Anda di halaman 1dari 11

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

PERJANJIAN SEWA RAHIM


(SURROGATE MOTHER)
BERDASARKAN HUKUM PERDATA
Tumin
Bachtiar Ashari. I
Dedy Kuswandi
Faizal Sidiq Budiman
Ahmad Zaelani
Yudi Dwi Atmanto
Latar Belakang

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria


dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap
pasangan suami isteri pasti mendambakan mempunyai
keturunan (anak), seorang anak memiliki peran yang
sangat penting dalam suatu kehidupan rumah tangga.

Perkembangan sains yang luar biasa berkat teknologi yang


pesat tiada lain merupakan bukti kesempurnaan Allah
SWT. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai macam
temuan-temuan baru di berbagai bidang ilmu, salah
satunya di bidang kedokteran. Pada beberapa dekade
terahir ini, perkembangan teknologi dan biomedis
berkembang pesat, muncul isu etik dan legal yang cukup
banyak yang sebelumnya tidak terfikirkan, salah satu
contohnya adalah teknologi dalam bidang reproduksi
UU No. 36 tahun 2009
Dalam pasal 127 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan (UU
Kesehatan) diatur bahwa upaya kehamilan diluar cara alamiah hanya
dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:

Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan
ditanamkan dalam rahim istri dimana ovum berasal;

Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan


kewenangan untuk itu;

Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu.

peraturan tersebut dapat dikatakan bahwa


metode kehamilan diluar cara alamiah, hanya
boleh dilakukan melalui metode bayi tabung dan
terhadap pasangan suami istri yang sah.
Surrogate Mother
(Ibu Pengganti/Sewa Rahim)
Surrogate mother secara harfiah disamakan
dengan istilah ibu pengganti yang menurut
Fred Ameln didefinisikan secara bebas sebagai
seorang wanita yang mengikatkan dirinya
melalui suatu ikatan perjanjian dengan pihak
lain (biasanya suami-istri) untuk menjadi hamil
setelah dimasukannya penyatuan sel benih laki-
laki (sperma) dan sel benih perempuan (ovum)
yang dilakukan pembuahannya di luar rahim
sampai melahirkan sesuai kesepakatan yang
kemudian bayi tersebut diserahkan kepada pihak
suami istri dengan mendapatkan imbalan berupa
materi yang telah disepakati
Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi
tentang perjanjian sebagai suatu perbuatan, dimana
1 (satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap 1 (satu) orang atau lebih. Suatu kontrak
atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal
tertentu dan suatu sebab yang halal sebagaimana
ditentukan.
Menurut pasal 1548 KUHPerdata, perjanjian sewa
menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak
yang mengikat dirinya untuk memberikan kepada
pihak yang lain kenikmatan dari suatu barang,
selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran
sesuatu harga yang oleh pihak terakhir disanggupi
pembayarannya
Pengaturan Mengenai Perjanjian
Sewa Rahim Atau Surrogate
Mother Dalam Hukum Di Indonesia
Pasal 72 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan
bahwa, dalam menentukan kehidupan reproduksinya, bebas dari
diskriminasi, paksaan dan/atau kekerasan yang menghormati
nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai
dengan norma agama. Dapat diambil kesimpulan dari ketentuan
pasal ini bahwa hak untuk bereproduksi harus tetap menghormati
nilai-nilai luhur yang baik dengan tidak merendahkan
martabatnya sebagai seorang manusia sesuai dengan nilai-nilai
agama yang dianutnya.

Jadi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah


dijelaskan diatas, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah
metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah
yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode
atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur
dalam pasal 127 UU Kesehatan termasuk Surrogate Mother tidak
diperbolehkan oleh aturan hukum.
Kedudukan Perjanjian Sewa Rahim Atau Surrogate
Mother Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia.

Pada kasus surrogate mother, apabila dikaitkan


dengan pasal 1320 KUHPerdata dapat dikatakan
pada syarat subjektifnya sudah memenuhi syarat.
Yaitu dengan adanya para pihak yang telah
bersepakat dan cakap untuk melakukan perbuatan
hukum atau perjanjian tersebut.
praktik surrogate mother mempunyai permasalahan
pada syarat keempat dalam pasal 1320
KUHPerdata, yaitu mengenai sebab yang halal.
Menurut pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang halal
adalah isi dari perjanjian itu sendiri, yang
menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para
pihak dan dari isi dari perjanjian itu tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
maupun dengan ketertiban umum
Dalam pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa
objek dalam perjanjian adalah barang-barang yang
dapat diperdagangkan. Sedangkan yang menjadi objek
dalam perjanjian sewa rahim disini adalah rahim dalam
tubuh wanita surrogate yang merupakam organ
manusia yang tidak dapat disamakan dengan barang.
Pada kasus surrogate mother, tidaklah pantas dikatakan
bahwa rahim adalah suatu benda atau barang karena
rahim tidak didapatkan dari penguasaan di dunia
karena langsung satu paket dengan kehidupan manusia
yang diberikan oleh Penciptanya serta tidak ada pula
hak yang melekat pada rahim untuk dipertahankan dari
orang lain karena logikanya tidak ada satu orang pun
yang menginginkan atau merebut rahim orang lain
untuk dimiliki
Pandangan Surrogate Mother
Menurut Hukum Islam

Tidak adanya tali pernikahan diantara pemilik sperma dan


pemilik rahim. Dalam syariat islam, syarat mutlak atas
status legal atau sah dari kelahiran seorang anak ke alam
semesta adalah dengan melalui jalur resmi, yaitu
pernikahan

Tidak sah rahim itu menjadi barang jual beli. Rahim tidak
termasuk dalam barang yang bisa diserah terimakan
dengan imbalan materi misalkan dengan disewa atau
diperjual belikan atau dengan tanpa imbalan misalkan
dipinjamkan atau diserahkan dengan sukarela.

percampuran benih isteri dengan lelaki lain, atau


memasukkan benih yang disenyawakan selepas kematian
suami isteri, sebagaimana pendapat Syekh Jad Al-Haq Ali
Jad Al-Haq, Syekh Al-Azhar bahwa hal tersebut hukumnya
haram, karena akan menimbulkan percampur-adukkan
nasab.
Kesimpulan
Kedudukan sewa rahim apabila dilihat menurut
pengaturan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dapat dilihat berdasarkan syarat sahnya perjanjian,
hukum kebendaan dan perjanjian sewa menyewa.
Apabila dilihat berdasarkan syarat sahnya perjanjian,
maka sewa rahim ini tidak memenuhi syarat
mengenai sebab yang halal karena bertentangan
dengan peraturan di Indonesia khususnya dengan
Undang-Undang Kesehatan
Oleh karena itu, anak hasil sewa rahim tidak berhak
atas waris dari ibu pengganti nya karena si ibu
pengganti hanya bertanggung jawab sampai dengan
lahirnya si anak. Dengan demikian, hak waris si anak
adalah kepada orang tua biologisnya bukan kepada
ibu penggantinya.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai