangan kejahatan sedangkan apabila sistem peradilan pidana
diartikan sebagai suatu penegakan hukum atau law enforcement maka didalamnya
terkandung aspek hukum yang menitikberatkan kepada rasionalisasi peraturan
perundang-undangan dalam upaya menanggulangi kejahatan dan bertujuan
mencapai kepastian hukum (certainty) dilain pihak, apabila pengertian sistem
peradilan pidana dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan social defense yang
terkait kepada tujuan mewujudkan kesejahteraan masyarakat maka dalam sistem
peradilan pidana terkandung aspek sosial yang menitik beratkan pada kegunaan
(espediency)”.66

Lebih lanjut Sidik Sunaryo menyatakan:67


“Sistem peradilan pidana menuntut adanya keselarasan hubungan antara sub sistem
secara administrasi dalam implementasi sistem peradilan pidana yang terpadu (the
administration of justice). Secara pragmatis, persoalan adminsitrasi peradilan dalam
sistem peradilan pidana menjadi faktor yang signifikan dalam prinsip penegakan
hukum dan keadilan melalui subsistem sistem peradilan pidana yang terpadu. Sebab
64
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbitan Universitas
Diponogoro, Semarang, 2002, hlm. 21.
65
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi dalam Sistem Peradilan... Op. Cit., hlm. 85 -86.
66
Romli Atmasasmita, Op. Cit., hlm.16.
67
Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, 2004, hlm. 256.

40
apabila masalah administrasi peradilan tidak bagus dalam konsep dan
implementasinya, tujuan yang ingin dicapai oleh adanya sistem peradilan pidana
yang terpadu, tidak mungkin bisa terwujud dan yang terjadi justru akan sebaliknya,
yakni kegagalan dari prinsip-prinsip dan asas hukum yang menjadi dasar dari
kerangka normatif sistem peradilan pidana terpadu”.

Dari pandangan tersebut, maka dapat digambarkan bahwa kajian terhadap sistem

peradilan pidana, selalu mempunyai konsekuensi dan implikasi sebagai berikut:68

1. semua subsistem akan saling tergantung (interdependent), karena produk (output)


suatu subsistem merupakan masukan (input) bagi subsistem lain.
2. pendekatan sistem mendorong adanya inter-agency consultation and cooperation,
yang pada gilirannya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi dari keseluruhan
sistem.
3. kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu subsistem akan berpengaruh pada
subsistem lain.

Keraguan tidak berhasilnya sistem peradilan pidana seharusnya tidak terjadi

mengingat semua instansi peradilan berada di bawah pengawasan Mahkamah Agung.

Dinyatakan dalam Pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang

Mahkamah Agung bahwa: (1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi

terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan

kekuasaan kehakiman. (2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para

hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. (3) Mahkamah Agung

berkewenangan untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan

teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan. (4) Mahkamah Agung berwenang

memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di

semua Lingkungan Peradilan. (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana

dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan

hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

68
Tim Universitas Indonesia Fakultas Hukum, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan
Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-Asas Umum, 2001.

41
Sedangkan advokat adalah organisasi profesi yang mandiri, tidak berada di bawah

pengawasan Mahkamah Agung tetapi berada di bawah pengawasan organisasi advokat.

Dalam membela perkara, advokat mempunyai hak imunitas untuk menjalankan tugas

profesinya. Seperti dinyatakan dalam Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat:

“advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi

tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan

perundang-undangan”.

Konsekuensi di atas akan berdampak pada tujuan dari pembentukan sistem peradilan

pidana. Adapun tujuan sistem peradilan pidana dirumuskan Mardjono sebagai berikut:69

(a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan ;


(b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan
(c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi
lagi kejahatannya.

Pelaksanaan sistem peradilan pidana sesuai dengan fungsi yang sebenarnya akan

membuat masyarakat terlindungi dari kejahatan. Fungsi yang harus dijalankan dalam

penyelenggaraan sistem peradilan pidana menurut Malcolm Deviese:70

(a) Melindungi masyarakat melalui upaya penanggulangan dan pencegahan


kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasitasi
terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap masyarakat.
(b) Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum,
dengan menjamin adanya due process dan perlakuan yang wajar bagi tersangka,
terdakwa dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang
tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan.
(c) Menjaga hukum dan ketertiban.
(d) Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan yang dianut.
(e) Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan.

Sistem peradilan pidana merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan

hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun

69
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi dalam Sistem Peradilan Pidana Op.Cit., hlm.85. Lihat juga
Mien Rukmini, Op.Cit., hlm. 77.
70
Malcolm Devies, Hazel and Jane Tyrer, Criminal Justice, London Longman, 1995, page 4-6,
terpetik dalam Sidik Sunaryo, Kapita Selekta ..., Op. Cit., hlm. 257 –261.

