Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TEORI TANGGUNG JAWAB DAN TEORI KEPASTIAN HUKUM

A. Teori Tanggung Jawab

Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum

menyatakan bahwa: “Seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu

perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek

berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal peristiwa yang

bertentangan”.1 Lebih lanjutnya Hans Kelsen menyatakan bahwa “Kegagalan

untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan

(negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari

kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena

mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang

membahayakan”.2

Menurut Abdulkadir Muhammad teori tanggung jawab dalam perbuatan

melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:3

1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan

perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui

bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

1
Hans Kelsen, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-
Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deduktif Empirik, terjemahan Somardi
(selanjutnya ditulis Hans Kelsen II), (Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007), hal. 81.
2
Ibid, hal. 83.
3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010),
hal. 503.

29
2. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena

kelalaian (negligence tort liability), didasarkan pada konsep kesalahan

(concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah

bercampur baur (intermingled).

3. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (strick liability), didasarkan pada perbuatannya

baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan

kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat

perbuatannya.

Pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum,

yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena

salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Dalam Pasal

1366 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ditegaskan bahwa

setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan

perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang

kehati-hatiannya. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan biasanya

mencakup persoalan kelalaian.4 Prinsip ini menyatakan seseorang baru dapat

dimintakan untuk bertanggung jawab secara hukum apabila terdapat unsur

kesalahan yang dilakukannya.

PMH adalah suatu perbuatan secara nyata melanggar peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Artinya, setiap orang atau pelaku usaha melanggar

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dikatakan suatu

4
Ibid., hal. 140.

30
PMH. Di dalam Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa PMH ialah setiap

perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain, dan orang yang

mengakibatkan kerugian kepada orang lain, dan orang yang mengakibatkan

kerugian diwajibkan memberikan ganti rugi kepada orang yang mengalami

kerugian tersebut.5

Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari PMH, yaitu sebagai

berikut:6

1. PMH karena kesengajaan.

2. PMH tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian).

3. PMH karena kelalaian.

Berdasarkan isi dari Pasal 1365 KUHPerdata yang merupakan pasal tentang

PMH yang didalamnya terdapat empat unsur yaitu:

1. Adanya PMH

PMH menandakan adanya perbuatan atau tindakan dari pelaku yang

melanggar atau melawan hukum. Dahulu, pengertian melanggar hukum

ditafsirkan secara sempit, yaitu hanya sebagai hukum tertulis saja, yaitu

undang-undang. Hal ini mengakibatkan seseorang atau badan hukum hanya

bisa digugat kalau “dia” melanggar hukum tertulis (undang-undang) saja.

2. Adanya kesalahan

Dalam unsur adanya kesalahan terbagi menjadi dua yaitu: bisa karena

kesengajaan atau karena kealpaan. Kesengajaan maksudnya ialah ada

5
Jur M. Udin Silalahi, Badan Hukum Organisasi Perusahaan, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam,
2005), hal. 8.
6
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: PT. Citra
Adiyta Bakti, 2010), hal. 3.

31
kesadaran yang oleh orang normal pasti tahu konsekuensi dari perbuatannya

itu akan merugikan orang lain. Sedangkan, kealpaan berarti ada perbuatan

mengabaikan sesuatu yang mestinya dilakukan, atau tidak berhati-hati atau

teliti sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain.7 Namun demikian

ada pengecualian suatu keadaan tertentu dapat meniadakan unsur kesalahan,

misalnya dalam hal keadaan memaksa (overmacht) atau si pelaku tidak

sehat pikirannya (gila). Sehingga tidak dapat dikatakan bahwa melakukan

suatu kesalahan, karena tidak mengetahui apa yang dilakukannya.

3. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

Adanya hubungan kausalitas atau sebab akibat antara perbuatan yang

dilakukan dengan akibat yang muncul kemudian. Misalnya, kerugian yang

terjadi disebabkan perbuatan atau kesalahan si pelaku atau dengan kata lain,

kerugian tidak akan terjadi jika pelaku tidak melakukan perbuatan melawan

hukum tersebut.

4. Adanya kerugian yang diderita

Akibat dari PMH tentu akan menimbulkan kerugian. Kerugian terbagi

menjadi dua yaitu:

a. Kerugian secara materil yaitu kerugian yang nyata-nyata ada yang

diderita secara langsung. Misalnya: kerugian karena tabrakan mobil,

hilangnya keuntungan, ongkos barang, biaya-biaya, dan lain-lain.

