Anda di halaman 1dari 14

MELEMBAGAKAN OPOSISI DI DPR

Disusun untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah

Hukum Lembaga Perwakilan dan Kepresidenan

Disusun Oleh:

Thelisia Kristin 205150041

Geraldy Mista Putera 205150082

Fani Ali 205150119

Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara
Jakarta
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara kesatuan yang berbentuk Republik, serta
berdasarkan atas hokum sebagai dasarnya. Atas hal tersebut maka Indonesia
juga menganut sistem demokrasi, yang kekuasaan tertinggi dalam Negara
berada di tangan rakyat. Kedaulatan yang sesungguhnya berasal dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat (demokrasi).
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai peraturan dasar atau konstitusi
Republik Indonesia, telah mengalami empat kali perubahan atau amandemen.
Sejak perubahan atau amandemen yang pertama tahun 1999, hingga
perubahan yang keempat pada tahun 2002, hal ini merupakan perwujudan
pelaksanaan demokrasi untuk mencegah terulangnya kecenderungan
penyalahgunaan terhadap kewenangan dan kekuasaan yang bersifat otoriter.
Undang-Undang Dasar 1945 secara historis dinilai sebagai naskah Undang-
Undang Dasar yang memang dimaksudkan bersifat sementara, bahkan Bung
Karno suatu hari pernah menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu
adalah Undang-Undang Dasar Kilat, yang nantinya apabila keadaan sudah
normal dengan sendirinya akan diganti dengan Undang-Undang Dasar yang
lebih sempurna.1
DPR berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945
setelah perubahan keempat dan UU No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD dan DPRD, memiliki kewenangan dan hak yang lebih besar dibandingkan
dengan DPD. Peraturan-peraturan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah
seperti rancangan Undang- Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang dan APBN wajib mendapat persetujuan dari DPR tanpa sekalipun
melibatkan DPD. Maka banyak timbul opini bahwa kehadiran DPD hanya
sebagai badan pelengkap atau aksesori demokrasi dalam sistem perwakilan
yang dianut oleh Indonesia saat ini.
Dalam hal jumlah anggota, sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 C ayat
(2) Undang- Undang Dasar 1945 amandemen ketiga yang berbuyi “Anggota

1
Jimly Asshiddiqie, 2004, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII
Press, Yogyakarta, hlm.5.
Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah
seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah
anggota Dewan Perwakilan Rakyat”. Hal ini dapat diartikan dengan
melumpuhkan segenap potensi kritis dan kekuatan perimbanganan tarlembaga
dalam MPR, karena dalam beberapa pengambilan- pengambilan keputusan di
MPR diambil secara pengambilan suara terbanyak (voting), makajelas-jelas
jumlah suara dari pihak DPD dipastikan tidak akan mungkin unggul dari DPR.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskansebagai
berikut:
1. Bagaimana melembagakan oposisi di DPR?

1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tata cara melembagakan oposisi di DPR?
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun kegunaan dari penulisan ini adalah:
1. Kegunaan Teoritis
Untuk mengembangkan pengetahuan intelektual pada umumnya,
khususnya dalam hukum lembaga perwakilan dan kepresidenan.
2. Kegunaan Praktis
Untuk digunakan sebagai pengetahuan bagi masyarakat khususnya
mahasiswa yang ingin mendalami bahasan mengenai oposisi di DPR sebagai
lembaga perwakilan di Indonesia.

1.5 Sumber Data

Sumber data yang kami gunakan sebagai acuan merupakan referensi dari
buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Lembaga Perwakilan khususnya
materi Lembaga Perwakilan (Oposisi DPR) dan juga Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

1.6 Metode dan Teknik Penulisan


Metode penulisan adalah suatu cara yang dipergunakan dalam sebuah
penelitian maupun penulisan untuk mencapai tujuan. Metode penulisan
merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam merancang, melaksanakan,
mengolah data, dan menarik kesimpulan berkenaan dengan masalah tertentu.
Dalam penulisan ini kami menggunakan metode deskriptif dimana kami membuat
suatu deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki
dalam hal ini ialah rapat umum pemegang saham.

BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Demokrasi
Demokrasi merupakan bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan
pemerintahannya berasal dari rakyat baik secara langsung (demokrasi
langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilahini berasal
dari bahasa Yunani yaitu demokratia (kekuasaan rakyat), yang dibentuk dari
kata demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan), merujuk pada sistem politik
yang muncul pada pertengahan abad ke 5 dan ke 4 SM di kotaYunani Kuno
khususnya Athena.2 Dapat diartikan secara umum bahwa demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Begitulah
pemahaman yang sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir
semua orang.
Demokrasi mementingkan kehendak, pendapat serta pandangan
rakyat, corak pemerintahan demokrasi dipilih melalui persetujuan dengan
cara mufakat. Sehingga demokrasi yang kuat adalah demokrasi yang
bersumber dari hati nurani rakyat untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan
rakyat.3 Layaknya sebuah sistem, demokrasi juga mempunyai konsep, ciri-
ciri, model dan mekanisme sendiri. Yang mana semuanya itu merupakan satu
kesatuan yang dapat menjelaskan arti, maksud dan praktek sistem
demokrasi.
2.2 Konsep- Konsep Demokrasi
Konsep demokrasi sebenarnya identik dengan konsep kedaulatan
rakyat, dalam hal ini rakyat merupakan sumber dari kekuasaan suatu negara.
Sehingga tujuan utama dari demokrasi adalah untuk memberikan
kebahagiaan sebesar-besarnya kepada rakyat. Jika ada pelaksanaan suatu
demokrasi yang ternyata merugikan rakyat banyak, tetapi hanya
menguntungkan untuk orang- orang tertentu saja, makahal tersebut
sebenarnya merupakan pelaksanaan dari demokrasi yang salah arah.
Kedaulatan rakyat dalam suatu sistem demokrasi tercermin dari ungkapan
bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat (goverment of the people, by the people for the people). 4

2
AzumardiAzra, Demokrasi, HakAsasiManusia, danMasyarakatMadani (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.125
3
ZakariaBangun, DemokrasidanKehidupanDemokrasi di Indonesia, (Medan: Bina Media Perintis, 2008), hlm.2.
4
MunirFuady, Konsep Negara Demokrasi, (Bandung: Revitaaditama, 2010), hlm.29.
2.3 Model-model Demokrasi
Berangkat dari pemaknaan yang sama dan karenanya universal,
demokrasi substansial, telah memberikan daya pikat normatif. Bahwa dalam
demokrasi, mestinya berkembang nilai kesetaraan (egalitarian), keragaman
(pluralisme), penghormatan atas perbedaan (toleransi), kemanusiaan atau
penghargaan atas hak-hakasasimanusia, “kebebasan”, tanggungjawab,
kebersamaandansebagainya.Secara substansi demokrasi melampaui
maknanya secara politis.5
Sebagai suatu system politi kdemokrasi juga mengalami
perkembangan dalam implementasinya.Banyak model demokrasi hadir di sini,
dan itu semua tidak lepas dari ragam perspektif pemaknaan demokrasi
substansial.Menjadikan demokrasi berkembang kedalam banyak model,
antara lain karena terkait dengan kreativitas para actor politik di berbagai
tempat dalam mendesain praktik demokrasi procedural sesuai dengan kultur,
sejarah, dan kepentingan mereka.
Menurut Inu Kencana ada dua model demokrasi jika dilihat dari segi
pelaksanaan, yaitu demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi
tidak langsung (indirect democracy).6 Demokrasi langsung terjadi bila rakyat
mewujudkan kedaulatannya pada suatu Negara dilakukan secara langsung,
artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasar
kanprosedur mayoritas.
a. Ciri – Ciri Demokrasi

Dilihat dari pemilihan umum secara langsung telah


mencerminkan sebuah demokrasi yang baik dalam perkembangannya,
demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh
hamper seluruh negara di dunia. Menurut Sri Soemantri sebuah
Negara atau pemerintah bias dikatakan demokratis apabila mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut:7

5
Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, 2010), 207.
6
AzyumardiAzra, Demokrasi, HakAsasiManusia, 122.
7
Ibid.,125.
1) Negara terikat pada hokum maksudnya bukan berarti bahwa
kekuasaan Negara terikat pada hukum. Bukan seakan-akan
Negara hukum adalah sama dengan demokrasi. Negara hokum
tidak mesti Negara demokratis. Pemerintahan monarki dapat
taat pada hukum, tetapi demokrasi yang bukan negara hukum
bukan demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi
merupakan cara paling aman untuk mempertahankan kontrol
atas negara hukum.

