Anda di halaman 1dari 44

ANALISIS KASUS MALPRAKTIK

“Bidan dengan dua SIPB, intervensi oksitosin, vakum ekstraksi


dan keterlambatan rujukan”

Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas


Mata Kuliah Etika dan Hukum Kebidanan

Disusun Oleh: Kelompok I


Nama NIM

Tri Yuliani : 166070400111001


Een Nuraenah : 166070400111002
Darwitri : 166070400111003
Evi Zahara : 166070400111004
Dini Eka Pripuspitasari : 166070400111005
Dita Rahmaika Arumsari : 166070400111009
Shohipatul Mawaddah : 166070400111021
Evalina Fajriani : 166070400111022

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA MALANG
2017
KATA PENGANTAR
i
Puji syukur penulis kepada Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga
kami kelompok I dapat menyelesaikan Tugas Diskusi Kelompok yang berjudul ANALISIS
KASUS MALPRAKTIK “Bidan dengan dua SIPB, intervensi oksitosin, vakum ekstraksi
dan keterlambatan rujukan” pada mata kuliah Etika dan Hukum Kebidanan pada
Program studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Dalam penyusunan tugas ini kami menyadari adanya kekurangan dan
keterbatasan namun berkat bantuan bimbingan, petunjuk serta dorongan dari semua
pihak akhirnya tugas ini dapat diselesaikan pada waktunya .Oleh karena itu pada
kesempatan ini kami menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada dosen
pengajar yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam menyelesaikan tugas
ini, serta semua pihak yang telah banyak membantu kami dalam penyusunan tugas
kelompok ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga makalah dari tugas
mata kuliah Kebidanan Komunitas ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi
pembaca umumnya.

Malang, Mei 2017

Kelompok I

ii
DAFTAR ISI

Cover ....................................................................................................... i
Kata Pengantar ...................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................... 2
1.3 Manfaat.............................................................................. 2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Malpraktik................................................................ 3
2.2 Jenis Malpraktik......................................................................... 5
2.3 Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Malpraktik..................... 7
2.4 Teori Malpraktik.................................................................... 8
2.5 Dasar Hukum Malpraktik........................................................... 11
2.6 Sanksi Malpraktik....................................................................... 18

BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Bidan memiliki 2 klinik persalinan........................................... 24
3.2 Vacum Ekstraksi di BPM...................................................... 26
3.3 Pemberian Obat Perangsang Pada Fase Aktif Persalinan........ 31
3.4 Keterlambatan Merujuk.......................................................... 36

BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................. 38
4.2 Saran ........................................................................................ 39

DAFTAR PUSTAKA 40

iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bidan merupakan salah satu dari tenaga tenaga medis yang bekerja dalam
lingkup kesehatan masyarakat. Bidan selalu dituntut untuk mengikuti perkembangan
era ini. Oleh karena itu bidan harus berpartisipasi mengembangkan diri mengikuti
permainan global. Partisipasi ini dalam bentuk peran aktif bidan dalam meningkatkan
kualitas pelayanan, pendidikan dan organisasi profesi.
Sebagai profesi yang diakui dunia internasional bidan harus bertanggung jawab
dan akuntabel dalam bekerja sebagai mitra perempuan. Bidan mendapat wewenang
dalam memberikan dukungan, asuhan dan nasehat selama hamil, masa persalinan
dan masa nifas, memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan
asuhan kepada bayi baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencangkup upaya pencegahan,
promosi persalinan normal, deteksi komplikasi kepada ibu dan anak, dan akses
bantuan medis atau bantuan lainnya yang sesuai, serta melaksanakan tindakan
kegawatan darurat. Bukan hanya itu bidan juga mempunyai tugas penting dalam
konseling dan pendidikan kesehatan kepada keluarga dan masyarakat.
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan
kasus malpraktik dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan
kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa
marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau
pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah
sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari
tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu
indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya
adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus malpraktik dikalangan
kebidanan/ kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya
seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kesehatan yang pada
gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan
datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu
memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya dengan mudah
menimpakan beban kepada pasien bahwa telah terjadi malpraktik. Terkait kasus-
kasus yang muncul mengenai malpraktik, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah
dugaan kasus malpraktik oleh Bidan TD di Kalimantan Barat. Mengingat semakin
maraknya kemunculan kasus-kasus malpraktik yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan
1
dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka kasus
malpraktik ini harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat suatu
kelalaian dan profesionalitas bidan.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menganalisis kasus malpraktik kebidanan terkait dengan jenis malpraktik,
dasar hukum, dan sanksi
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami definisi malpraktik
2. Memahami jenis malpraktik
3. Memahami faktor yang menyebabkan terjadinya malpraktik
4. Memahami teori malpraktik
5. Memahami dasar hukum malpraktik
6. Memahami sanksi malpraktik
7. Menganalisis kasus malpraktik kebidanan terkait dengan jenis malpraktik,
dasar hukum, dan sanksi

1.3 Manfaat
1.3.1 Teoritis
Dengan megethaui konsep malpraktik terutama dalam bidang kebidanan, maka
melalui makalah ini dapat mengembangkan ilmu kebidanan, dan dijadikan
referensi bila ditemukan kasus malpraktik dengan masalah yang sama.
1.3.2 Praktis
Diharapkan dapat bermanfaat bagi profesi bidan untuk tetap memperhatikan
wewenangnya dan aspek hukum yang mengikat praktik kebidanan dalam setiap
memberikan asuhan kebidanan, sehingga tidak ada lagi masalah malpraktik yang
dilakukan oleh bidan