42
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu berlebihan jika

dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa

ketidakadilan.71

Sistem peradilan pidana di Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar


sistem, pertama substansi, merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 yaitu serangkaian ketentuan sistematis untuk
memberikan arahan atau petunjuk kepada aparatur penegak hukum dalam
melaksanakan tugas sehari-harinya, kedua, Struktur yaitu lembaga-lembaga dalam
sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan
Lembaga permasyarakatan, Ketiga, Kultur yaitu bagaimana sebetulnya sistem
tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur merupakan penggerak atau
bensin dari sistem peradilan pidana.72

Berbagai pandangan mengenai sistem peradilan pidana diatas memiliki dimensi

yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sistem Peradilan Pidana

merupakan kontruksi sosial yang menunjukkan proses interaksi manusia (didalamnya ada

aparatur hukum, pengacara, terdakwa serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam

membangun dunia realitas yang mereka ciptakan.73

Berkaitan dengan pemikiran di atas Muladi menegaskan bahwa:74

“sistem peradilan pidana mempunyai dua dimensi fungsional ganda. Di satu pihak
berfungsi sebagai sarana masyarakat untuk menahan dan mengendalikan kejahatan
pada tingkatan tertentu (crime containment system). Di lain pihak sistem peradilan
pidana juga berfungsi untuk pencegahan sekunder (secondary prevention), yakni
mencoba mengurangi kriminalitas di kalangan mereka yang pernah melakukan
tindak kejahatan dan mereka yang bermaksud melakukan kejahatan, melalui proses
deteksi, pemidanaan dan pelaksanaan pidana”.

8. Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana

Asas menurut kamus umum Bahasa Indonesia, Asas berarti (1) dasar, (2) sesuatu

kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir, (3) Cita-cita yang menjadi

71
Muladi terpetik dalam Romli Atmasasmita, Ibid., hlm. 16; Lihat juga Anthon F Susanto, Op. Cit.,
hlm. 77.
72
Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan ,Mekanisme
Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2004 hlm. 76.
73
Ibid., hlm. 77.
74
Muladi, Kapita Selekta ..., Op. Cit., hlm. 22.

43
dasar.75 Menurut Mahadi Asas ialah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan

yang mendasari adanya satu norma hukum. Sedangkan Asas menurut Mulder, mengutip

pendapat Jossef Esser:”Rech beginselen zijn inhoud ,integens telling hot devorm,d.w.z, de

norm. Het beginsel is grond, criterium en rechts vaardiging voor de richtlijn” (asas-asas

hukum adalah isinya, yang berbeda dengan bentuknya yaitu norma. Asas adalah dasar,

kreteria dan pedoman pembenaran).76

Pendapat yang sama juga dikatakan Notohamidjojo:

Asas-asas hukum ialah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum.
Asas-asas itu dapat disebut juga pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak
berpikir tentang hukum. Asas-asas itu merupakan titik tolak juga bagi pembentuk
Undang-undang dan interprestasi undang-undang tersebut”.77

Asas- asas yang mengatur tentang perlindungan terhadap hak asasi atau keluhuran

harkat dan martabat manusia telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan diubah

kembali dengan UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 78 Akan tetapi

setelah sebelas tahun kemudian asas-asas tersebut dituangkan dalam UU No.8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana.

Penegak hukum harus berpegang teguh kepada hukum acara yang berlaku, yakni

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang syarat dengan asas-asas

peradilan pidana, agar tidak terjadi pelanggaran dalam melakukan pembatasan hak asasi

tersangka maupun terdakwa. Fungsi dari suatu undang-undang acara pidana (Formeel

Starfrecht atau Strafprocesrecht) adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam

bertindak terhadap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana.

75
WJS Poerwadarminta, Kamus umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Cet. IV, Jakarta,1996,
hlm. 61; Lihat juga dalam Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2003 hlm. 122.
76
Terpetik dalam Komariah Emong Sapardjaja, Pembahasan terhadap buku kesatu dan bab II RUU
KUHP, Jurnal legislasi Indonesia, Vol. 1 Nomor 2, September 2004.
77
Ibid.
78
H. M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Cetakan ke IV, UMM Press, Malang,
2004, hlm.138.

44
Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara pidana melindungi para tersangka dan terdakwa

terhadap tindakan aparat penegak hukum yang melanggar hukum.