7
Ibid., hal.73.

32
b. Kerugian secara immateril yaitu kerugian atas manfaat yang

kemungkinan akan diterima oleh korban atau pemohon di kemudian

hari. Misalnya: ketakutan, kekecewaan, penyesalan, sakit, dan

kehilangan semagat hidup yang pada prakteknya akan dinilai dalam

bentuk uang.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dalam hal

seseorang melakukan suatu PMH maka dia berkewajiban membayar ganti rugi

akan perbuatannya tersebut, hal yang berbeda dengan tuntutan kerugian dalam

Wanprestasi, dalam tuntutan PMH tidak ada pengaturan yang jelas mengenai

ganti kerugian tersebut namun sebagaimana diatur dalam Pasal 1371 ayat (2)

KUHPerdata tersirat adanya pedoman yang berbunyi: “Juga penggantian

kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak,

dan menurut keadaan”. Pedoman selanjutnya mengenai ganti kerugian dalam

PMH tercantum dalam Pasal 1372 ayat (2) KUHPerdata yang berbunyi:

“Dalam menilai suatu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya

penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah

pihak, dan pada keadaan”.

Adapun pemberian ganti kerugian menurut KUHPerdata yaitu sebagai

berikut:8

1. Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365

KUHPerdata).

8
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 137.

33
2. Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1367

KUHPerdata). Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata, seseorang tidak hanya

bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,

melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang

menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dalam

pengawasannya (vicarious liability).

3. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368 KUHPerdata).

4. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369 KUHPerdata).

5. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh

(Pasal 1370 KUHPerdata).

6. Ganti rugi karena telah luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371

KUHPerdata).

7. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372 KUHPerdata).

KUHPerdata tidak mengatur soal ganti kerugian yang harus dibayar karena

PMH sedangkan pada Pasal 1243 KUHPerdata membuat ketentuan tentang

ganti rugi karena wanprestasi. Maka menurut yurisprudensi, ketentuan ganti

kerugian karena wanprestasi dapat diterapkan untuk menentukan ganti

kerugian karena PMH. Sehingga, Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1366

KUHPerdata menetapkan, bahwa orang atau perusahaan yang melakukan

pelanggaran hukum atau lalai melakukannya dikenakan sanksi, yaitu wajib

membayar ganti rugi akibat perbuatannya.

Objek utama dari PMH adalah agar pihak yang menderita kerugian

memperoleh penggantian dari pelaku yang karena salahnya atau kelalaiannya

34
telah menimbulkan kerugian itu. Dalam hal ini tidak ada alasan bagi perseroan

atau korporasi apa pun untuk tidak bertanggung jawab atas kerugian yang

ditimbulkannya bilamana dalam kasus yang sama seorang pribadi kodrati harus

bertanggung jawab.9 Pertanggung jawaban mutlak biasanya kejadian yang

tidak terperkirakan atau tidak disengaja. Karena itu tanggung jawab mutlak

sering disebut dengan tanggung jawab tanpa kesalahan.

Bila dilihat dari pengaturan KUHPerdata Indonesia tentang PMH,

sebagaimana juga dengan KUHPerdata di negara sistem Eropa Kontinental,

maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut:10

1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian),

sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan, khususnya unsur kelalaian,

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata.

3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam arti yang sangat terbatas

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata. Tanggung jawab

karena kesalahan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata

dan Pasal 1367 KUHPerdata merupakan bentuk klasik

pertanggungjawaban secara perdata.

Teori tanggung jawab hukum yang dikemukakan oleh Kranenburg dan

Vegtig memiliki dua teori yang melandasinya yaitu:

9
Chatamarrasjid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-Soal Aktual Hukum
Perusahaan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 182.
10
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 3.

35
1. Teori fautes de personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya

itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab

ditujukan pada manusia selaku pribadi.

2. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan pada jabatan.

Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah

kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan yang berat atau

kesalahan ringan, dimana berat atau ringannya suatu kesalahan

berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.

Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara

tanggung jawab Direksi Perseroan yang berdasarkan tugas dan wewenang yang

diberikan oleh UUPT. Kemudian untuk mengetahui direksi selaku organ

perseroan melanggar prinsip korporasi yang baik (GCG) dan mengakibatkan

kerugian bagi perseroan itu sendiri, yang harus dipertanggung jawabkan oleh

Direksi yang melakukan pelanggaran tersebut. Selanjutnya mengenai

kemampuan bertanggung jawab secara teoritis menurut Roscoe Pund

pertanggungjawaban terkait dengan suatu kewajiban untuk meminta ganti

kerugian dari seseorang yang terhadapnya telah dilakukan suatu tindakan

perugian atau yang merugikan (injury), baik oleh orang yang pertama itu

sendiri maupun oleh sesuatu yang ada dibawah kekuasaannya.11

11
Roscoe Pound, Pengantar Filsafat Hukum (an Introduction to the Philosophy of Law),
terjemahan Mohammad Radjab, Jakarta, 1996, hal. 80.