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Malpraktik


Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan
yang salah”. Malpraktik merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut
dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan
suatu profesi.
Arti malpraktik secara medik adalah kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan berdasarkan ukuran yang
lazim digunakan tenaga kesehatan lain dalam mengobati pasien pada standar lingkungan
yang sama. Kelalaian diartikan pula sebagai tindakan medis yang dilakukan tidak sesuai
dengan standar medik.
Menurut John D Blum sebagaimana dikutip Hermien Hadiati Koeswadji,
menyatakan bahwa medical malpractice a form of professional negligence in which
measrable injury occurs to a plaintiff patient as the diret result of an act or ommission by
the defendant practitioner, (Malpraktik medik merupakan bentuk kelalaian profesi dalam
bentuk luka atau cacat yang dapat diukur yang terjadinya pada pasien yang mengajukan
gugatan sebagai akibat langsung dari tindakan medik).
Ninik Maryani mengemukakan bahwa malpraktik adalah kesalahan yang terjadi
dalam tindakan medis, kesalahan dilakukan tidak dengan sengaja, melainkan adanya
unsur lalai, yang seharusnya tidak layak dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, akibat
dari tindakan itu pasien menjadi cacat atau mati.
Soerjono Soekamto mengemukakan istilah medical malpractice yaitu kurangnya
kemampuan untuk melaksanakan kewajiban profesional atau yang berdasarkan
kepercayaan.
Hal penting yang perlu diketahui bahwa malpraktik berbeda dengan resiko medis.
Dalam kasus berkaitan dengan resiko medis, tenaga medis mendapat perlindungan
hukum yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Pasal 23 ayat (1) yang menyatakan bahwa:”tenaga kesehatan berhak mendapatkan
imbalan dan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya”.
Perbedaan antara malpraktik medik dan resiko medis terletak pada adanya unsur
kelalaian. Adanya kelalaian ini harus dibuktikan dengan akibat kematian atau kecacatan
pasien, apabila tenaga medis dalam melakukan tindakan medis tidak sesuai dengan
standar profesi, maka tenaga medis dapat dikatakan telah melakukan tindakan malpraktik
3
medik. Namun apabila kematian atau kecacatan pasien sebagai akibat tindakan tenaga
medis yang sudah sesuai dengan standar profesi, maka dapat dikatakan sebagai resiko
medis.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah
seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut.
Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang
hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi
tenaga medis berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan
praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada
perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi.
Maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau
yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi
semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice. Untuk
menghindari adanya mapraktek, sekiranya para tenaga kesehatan memegang prinsip
etika tenaga medis.
J. Guwandi dengan mengutip Black’s Law Dictionary, dari buku Penegakan Hukum dan
Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktik (Dr. H.
Syahrul Machmud, S.H., M.H.) (hal. 23-24):
“Malpraktik adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan
dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap
tindak dari para dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan
profesional dan melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar
di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga
mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang
cenderung menaruh kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap
sikap tindak profesional yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau
kurang kehati-hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap
immoral.”
“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually
applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants. Failure of one rendering
professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under
all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the
profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those entitled to rely
upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in
professional or judiciary duties, evil practice, or illegal or immoral conduct.”
4
Kelalaian dalam arti perdata berbeda dengan arti pidana. Dalam arti pidana
(kriminil), kelalaian menunjukkan kepada adanya suatu sikapyang sifatnya lebih serius,
yaitu sikap yang sangat sembarangan atau sikap sangat tidak hati-hati terhadap
kemungkinan timbulnya resiko yang bisa menyebabkan orang lain terluka atau mati,
sehingga harus bertanggung jawabterhadap tuntutan kriminal oleh Negara.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan mal praktik adalah:
1. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga
kesehatan.
2. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya
(negligence) dan;
3. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-
undangan.

2.2 Jenis Malpraktik


2.2.1 Malpraktik Etik
Yang dimaksud dengan malpraktik etik adalah kesalahan profesi karena
kelalaian dalam melaksanakan etika profesi, maka sanksinya adalah sanksi etika
yang berupa sanksi administrasi sesuai dengan tingkat kesalahannya.  Termasuk
dalam malpraktik etik ini antara lain :
a. Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala
tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun
karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter
yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga
mendapatkan hadiah tersebut.
b. Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan
janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat
tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam
memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik
obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien
juga merupakan malpraktik etik (Hanafiah & Amir, 2009).
2.2.2 Malpraktik Yuridik
Malpraktik yuridik dibedakan menjadi :
a. Malpraktik Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi
perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga
5
kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige
daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien. Adapun isi dari tidak
dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
1) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
2) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melaksanakannya.
3) Melakukan apa yang menurut  kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
4) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan
(Hanafiah & Amir, 2009).
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah
memenuhi beberapa syarat seperti :
1) Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
2) Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
3) Ada kerugian
4) Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang
melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
5) Adanya kesalahan (Hanafiah & Amir, 2009).
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena
kelalaian dokter / tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan
adanya empat unsure berikut :
1) Adanya suatu kewajiban dokter/tenaga kesehatan terhadap pasien.
2) Dokter / tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang
lazim.
3) Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti
ruginya.
4) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya
kelalaian dokter/tenaga kesehatan. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res
ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara (Hanafiah & Amir, 2009).
b. Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat
dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam
melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau
cacat tersebut. Malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian
adanya unsure culpa lata atau kelaalaian berat atau “zware schuld” dan pula
adanya akibat fatal atau serius.
6
1) Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis,
euthanasia, membocorkan rahasia, tidak melakukan pertolongan pada
kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa
menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.
2) Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai
dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan
tindakan medis.
3) Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan
tenaga kesehatan yang kurang hati-hati atau alpa (Hanafiah & Amir, 2009).
c. Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran
terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan
praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang
sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik. Dua
macam pelanggaran administrasi tersebut adalah (Hanafiah & Amir, 2009) :
1) Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktek
2) Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis

2.3 Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Malpraktik


1 Standar Profesi Kebidanan, ada tiga hal yang harus ada dalam standar
profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum
2 Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat instruksi/
langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin
tertentu.
3 Informed Consent Substansi informed consent adalah memberikan informasi
tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk
peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
(Gruendeman & Fernsebner, 2006)
4 Petugas kesehatan  (dokter, perawat, bidan ) tidak memahami benar tentang
filosofi keilmuannya sehingga pada saat melaksanakan asuhan kepada klien
tidak sesuai dengan kewenaangannya, kompetensinya, serta melakukan asuhan
dibawah standar operasinal prosedur, bertentangan dengan hukum, lalai dengan
tugasnya dan akhirnya terjadi komunikasi yang tidak baik antara nakes dan
pasien, hasil perawatan dirasakan kurang memuaskan, serta biaya yang
7
dirasakan terlalu tinggi serta terjadi  insiden KTD (Kejadian yang tidak
diharapkan) atau Sentinel yang pada akhirnya akan menimbulkan tuntutan dari
pasien tersebut

