Anda di halaman 1dari 7

Kedudukan Korban dalam Hukum Pidana Nasional dan Hukum Positif lainnya

1. Kedudukan Korban dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

KUHP merupakan salah satu ketentuan hukum pidana positif yang sekaligus merupakan
induk peraturan hukum pidana positif Indonesia. Kedudukan korban dalam KUHP tampaknya
belum optimal dibandingkan pelaku. Hal ini dapat dijelaskan dalam penjelasan sebagai
berikut.

Pertama, KUHP belum secara tegas merumuskan ketentuan yang secara konkrit atau
langsung memberikan perlindungan hukum terhadap korban misalnya dalam hal penjatuhan
pidana wajib dipertimbangkan pengaruh tindak pidana restitusi (ganti rugi) yang sebenarnya
sangat bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga korban. Rumusan pasal-pasal dalam KUHP
cenderung berkutat pada rumusan tindak pidana, pertanggungjawaban dan ancaman pidana.
Hal ini tidak terlepas pula dari doktrin hukum pidana yang melatarbelakanginya sebagaimana
yang dikatakan oleh Packer dan Muladi bahwa masalah hukum pidana meliputi perbuatan
yang dilarang atau kejahatan (offense), orang yang melakukan perbuatan terlarang dan
mempunyai aspek kesalahan (guilt), serta ancaman pidana (unishment).

Kedua, KUHP menganut aliran neokklasik yang antara lain menerima berlakunya
keadaan-keadaan yang meringankan bagi pelaku tindak pidana yang menyangkut fisik,
lingkungan serta mental. Demikian pula dimungkinkannya aspek-aspek yang meringakan
pidana bagi pelaku tindak pidana dengan pertanggungjawaban sebagian, di dalam hal yang
khusus, misalnya jiwanya cacat (gila), di bawah umur dan sebagainya. Karakter aliran
neoklasik ini terekleksikan antara lain dalam ketentuan Pasal 44 KUHP. Berdasarkan aliran
neoklasik dan ketentuan Pasal 44 KUHP tersebut mengandung suatu pengertian bahwa dalam
kondisi tertentu seseorang pelaku tindak pidana dimungkinkan untuk tidak dijatuhi pidana
apabila memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 44 KUHP, misalnya
yang bersangkutan gila atau cacat jiwa lainnya. Atas kondisi tersebut dapatlah dilontarkan
suatu kritik melalui suatu pertanyaan yakni dimanakah letak perhatian hukum pidana terhadap
korban ketika yang melakukan tindak pidana merupakan individu yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat. Tidak dipidananya seseorang yang melakukan
tindak pidana karena tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam perspektif pelaku dan tujuan
pemidanaan dapat dibenarkan, namun dalam perspektif korban tampaknya tidak demikian.
Korban yang merasa mengalami kerugian dan/atau penderitaan selayaknya tetap mempunyai
akses untuk memperoleh keadilan, ---walaupun pelakunya tidak dapat dipidana--- ujudnya
misalanya dalam bentuk pemberian kompensasi. Dalam kasus semacam ini juga tepat untuk
menggambarkan bahwa korban memang sebagai pihak yang dilupakan dalam SPP.

Berdasar atas paparan tersebut di atas maka dapat direkomendasikan dua hal sebagai
berikut.
1. KUHP perlu secara ekplisit merumuskan bentuk perlindungan hukum bagi korban secara
lebih konkrit antara lain dalam hal penjatuhan pidana wajib dipertimbangkan pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban. KUHP juga perlu merumuskna jenis

1
pidana restitusi (ganti rugi) yang akan sangat bermanfaat bagi korban dan/atau keluarga
korban.
2. KUHP perlu memberikan akses bagi korban untuk memperoleh keadilan apabila pelaku
tindak pidananya berkaitan dengan ketentuan Pasal 44 KUHP. Keadilan dapat diujudkan
dalam bentuk pemberian kompensasi.