36
Dalam ranah hukum perdata Roscoe Pound menyatakan hukum melihat

ada tiga pertanggungjawaban atas delik yaitu:

1. Pertanggungjawaban atas perugian yang disengaja.

2. Pertanggungjawaban atas perugian karena kealpaan dan tidak sengaja.

3. Pertanggungjawaban dalam perkara tertentu atas perugian yang dilakukan

karena kelalaian serta tidak disengaja.12

Dalam menjalankan suatu perseroan maka direksi bertanggung jawab

penuh dalam melaksanakan tugasnya untuk kepentingan perseroan dalam

mencapai maksud dan tujuannya dan dengan berdasar atas itikad baik serta

mengindahkan peraturan perundang-udangan yang berlaku. Direksi

menurut Pasal 1 angka 5 UUPT adalah: “Organ Perseroan yang berwenang dan

bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan

Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili

Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan

anggaran dasar”.

Perlu dipahami bahwa perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan

serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. Maksud dan

tujuan serta kegiatan usaha tersebut juga wajib dimuat dalam AD dari

perseroan. Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan

tanggung jawab Direksi Perseroan yang berdasarkan dengan kewenangannya.

12
Ridwan H. R., Hukum Administrrasi Negara, Op.Cit., hal. 365.

37
Definisi dari ultra vires dapat ditemukan dalam Black’s Law Dictionary

9th Edition sebagai berikut: “Unauthorized; beyond the scope of power allowed

or granted by a corporate charter or by law”. Artinya yaitu: “Tidak sah; di

luar ruang lingkup kekuasaan yang diizinkan atau diberikan oleh yang diatur

hukum perusahaan. Yahya Harahap berpendapat bahwa ultra vires adalah

sebuah doktrin yang menyatakan bahwa tindakan Direksi yang tidak sesuai

dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang ditentukan

dalam AD.13 Tindakan tersebut dianggap merupakan tindakan yang

“melampaui kapasitas” perseroan. Menurut Yahya, berarti tindakan Direksi

yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha adalah

tindakan di luar kekuasaannya (beyond the power).14 Bertitik dari pengertian

yang dijelaskan tersebut, doktrin ultra vires dihubungkan dengan perseroan

merupakan permasalahan yang menyangkut dengan transaksi atau kontrak

yang dilakukan direksi dengan pihak ketiga. Pada dasarnya kontrak atau

transaksi yang mengandung ultra vires adalah batal (nullity).

Secara sederhana, dapat disimpulkan ultra vires itu adalah tindakan

direksi di luar maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang

ditentukan dalam AD. Direksi melakukan tindakan atau perbuatan hukum atas

prinsip perwakilan. Pelaksanaan tugas tersebut merupakan bentuk tanggung

jawab yang dipikulnya sesuai wewenang yang dimiliki. Tanggung jawab

direksi berkaitan dengan landasan wewenang yang dimiliki seorang direksi

13
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 65-66.
14
Ibid., hal. 67.

38
perseroan untuk bertindak untuk dan nama perusahaan. Direksi selaku manajer

suatu perusahaan harus memperhatikan dua hal, yaitu: selaku organ perusahaan

dan sebagai seorang direksi yang harus melaksanakan tugasnya secara

profesional atas dasar prinsip fiduciary duty.15

Fiduciary duty menurut Yahya Harahap diartikan sebagai “wajib

dipercaya”. Menurut Yahya “wajib dipercaya” berarti setiap anggota Direksi

maupun Dewan Komisaris selamanya “dapat dipercaya” (must always

bonafide) serta selamanya harus “jujur” (must always be honest) dalam

menjalankan tugasnya (Direksi melakukan pengurusan dan Dewan Komisaris

melakukan pengawasan).16 Sementara menurut Ridwan Khairandy, bahwa

dalam menjalankan tugas fiduciary duties, seorang Direksi harus melakukan

tugasnya sebagai berikut:17

1. Dilakukan dengan itikad baik.

2. Dilakukan dengan proper purposes.

3. Dilakukan dengan kebebasan yang tidak bertanggungjawab (unfettered

discretion).

4. Tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of duty and interest).

Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan

tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Direksi dapat digugat secara

pribadi ke Pengadilan Negeri jika perseroan mengalami kerugian yang

15
Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hal. 39.
16
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 457.
17
Ridwan Khairandy, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: FH UII Press, 2014), hal. 209.

39
disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya. Begitu juga dalam hal kepailitan

yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan

tidak cukup untuk menutupi kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap

anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian

tersebut.18 Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan,

artinya secara fiduciary harus melaksanakan standar kehati-hatian (standart of

care).