2.4 Teori Malpraktik


Ada tiga teori yang menyebutkan sumber dari perbuatan malpraktik yaitu:
a. Teori Pelanggaran Kontrak
Teori pertama yang mengatakan bahwa sumber perbuatan malpraktik
adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak. Ini berprinsip bahwa secara
hukum seorang tenaga kesehatan tidak mempunyai kewajiban merawat
seseorang bilamana diantara keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak
antara tenaga kesehatan dengan pasien. Hubungan antara tenaga kesehatan
dengan pasien baru terjadi apabila telah terjadi kontrak diantara kedua belah
pihak tersebut. Sehubungan dengan adanya hubungan kontrak pasien dengan
tenaga kesehatan ini, tidak berarti bahwa hubungan tenaga kesehatan dengan
pasien itu selalu terjadi dengan adanya kesepakatan bersama. Dalam keadaan
penderita tidak sadar diri ataupun keadaan gawat darurat misalnya, seorang
penderita tidak mungkin memberikan persetujuannya.
Apabila terjadi situasi yang demikian ini, maka persetujuan atau kontrak
tenaga kesehatan pasien dapat diminta dari pihak ketiga, yaitu keluarga
penderita yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan penderita.
Apabila hal ini juga tidak mungkin, misalnya dikarenakan penderita gawat darurat
tersebut datang tanpa keluarga dan hanya diantar oleh orang lain yang
kebetulan telah menolongnya, maka demi kepentingan penderita, menurut
perundang-undangan yang berlaku, seorang tenaga kesehatan diwajibkan
memberikan pertolongan dengan sebaik-baiknya. Tindakan ini, secara hukum
telah dianggap sebagai perwujudan kontrak tenaga kesehatan-pasien.
b. Teori Perbuatan Yang Disengaja
Teori kedua yang dapat digunakan oleh pasien sebagai dasar untuk
menggugat tenaga kesehatan karena perbuatan malpraktik adalah kesalahan
yang dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seseorang
secara fisik mengalami cedera (asssult and battery)
c. Teori Kelalaian
Teori ketiga menyebutkan bahwa sumber perbuatan malpraktik adalah
kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang
dikategorikan dalam malpraktik ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu
kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat
8
(culpa lata). Untuk membuktikan hal yang demikian ini tentu saja bukan
merupakan tugas yang mudah bagi aparat penegak hukum.
Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan
malpraktik, yang apabila ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja
sangat berguna bagi pihak pasien dan para aparat penegak hukum, karena
dengan teori-teori tersebut pasien dapat mempergunakannya sebagai dasar
suatu gugatan dan bagi aparat hukum dapat dijadikan dasar untuk melakukan
penuntutan.
Ada juga teori yang dapat dijadikan pegangan untuk mengadakan
pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktik. Teori-teori itu adalah:
a. Teori Kesediaan Untuk Menerima Resiko (Assumption Of Risk)
Teori ini mengatakan bahwa seorang tenaga kesehatan akan terlindung
dari tuntutan malpraktik, bila pasien memberikan izin atau persetujuan untuk
melakukan suatu tindakan medik dan menyatakan bersedia memikul segala
resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat tindakan medik tersebut. Teori
ini mempunyai arti yang sangat besar bagi seorang tenaga kesehatan, selama
tindakan tenaga kesehatan itu bertujuan untuk indikasi medis.
b. Teori Pasien Ikut Berperan Dalam Kelalaian (Contributory Negligence)
Adalah kasus dimana tenaga kesehatan dan pasien dinyatakan oleh
pengadilan sama-sama melakukan kelalaian.
c. Perjanjian Membebaskan Dari Kesalahan (Exculpatory Contract)
Cara lain bagi tenaga kesehatan untuk melindungi diri dari tuntutan
malpraktik adalah dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus
dengan penderita, yang berjanji tidak akan menuntut tenaga kesehatan atau
rumah sakit bila terjadi misalnya kelalaian malpraktik.
Teori pembelaan ini bersifat spekulasi karena berhasil tidaknya tenaga
kesehatan menggunakan pembelaannya, yang dalam hal ini berupa perjanjian
khusus dengan pasien, hasinya sangat tergantung pada penilaian pengadilan.
d. Peraturan Good Samaritan
Menurut teori ini,seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan
gawat darurat dengan tujuan murni (setulus hati) pada suatu peristiwa darurat
dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktik kecuali jika terdapat indikasi terjadi
suatu kelalaian yang sangat mencolok.
e. Pembebasan Atas Tuntutan (Releas)
Yaitu suatu kasus dimana pasien membebaskan tenaga kesehatan dari
seluruh tuntutan malpraktik, dan kedua belah pihak bersepakat untuk
mengadakan penyelesaian bersama. Teori pembelaan yang berupa
9
pembebasan ini, hanya dapat dilaksanakan sepanjang kesalahan tenaga
kesehatan tersebut menyangkut tanggungjawab perdata (masuk kategori
hukum perdata), misalnya wanprestasi, sebab dalam kasus ini hanya
melibatkan kedua belah pihak yang saling mengadakan kontrak atau janji saja.
Dalam hal ini apabila mereka ternyata dapat bersepakat untuk menyelesaikan
bersama dengan damai, itu lebih baik, karena sesuai dengan tujuan yang
hendak dicapai dalam penyelesaian kasus perdata, yaitu adanya suatu
perdamaian antara kedua belah pihak.
Tetapi apabila kesalahan tenaga kesehatan itu termasuk dalam kategori
hukum pidana (tanggung jawab pidana) misalnya terjadi kelalaian berat
sehingga mengakibatkan meninggalnya pasien, maka teori ini tidak dapat
diterapkan, sebab bicara hukum pidana berarti bicara tentang hukum publik,
yang menyangkut kepentingan umum bersama. Oleh karena itu apabila telah
terbukti tenaga kesehatan telah melakukan malpraktik, maka hukum harus
tetap diberlakukan padanya, karena kalau tidak, berarti kita tidak mendidik
kepada masyarakat pada umumnya untuk sadar terhadap hukum yang
berlaku, sehingga selanjutnya akan sangat sulit untuk menegakkan hukum itu
sendiri. Disamping itu, kalau teori ini diterima dalam kasus pidana
dikhawatirkan tiap perbuatan malpraktik seorang tenaga kesehatan tidak akan
ada sanksi hukumnya, sehingga dapat mengurangi tanggung jawab dan sikap
hati-hatinya seorang tenaga kesehatan di dalam menjalankan tugasnya.
f. Peraturan Mengenai Jangka Waktu Boleh Menuntut (Statute Of Limitation)
Menurut teori ini tuntutan malpraktik hanya dapat dilakukan dalam jangka
waktu tertentu, yang biasanya relatif lebih pendek daripada tuntutan-tuntutan
hukum yang lain.
g. Workmen’s Compensation
Bila seorang tenaga kesehatan dan pasien yang terlibat dalam suatu
kasus malpraktik keduanya bekerja pada suatu lembaga atau badan usaha
yang sama, maka pasien tersebut tidak akan memperoleh ganti rugi dari kasus
malpraktik yang dibuat oleh tenaga kesehatan tersebut. Hal ini disebabkan
menurut peraturan workmen’s compensation, semua pegawai dan pekerja
menerima ganti rugi bagi setiap kecelakaan yang terjadi di situ, dan tidak
menjadi persoalan kesalahan siapa dan apa sebenarnya penyebab cedera
atau luka. Akan tetapi walaupun dengan adanya teori-teori pembelaan
tersebut, tidak berarti seorang tenaga kesehatan boleh bertindak semaunya
kepada pasien. Walaupun terdapat teori-teori pembelaan tersebut, juga harus
dilihat apakah tindakan tenaga kesehatan telah sesuai dengan standar profesi.
10
Apabila tindakan tenaga kesehatan tersebut tidak sesuai dengan standar
profesi, maka teori-teori pembelaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan
pembelaan baginya.
Misalnya pada peraturan good Samaritan yang menyebutkan bahwa
seorang tenaga kesehatan yang memberikan pertolongan gawat darurat pada
peristiwa darurat dapat dibebaskan dari tuntutan hukum malpraktik. Walaupun
terdapat peraturan good samaritan ini, seorang tenaga kesehatan dalam
memberikan pertolongan gawat darurat pada peristiwa darurat tetap harus
memberikan pertolongannya dengan sepenuh hati berdasarkan pengetahuan
dan keahlian yang dimilikinya. Apabila dalam memberikan pertolongan gawat
darurat, seorang tenaga kesehatan hanya memberikan pertolongan yang
sekedarnya dan tidak sungguh-sungguh dalam menggunakan pengetahuan
dan keahliannya, jika terjadi sesuatu hal yang membahayakan kesehatan atau
nyawa orang yang  ditolongnya itu, maka tenaga kesehatan tersebut tetap
dapat dituntut secara hukum.