2. Perbedaan Kedudukan Korban dan Pelaku dalam Kitab Undang-undang Hukum


Acara Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) termuat dalam Undang-undang


No 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana. Kajian tentang kedudukan korban dalam
termasuk korban perkosaan dalam KUHAP tampaknya menunjukkan bahwa KUHAP sudah
membuka peluang secara universal untuk mencapai keadilan dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara
hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Hal lain yang dipertimbangkan dalam
konsideran KUHAP adalah dibuat aturan yang mengatur hak serta kewajiban bagi mereka
(para pihak) yang ada dalam proses pidana, sehingga dengan demikian dasar utama negara
hukum dapat ditegakkan.

Berdasarkan konsideran tersebut di atas terdapat beberapa aspek yang menurut hemat
penulis dapat digaris bawahi:

1. Adanya pertimbangan keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia disini tentunya bukan
hanya pelaku saja namun meliputi korban. Akan tetapi dalam korban sangat terbatas atau
kurang tampak.
2. KUHAP dimaksudkan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses
peradilan pidana, sehingga dasar utama negara hukum dapat tercapai. Pihak yang ada
dalam proses peradilan pidana selain aparat penegak hukum juga korban dan pelaku.
Namun dalam penjabaran pasal-pasal di dalam diktum serta dalam penjelasannya tidak
terakomodir ketentuan yang memuat hak dan kewajiban bagi korban secara adil.

Berikut ini dipaparkan ketentuan pasal-pasal dalam KUHAP serta penjelasannya yang
menunjukkan bahwa KUHAP memang telah memarjinalkan korban dan lebih berorientasi
kepada kepentingan pelaku.

Pertama, dalam Bab I tentang ketentuan umum Pasal 1 yang terdiri atas angka 1 (satu)
hingga 32 (tiga puluh dua) dan berisi tentang berbagai macam pengertian yang berkaitan
dengan proses peradilan dengan segala aspeknya, tidak satupun yang merumuskan pengertian
tentang korban. Hal ini tampaknya tidak tepat karena di dalam ketentuan beberapa pasal yang
ada di dalamnya menyebut pula tentang korban.

Kedua, dalam bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa, yang terdiri atas 19 pasal sarat
dengan aturan yang memberikan hak sebagai perlindungan hak asasi manusia terhadap pelaku
bukan untuk korban.

2
Ketiga, Bab VII tentang Bantuan Hukum dalam ketentuan pasal-pasalnya mengatur
adanya beberapa hak dan kewajiban dari penasihat hukum selama proses peradilan. Hak-hak
ini dapat pula dikatakan sebagai pendukung bagi terlaksananya hak-hak dari pelaku.

Keempat, Bab XII tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi, menunjukkan pula adanya
beberapa hak bagi pelaku sebagai ujud dari perlindungan hukum. Hak menuntut ganti rugi
dimungkinkan apabila yang bersangkutan merasa ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau
dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan (Pasal 95 ayat (1)). Hak
memperoleh rehabilitasi apabila yang bersangkutan oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusnya telah mempunyai kekuatan hukum
tetap (Pasal 97 ayat (2)).

Kelima, Bab XIV tentang penyidikan juga dijumpai ketentuan-ketentuan yang lebih
berorientasi terhadap hak pelaku.

Keenam, di samping dalam diktum yang tertuang dalam pasal-pasalnya, dalam


penjelasannya juga tampak bahwa KUHAP lebih berorientasi kepada kepentingan pelaku
daripada korban, walaupun dalam penjelasan umunya menyebut adanya tujuan untuk
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan pemerintahan. Demikian pula disebutkan bahwa ada
kewajiban bagi hukum acara pidana nasional untuk didasarkan pada falsafah/pandangan hidup
bangsa dan dasar negara. Aspek yang mneunjukkan bahwa KUHAP disebutkan beberapa asas
yang maknanya lebih dominan bagi kepentingan pelaku daripada korban.