Pedoman Pelaksana KUHAP memberikan penjelasan bahwa tujuan hukum acara

pidana, sebagai berikut:

“Tujuan dari hukum acara pidana adalah mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran material, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara
jujur, tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang didakwakan
melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan
putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana
telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.79

Mien Rukmini menyatakan, KUHAP merupakan pedang bermata dua, artinya bahwa

disatu pihak harus melindungi hak tersangka dan terdakwa sesuai dengan Asas Praduga

Tak Bersalah (APTB) dan Asas Persamaan kedudukan dihadapan hukum (APKDH), di

pihak lain memberikan peluang pula kepada para penegak hukum untuk melakukan upaya

paksa yang seringkali dalam praktik melanggar hak asasi tersangka dan terdakwa.80

Asas-asas hukum acara pidana sebagaimana ditemukan dalam bagian penjelasan umum,

setidaknya dikenal sepuluh asas yang menjadi acuan kebenaran atau ajaran dari kaidah-

kaidah, seperti diuraikan dibawah ini:81

79
Pedoman Pelaksana KUHAP, Penerbit Departemen Kehakiman RI, Cetakan ketiga,1982 hlm. 1;
Lihat Juga dalam Lilik Mulyadi, Op. Cit., hlm. 10; Bandingkan dengan Lobby Loqman, Pra-Peradilan di
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 15.
80
Istilah Rechts guterschutz durch Rechtsguterverletzung (Perlindungan Hukum benda melalui
penyerangan benda hukum oleh karena itu ada sesuatu yang menyedihkan (tragis) dalam hukum pidana
sehingga hukum pidana sering dinyatakan sebagai “pedang bermata dua”, Lihat Mien Rukmini, Op.Cit., hlm.
98; bandingkan pula dengan Barda Nawawi Arief, Beberapa aspek kebijakan penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 18.
81
Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta, Cet. III, 2005 hlm. 3, Lihat
juga Andi Hamzah, Hukum Acara ..., Op. Cit., hlm. 11; Bandingkan dengan Mardjono Reksodipoetro, “Sistem
Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas
Toleransi”, Pidato Pengukuhan Penerimaan Guru Besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 1993, hlm. 11-13, Terpetik dalam Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana ... , Op.
Cit., hlm. 41; Bandingkan pula dengan Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Cet. 2, Denpasar, 2002; Lihat Loebby
Loqman, Pra Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 80 serta H.MA Kuffal, Op.Cit.,
hlm. 138-139.

45
1. Asas equality before the law: perlakuan yang sama atas diri setiap orang dihadapan

hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan;

2. Asas Legalitas dalam upaya Paksa: penangkapan, penahanan, penggeledahan dan

penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang berwenang

oleh Undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan

Undang-undang;

3. Asas presumption of innocence: Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan,

dituntut dan atau dihadapan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah

sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh

kekuatan hukum;

4. Asas Remedy and rehabilitation, kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut

ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena

kekeliruannya mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti

kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum

yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut

dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi;

5. Asas fair, impartial, impersonal and objective, Peradilan harus dilakukan dengan

cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus

diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan;

6. Asas legal asistance: Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan

memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan

kepentingan pembelaan atas dirinya;

7. Miranda Rule: kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau

penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan

46
kepadanya juga wajib diberitahukan haknya termasuk hak untuk menghubungi dan

minta bantuan penasihat hukum;

8. Asas Presentasi: Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa;

9. Asas Keterbukaan: Sidang Pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum

kecuali dalam hal yang diatur dalam Undang-undang;

10. Asas Pengawasan: Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana

dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

Kesepuluh asas tersebut tampak bahwa fungsi KUHAP terutama menitikberatkan

pada perlindungan atas harkat dan martabat tersangka dan terdakwa. Oleh karena itu, dari

kesepuluh asas tersebut diatas, sembilan asas diantaranya adalah demi perlindungan atau

kepentingan hak asasi tersangka atau terdakwa, sedangkan satu asas (asas kesepuluh)

diperuntukkan bagi pelaksanaan putusan pidana terutama pengawasan bagi terpidana di

lembaga permasyarakatan.82

Sedangkan asas-asas umum menurut Andi Hamzah terdiri dari sembilan asas antara

lain:83

1. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan.


2. Praduga tidak bersalah (Presumption of Innocence).
3. Asas Oportunitas.
4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum.
5. Perlakuan Sama Dihadapan Hukum.
6. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap.
7. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum.
8. Asas Akusatur, dan Inkuisitur (accusatoir dan inquisitoir).
9. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan.

Bandingkan dengan Mien Rukmini Op. Cit hlm 85,”… Kesepuluh asas tersebut harus
82

dikembangkan lebih lanjut dan dijadikan pedoman bagi pelaksanaan KUHAP yang benar-benar memperhatikan
dan melindungi HAM”.
83
Andi Hamzah, Hukum Acara ..., Op. Cit., hlm. 11.