2.5 Dasar Hukum Malpraktik


Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, jika kelalaian itu tidak
sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat
menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “De minimis noncurat lex,” yang berarti
hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele. Tetapi jika kelalaian itu
mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain,
maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius dan kriminil. Tolak
ukur culpa lata adalah:
1) Bertentangan dengan hukum.
2) Akibatnya dapat dibayangkan.
3) Akibatnya dapat dihindarkan.
4) Perbuatannya dapat dipersalahkan.
Tenaga Medis dikatakan melakukan malpraktik jika:
1) Tenaga Medis kurang menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah
berlaku umum dikalangan profesi tenaga medis.
2) Memberikan pelayanan medis dibawah standar profesi (tidak lege artis)
3) Melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak hati-
hati.
4) Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
Jika tenaga medis hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik profesi,
maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian
11
kerugian kerena kelalaian, maka Penggugatan harus dapat membuktikan adanya 4 unsur
berikut:
1) Adanya suatu kewajiban bagi tenaga medis terhadap pasien.
2) Tenaga medis telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan.
3) Penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
4) Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar

Dalam praktik medik, setidaknya ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni:
a.      Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;
b.      Etika, sebagai aturan penerapan etika tenaga medis
c.      Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.
 
Kode Etik Kebidanan adalah merupakan pedoman bagi bidan di Indonesia dalam
melaksanakan praktik kebidanan. Dasar dari adanya kode etik kebidanan ini dapat kita
lihat pada Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

Pasal 5
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu,
dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

Pasal 24
a)    Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
b)    Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
c)    Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.

12
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial
secara utuh,
tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,
fungsi,
dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.

Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.

ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan yakni:
a.      Melaporkan kepada organisasi profesi;
b.      Melakukan mediasi;
c.      Menggugat secara perdata.
Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat
dilakukan upaya pelaporan secara pidana.
 
Tuntutan malpraktik dapat bersifat pelanggaran-pelanggaran berikut:
1)      Pelanggaran etika profesi
2)      Sanksi administratif
3)      Pelanggaran hukum

2.5.1 Undang-Undang Terkait Malpraktik


Undang-undang republik Indonesia nomor 36 tahun 2009 BAB VII Tentang Kesehatan
Ibu, Bayi, Anak, Remaja,  Lanjut Usia, dan Penyandang Cacat Bagian ke satu :
kesehatan ibu, bayi dan anak

Pasal 126
1. Upaya kesehatan ibu  harus ditujukan untuk menjaga kesehatan  ibu sehingga
mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu.

13
2. Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative.
3. Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu dan terjangkau.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan peraturan
pemerintah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2014 TENTANG


TENAGA KESEHATAN
Pasal 58 (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan;
a. merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.