Berdasarkan atas paparan tersebut di atas maka tampak bahwa memang begitu banyak
hak-hak diberikan kepada pelaku. Hal ini sangat tidak sebanding dengan hak yang diberikan
terhadap korban. Hak yang diberikan oleh KUHAP kepada korban sangat terbatas.
Berdasarkan dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP, dapat ditemukan terbatasnya aspek
yang mengatur tentang hak korban sebagai berikut.

Pertama, hak untuk melakukan tuntutan ganti rugi sebagimana diatur dalam Bab XII
yang terdiri atas Pasal 98 hingga 101 KUHAP.
Kedua, hak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik baik lisan
maupun tertulis atas tindak pidana yang dialami (Pasal 108 ayat (1)).

Ketiga, hak bagi keluarga korban untuk diberitahu apabila korban yang telah meninggal
dunia, akan dilakukan bedah mayat (Pasal 134 ayat (1)).

Keempat, hak bagi korban (dalam kapasitasnya sebagai saksi korban) untuk
mendapatkan penggantian biaya, apabila ynag bersangkutan hadir memenuhi panggilan dalam
rangka memberikan keterangan di semua tingkatan pemeriksaan (Pasal 299 ayat (1)).

Berdasarkan atas paparan tersebut di atas tampak bahwa hak korban dalam KUHAP
sangat terbatas dibandingkan dengan hak-hak pelaku. Ini menunjukkan bahwa terjadi
diskriminasi dalam perlakuan terhadap korban dan pelaku dengan lebih memperhatikan

3
pelaku. Dengan demikian kedudukan korban dalam KUHAP dapat dikatakan termarjinalkan
dan terjadi ketidakadilan.

3. Kedudukan Korban dalam Undang-undang Pemasyarakatan


Undang-undang pemasyarakatan yang diatur dalam ketentuan Undang-undang No. 12
Tahun 1995 dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai Undang-undang tentang pelaksanaan
pidana. Undang-undang ini merupakan rangkaian dari KUHP sebagai hukum pidana materiil
dan KUHAP sebagai hukum pidana formal untuk mendukung bekerjanya peradilan pidana.

Undang-undang Permasyarakatan tampaknya juga sama dengan KUHAP. Kedudukan


korban masih lemah, orientasinya cenderung sangat memperhatikan kepentingan pelaku
dripada korban. Dalam ketentuan tersebut, konsideran maupun diktumnya cenderung hanya
mengatur tentang hak-hak pelaku sebagai realisasi atas penghormatan hak asasi manusia.

Aspek yang menunjukkan betapa pelaku memperoleh banyak sekali hak untuk
kepentingan pelaku utamannya terdapat pada ketentuan Pasal 14 Undang-undang
Permasyarakatan yang memuat ketentuan sebagai berikut.

1. Hak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya


2. Hak untuk mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani
3. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
4. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak
5. Hak untu menyampaikan keluhan
6. Hak untuk mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media masa lainnya yang
tidak dilarang
7. Hak untuk mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan
8. Hak untuk menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya
9. Hak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi)
10. Hak untuk mendapatankan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga
11. Hak mendapatkan pembebasan bersyarat
12. Dan mendapatkan cuti menjelang bebas, dan
13. Hak untuk mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undang yang
berlaku.

Dalam ketentuan sebagaimana tersebut di atas jelas tampak bahwa orientasi terhadap
kepentingan korban tidak ada. Dapat dibandingkan pelaksanaan pidana penjara di Amerika,
yang memungkinkan korban mempunyai hak memperoleh pembayaran restitusi dari para
pelaku yang sedang menjalani pidana penjara. Dengan kata lain dimungkinkan bagi para
narapidana kepada korban berasal dari upah atas hasil kerjanya didalam tembok penjara.