47
g. Desain Penelitian

Latar Belakang Rumusan Kerangka Metode Hasil dan


Masalah Masalah Teoritik Penelitian Pembahasan

Perlindungan Apa makna Konsep Penelitian


hak penetapan HAM Normatif
konstitusional seseorang menjadi
warga negara tersangka dalam
dalam hal perspektif Teori Bahan Hukum
penetapan perlindungan hak Keadilan Primer
tersangka konstitusional
warga negara?
Bahan Hukum
Teori Sekunder
Hukum Acara
Perlindungan
Pidana
Apakah penetapan Hukum
seseorang menjadi Langkah-
Praperadilan tersangka dalam langkah
norma dan proses Teori
Pengawasan penelitian
praperadilan di
Indonesia telah
mencerminkan
perlindungan hak Prinsip Analisis bahan
konstitusional Legalitas hukum
warga negara?

Prinsip Historis
Due Process
Bagaimana pengaturan of Law
hukum acara pidana Sistematis
yang tepat di masa
yang akan datang Sistem
mengenai praperadilan Peradilan Interpretasi
guna memberikan Pidana
perlindungan hak
konstitusional warga
negara bagi seseorang Asas-Asas Simpulan dan
yang ditetapkan Umum saran
sebagai tersangka? Hukum Acara
Pidana

i. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, untuk menguraikan dan

menemukan fakta-fakta hukum secara menyeluruh yang berkaitan dengan prinsip hak bagi

seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam proses penyidikan tindak pidana

menurut UUD 1945 dikaitkan dengan perlindungan hak konstitusionalnya melalui

48
mekanisme praperadilan. Selain itu untuk mengkaji secara sistimatis pengaturan hukum

khususnya mengenai hak konstitusional bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka

dalam proses penyidikan tindak pidana, dan implementasi peraturan perundang-

undangannya tersebut secara kasuistis, normatif, teoritik, dan filosfis.

2. Metode Pendekatan

Penelitian hukum ini menggunakan metode pendekatan normatif dengan

pendekatan utama adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory

approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan analitis (analitical approach), pendekatan perbandingan (comparative

approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan filsafat

(philosophical approach).

Pendekatan peraturan perundang-undangan (statutory approach) bertujuan untuk

melihat hukum dari persepektif sistem tertutup yang mempunyai sifat:84

1. Comprehensive memiliki arti bahwa norma hukum yang ada memiliki keterkaitan

antara yang satu dengan yang lainnya;

2. Inclusive memiliki arti bahwa suatu kumpulan norma hukum yang berada dalam suatu

sistem, dianggap cukup mampu untuk mengantisipasi berbagai permasalahan hukum

dikemudian hari, sehingga kumpulan norma hukum yang berada dalam suatu sistem

tersebut dianggap tidak memiliki kelemahan atau kekurangan;

3. Systematic, memiliki arti bahwa selain memiliki keterkaitan antara satu dengan yang

lainnya, kumpulan norma hukum tersebut juga tersusun secara sistematis.

Pendekatan ini bertujuan untuk melihat bahan-bahan hukum yang berupa peraturan

perundang-undangan apakah telah memenuhi kriteria sifat sebagaimana telah diuraikan di

atas.
84
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua, Bayumedia
Publishing, 2006, hlm. 300-322.

49
Konsep merupakan peleburan dua kata yaitu con yang berarti bersama, dan capere

yang berarti (menangkap, menjinakkan). Konsep dalam pengertian yang relevan adalah

unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang

kadangkala menunjuk pada hal-hal universal yang diabstraksikan dari hal-hal yang

partikular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan objek-objek yang

menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan

atribut-atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut, konsep-konsep berhasil menggabungkan

kata-kata dengan objek tertentu. Penggabungan itu memungkina ditentukannya arti kata-

kata secara tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran.85 Dalam terminologi

filsafafat, konsep dinyatakan sebagai “an idea that includes everything characteristically

associated with or suggested by a class of logical species”86 Pendekatan konsep

(conceptual approach) bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang presisif mengenai

konsep yang terkandung dalam sejumlah terminologi yang relevan dengan penelitian ini,

semisal tentang konsep hak konstitusional warga negara, negara hukum, hak asasi manusia

dan lain sebagainya. Pendekatan konsep menjadi suatu kebutuhan dalam penelitian ini,

karena sebagai penelitian yang bersubstansikan penalaran hukum, ketepatan penalaran

dalam penelitian ini sangat bergantung pada ketepatan proposisi-proposisi yang diajukan.

Sedangkan ketepatan proposisi, bergantung kepada ketepatan pemahaman akan konsep

yang terkait dengan penelitian ini. Norma hukum positif yang menjadi objek penelitian ini

merupakan rangkaian konsep yang harus dipahami. Oleh karena itu, kekeliruan dalam

memahami konsep-konsep dalam hukum positif yang diteliti, akan mengakibatkan

kekeliruan pada proposisi yang diajukan, sehingga pada akhirnya penalaran pun menjadi

keliru.

85
Ibid., hlm. 306.
86
Encyclopedia Americana, Volume 7, Grolier Incorporated, 1990, hlm. 500. Konsep juga memiliki
pengertian yang berbeda-beda dalam ajaran filsafat Scolastic, Kant, dan Husserl; lihat Dagobert D. Runes (Ed.),
1962, Dictionary of Philosophy, Ancient-Medieval-Modern, Littlefield, Adams & Co., hlm. 61.

50
Pendekatan kasus (case approach) bertujuan untuk melihat bagaimana hukum itu

bekerja secara nyata dalam putusan-putusan yang telah dibuat oleh hakim pada situasi

hukum tertentu. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Jacobstein dan Mersky yang

menyatakan, “seeking to find those authorities in the primary sources of the law that are

applicable to a particular legal situation”.87 Bagian utama dalam putusan yang harus

dicermati adalah ratio decidendi (pertimbangan hukum) hakim yang melahirkan amar

putusan. Pencermatan terhadap pertimbangan hukum bertujuan untuk melihat

kesinambungan berfikir secara praktis penerapan norma hukum in concreto dengan

konsep, teori, asas, dan doktrin yang melingkupinya. Dengan demikian diharapkan

terdapat gambaran persoalan yang jernih antara hukum yang dicita-citakan (ius

constituendum) dengan hukum positif yang berlaku (ius constitutum). Dengan jelasnya

persoalan hukum dimaksud, maka diharapkan solusi hukum yang ditawarkan dapat tepat

sasaran sebagai alternatif pemecahan masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

Pendekatan analitis (analitical approach) bertujuan untuk mendalami makna yang

terkandung dalam rumusan-rumusan terminologi, yang digunakan dalam norma peraturan

perundang-undangan secara konsepsional. Selanjutnya, meninjau implementasinya dalam

penerapan dan putusan-putusan hukum yang dikeluarkan. Penggunaan pendekatan ini juga

berupaya menyibak interpretasi hukum yang digunakan dalam setiap penerapan hukum

dan putusan yang diambil. Secara prinsipil, analisis hukum pada akhirnya memiliki

kewajiban untuk dapat mengungkapkan pengertian, kaidah, asas, dan berbagai konsep

hukum yang menjadi persoalan dalam penelitian ini.88

87
J. Myron Jacobstein and Roy M. Mersky, Fundametals of Legal Research, Ed. IV., The Foundation
Press, New York, 1973, hlm. 8.
88
Vibhute dan Aynalem menyatakan, “By undertaking analytical research, historical and comparative
research, he can also formulate his proposals for reform in precise terms. Analytical research, as stated above, is
concerned with the ascertainment of law”., Khusal Vibhute & Filipos Aynalem, Legal Research Methods
Teaching Material, Prepare under the Sponshorship of the Justice and Legal System Research Institute,
chilot.wordpress.com., 2009, hlm. 32.

51
Pendekatan perbandingan (comparative approach) bermanfaat untuk dapat

melengkapi pendekatan lainnya yang telah digunakan. Sehingga penelitian hukum yang

secara umum mencakup tentang penelaahan terhadap penafsiran, prinsip, norma, kaidah,

konsep, teori, dan doktrin hukum yang berlaku dalam suatu sistem hukum yang bersifat

nasional, dapat ditinjau dari perspektif lain di luar sistem hukum nasional. Dengan

demikian, alternatif solusi dan saran terhadap permasalahan permasalahan hukum yang

diteliti dapat menjadi lebih bervariasi. Pendekatan ini juga diharapkan dapat menyibak jika

terdapat suatu konsep yang bersumber dari suatu tradisi hukum yang sama, namun pada

sisi yang lain melahirkan ketentuan hukum positif dan praktik yang berbeda. Namun

sebaliknya, jika terdapat suatu tradisi hukum yang berbeda pada satu sisi, namun pada sisi

lainnya dapat melahirkan konsep dan praktik yang secara prinsipil dapat dikatakan

serupa.89

Pendekatan historis (historical approach) memiliki tugas untuk dapat

mengungkapkan situasi, kondisi, maksud dan tujuan (original intent) dari dilakukannya

pembentukan hukum dimaksud, serta memahami evolusi hukum yang terjadi pada suatu

bidang hukum tertentu. Dengan memahami historical background pembentukan hukum

tertentu, maka ukuran-ukuran di masa lalu baik itu berupa konsep, teori, asas, dan doktrin

yang melingkupinya, dapat diuji validitas dan aktualitasnya dalam mencari alternatif solusi

permasalahan hukum yang dihadapi. Hal terpenting dari penggunaan pendekatan ini

adalah, untuk menghindari terjadinya pengulangan argumentasi terhadap situasi dan