Pasal 60
Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan
etika profesi;

Pasal 61
Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung
kepada Penerima Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk
kepentingan Penerima Pelayanan Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.

Pasal 62
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya

Pasal 66
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi
Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.

Pasal 77
Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian
Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
14
Pasal 78
Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya
yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang
timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 79
Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

2.5.2 Landasan Hukum Dalam Praktek Profesi Bidan


Bidan merupakan suatu profesi yang selalu mempunyai ukuran atau standar
profesi. Standar profesi bidan yang terbaru adalah diatur dalam PERMENKES RI No.
1464/MENKES/PER/X/2010 yang berisi mengenai latar belakang kebidanan. Berbagai
defenisi dalam pelayanan kebidanan, falsafah kebidanan, paradigma kebidanan, ruang
lingkup kebidanan, standar praktek kebidanan, dan kode etik bidan di Indonesia.

Pelayanan bidan yang terkait dengan aspek hukum :


1. Tindakan kesehatan Administrasi meliputi : pendidikan formal,SIB.SIPB Inform
consent
2. Tindakan kesehatan diagnostik meliputi : jaminan kerahasiaan,mutu pelayanan
3. Tindakan kesehatan terapi meliputi : SPK, Standar profesi

Dasar hukum yang terkait dengan profesi bidan :


1. Undang-undang no 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan
2. Permenkes RI no 1464/MENKES/PER/X/2010  tentang izin dan penyelengaraan
praktek.
2. KEPMENKES No 572 /MENKES /PER/VI/1996 tentang registrasi dan Praktik Bidan
3. Berdasarkan Permenkes no. 1464 th bab II dan bab III Pasal 3 setiap bidan yang
menjalankan praktek mandiri wajib memiliki SIPB
Pasal 9 wewenang dalam memberikan pelayanan :
Pelayanan Kesehatan ibu
Pelayanan kesehatan anak
Pelayanan kesehatan reproduksi.
4. Jika Bidan memberikan Pelayanan diluar kewenangan bisa dikenai sangsi hukum
Undang-Undang No 36 tahun 2014

15
5. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan Hukum dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan Profesinya
6. Dalam melakukan kewajibannya harus memenuhi standar Profesi dan menghormati
hak pasien

Hak pasien
1) Hak mendapatkan informasi secukupnya
2) Hak memberi persetujuan (informed Consent
3) Hak atas rahasia Medis
4) Hak atas pendapat kedua ( second opinion )
5) Hak untuk menolak pemeriksaan dan pengobatan
6) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
7) Hak untuk mengetahui biaya pemeriksaan

Kewajiban pasien
1) Memberikan informasi yang lengkap & tepat
2) Menghormati Profesi Bidan
3) Mentaati nasehat & petunjuk pelayanan
4) Menghormati aturan dan pengaturan
5) Memenuhi semua kewajiban membayar biaya pelayanan
6) Menghormati dan memperhatikan kepentingan milik pasien lain dan petugas
kesehatan
7) Bertanggung jawab sendiri atas penolakan pengobatan

Hak & kewajiban Bidan


Hak Bidan
•      Mendapat perlindungan Hukum dalam menjalankan tugas sesuai profesi
•      Bekerja menurut standar Profesi
•      Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan
perundangan,profesi,etik dan hati nurani
•      Mendapat informasi lengkap dari pasien yang dirawatnya
•      Mendapat imbalan jasa profesi yang diberikan
Tanggung jawab dan tanggung gugat bidan dalam praktek kebidanan 
1. Dalam menjalankan kewenangan yang sesuai dengan Landasan Hukum maka Bidan
bertanggung jawab atas pelayanan mandiri yang diberikan dan berupaya secara
optimal dengan mengutamakan keselamatan ibu dan bayi atau janin

16
2. Tuntutan Hukum atau tanggung gugat bisa berupa:
a. Tuntutan pidana
Tuntutan Pidana terjadi karena dakwaan dilakukan kejahatan atau pelanggaran
seperti yang diatur dalam KUH Pidana
Tuntutan Perdata dapat terjadi karen gugatan telah dilakukan :
Tindakan melawan hukum
Tindakan ingkar janji
b. Tuntutan Perdata
c. Tuntutan Administrasi
Tuntutan administratif dapat terjadi :
Pelanggaran disiplin atau tata tertib yang tidak dapat dipidana atau dituntut
perdata

3. Tanggung Jawab Dalam Praktek Kebidanan


1. Tanggung jawab bidan terhadap klien dan masyarakat
2. Tanggung jawab bidan terhadap tugasnya
3. Tanggung jawab bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya
4. Tanggung jawab bidan terhadap profesinya
5. Tanggung jawab bidan terhadap pemerintah

4. Tanggung Gugat Dalam Praktek Kebidanan


keputusan yang diambil merugikan pasien
Mal praktek/ lalai :
Gagal melakukan tugas
Tidak melaksanakan tugas sesuai dengan standar
Melakukan kegiatan yang mencederai klien
Klien cedera karena kegagalan melaksanakan tugas

Standar Dan Mutu Pelayanan Kebidanan


a.      Standar Pelayanan Kebidanan
Standar adalah keadaan ideal atau tingkat pencapaian tertinggi dan sempurna yang
digunakan sebagai batas penerimaan minimal. Standar Pelayanan Kebidanan
digunakan untuk menentukan kompetensi yang diperlukan bidan dalam
menjalankan praktik sehari-hari.
Standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang harus digunakan oleh
tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik
( UU Kesehatan RI NO.36 tahumn 2009 ). Manfaat standar pelayanan kebidanan
17
adalah menilai mutu pelayanan, menyusun rencana diklat bidan dan
mengembangkan kurikulum pendidikan bidan.
b.      Mutu Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan Kesehatan adalah tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan
yang diselenggarakan dengan berlandaskan pada dua aspek. (1) menimbulkan
kepuasan pelanggan ( pasien / klien ) sesuai dengan tingkat kepuasaan rata-rata
pelanggan, (2) tatacara penyelenggaraannya sesuai dengan standar dan etika
profesi yang telah ditetapkan.
c.       Alasan Pentingnya Mutu Dalam Pelayanan Kesehatan
Alasan pentingnya mutu dalam pelayanan kesehatan : mutu adalah hak setiap
orang, dengan mutu membantu pasien mencapai hasil yang optimal, dan dengan
mutu dapat membantu melindungi tenaga kesehatan ( bidan ) dari hal-hal yang
tidak diinginkan.