Dalam melaksanakan pengelolaan perseroan, anggota direksi wajib

melakukannya dengan itikad baik (good faith) yang meliputi aspek:19

a. Wajib dipercaya (fiduciary duty) yakni selamanya dapat dipercaya (must

always bonafide) dan selamanya harus jujur (must always honest).

b. Wajib melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar atau layak (duty

to act for a proper purpose).

c. Wajib mentaati peraturan perundang-undangan (statutory duty or duty

obidience).

d. Wajib loyal terhadap perseroan (loyalty duty), tidak menggunakan dana

dan asset perseroan untuk kepentingan pribadi, wajib merahasiakan segala

informasi (confidential duty of information) perseroan.

e. Wajib menghindari terjadinya benturan kepentingan pribadi dengan

kepentingan perseroan (must avoid conflict of interest), dilarang

mempergunakan harta kekayaan perseroan, dilarang mempergunakan

18
Frans Satrio Wicaksono, Op.Cit., hal. 119.
19
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 383.

40
informasi perseroan, dan tidak melakukan persaingan dengan perseroan

(competition with the company), juga wajib melaksanakan pengurusan

perseroan dengan penuh tanggung jawab, yang meliputi aspek:

1) Wajib seksama dan hati-hati melakukan pengurusan (duty of the due

care).

2) Wajib melaksanakan pengurusan secara tekun (duty to be diligent).

Ketekunan dan keuletan wajib disertai kecakapan dan keahlian (duty

to display skill) sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang

dimilikinya.

Hal ini merupakan ruang lingkup dan aspek-aspek itikad baik (good faith)

dan tanggung jawab penuh yang wajib dilaksanakan anggota direksi mengurus

perseroan. Jika anggota direksi lalai melaksanakan kewajiban itu atau

melanggar apa yang dilarang atas pengurusan itu, dan kelalaian atau

pelanggaran itu menimbulkan kerugian terhadap perseroan, maka anggota

direksi itu, bertanggung jawab penuh secara pribadi (persoonlijk aansprakelijk,

personally liable) atas kerugian perseroan tersebut.20

1. Anggota direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian

perseroan.

Dalam hal anggota direksi terdiri atas 2 (dua) orang lebih, Pasal 97

ayat (4) UUPT menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara

tanggung renteng (hoofdelijk en gezamenlijk aansprakelijk, jointly and

severally liable). Dalam kaitannya dengan tanggung jawab direksi bila

20
Ibid., hal. 384.

41
dilihat dari waktu timbulnya terbagi menjadi: pertanggungjawaban pribadi

masing-masing direksi dan pertanggungjawaban yang bersifat tanggung

renteng (kolektif), yaitu pertanggung jawaban yang timbul jika direksi

tidak melakukan duty of care yaitu tidak dilaksanakannya atau melanggar

standart of conduct. Duty of loyalty dan duty of care ini yang disebut

dengan fiduciary duty. Diantara tindakan direksi yang dapat merugikan

perseroan adalah transaksi melakukan transaksi untuk dirinya sendiri (self

dealing) dan ajaran coorporate opportunity.

Doktrin fiduciary duty menuntut direksi bertindak dengan itikad baik

untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Pelanggaran terhadap prinsip ini

membawa konsekuensi yang berat bagi direksi, seperti dilihat antara lain

dalam Pasal 97 UUPT, karena ia dapat diminta pertanggungjawaban secara

pribadi atau dengan perkataan lain berlaku piercing the corporate veil.

Pasal 97 ayat (2) UUPT menyatakan bahwa: “Direksi bertanggung jawab

atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan sesuai dengan

maksud dan tujuan perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung

jawab”. Sehingga kewenangan pengurusan perseroan diberikan undang-

undang kepada direksi agar direksi dapat melakukan tindakan hukum yang

diperlukan atau kewenangan pengurusan dipercayakan kepada direksi agar

direksi dengan itikad baik senantiasa bertindak semata-mata demi

kepentingan dan tujuan perseroan (duty of loyalty).21

21
I.G. Rai Widjaya, Op.Cit., hal. 222.

42
Duty of care (tugas memperdulikan) yang diharapkan direksi adalah

duty of care sebagaimana dimaksud dalam hukum tentang perbuatan

melawan hukum, dalam arti direksi diharapkan untuk berbuat secara hati-

hati sehingga terhindar dari perbuatan kelalaian yang merugikan pihak lain.

Fiduciary duty direksi terhadap perseroan tercermin dalam dua macam

kewajiban, yaitu:

a. Duty of Loyalty and Good Faith, yang dapat dikategorikan lagi ke

dalam:

1) Duty to act bonafide in the interest of the company.

Hal ini dapat mencerminkan kewajiban direksi untuk melakukan

kepengurusan perseroan hanya untuk kepentingan perseroan

semata-mata. Untuk menentukan sampai seberapa jauh suatu

tindakan yang diambil oleh direksi perseroan telah dilakukan untuk

kepentingan perseroan, maka hal tersebut harus dipulangkan

kembali kepada direksi perseroan. Direksi perseroan harus

mengetahui dan memiliki penilaian sendiri tentang tindakan yang

menurut pertimbangannya adalah sesuatu yang harus atau tidak

dilakukan untuk kepentingan perseroan.

2) Duty to exercise power for their proper purpose.

Direksi adalah satu-satunya organ perseroan yang diberikan hak

dan wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama perseroan. Ini

membawa konsekuensi bahwa jalannya perseroan, termasuk

pengelolaan harta kekayaan perseroan bergantung sepenuhnya

43
pada direksi perseroan. Artinya tugas pengurusan perseroan adalah

direksi juga meliputi tugas pengelolaan harta kekayaan Perseroan.

Sebagai orang kepercayaan perseroan, yang diangkat RUPS untuk

kepentingan para pemegang saham secara keseluruhan.

Direksi diharapkan dapat bertindak adil dalam memberikan

manfaat yang optimum bagi pemegang saham perseroan. Sebagai

trustee bagi perseroan, maka sudah selayaknya jika dalam

melakukan tindakan atau perbuatan yang mengatas namakan

kepentingan manapun juga. Direksi diberikan kepercayaan oleh

seluruh pemegang saham untuk menjadi organ perseroan yang

akan bekerja untuk kepentingan perseroan, serta kepentingan

seluruh pemegang saham yang mengangkat dan mempercayakan

sebagai satu-satunya organ yang mengurus dan mengelola

perseroan.

Setelah RUPS menyetujui pengangkatan direksi perseroan,

maka (seluruh) pemegang saham tidak lagi berhubungan dengan

direksi perseroan, dan oleh karena itu maka direksi tidak dapat

mempergunakan kepercayaan yang diberikan kepadanya tersebut

untuk dipergunakan dalam kapasitasnya, untuk merugikan

kepentingan satu atau lebih pemegang saham tertentu dalam

perseroan, meskipun tindakan yang dilakukannya tersebut baik

bagi perseroan, menurut pertimbangannya.

3) Duty to retain their discretion.

44
Direksi adalah perseroan, melalui RUPS telah diberikan

kewenangan fiduciary untuk bertindak seluas-luasnya (dalam

koridor undang-undang dan AD) untuk kepentingan perseroan, dan

oleh karena itu maka tidak selayaknya jika direksi kemudian

melakukan pembatasan dini, atau membuat suatu perjanjian yang

akan mengekang kebebasan mereka untuk bertindak untuk tujuan

dan kepentingan perseroan.

Dalam hal ini tidak berarti direksi tidak boleh mengadakan,

membuat atau menandatangani suatu perjanjian pendahuluan

(misalnya perjanjian pengikatan jual beli), namun sebelum

perjanjian tersebut diadakan, dibuat atau ditandatangani direksi

memiliki suatu pandangan, sikap, dan kepastian bahwa tindakan

yang dilakukan tersebut akan memberikan manfaat bagi

kepentingan perseroan.

4) Duty to avoid conflict of interest.

Dalam konsep fiduciary duty ini, direksi memiliki kewajiban

untuk menghindari diadakan, dibuat, atau ditandatangani

perjanjian, atau dilakukannya perbuatan yang akan menempatkan

direksi tersebut dalam suatu keadaan, yang tidak memungkinkan

dirinya untuk bertindak secara wajar demi tujuan dan kepentingan

perseroan. Kewajiban ini bertujuan untuk mencegah direksi secara

tidak layak memperoleh keuntungan dari perseroan, yang

mengangkat dirinya menjadi direksi.

45
Lebih jauh lagi kewajiban ini sebenarnya melarang dengan

mencegah direksi untuk menempatkan dirinya pada suatu keadaan

yang memungkinkan direksi bertindak untuk kepentingan mereka

sendiri, pada saat yang bersamaan mereka harus bertindak

mewakili untuk dan atas nama perseroan.

Jadi sesungguhnya kewajiban tersebut bukan untuk melakukan

penghukuman atas terjadinya suatu tindakan yang mengandung

unsur benturan kepentingan, melainkan merupakan suatu bentuk

pemecahan sebelum suatu tindakan, perbuatan, atau keputusan

yang mengandung unsur benturan kepentingan tersebut dilakukan,

dilaksanakan, atau diambil.

b. Duty of care and diligence.

Jika dalam duty of loyalty, direksi perseroan bertindak

sebagaimana layaknya seorang trustee, yang dipercayakan untuk

mengelola harta kekayaan perseroan, maka dalam duty of care and

diligence, direksi, sebagai organ kepercayaan perseroan diharapkan

dapat menjalankan perseroan hingga memberikan keuntungan bagi

perseroan. Direksi diberikan fleksibelitas dalam bertindak untuk

melaksanakan fungsi kegiatan manajemen, dengan mengambil resiko

dan peluang di masa depan.

Dalam konteks duty of loyalty, direksi tidak semata-mata hanya

melaksanakan tugas untuk dan bagi kepentingan perseroan, melainkan

juga para stakeholders perseroan yang di dalamnya juga meliputi

46
kepentingan dari para pemegang saham perseroan, kreditur perseroan

dalam arti luas, yang meliputi pemasok, rekanan kerja, juga tidak boleh

dilupakan adalah konsumen.