2) Kontrol efektif terhadap pemerintah oleh rakyat.

3) Pemilu yang bebas,

4) Prinsip mayoritas maksudnya adalah bahwa Badan Perwakilan


Rakyat mengambil keputusan-keputusannya secara sepakat
atau jika kesepakatan tidak tercapai bias dengan suara
terbanyak.

5) Adanya jaminan terhadap hak- hak demokratis.


BAB III
ANALISIS MASALAH
3.1 Pengertian
Oposisi dalam dunia politik adalah sebuah partai yang
menentang dan mengkritik dalam kebijaksanaan golongan politik yang
berkuasa, Opposition diterjemahkan menjadi oposisi. Kata oposisi yang
berasal dari bahasa latin Opponere yang berarti menentang, menolak, dan
melawan.
Oposisi di Parlemen dijalankan oleh partai politik yang tidak
memenangkan pemilu, tetapi tidak berkoalisi membentuk pemerintahan.
Oposisi yang diperankan partai politik di dalamnya hanya ada pada
negara yang menganut sistem Demokrasi (Poliarkhi) dengan kata lain
keberadaan partai oposisi sangatlah erat dengan keberadaan demokrasi.
Partai oposisi tidaklah bersifat tetap, tetapi dapat saling berganti karena
bergantung terhadap ada atau tidaknya dukungan rakyat. Partai oposisi
dalam sistem presidensial tidak selalu bersikap adversarial, tetapi juga
dapat melakukan negosiasi dan kompromi mengenani berbagai
kebijaksanaan yang menurut pandangannya akan dianggap perlu
dikomperomikan (menguntungkan bagi partainya).
Partai oposisi juga memanfaatkan dukungan dan kekuatan dari
luar parlemen seperti lembaga- lembaga dan juga partisipasi masyarakat
yang menguatkan perananya, pada saat reformasi politik pada tahun 1998
sampai 2000-an saat itulah menjadi moment bagi kekuatan oposisi untuk
memantapkan posisinya sebagai pengontrol kekuasaan.
Pelembagaan oposisi dalam badan perwakilan rakyat memiliki
posisi yang strategis dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis.
Adapun badan perwakilan rakyat di Indonesia yang dimaksud adalah
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai badan perwakilan yang
mewakili unsur politik dan memiliki kewenangan seutuhnya sebagai
lembaga legislatif.Pengalaman PDIP yang menyatakan diri sebagai partai
oposisi dari tahun 2005-2014 terhadap pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono adalah contoh yang baik dan semestinya
terlembagakan. Termasuk juga sempat terjadinya pengelompokan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) sebagai pendukung pemerintahan Presiden Jokowi
dan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi setelah Pemilu 2014.
Bahkan, Jimly Asshiddiqie menyebut penguasaan DPR oleh kelompok
oposisi akan baik untuk demokrasi di Indonesia. Sebastian Salang
menyebut dengan adanya dua kekuatan besar yang memimpin Indonesia
(KMP dan KIH), seharusnya menjadi potensi besar bagi Indonesia yakni
adanya kekuatan yang sama kuat tersebut di legislatif dan eksekutif akan
terjadi cheks and balances.
Problem yang muncul adalah oposisi hanya digunakan untuk
merebutkan jabatan. Misalnya di DPR RI Periode 2014-2019, oposisi
dipergunakan sebagai alat untuk meraih jabatan pimpinan di badan
perwakilan tersebut. Akibatnya terjadi saling jegal dan perpolitikan menjadi
gaduh. Pemerintahan Jokowi-pun berada dalam bayang-bayang oposisi
yang menguasai DPR. Instabilitas politik-pun bertambah dengan adanya
serangan balik dari pemerintahan yang berkuasa, dalam bentuk
memarjinalisasi partai oposisi. Misalnya, menciptakan dualisme
kepemimpinan partai, membatasi akses partai pada unit-unit ekonomi,
media, dan lainnya sebagaimana pada masa Orde Baru. Bahkan pedang
penegakan hukumpun sering diarahkan kepada anggota oposisi sebagai
bentuk peringatan bahkan penyanderaan politik agar mendukung
pemerintahan. Hal tersebut ternyata juga terjadi dan dipraktikan
pemerintah yang berkuasa pada Era Reformasi ini. Selain itu, persoalan
sumber daya pendanaan partai politik juga sering kali dijadikan alasan
partai politik untuk enggan berlama-lema menjadi oposisi. Akibat kondisi-
kondisi tersebut, kelompok oposisi kemudian berpindah haluan dan
mendukung pemerintahan. Presiden yang pada awalnya didukung
minoritas suara di DPR, menjadi menguasai dukungan mayoritas. Oposisi
di DPR-pun menjadi lemah bahkan tidak ada. Ketiadaan oposisi tersebut,
menimbulkan permasalahan ketatanegaraan berkaitan dengan salah satu
tugas dan fungsi badan perwakilan, yakni fungsi kontrol dan checks and
balances yang dimandulkan. Bahkan Kuskridho Ambardi menyatakan
bahwa ketiadaan oposisi yang efektif sebagai penjelmaan dari mekanisme
checks and balances menjadi salah satu ciri keberadaan politik kartel.
Burhanudin Muhtadi dengan mengutip pendapat Katz dan Mair
mengatakan:

“The cartel party is a type that is postulated to emerge in democratic


politics that are characterized by the interpenetration of party and state
and by a tendency towards inter-party collusion.... Competition between
cartel parties focuses less on differences in policy and more on provision
of spectacle, image, and theater."
Intinya, politik kartel akan membuat partai-partai cenderung
melakukan kolusi kolektif untuk memperebutkan rente. Lebih lanjut
Burhanudin Muhtadi mengungkap kemungkinan terjadi apa yang disebut
Dan Slater sebagai "jebakan akuntabilitas" (accountability trap) di mana
parlemen yang dikuasai oleh kubu pemerintah gagal melakukan fungsi-
fungsi check and balances. Dalam politik kartel, terjadi perselingkuhan
antara eksekutif dan legislatif, aroma promiscuous power-sharing
(pembagian kue kekuasaan) terjadi dalam ruang-ruang tertutup secara
masif dan anggaran publik menjadi bancakan bersama. Pendapat-
pendapat tersebut menunjukkan kecenderungan negatif pembentukan
koalisi, apalagi koalisi “gemuk” pendukung pemerintahan, tanpa adanya
oposisi yang efektif di badan perwakilan. Di titik ini, pelembagaan oposisi
“secara struktural” di DPR menemui relevansinya. Berkaca dari
pengalaman Amerika Serikat yang mampu menjalankan peran kontrol
parlemen terhadap pemerintah melalui pengelompokan dua kekuatan
besar, maka hal tersebut dapat pula diterapkan di Indonesia dalam bentuk
mengelompokkan fraksi-fraksi di DPR kedalam dua kelompok besar di
DPR, yang satu sebagai fraksi pendukung pemerintah dan yang satu
sebagai fraksi oposisi. Agar sistem pemerintahan presidensial tidak
mudah dijatuhkan karena adanya anasir-anasir parlementer dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, seperti hak interpelasi, hak angket dan hak
menyatakan pendapat, maka hak-hak tersebut patut untuk ditinjau kembali
dan harus ditegaskan hanya sebagai instrumen pengawasan yang tidak
dapat berujung pada penjatuhan Presiden / Wakil Presiden begitu saja.
Presiden / Wakil Presiden hanya dapat dijatuhkan melalui pranata
impeachment yang terbatas. Selain itu, supporting system di DPR harus
diperkuat. Sebagai contoh di Amerika Serikat terdapat Congressional
Budget Office sebagai pendukung analisis dalam pembahasan anggaran
di parlemen yang dianggap setara dan mampu mengimbangi The Office of
Management and Budget (OMB) milik Presiden Amerika, atau kalau di
Indonesia adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian Bappenas.
Karena itu, sudah selayaknya lembaga pendukung keahlian di DPR
mampu menghasilkan analisis data yang setara dengan dua kementerian
tersebut. Tidak hanya terbatas pada persoalan anggaran, lembaga
pendukung keahlian di DPR juga menopang analisis data persoalan
legislasi dan pengawasan. Dengan adanya penopang lembaga keahlian
tersebut, maka peranan oposisi di DPR berbasikan analisis yang akurat
dan akuntabel, sehingga tidak asal “bunyi” dan tidak asal “beda”. Isu yang
dibangun dalam rangka melakukan pengawasan akan lebih substantif
bukan normatif. Dengan demikian, maka oposisi di DPR akan dapat
semakin fungsional dalam rangka mengawasi pemerintahan dan bahkan
mendukung pemerintahan untuk sebesar-besarnya kepentingan
kemakmuran rakyat. Perdebatan-perdebatan yang lebih berbobot dalam
pengambilan kebijakan akan dapat terlihat secara nyata, sehingga rakyat
sebagai pemilik kedaulatan tertinggi akan dapat melihat bahkan
mengevaluasi, mana kebijakan yang tepat dan mana yang tidak tepat.
Fraksi pendukung pemerintahkah atau fraksi oposisikah yang mampu
memberikan penjelasan dan argumentasi yang tepat terhadap sebuah
kebijakan. Tentu sesuai dengan karakter Demokrasi Pancasila yang lebih
menekankan pada kolektivisme dan konsensus, peranan fraksi oposisi
dan fraksi pendukung pemerintah di DPR akan lebih mengedepankan
kompromi-kompromi demi kemaslahatan rakyat, bukan “asal menang”
karena memiliki suara yang lebih banyak.
3.2 Contoh Kasus