2.6 Sanksi Malpraktik


Sanksi terhadap berbagai jenis malpraktik yang dilakukan bidan / tenaga kesehatan
lainnya diaur dalam:
a. Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang
berbunyi:
1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun
yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau
denda paling banyak enam ratu rupiah.
2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan
itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b. Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus.
Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun.
Pasal 347 KUHP menyatakan:
1) Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
2) Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pasal 348 KUHP menyatakan:

18
1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
c. Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
1) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
4) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipdana.
d. Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
e. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
1) Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
2) Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus
rupiah.
f. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan
(misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan
peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka
mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-
lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah
19
dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan
pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan
supaya putusnya di-umumkan.
g. Permenkes RI no 1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik
bidan.
Pasal 23 :
1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kab/kota dapat
memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :
a) Teguran lisan
b) Teguran tertulis
c) Pencabutan SKIB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun
d) Pencabutan SKIB/SIPB selamanya

Pasal 24:
1) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan sanksi berupa
rekomendasi berupa rekomendasi pencabutan surat izin/STR kepada kepala
dinas kesehatan provinsi/ Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terhadap
Bidan yang melakukan praktik tanpa memiliki SIPB atau kerja tanpa memiliki
SIKB sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).
2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin fasilitas pelayanan kesehatan
sementara/tetap kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang
mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai SIKB.

h. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga


Kesehatan:
Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai
Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 84
1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.
20
2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun.
Pasal 85
1) Setiap Tenaga Kesehatan yang dengan sengaja menjalankan praktik tanpa
memiliki STR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan
pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja
memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki STR Sementara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 86
1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana dengan pidana denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2) Setiap Tenaga Kesehatan warga negara asing yang dengan sengaja
memberikan pelayanan kesehatan tanpa memiliki SIP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

21
BAB 3
PEMBAHASAN

Kasus

MEMPAWAH,SP-Bidan TD, pemilik klinik di kawasan Mempawah Hilir, Kabupaten


Mempawah diduga melakukan malapraktek dalam menangani persalinan pasien,
Rina(36).
TD, yang juga menjabat Kepala Puskesmas Rawat Jalan, Kecamatan Sungai Kunyit ini
dianggap ceroboh, dengan cara memaksa mengeluarkan janin dengan cara menggunting
rahim pasien dan kemudian menyedot janin menggunakan vakum. Lantaran tidak
berhasil mengeluarkan bayi tersebut, pasien kemudian dilarikan ke RS Dr Rubini
Mempawah.
Di rumah sakit ini, nyawa anak pasien ini meninggal dalam kandungan. Pasien Rina,
sendiri adalah warga Jalan Tanjung Pura, Desa Sungai Duri Satu, Kecamatan Sungai
Kunyit. Menurut Nursiah (54), orang tua Rina, awal cerita cucunya meninggal tadi,
bermula pada saat anaknya, Rina memeriksa kandungan di Puskesmas Rawat Jalan
Sungai Kunyit. Nah, pada saat di USG, kepala bayi tidak terlihat.
Dari hasil itu, petugas Puskesmas Sungai Kunyit menyarankan pasien dibawa ke RS Dr
Rubini Mempawah. “Petugas kemudian meminta saya menemani anak saya dari
Puskesmas ke rumah sakit,” tutur Nursiah, kepada Suara Pemred, Selasa (26/7).
Begitu Nursiah hendak berangkat ke rumah sakit, Kepala Puskesmas, Bidan TD malah
menawari dirinya agar anaknya di bawa di klinik pribadinya, di Mempawah.
"Waktu itu saya katakan kepada bidan, besok saja, karena saat ini mau pergi membuat
BPJS,” tutur Nursiah.
Alasan Nursiah ingin mengurus BPJS karena tidak memiliki biaya persalinan di rumah
sakit. Dan pilihan mendaftar ke BPJS, biaya bisa gratis. Namun dalam obrolan itu, bidan
TD malah mengajak Nursiah ke kliniknya dengan iming-iming dan gak usah pakai BPJS.
“Katanya kalau gunakan BPJS terburu terlambat," kata Nursiah, menirukan percakapan
TD.
Pada saat dialog antara keduanya, TD juga sempat mempertanyakan biaya kelahiran
anaknya sebelumnya Rp 900 ribu. "Jadi, bagusan di klinik saya saja, kata bu TD. Karena
saya mempunyai dua klinik. Satu di Mempawah dan di Sui Pinyuh. Dan nantinya saat
penjempuatan dan bikin akta dan kelahiran hanya sekitar Rp.900 ribu," Nursiah kembali
menirukan percakapan TD.
Baru pada Kamis (21/7) pukul 01.00 WIB, TD bersama suaminya membawa Rina, anak
Nursiah ke klinik di Mempawah. Saat hendak memulai persalinan, bayi belum juga keluar
dari rahim pasien. Agar bayi bisa lahir dari rahim, TD kemudian memberikan perangsang
untuk melahirkan dan anaknya agar cepat keluar.
Cara itu ternyata tidak ampuh. TD kemudian menempuh cara lain. Tanpa persetujuan
pihak keluarga, TD kemudian menggunting kemaluan pasien agar bayi bisa keluar. Tak
berhasil juga, TD kemudian mengambil vakum untuk menyedot bayi dari rahim.
Cara itu lagi-lagi tidak berhasil. Pasien spontan kesakitan. Nursiah bahkan sempat
mendengar ada empat kali fakum digunakan untuk menyedot cucunya dalam kandungan
hingga terdengar suara letupan seperti balon. “Suara itu yang membuat saya terus
mengucap mengingat tuhan,” tuturnya.