Mereka para stakeholders memiliki hak terhadap kekayaan

perseroan adalah tugas direksi perseroan untuk menjalankan perseroan

dengan tidak mengabaikan berbagai macam kepentingan dari berbagai

macam pihak yang berada dalam lingkungan perseroan, yang

berhubungan hukum dengan perseroan.

Dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT dinyatakan bahwa: “Direksi

bertanggung jawab atas pengurusan perseroan untuk kepentingan

perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan dengan itikad

baik dan penuh tanggung jawab”, dapat ditarik kesimpulan bahwa

setiap anggota direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan baik,

semata-mata untuk kepentingan perseroan. Ketentuan ini boleh

dikatakan merupakan bentuk dari duty of loyalty.

Seseorang diangkat sebagai anggota direksi karena keahliannya

dalam bidang tertentu sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal

97 ayat (1) UUPT yaitu: “direksi perseroan dituntut untuk memiliki

kemampuan dan keahlian tertentu”. Dalam konsep fiduciary duty

terkandung duty of care yang pelanggarannya mengakibatkan breanch

of duty dari seorang direksi yang dapat membawanya pada

pertanggung jawaban pribadi terhadap kerugian yang di derita oleh

47
perseroan, pemegang saham, maupun pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap perseroan.

Maka dapat dikatakan bahwa dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2)

UUPT meliputi duty of loyalty dan duty of care. Jadi terdapat hubungan

antara duty of care dengan duty of loyalty yaitu dimana direksi

melakukan tugas dan kewajibannya berdasarkan fiduciary duty yang

dilaksanakan demi kepentingan dan tujuan perseroan. Untuk itu

kepercayaan diberikan kepada direksi untuk melaksanakan tugas dan

kewajiban berdasarkan wewenang yang diberikan oleh perundang-

undangan dan AD.

Dengan demikian, apabila direksi hanya menjalankan tugasnya

dengan penuh kehati-hatian, atau itikad baik, atau loyalitas saja (tidak

dalam keadaan lalai), belumlah sampai dikatakan bahwa dia telah

menjalankan fiduciary duty. Untuk sampai dikatakan bahwa dia sudah

menjalankan fiduciary duty, maka kepedulian dan kemampuan (duty

of care and skill), atau itikad baik, loyalitas (duty of loyalty) tersebut

haruslah dengan derajat yang tinggi.22

Tanggung jawab direksi pada dasarnya dilandasi oleh 2 (dua)

prinsip yang penting, yaitu prinsip yang lahir karena tugas dan

kedudukan yang dipercayakan kepadanya oleh perseroan (fiduciary

duty) dan prinsip yang merujuk kepada kemampuan serta kehati-hatian

tindakan direksi (duty of skill and care), kedua prinsip ini menuntut

22
Munir Fuady, Op.Cit., hal. 52.

48
direksi untuk bertindak secara hati-hati dan disertai dengan itikad baik,

semata-mata untuk kepentingan dan tujuan perseroan.

Tanggung jawab berarti kewajiban seorang individu untuk

melaksanakan aktifitas-aktifitas yang ditugaskan kepadanya sebaik

mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Salah satu tolak

ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh

keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat

menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah:

1. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan

percaya bahwa informasi tersebut benar.

2. Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan

dengan itikad baik.

3. Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan

yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.23

Dengan demikian, apabila salah seorang anggota direksi lalai atau

melanggar kewajiban pengurusan secara itikad baik dan penuh

tanggung jawab sesuai dengan lingkup aspek-aspek itikad baik dan

pertanggungjawaban pengurusan yang disebut di atas, maka setiap

anggota direksi sama-sama ikut memikul tanggung jawab secara

tanggung renteng terhadap kerugian yang dialami perseroan.

23
Detlev F. Vagts., Basic Corporation Law Material-Cases Text, (New York: The Foundation
Press Inc, 1989), hal. 21.

49
Tanggung jawab hukumnya, hanya dipikulkan kepada anggota

direksi yang melakukannya. Tidak dilibatkan anggota direksi yang lain

secara tanggung renteng. Setiap anggota direksi dapat menjadi

pengawas terhadap satu dengan yang lainnya, walaupun demikian pada

prakteknya fungsi pengawasan melalui mekanisme check and balance

sulit untuk dilakukan. Untuk itu diperlukan pembagian tugas dan

wewenang serta tanggung jawab yang jelas.

Dengan adanya pembagian tersebut maka masalah pembuktian

anggota direksi yang sebenarnya harus bertanggung jawab apabila

terjadi tindakan yang merugikan kepentingan perseroan menjadi lebih

mudah. Secara umum tanggung jawab direksi dapat dibedakan

dalam:24

1. Tanggung jawab internal direksi yang meliputi tugas dan tanggung

jawab direksi terhadap perseroan dan pemegang saham perseroan.