89
Zweigert & Kötz mengatakan, “The primary aim of comparative law, as of all sciences, is
knowledge. If one accepts that legal science includes not only the techniques of interpreting the texts, principles,
rules, and standards of a national system, but also the discovery of models for preventing or resolving social
conflicts, then it is clear that the method of comparative law can provide a much richer range of model solutions
than a legal science devoted to a single nation, simply because the different systems of the world can offer a
greater variety of solutions than could be thought up in a lifetime by even the most imaginative jurist who was
corralled in his own system”; lihat lebih jauh K. Zweigert & H. Kötz, 1998, An Introduction to Comparative
Law (translated by Tony Weir), Third Edition, Clarendon Press: Oxford, hlm. 16, terpetik dalam, Pengaduan
Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara (Studi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan), Disertasi I Dewa Gede Palguna,
Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana, UI, 2011, hlm. 40.

52
permasalahan hukum yang belum tentu sama, atau bahkan kesalahan yang sama dalam

penyusunan kebijakan hukum, serta adanya kesinambungan dalam penyusunan kebijakan

hukum.90

3. Sumber Bahan Hukum

Dalam rangka menunjang penelitian ini sumber bahan hukum yang digunakan

meliputi: sumber bahan hukum primer dan sekunder. Sumber bahan hukum primer

meliputi peraturan perundang-perundangan dimulai dari UUD 1945 sebagai hukum

tertinggi, selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara

Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-

Undang Mahkamah Agung, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut

KUHP), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, Putusan Nomor:

04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, dan Putusan No. 4/PK/Pid/2008, yang akan dijadikan

sebagai bahan hukum primer dalam penelitian normatif ini dan berbagai putusan lainnya

yang akan mengikuti seiring dengan dilaksanakannya penelitian ini.91

Sumber bahan hukum sekunder meliputi buku-buku literatur pendapat para sarjana

(doktrin) baik dalam lingkup penelitian hukum, hukum acara pidana, hukum pidana, dan

hukum hak asasi manusia.

4. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Sesuai dengan penelitian yang hendak dilakukan, yaitu penelitian hukum normatif,

maka peneliti akan melakukan studi kepustakaan dan mengumpulkan serta mempelajari

bahan-bahan hukum yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

90
“Historical research, on the other hand, deals with the past and it involves an inquiry into historical
antecedents and evolution of law. The past often explains the present, most vividly. It reveals different
alternative legislative measures, other than the current ones, thought of when the law was in the making”. Ibid.
91
Lihat Moris L. Cohen, et.all, Legal Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn,
l992, hlm. 3. Penelitian hukum di Amerika Serikat menggunakan keputusan pengadilan (judicial decisions)
sebagai bahan utama dalam penelitian. Doktrin yang digunakan oleh hakim dalam keputusan yang mereka buat
lebih diutamakan daripada prinsip secara abstrak diartikulasikan atau dikodifikasikan dalam undang-undang.

53
bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri atas UUD 1945, konvensi-konvensi atau

piagam-piagam HAM, peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan

pokok masalah yang diteliti. Sedangkan bahan hukum sekunder terdiri atas, buku-buku,

jurnal, makalah-makalah, laporan hasil penelitian dan bentuk tulisan-tulisan lain yang

berkaitan dengan pokok permasalahan yang dibahas. Selanjutnya bahan-bahan hukum

tersier, yakni berupa kamus-kamus, bibliography, ensiklopedia hukum.

Terhadap bahan hukum dimaksud, akan dilakukan pengkajian serta penelusuran

atas penafsiran, prinsip, norma, kaidah, konsep, teori, dan doktrin hukum yang ada sesuai

dengan kerangka teoritik dan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Kajian

terhadap konsep "penetapan tersangka dan penyelesaiannya melalui yurisdiksi

praperadilan" dan konsep “perlindungan hak konstitusional warga negara dalam proses

peradilan pidana”, juga dilakukan dengan cara melakukan kajian atas praktik yang

dilakukan oleh lembaga praperadilan yang berkembang dalam hukum formil pidana.

Pengkajian terhadap putusan-putusan praperadilan tentang penetapan tersangka sebagai

objek kewenangan praperadilan penting untuk dilakukan. Karena dengan mengkaji

putusan tersebut, akan diketahui bagaimana konkritisasi atas konsep bentuk perlindungan

hak konstitusional tersangka dalam proses peradilan pidana di Indonesia.

j. Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam lima bab, yaitu:

Bab pertama pada disertasi ini akan berisi pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, orisinalitas

penulisan, kajian pustaka, desain penelitian, metode penelitian dan sistimatika penulisan.

