Anda di halaman 1dari 7

1.

Bedakan wanprestasi dengan perbuatan melanggar hukum dalam perjanjian


ketenaga kerjaan
Menurut Yahya Harahap, antara PMH (Perbuatan Melawan Hukum) dan Wanprestasi
terdapat perbedaan prinsip, yaitu:
itinjau dari

Wanprestasi

Sumber hukum

PMH

Wanprestasi

menurut PMH menurut Pasal 1365

Pasal

KUHPer KUHPer

1243

timbul

akibat

timbul dari persetujuan perbuatan orang


(agreement)
Timbulnya

hak Hak menuntut ganti rugi Hak menuntut ganti rugi

menuntut

dalam wanprestasi timbul karena PMH tidak perlu


dari Pasal 1243 KUHPer, somasi. Kapan saja terjadi
yang

pada

prinsipnya PMH, pihak yang dirugikan

membutuhkan pernyataan langsung


lalai (somasi)
Tuntutan ganti rugi

hak

untuk menuntut ganti rugi

KUHPer telah mengatur KUHPer


tentang jangka
perhitungan

mendapat

tidak

waktu bagaimana
ganti

mengatur

bentuk

dan

rugi rincian ganti rugi. Dengan

yang dapat dituntut, serta demikian, bisa dgugat ganti


jenis dan jumlah ganti rugi

nyata

dan

kerugian

rugi yang dapat dituntut immateriil


dalam wanprestasi

Wanprestasi berarti melanggar tindakan yang sudah disepakati dan dapat dituntut.
Wanprestasi adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi sebagaimana ditetapkan dalam
perikatan karena kesalahan debitur (sengaja/lalai) atau keadaan memaksa (di luar
kemampuan debitur).
Macam keadaan wanprestasi :
a. debitur tidak berprestasi sama sekali.
b. debitur berprestasi tapi tidak baik/keliru.
c. debitur berprestasi tapi tidak tepat waktu/terlambat.
d. debitur melakukan sesuatu yang menurut perikatan tidak boleh dilakukan.
Syarat terjadinya keadaan wanprestasi :
a. syarat materiil > adanya unsur kesalahan debitur (sengaja/lalai).
b. syarat formil > adanya peringatan/teguran terhadap debitur.

Hak kreditur bila terjadi wanprestasi :


a. hak menuntut pemenuhan perikatan
b. hak menuntut pemutusan perikatan atau bila perikatan tersebut bersifat timbal balik,
menuntut pembatalan

perikatan (ontbinding).

c. hak menuntut ganti rugi.


Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada
wanprestasi pelanggaran terjadi terhadap kesepakatan atau aturan yang telah dibuat dan
berlaku antara para pihak pembuat perjanjian. Kesepakatan atau aturan tersebut dalam
pembuatannya juga melibatkan pihak pelanggar. Berbeda dengan perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad), dimana perbuatan melawan hukum terjadi karena adanya
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang karena kesalahannya tersebut
menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Berbeda dengan wanprestasi, pada perbuatan
melawan hukum, aturan yang dilanggar adalah aturan yang berlaku umum dan aturan
tersebut terkadang dibuat tanpa ada keterlibatan si pelanggar. Perbuatan melawan hukum
tidak didasarkan adanya kesekapakatan sebagaimana yang tertuang dalam perjanjian
seperti halnya wanprestasi.
Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan : Tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Sedangkan ketentuan Pasal
1366 KUHPerdata menyatakan : setiap orang bertanggung-jawab tidak saja untuk
kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan karena kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Ketentuan pasal 1365 KUHPerdata tersebut di atas mengatur pertanggung-jawaban yang
diakibatkan oleh adanya perbuatan melawan hukum baik karena berbuat (positip=culpa
in commitendo) atau karena tidak berbuat (pasif=culpa in ommitendo). Sedangkan pasal
1366 KUHPerdata lebih mengarah pada tuntutan pertanggung-jawaban yang diakibatkan
oleh kesalahan karena kelalaian (onrechtmatigenalaten).
Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum (PMH) antara lain :
1. Adanya kesalahan
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
3. Adanaya kerugian
4. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian

Konsekwensi yuridis atas timbulnya PMH :