2. Tanggung jawab eksternal direksi, yang berhubungan dengan tugas

dan tanggung jawab direksi kepada pihak ketiga yang berhubungan

hukum langsung maupun tidak langsung dengan perseroan. Setiap

anggota direksi yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya

tersebut diatas memberikan hak kepada pemegang saham

perseroan untuk secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama yang

mewakili jumlah sepersepuluh pemegang saham perseroan untuk

24
Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003), hal. 70.

50
melakukan gugatan, untuk dan atas nama perseroan, terhadap

direksi perseroan yang kesalahannya dan kelalaiannya telah

merugikan perseroan (derivative action). Secara sendiri-sendiri

melakukan gugatan langsung, untuk dan atas nama pribadi

pemegang saham terhadap direksi perseroan, atas setiap keputusan

atau tindakan direksi perseroan yang merugikan pemegang saham.

Menyangkut dengan pertanggungjawaban direksi perseroan, ada beberapa

prinsip hukum dalam sistem common law yang juga diakomodasi dalam hukum

perseroan di Indonesia. Terdapat beberapa prinsip hukum dalam sistem

common law yang juga diakomodasi dalam hukum perseroan di Indonesia,

yaitu:

1. Prinsip fiduciary duty

Prinsip yang memiliki hubungan yang sangat erat dengan

pertanggungjawaban Direksi. Prinsip fiduciary duty menurut Henry C.

Black pengertiannya yaitu: suatu tindakan untuk dan atas nama orang lain,

di mana seseorang mewakili kepentingan orang lain yang merupakan

standar tertinggi dalam hukum. Oleh sebab itu dalam menjalankan

kepengurusan terhadap perseroan seorang Direksi harus memiliki duty of

care and skill, itikad baik (good faith), kejujuran, dan loyalitas kepada

perusahaan.25

2. Prinsip duty to act for a proper purpose

25
Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas (Bank dan Persero) Keberadaan, Tugas,
Wewenang dan Tanggung Jawab, Berdasarkan Doktrin Hukum dan UUPT, (Jakarta: Ghalia, 2005),
hal. 88.

51
Anggota Direksi wajib melaksanakan kepengurusan perseroan harus

dilandaskan dengan dasar “tujuan yang wajar” (for a proper purpose).

Apabila Direksi melakukannya dengan tujuan yang tidak wajar maka

dikategorikan sebagai melakukan pengurusan dengan itikad buruk (te

kwader trouw, bad faith). Tindakan Direksi yang tidak di dasarkan dengan

itikad baik dan penuh tanggung jawab, sehingga menyebabkan kerugian

bagi PT, maka menjadi tanggung jawab penuh Direksi secara pribadi atas

kerugian perseroan.

Tanggung jawab itu sendiri menurut pengertian hukum adalah

kewajiban memikul mempertanggungjawaban dan memikul kerugian yang

diderita (bila dituntut) baik di dalam hukum maupun dalam administrasi.26

3. Prinsip statutory duty

Wajib patuh dan taat (obsedience) terhadap hukum dalam arti luas,

terhadap peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar merupakan

kewajiban bagi Direksi sebagai salah satu perwujudan itikad baik Direksi

terhadap perseroan. Hal ini mengandung arti jika anggota Direksi tahu

tindakannya melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku

(statutory duty), atau tidak hati-hati (carelessy) dalam melaksanakan

kewajiban mengurus perseroan, yang mengakibatkan pengurusan itu

melanggar peraturan perundang-undangan, maka tindakan pengurusan itu

dikatagorikan perbuatan “melawan hukum” (onrecht matigedaad) atau

26
Agus M. Toar, “Tanggung Jawab Produk Sejarah dan Perkembangan”, Kerjasama Belanda-
Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Denpasar, 3-14 Januari, 1990, hal. 1.

52
biasa juga dikualifikasikan perbuatan melampaui batas kewenangan (ultra

vires) sehingga Direksi bertanggung jawab secara pribadi atas

perbuatannya tersebut.27

4. Prinsip duty of loyalty and good faith

Dalam menjalankan kepengurusan perseroan Direksi dituntut untuk

melaksanakannya dengan loyalitas yang tinggi dan itikad baik terhadap

perseroan atas kepercayaan yang diberikan oleh perseroan. Dalam

menjalankan tugas dan tanggung jawabnya direksi dituntut melaksanakan

dengan itikad baik serta menghindari segala benturan kepentingan (conflict

of interest) dalam melaksanakan pengurusan. Di mana, tidak boleh

menggunakan dana perseroan untuk kepentingan pribadinya atau secara

loyal wajib merahasiakan segala informasi (confiditial duty of information)

yang berharga bagi perseroan. 28

5. Prinsip duty of due care

Dalam mengurus perseroan, Direksi tidak boleh “sembrono”

(carelessly) dan “lalai” (negligence) agar tidak dianggap bersalah

melanggar kewajiban dalam melaksanakan pengurusan perseroan,

walaupun dengan penuh tanggung jawab.29

Dalam hal ini dengan adanya prinsip-prinsip seperti: fiduciary duty, duty

o act for a proper purpose, duty of loyalty and good faith dan duty of due care

dalam pertanggung-jawaban Direksi tersebut, maka Direksi diharapkan untuk

27
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 375.
28
Ibid., hal. 376.
29
Ibid., hal. 378.