22
"Tup, bunyinya saat di sedot, yang saya kira kepalanya yang keluar, namun bidan TD
tersebut tak bisa menanganinya dan langsung merujuk ke rumah sakit Dr Rubini
mempawah, namun ditolak pihak rumah sakit.
“Mungkin melihat kemaluan anak saya yang sudah koyak, pihak rumah sakit Mempawah
menyuruh untuk dirujuk ke RSUD dr Abdul Aziz, jumat. Malam (22/07) sekitar pukul
01.00 WIB. Di RS Abdul Aziz, pasien tiba pukul 03.00 WIB dan langsung ditangani
petugas medis.
Tak lama, Nursah pun mendapat kabar bahwa cucu yang dinantikan kelahirannya telah
meninggal.
“Kata dokter, cucunya sudah meninggal dan bagian kepala sudah mengalami kerusakan.
Jadi pihak dokter meminta izin untuk mengeluarkan cucuknya dengan melukai kepala
cucunya di dalam rahim,” tuturnya.
Pihak keluarga pun tidak keberatan degan langkah dokter tadi. Setelah mengeluarkan
bayi dalam kandungan, dokter juga menjahit vagina anaknya yang koyak.
Proses ini berjalan sekitar dua jam. Pada Sabtu (23/7) sekitar pukul 09.55 WIB, proses
penanganan meds pasien selesai dan selanjutnya, pasien Rina mendapatkan perawatan
di rumah sakit tersebut.
Kepala Bidang, Pelayanan dan Kesehatan, Dinas Kesehatan Mempawah, Jamiril
mengaku belum mendapat laporan resmi dari Puskesmas, tentang dugaan malapraktek
dilakukan Kepala Puskesmas Sungai Kunyit.
"Kita belum mendapatkan laporan resmi. Jika sudah mendapatkan laporan, maka kami
akan memanggil yang bersangkutan," tutur Jamiril.
Ia menyebutkan, untuk SOP Kebidanan dikatakannya hanya diperbolehkan untuk
menolong persalinan yang normal. Sebaliknya, bidan tidak boleh menolong pasien yang
dalam keadaan kondisi tak normal, seperti darah tinggi, sesak nafas, berpenyakitan
bawaan ataupun lainnya.
"Jadi, jika pasien yang tak normal, maka itu harus dirujuk ke rumah sakit," katanya.
Meski demikian, Jamiril justru menyayangkan bila bidan menggunakan vakum untuk
menyedot bayi dalam rahim. Menurutnya, cara itu tidak diperbolehkan. “Karena itu bukan
standar SOP bidan. Kecuali di dampingi oleh dokter spesialis mungkin itu boleh,”
tuturnya.
Ia pun menyimpulkan, bila laporan itu benar, bidan bersangkutan telah melakukan
malapraktek. "Jadi, jika di klinik yang membantu persalinan bayi hingga meninggal
dengan menggunakan alat fakum, itu bisa dikatakan malapraktek dan itu bisa di kenakan
sangsi kode etik kebidanan,"jelasnya.
Menurutnya, untuk Puskesmas hingga Polindes dulunya menurut kementrian Kemenkes
pernah diberikan alat pakum untuk memberikan bantuan terhadap orang yang
melahirkan. Namun untuk saat ini sudah di tarik.
"Jadi, untuk saat ini, yang boleh menggunakan vakum, yaitu dokter spesialis, maupun
bidan yang di dampingi dokter,"jelasnya.
Lanjutnya, klinik persalinan kebidanan juga dikatakannya tak memperbolehkan memiliki
dua klinik. Karena pembuatan izin praktek tersebut harus melalui rekomendasi pihak
Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
"Kami akan telaah dan mencari kebenarannya, dan sanksinya bisa berupa pencabutan
izin, dan lainnya, karena kasus seperti ini dikatakannya pernah terjadi pada 2015," kata
Jamiril.
Saat dikonfirmasi, Kepala Puskesmas Rawat Jalan, Sungai Kunyit, TD hanya
menyebutkan sedang pelatihan di Pontianak hingga 3 Agustus. (ben/loh/sut)

23
Tiga Kali Melahirkan Meninggal

Kasibi (65) ayah kandung pasien, mengaku kecewa dengan meninggal cucunya tersebut.
Ia juga sedih, kabar duka ini justru belum diketahui oleh suami Rina, di mana saat ini
sedang bekerja di Malaysia.
"Suami anak saya sudah setahun lebih belum kembali, dan informasinya suaminya akan
pulang, setelah mendengar anaknya yang meninggal,"jelasnya.
Ia juga menyebutkan kondisi terakhir cucunya, pada saat jenazah dibawa ke rumah, di
mana terlihat kepala cucunya tadi terlihat panjang dan berlubang, sebelum dikebumikan.
"Jadi, anaknya ini sudah tiga kali mengandung, namun semuanya meninggal,"jelasnya.
Ia mengharapkan, mengenai adanya kejadian ini di harapkan ada tanggung jawab dari
pihak bidan TD, mengenai anaknya yang saat ini masih di rawat di rumah sakit
Singkawang.
"Jadi, saya tak ada melaporkan, ke siapa-siapa mengenai ini ya,"jelasnya.
Seorang dokter umum di Puskesmas Sungai Kunyit, menceritakan, pasien Rina, sebelum
melahirkan sempat memeriksa kandungannya melalui USG di Puskesmas Sui Kunyit.
Saat pasien datang, ia pun menyarankan ke rumah sakit untuk mendapatkan hasil yang
maksimal, itu karena USG di Puskesmas hanya dua dimensi.
"Jadi, ibu Rina usia kehamilannya saat di USG, sekitar 38 minggu
kehamilannya,"jelasnya. (ben/loh/sut)

Sumber: Suara Pemred Kalbar 27-07-2016


http://www.suarapemredkalbar.com/berita/mempawah/2016/07/27/bidan-klinik-
mempawah-hilir-diduga-malapraktek

3.1 Bidan memiliki 2 klinik persalinan


3.1.1 Jenis Malpraktik
Pada kasus diatas Bidan “TD” seorang Kepala Puskesmas Sungai Kunyit memiliki
2 klinik persalinan yaitu Di daerah Menpawah Hilir dan Sui Pinyuh.
3.1.2 Dasar Hukum tentang izin penyelenggaraan praktik bidan
Berdasarkan PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN
PRAKTIK BIDAN, pada pasal 3 dan pasal 6 berbunyi :

Pasal 3
(1) Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.
(2) Setiap bidan yang menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB.
(3) SIKB atau SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk
1 (satu) tempat.