Banyaknya hak-hak pelaku yang diberikan pada Undang-undang Permasyarakatan


sebagai hukum pelaksanaan pidana penjara, tampaknya tidak terlepas dari tiga faktor sebagai
berikut.

Pertama, pengaruh instrumen internasional berupa Standard Minimum Rules for the
treatment of prisoners (SMR) yang memang diterima oleh Pererikatan Bangsa-bangsa dengan

4
keputusan untuk dianjurkan pelaksanaan kepada seluruh negara-negara anggota (Resolusi dari
Economic and Social Council No. 633 C.XXIV tanggal 31 Juli 1957). SMR ini mengandung
semangat atas perikemanusiaan yang dijiwai oleh Declaration of Human Rights 1948.

Kedua, pengaruh pembaharuan sistem pelaksanaan pidana penjara dari sistem


pemenjaraan ke sistem pemasyarakatan yang dihasilkan melalui komperensi dinas para
pemimpin kepenjaraan pada tanggal 27 April-7 Mei 1964 di Lembang Bandung. Dalam
konperensi tersebut telah merumuskan dasar-dasar tentang usaha pemasyarakatan terhadap
narapidana.

Ketiga, pengaruh pembaharuan pidana (law reform) sebagaimana tercermin dalam


konsep RUU KUHP sebelum tahun 1995 khususnya dalam hal tujuan pidana dan pemidanaan.

4. Kedudukan korban dalam aturan lain dalam Hukum Positif Nasional yang sudah
mengatur kepentingan Korban.

Dalam hukum positif nasional saat ini terdapat berbagai norma hukum yang sudah
memperhatikan kepentingan korban. Norma hukum yang dimaksud antara lain:

1) Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yaitu :

(1) Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas
perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun.
(2) Perlindungan sebagaimana yang dimaksud ayat (1) wajib dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum dan aparat penegak secara cuma-Cuma.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002  tentang  tata  cara perlindungan


terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM berat.

          Peraturan Pemerintah ini merupakan peraturan pelaksanaan dari     Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Latar belakang
dibuatnya peraturan pemerintah ini adalah untuk memberikan perlindungan baik fisik maupun
mental kepada korban maupun saksi dari ancaman, gangguan, teror atau kekerasan dari pihak
manapun. Perlindungan kepada saksi dalam peraturan pemerintah ini diatur dalam Pasal 2 yaitu :

1.   Setiap korban atau saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak
memperoleh perlindungan dari aparat hukum dan aparat keamanan.

5
2.   Perlindungan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 diberikan sejak tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan.

3) Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme Menjadi Undang-Undang yang telah diperbaharui dengan Undang-undang
No 5 tahun 2018

(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan
kompensasi atau restitusi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada
negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
(3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan
oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar
putusan pengadilan.

4) Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentan Penghapusan Kekerasan dalam Rumah


Tangga

Pasal 10
Korban berhak mendapatkan:

(1) Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari peradilan.
(2) Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.
(3) Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
(4) Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses
pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang, dan
(5) Pelayanan bimbingan rohani.

BAB V (Keawajiban Pemerintah)


Pasal 11
Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.

Pasal 12
(1) Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, maka pemerintah:

a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga


b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam
rumah tangga
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga,
dan

6
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam
rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 13
UU PKDRT dalam hal untuk penyelenggarakan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan
pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus dikantor kepolisian
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani
c. Pembuatan dan pengembang sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang
melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban, dan
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban

Pasal 14
Untuk menyelenggarakan upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 di atas, pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing, dapat melakukan kerja
sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.

Pasal 15
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui kejadian kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuan untuk:
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana
b. Memberikan perlindungan kepada korban
c. Memberikan pertolongan darurat, dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

BAB VI (Perlindungan korban) Pasal 16 sampai Pasal 38

BAB VII (Pemulihan Korban) Pasal 39 sampai Pasal 42

Anda mungkin juga menyukai