Bab kedua penelitian ini akan menguraikan teori-teori yang berkenaan dengan judul

dan permasalahan yang diangkat, yang terdiri dari tinjauan umum tentang teori negara

54
hukum, konsep HAM, teori keadilan, teori perlindungan hukum dan hak konstitusional,

dan teori pengawasan.

Bab ketiga penelitian ini akan menguraikan hasil penelitian berupa kajian

kepustakaan, putusan-putusan praperadilan yang spesifik terkait dengan penetapan

tersangka, dan studi perbandingan yang telah dilaksanakan. Kajian kepustakaan

diharapkan dapat menguraikan hasil penelusuran terhadap penafsiran, prinsip, norma,

kaidah, konsep, teori, dan doktrin hukum yang berlaku terhadap persoalan yang diteliti.

Putusan-putusan praperadilan yang terkait dengan penetapan tersangka akan disajikan

secara ringkas dan padat, serta hanya terkait dengan identitas, dan pertimbangan hukum

hakim yang menjadi legal reasoning amar putusan. Selain itu, putusan-putusan tersebut

akan dikelompokan sesuai dengan perbedaan jenis amar putusan dan pertimbangan hukum

yang dijadikan dasar pengambilan putusan. Sedangkan untuk studi perbandingan

diharapkan dapat menguraikan persamaan dan perbedaan suatu konsep yang bersumber

dari suatu tradisi hukum yang sama, namun pada sisi yang lain dapat melahirkan ketentuan

hukum positif dan praktik yang berbeda serta begitu pula sebaliknya.

Bab keempat penelitian ini akan menguraikan analisis dan pembahasan dari

permasalahan hukum yang diangkat, yang terdiri dari analisis terhadap penafsiran, prinsip,

norma, kaidah, konsep, teori, dan doktrin hukum yang ada serta perbandingan hukumnya

dengan konsep yang bersumber dari suatu tradisi hukum yang sama maupun berbeda, serta

analisis terhadap praktiknya dalam putusan-putusan praperadilan yang spesifik terkait

dengan penetapan tersangka.

Bab kelima penelitian ini akan menguraikan kesimpulan dan saran sesuai dengan

permasalahan yang diteliti.

55
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

AV Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi (Introduction to the Study of the Law of the
Constitution), Nusamedia, Jakarta, 2014.

Anthon F Susanto, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan,


Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Refika Aditama, Bandung,
2004.

Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa, FH UII, Yogyakarta, 2005.

Barda Nawawi Arief, Beberapa aspek kebijakan penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

C. de Rover, To Serve and To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, terj. Supardan
Mansyur, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.

Eddy O.S.Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2014.

Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksana KUHAP, Penerbit Departemen Kehakiman


RI, Cetakan ketiga,1982.

Geoffrey Robertson, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Perjuangan Untuk Mewujudkan


Keadilan Global, Terjemahan Komnas HAM, Jakarta, 2002.

G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia, Timun Mas NV, 1955.

Gudmundur Alfredson and Asbjorn Eide (ed), The Universal Declaration of Human Rights A
Common Standard of Achievement, Kluwer Law International, Hague, 1999.

H. M.A. Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Cetakan ke IV,UMM Press,
Malang, 2004.

Henry J. Steiner dan Philip Aston, International Human Rights in Context Law, Politics,
Morals, Oxford University Press, 1999.

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional: Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-
Hak Konstitusional Warga Negara (Studi Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan), Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Program Pascasarjana, UI, 2011.

J. Myron Jacobstein and Roy M. Mersky, Fundametals of Legal Research, Ed. IV., The
Foundation Press, New York, 1973.

James W. Nickel, Hak Asasi Manusia, Gramedia, Jakarta, 1996.

56
Jhon Rawls, A Theory of Justice – Teori Keadilan; Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Dalam Negara, Pustaka Pelajar, Maret 2011.

Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan Kedua,
Bayumedia Publishing, 2006.

K Wantjik Saleh, Tiga Undang-undang Dasar, Ghalia Indonesia, 1977.

Khusal Vibhute & Filipos Aynalem, Legal Research Methods Teaching Material, Prepare
under the Sponshorship of the Justice and Legal System Research Institute,
chilot.wordpress.com., 2009.

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil Dalam Hukum Pidana
Indonesia (Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam
Yurisprudensi), Penerbit Alumni Bandung, 2002.

Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, 2003, Bandung.

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus terhadap Surat Dakwaan,
Eksepsi dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Cet. 2, Denpasar, 2002.

Loebby Loqman, Pra Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

-----, “Pidana dan Pemidanaan” Datacom, Jakarta, 2002.

Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta, Cet. III, 2005.

M. Yahya Harahap Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan


Penuntutan, Penerbit Sinar Grafika Jakarta, 2009.

Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Alumni, Bandung, 2003.

Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Red & White Publising,
2009

Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Penerbit Mandar Maju,
Bandung, 2001.

Moris L. Cohen, et.all, Legal Research in a Nut Shell, West Publishing Co., St. Paul, Minn,
l992.

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponogoro,
Semarang, 1995.

-----, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbitan
Universitas Diponogoro, Semarang, 2002.

Philipus Mandiri Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi, Gadjah Mada University Press,
1993.

57
-----, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1987.

Radhie Noviandi Yusuf, “Due Process of Law Dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme”, Tesis, Unpad, 2004.

Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia, Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia, Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia,
Jakarta, 1983.

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan


Abolisianisme, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Rustam Ibrahim, Hubungan Antar HAM dengan Demokrasi dan Pembangunan, dalam
Diseminasi Hak Asasi Manusia, (ed) E. Shobirin Nadj, Naning Mardiniah, CESDA
LP3ES, Jakarta, 2000.

Scott Davidson, Hak Asasi Manusia Sejarah, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1994.

Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, 2004.

Soerjono Soekamto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1, Cetakan


ke 12, Jakarta, Rajawali Press, 2012.

Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konsitusi, Alumni, Bandung, 1987.

Subhi Mahmassani, Arkan Huqul Insan, Terjemahan Konsep Dasar Hak Asasi Manusia,
Studi Perbandingan Syariat Islam dan Perundang-Undangan Modern, (Hasanuddin )
PT Tintamas, Indonesia Bogor, 1993.

Tatang M. Amirin, Pokok-Pokok Teori Sistem, Rajawali, Cet. 1, Jakarta, 1986.

Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan
politik, Editor Ifdhal Kasim, ELSAM, Jakarta, 2001.

B. Makalah, Artikel, Jurnal, Laporan, dan Sumber yang Tidak Diterbitkan

Adnan Buyung Nasution, “Praperadilan Versus Hakim Komisaris (Beberapa Pemikiran


Mengenai Keduanya), Newsletter KHN, 2002.
Miriam Budihardjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, (Jurnal Ilmu Politik), Edisi
10, Gramedia, Jakarta, 1990.
Komariah Emong Surpadjaja, Kajian dan Catatan Hukum Atas Putusan Pra-peradilan Nomor
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel Tertanggal 16 Februari 2015 Pasca Kasus Budi
Gunawan: Sebuah Analisis Kritis, Padjajaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 1
Tahun 2015.

-------- Pembahasan terhadap buku kesatu dan bab II RUU KUHP, Jurnal legislasi Indonesia,
Vol. 1 Nomor 2, September 2004.

58
Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan
dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi”, Pidato Pengukuhan
Penerimaan Guru Besar tetap dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 1993.

Pedoman Pelaksana KUHAP, Penerbit Departemen Kehakiman RI, Cetakan ketiga, 1982.

Sri Soemantri, “Refleksi HAM di Indonesia”, Makalah, disampaikan dalam pelatihan Hukum
Humaniter dan Hukum HAM, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 22 s/d 25
Juni 1998.

Suparto Wijoyo, Pengkajian Hukum tentang Perlindungan Kepada Masyarakat Dalam


Sengketa Lingkungan Hidup, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia-Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2013.

Tim Universitas Indonesia Fakultas Hukum, Sinkronisasi Ketentuan Perundang-undangan


Mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Melalui Penerapan Asas-Asas Umum,
2001.

C. Peraturan Dasar, Peraturan/Perjanjian Internasional dan Peraturan Perundang-


undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945.

-----, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana.

-----, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant


On Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya)

-----, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant


On Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)

D. Dokumen-dokumen
Universal Declaration on Human Rights.

E. Internet
www.jurlandia.am/dueprocess.htm.
www. Mahkamahkonstitusi.go.id.
http://www.legis.wisconsin.gov
http://en.wikipedia.org

59
F. Kamus dan Ensiklopedia

Bryan A. Garner, Black’s Law, Law Dictionary, Seventh Edition, West Group, St. Paul,
Minn, 1999.

Dagobert D. Runes (Ed.), Dictionary of Philosophy, Ancient-Medieval-Modern, Littlefield,


Adams & Co, 1962.

Encyclopedia Americana, Volume 7, Grolier Incorporated, 1990.

Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary, First Edition, Red & White Publising,
2009.

Tim Penyusun Kamus, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta, 1988.
WJS. Poerwadarminta, Kamus umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Cet. IV, Jakarta,
1996.

G. Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Perkara Nomor: 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

-----, Perkara Nomor 18/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.SEL.

-----, Perkara Nomor:32/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

-----, Perkara Nomor 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt-Sel.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014.

-----, Perkara Nomor 65/PUU-IX/2011.

60

Anda mungkin juga menyukai