Akibat perbuatan melawan hukum secara yuridis mempunyai konsekwensi terhadap
pelaku maupun orang-orang yang mempunyai hubungan hukum dalam bentuk pekerjaan
yang menyebabkan timbulnya perbuatan melawan hukum. Jadi, akibat yang timbul dari
suatu perbuatan melawan hukum akan diwujudkan dalam bentuk ganti kerugian terhadap
korban yang mengalami.
Penggantian kerugian sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum,
sebagaimana telah disinggung diatas, dapat berupa penggantian kerugian materiil dan
immateriil. Lajimnya, dalam praktek penggantian kerugian dihitung dengan uang , atau
disetarakan dengan uang disamping adanya tuntutan penggantian benda atau barangbarang yang dianggap telah mengalami kerusakan/perampasan sebagai akibat adanya
perbuatan melawan hukum pelaku.
Jika mencermati perumusan ketentuan pasal 1365 KUHPerdata, secara limitatif
menganut asas hukum bahwa penggantian kerugian dalam hal terjadinya suatu perbuatan
melawan hukum bersifat wajib. Bahkan, dalam berbagai kasus yang mengemuka di
pengadilan, hakim seringkali secara ex-officio menetapkan penggantian kerugian
meskipun pihak korban tidak menuntut kerugian yang dimaksudkan.
Secara teoritis penggantian kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan melawan hukum
diklasifikasikan ke dalam dua bagian, yaitu : kerugian yang bersifat actual (actual loss)
dan kerugian yang akan datang. Dikatakan kerugian yang bersifat actual adalah kerugian
yang mudah dilihat secara nyata atau fisik, baik yang bersifat materiil dan immateriil.
Kerugian ini didasarkan pada hal-hal kongkrit yang timbul sebagai akibat adanya
perbuatan melawan hukum dari pelaku. Sedangkan kerugian yang bersifat dimasa
mendatang adalah kerugian-kerugian yang dapat diperkirakan akan timbul dimasa
mendatang akibat adanya perbuatan melawan hukum dari pihak pelaku. Kerugian ini
seperti pengajuan tuntutan pemulihan nama baik melalui pengumuman di media cetak
dan atau elektronik terhadap pelaku. Ganti kerugian dimasa mendatang ini haruslah
didasarkan pula pada kerugian yang sejatinya dapat dibayangkan dimasa mendatang dan
akan terjadi secara nyata.
Mengenai Penggabungan Gugatan Wanprestasi dengan PMH
Yahya Harahap berpendapat bahwa tidak dibenarkan mencampuradukkan Wanprestasi
dengan PMH dalam gugatan, dan/atau mendalilkan Wanprestasi padahal fakta hukum
adalah peristiwa PMH begitu juga mendalilkan PMH padahal fakta hukumnya yakni
Wanprestasi. Namun beliau juga berpendapat bahwa penggabungan Wanprestasi dan

PMH dimungkinkan dalam satu gugatan asalkan diurai dengan tegas pemisahan
keduanya.
Di dalam praktik sendiri terdapat beberapa yurisprudensi yang tidak membenarkan
adanya penggabungan antara Wanprestasi dengan PMH, diantaranya yakni Putusan MA
No. 1875 K/Pdt/1984 tertanggal 24 April 1986, dan Putusan MA No. 879 K/Pdt/1997
tanggal 29 Januari 2001 dijelaskan bahwa penggabungan PMH dengan wanprestasi
dalam satu gugatan melanggar tata tertib beracara dengan alasan bahwa keduanya harus
diselesaikan tersendiri.
Begitu juga dala Putusan MA No. 2452 K/Pdt/2009, dalam pertimbangannya MA
menyatakan Bahwa karena gugatan Penggugat merupakan penggabungan antara
perbuatan melawan hukum dan wanprestasi , maka gugatan menjadi tidak jelas dan
kabur (obscuur libel). Ada juga Putusan PN Surakarta No. 194/Pdt.G/2011/PN.Ska,
yang telah berkekuatan hukum tetap dengan berdasarkan dua Yurisprudensi MA, dalam
pertimbangannya menyatakan Menimbang, bahwa terhadap gugatan Penggugat, Majelis
Hakim berpendapat, bahwa dalam gugatannya Penggugat telah menggabungkan dalilnya
antara perbuatan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum, oleh karenanya
berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung R.I Nomor : 492 K/Sip/1970 tanggal 21
Nopember 1970 yo Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor : 897/K/Sip/Pdt/1997 yang
pada pokoknya menyatakan, bahwa penggabungan gugatan perbuatan melawan hukum
dan wanprestasi dalam satu gugatan melanggar tertib beracara, karena keduanya harus
diselesaikan secara sendiri-sendiri, sehingga berdasarkan hal tersebut, maka menurut
Majelis Hakim gugatan Penggugat yang seperti itu adalah kabur.
Kemudian ada juga beberapa Yurisprudensi yang membenarkan penggabungan antara
Wanprestasi dengan PMH. Seperti Putusan MA No. 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari
1987, yang mana dalam putusan tersebut dikatakan bahwa meskipun dalil gugatan yang
dikemukakan dalam gugatan adalah PMH, sedangkan peristiwa hukum yang sebenarnya
adalah Wanprestasi, namun gugatan dianggap tidan obscuurlible. Apabila hakim
menemukan kasus seperti ini, dia dapat mempertimbangkan , bahwa dalil gugatan itu
dianggap Wanprestasi.
2. Pilih salah satu bidang hukum ketenaga kerjaan kemudian jelaskan aspek
perlindungan hukum secara normatif
PERLINDUNGAN ANAK DAN PEREMPUAN