53
dapat memahami kekurangan serta kelebihan karakteristik dari tanggung

jawabnya, dalam menjalankan tugas dan fungsi dari kewenangannya tersebut

dengan baik. Serta dapat sepenuhnya memenuhi tujuan dari perseroan, agar di

kemudian hari tidak terjadi kembali pelanggaran-pelanggaran penerapan

prinsip korporasi dalam hal yang ditujukan untuk kepentingannya maupun

yang merugikan tersebut.

B. Teori Kepastian Hukum

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan sebuah

jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik.

Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam

perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,

sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya

kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.30

Kepastian hukum menurut Gustav Radhbruch yang mengembangkan

Geldings Theorie mengemukakan bahwa untuk berlakunya hukum secara

sempurna harus memenuhi 3 (tiga) nilai dasar, meliputi:

1. Juridical doctrine, nilai kepastian hukum, dimana kekuatan mengikatnya

didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi.

2. Sociological doctrine, nilai sosiologis, artinya aturan hukum mengikat

karena diakui dan diterima dalam masyarakat menolaknya (teori paksaan).

30
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 25.

54
3. Philosophical doctrine, nilai filosofis, artinya aturan hukum mengikat

karena sesuai dengan cita hukum, keadilan sebagai nilai positif yang

tertinggi. 31

Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan negara hukum memerlukan

suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang

harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang

kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan

independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legeslatif,

yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral

teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya

demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang syarat akan keadilan.32

Hukum sebagai produk harus dapat menciptakan kepastian hukum bagi

masyarakat. Peraturan perundang-undangan (sebagai salah satu varian bentuk

hukum, yakni hukum tertulis, selain itu ada pula hukum tidak tertulis the living

law) yang gagal memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, pada akhirnya

gagal menciptakan ketertiban hukum dalam masyarakat.33

Lon Fuller menyatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang

baik itu harus menghindari terjadinya delapan hal yang fatal, yaitu:

1. Failure to establish rules at all, leading to absolute uncertainty (tidak jelas

sama sekali maksudnya).

31
Gustav Radhbruch, Op.Cit., hal. 186.
32
Satjipto Raharjo, Op.Cit., hal. 17.
33
Gunawan Widjaja, Pembuatan Undang-Undang dan Penafsiran Hukum, Law Review,
Volume VI Nomor I, Juli 2006, hal. 20.

55
2. Failure to make rule public to those required to observe them (tidak

menyebabkan adanya ketaatan publik).

3. Improper use of retroactive law making (penggunaan asas retroaktif yang

tidak pada tempatnya).

4. Failure to make comprehensible rules (tidak lengkap).

5. Making rules which contradict each other (bertentangan satu sama lain).

6. Making rules which impose requirements with which complience is

impossible (memuat persyaratan yang tidak mungkin bisa dipenuhi).

7. Changing rule so frequently (terlalu sering terjadi perubahan).

8. Discontinuity between content and pratice (tidak ada konsistensi antara isi

dan praktik penegakannya).34

Kekosongan norma mengenai kewajiban hukum direksi dalam

menjalankan tugas pengelolaan PT berlandaskan pada UUPT, namun

keseluruhan materi muatan UUPT sebagai salah satu bentuk ketidaklengkapan

pengaturan dalam suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud

dalam poin 4 diatas. Rumusan pengaturan yang lengkap (dan jelas) dalam suatu

peraturan perundang-undangan merupakan suatu hal yang amat penting bagi

peraturan perundang-undangan bersangkutan. Anggota masyarakat tidak

mungkin dapat mengerti dan melaksanakan suatu peraturan perundang-

undangan yang tidak lengkap, tidak jelas ataupun yang membingungkan.

34
H. M. Coubrey dan N. D. White, Textbook on Jurisprudence, (London: Blackstone Press
Limited, 1996), hal. 89.

56
Teori ini dapat dipergunakan untuk memberi justifikasi dalam menjawab

permasalahan dengan menganalisis secara komprehensif kekosongan norma

bersangkutan melalui pengkritisian pengaturan tanggung jawab hukum bagi

direksi atas pelanggaran prinsip GCG yang berdampak pada kinerja perusahaan

baik pada para pemangku kepentingan ada diluar maupun didalam perusahaan

yang mengenyampingkan penerapan GCG dan kemudian merugikan

perusahaan. Untuk kemudian diberikan prediksi pembentukan norma baru yang

berkedudukan sebagai ius constituendum dengan tujuan untuk mengisi

kekosongan tersebut.

57

Anda mungkin juga menyukai