Partai Amanat Nasional (PAN) menilai perekonomian kurang


menciptakan lapangan kerja, hal ini disampaikan oleh Anggota Dewan
Kehormatan PAN Drajad H. Wibowo. Drajad mengatakan, berdasarkan
data yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS) tambahan jumlah
penduduk yang bekerja mencapai angka tertinggi 2012 (3,55 juta) lalu
tahun 2008 (3,54 juta) dan 2007 (3,44 juta). Pada tahun 2014- 2016
angkanya turun sekitar 1,4 -2 juta pekerja baru. Namun pada 2017
angkanya naik tajam ke 3,25 juta. Namum tambahan terbesar terjadi di
sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan. Jumlahnya 1,09 juta
pekerja baru. Sektor ini kata dia meliputi pekerjaan seperti pembantu
rumah tangga, tukang cukur, kaki lima dan yang agak formal seperti
pekerja sosial. “ini jelas bukan sektor yang seharusnya menjadi penopang
penciptaan kerja” kata dia. Padahal kedua

Sektor perdagangan (termasuk rumah makan dan perhotelan) dan


sektor industri tercatat menciptakan tambahan di atas 1 juta lapangan
pekerjaan, namun menurutnya sektor ritel dan industri manufaktur pada
karya anjlok. Padahal kedua sektor itu harusnya banyak menciptakan
lapangan kerja, dari rasio penciptaan kerja pada 2015- 2016
perekonomian hanya menciptakan sekitar 290.000 – 340.000 per 1 persen
pertumbuhannya. Padahal jika situasi normal, angkanya bisa pada level
500.000 penciptaan kerja per 1 persen pertumbuhan ekonomi. Pada 2017
rasio ini melonjak ke level 640.000 per 1 persen pertumbuhan ekonomi,
meski begitu kata Drajad sumber terbesarnya dari sektor jasa
kemasyarakatan sosial dan perorangan tadi “Jadi, memang kemampuan
penciptaan kerja masih di bawah normal. Padahal kalau, kita hendak
mengatasi masalah kemiskinan dan kerimpanhan, kuncinya ya kita harus
mampu menciptakan pekerjaan yang layak bagi seluruh rakyat Indonesia,
ini perlu diperbaiki segera” Kata dia.