Menurut Soepomo, perlindungan tenaga kerja dibagi menjadi 3 (tiga ) macam, yaitu
1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan
yang cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak mampu bekerja di luar kehendaknya.
2. Perlindungan sosial, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan
kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
3. perlindungan teknis, yaitu : perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan
keselamatan kerja.
Berdasarkan objek perlindungan tenaga kerja Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan mengatur perlindungan khusus pekerja/buruh perempuan, anak dan
penyandang cacat sebagai berikut :
1. Perlindungan pekerja/buruh Anak
a. Pengusaha dilarang mempekerjakan anak (Pasal 68), yaitu setiap orang yang
berumur dibawah 18 (delapan belas) tahun (Pasal 1 nomor 26).
b. Ketentuan tersebut dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 tahun
sampai 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu
c.

perkembangan dari kesehatan fisik, mental dan sosial (Pasal 69 ayat( 1)).
Pengusaha yang memperkerjakan anak pada pekerjaan ringan tersebut harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Ijin tertulis dari orang tua/wali.


Perjanjian kerja antara orang tua dan pengusaha
Waktu kerja maksimal 3 (tiga) jam
Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah.
Keselamatan dan kesehatan kerja
Adanya hubungan kerja yang jelas
Menerima upah sesuai ketentuan yang berlaku.

d. Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama pekerja/buruh dewasa, maka tempat


kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa (Pasal 72).
e. Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan
sebaliknya (Pasal 73).
f. Siapapun dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan yang buruk, tercantum
dalam Pasal 74 ayat (1). Yang dimaksud pekerjaan terburuk seperti dalam Pasal 74
ayat (2), yaitu :
1) Segala pekerjaan dalam bentuk pembudakan atau sejenisnya.
2) Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau melibatkan anak
untuk produksi dan perdagangan minuman keras,narkotika, psikotropika dan
zat adiktif lainnya.
3) Segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan atau menawarkan anak
untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, perjudian.

4) Segala pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral


anak.
2. Perlindungan Pekerja/Buruh Perempuan
Pekerjaan wanita/perempuan di malam hari diatur dalam Pasal 76 UU No 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :
a. Pekerjaan perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun dilarang dipekerjakan
antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi.
b. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya, bila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 pagi,
c. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00 pagiwajib :
1) Memberikan makanan dan minumanbergizi
2) Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja
d. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 05.00 pagi wajib menyediakan antar jemput.
e. Tidak mempekerjakan tenaga kerja melebihi ketentuan Pasal 77 ayat (2) yaitu 7
(tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu untuk 6 (enam) hari kerja
dalam seminggu atau 8 (delapan) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam seminggu
untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
f. Bila pekerjaan membutuhkan waktu yang lebih lama, maka harus ada persetujuan
dari tenaga kerja dan hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
sehari dan 14 (empat belas) jam dalam seminggu, dan karena itu pengusaha wajib
membayar upah kerja lembur untuk kelebihan jam kerja tersebut. Hal ini
merupakan ketentuan dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2).
g. Tenaga kerja berhak atas waktu istirahat yang telah diatur dalam Pasal 79 ayat (2)
yang meliputi waktu istirahat untuk:
1) Istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja
selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak
termasuk jam kerja
2) Istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam seminggu
atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam seminggu.
3) Cuti tahunan sekurang-kurangnya 12 (dua belas hari kerja setelah tenaga kerja
bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
4) Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan apabila tenaga kerja telah
bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang

sama dengan ketentuan tenaga kerja tersebut tidak berhak lagi istirahat
tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan.
h. Untuk pekerja wanita, terdapat beberapa hak khusus sesuatu dengan kodrat
kewanitaannya, yaitu :
1) Pekerja wanita yang mengambil cuti haid tidak wajib bekerja pada hari
pertama dan kedua (Pasal 81 ayat (1))
2) Pekerja wanita berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya
melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter
kandungan/bidan (Pasal 82 ayat (1))
3) Pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh
istirahat 1,5 bulan sesuai ketentuan dokter kandungan/bidan (Pasal 82 (2))
4) Pekerja wanita yang anaknya masih menyusui harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu
kerja (Pasal 83)
5) Pekerja wanita yang mengambil cuti hamil berhak mendapat upah penuh
(Pasal 84).
Perlindungan kerja terhadap tenaga kerja/buruh merupakan sesuatu yang mutlak dalam
pemborongan pekerjaan, hal ini sesuai dengan KEPMENAKERTRANS No. KEP101/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh.
Setiap pekerjaan yang diperoleh perusahaan dari perusahaan lainnya, maka kedua belah
pihak harus membuat perjanjian tertulis yang memuat sekurang-kurangnya :
a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa;
b. Pengesahan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a,
hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa, sehingga perlindungan
upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya, untuk jenisjenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi kerja dalam terjadi
penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. (Pasal 4)

Anda mungkin juga menyukai