Contoh kasus ini kami dapat dari situs berita


https://nasional.kompas.com/read/2018/10/21/12353721/catatan-oposisi-
4-tahun-jokowi-jk-dari-utang-hingga-kasus-novel.

JAKARTA, KOMPAS.com - Di tahun keempatnya, pemerintahan Jokowi-


Jusuf Kalla dinilai masih memiliki banyak rapor merah di berbagai bidang.
Partai politik oposisi memiliki sejumlah catatan terkait kinerja
pemerintahan Jokowi-JK selama empat tahun yang dianggap kurang,
artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul “Catatan Oposisi 4
Tahun Jokowi-JK, dari utang hingga Kasus Novel”. (Penulis : Yoga
Kusuma, Editor : Bambang Priyo Jatmiko).

3.3 Analisis Kasus

Kita ketahui bahwa Partai Amanat Nasional (PAN) adalah salah satu
partai yang masuk dalam golongan partai oposisi pada pemerintahan
Jokowi- JK, kita dapat lihat dari kutipan kritik yang diberikan oleh salah
satu anggota dewan kehormatan PAN yakni adalah Drajad H. Wibowo
yang menyatakan Ekonomi Indonesia dinilai minim serap tenaga kerja
pada masa Pemerintahan Jokowi- Jk selama kurang lebih empat tahun ini
yang dibandiingkan dengan masa pemerintahan sebelumnya. Secara
tidak langsung menurut beliau pemerintahan saat SBY sebelumnya lebih
bagus dan baik dalam bidang perekonomian dan juga ketenaga kerjaan
baik dalam prospek penyerapan lapangan pekerjaan, selain itu juga PAN
termasuk dalam pendukung koalisi dari kubu partai Gerindra yang
diketahui adalah salah satu koalisi Oposisi terkuat dalam masa
pemerintahan Jokowi- JK.
Selain itu juga kita ketahui bahwa masa pemerintahan Jokowi- JK
partai yang menonjol dalam pemerintahannya adalah PDIP yang diketuai
oleh Megawati, selain itu juga pernah dikabarkan bahwa Megawati juga
pada masa pemerintahan SBY sebelumnya juga menjadi salah satu
Oposisi pada pemerintahan SBY.karena itu pun selain dari PAN, Gerindra,
Demokrat yang diketuai oleh SBY juga diketahui masuk pada koalisi
oposisi pada masa pemerintahan Jokowi- JK. Maka karena itu, Drajad H.
Wibowo dapat membuat penilaian dan juga kritik dengan grafik yang pada
masa pemerintahan SBY pada saat itu.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Dari materi mengenai melembagakan oposisi di DPR, dalam


pemerintahan Demokrasi ada juga beberapa anggota ataupun partai
dalam pemerintahan masuk dalam golongan oposisi pada masa
pemerintahan, karena oposisi juga sangatlah berkaitan dengan
Demokrasi. Jadi dalam pemerintahan Indonesia yang menganut
pemerintahan yang Demokrasi juga ada dalam sebuah parlemen atau
lembaga masuk dalam oposisi- oposisi yang dibutuhkan atau dinilai dapat
menguntungkan bagi bersama maupun secara personal.

4.2 Saran

Demi kesempurnaan untuk paper yang kami buat, kami menyadari


bahwa masih banyaknya kekurang dalam isi makalah ini. Oleh karena itu,
kritik dan saran sangatlah kami burutuhkan. Selain dari itupun semoga
dengan makalah ini dapat memberikan beberapa tambahan pengetahuan
yang kami buat dari materi Melembagakan oposisi di DPR. Kami akhiri
dengan ucapan puji dan syukur, semoga paper yang kami buat ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi pembaca.

Anda mungkin juga menyukai