Pasal 6
24
Bidan hanya dapat menjalankan praktik dan /atau kerja paling banyak di 1 (satu) tempat
kerja dan 1 tempat praktik.

Dengan demikian dapat disimpulkan Bidan “TD” yang memiliki 2 klinik


persalinan sudah menyalahi aturan yang berlaku terutama tentang izin dan
penyelenggaran praktik bidan, dimana berdasarkan ketentuan yang tertuang pada
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1464/MENKES/PER/X/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK
BIDAN, pada pasal 3 dan pasal 6 seorang bidan hanya bisa bekerja menjalankan
praktik kebidanannya paling banyak hanya satu tempat praktik dengan memiliki 1
(satu) SIKB atau SIPB.
Jenis Malpraktik Bidan “TD” adalah Malpraktik Administratif (Administrative
Malpractice) yang berdasarkan Hanafiah & Amir (2009) mengatakan Malpraktik
Administratif (Administrative Malpractice) terjadi apabila dokter atau tenaga
kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang
berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya,
menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek
tanpa membuat catatan medik. Dua macam pelanggaran administrasi tersebut
adalah :
3) Pelanggaran hukum administrasi tentang kewenangan praktek
4) Pelanggaran administrasi mengenai pelayanan medis

3.1.3 Sanksi
Berdasarkan PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN
PRAKTIK BIDAN, pasal 23 dan pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 23
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama1 (satu) tahun; atau
d. pencabutanSIKB/S|B selamanya.

25
Pasal 24
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan sanksi berupa
Rekomendasi pencabutan surat izin STR kepada kepala dinas kesehatan
provinsi/Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terhadap Bidan yang
melakukan praktik tanpa memilik S IPB atau kerja tanpa memiliki SIKB
sebagaimana maksud dalam pasal 3ayat ( 1) dan ayat ( 2).
(2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin fasilitan pelayanan kesehatan
sementara/tetap kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang
rnempekerjakan bidan yang tidak mempunyai SIKB.

Pada kasus digambarkan Bidan “TD”memiliki 2 klinik, secara aturan bidan


“TD” hanya bisa membuka 1 klinik saja , sehingga 1 klinik lagi status legalitas tempat
praktiknya menjadi tanda tanya (?) Legal atau tidak, sehingga Bidan “TD” melakukan
Malpraktik dengan jenis Malpraktik Administratif, dengan demikian mengacu kepada
ketentuan PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1464/MENKES/PER/X/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK
BIDAN pada pasal 23 dan pasal 24,maka sanksi yang dapat diberikan adalah
bertahap seperti berikut ini:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama1 (satu) tahun; atau
d. pencabutanSIKB/SIPB selamanya

3.2 Vacum Ekstraksi di BPM


3.2.1 Jenis malpraktik
Jenis malpraktik dalam kasus ini adalah Criminal malpractice yang bersifat
negligence (lalai), seperti tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau
melalaikan kewajibannya misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai
akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati seperti dalam kasus ini bayi
sudah meninggal dan bagian kepala sudah mengalami kerusakan. Dalam menolong
persalinan bidan tersebut melakukan banyak penyimpangan pelayanan kebidanan yang
tidak seharusnya dilakukan oleh bidan salah satunya melakukan vacuum ekstraksi,
mestinya bidan sudah mempunyai ketrampilan dalam pertolongan persalinan sehingga
penyimpangan penyimpangan ini tidak terjadi, sebelum melakukan pertolongan  bidan
juga harus melihat penapisan awal  terlebih dahulu apakah pasien ini beresiko, bila
menemukan pasien ini beresiko mestinya bidan tersebut melakukan rujukan terencana.
26
3.2.2 Dasar hukum yang terkait dengan profesi bidan
Bila di analisis melalui prinsip etik, bidan tersebut menyalahi prinsip Non-
maleficence. Non-maleficence adalah suatu prinsip yang mana seorang bidan tidak
melakukan perbuatan yang memperburuk pasien dan memilih pengobatan yang paling
kecil resikonya bagi pasien yang dirawat atau diobati olehnya. Seharusnya dengan
kondisi pasien dengan kepala bayi tidak terlihat dari hasil USG dan tidak ada kemajuan
persalinan, agar tidak terjadi resiko maka seharusnya pasien dirujuk untuk dilakukan
tindakan selanjutnya oleh tenaga kesehatan yang kompeten yaitu dokter spesialis obgyn.
Ditinjau dari dasar hukum yang terkait dengan profesi bidan, tindakan bidan dalam
kasus tersebut terkait melakukan vacum ekstraksi saat persalinan yang dilakukan oleh
bidan TD, bidan tersebut menyalahi kode etik kebidanan serta melanggar
penyelenggaraan upaya kesehatan berdasarkan wewenang tenaga kesehatan.
1. Dasar dari adanya kode etik kebidanan ini terdapat pada Pasal 24 UU No. 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan.
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Ditinjau dari profesionalisme kerja bidan, terdapat perubahan regulasi tentang
permenkes yang mengatur tentang registrasi dan izin penyelenggaraan praktik bidan:
a. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia/Nomor
572/Menkes/PER/VI/1996 Tentang Registrasi Dan Praktek Bidan
Pasal 26 menyebutkan bahwa bidan dalam melakukan kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 24 dan pasal 25 berwenang untuk untuk vacum ekstraksi
dengan kepala bayi di dasar panggul.
b. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
900/Menkes/Sk/VIII/2002 Tentang Registrasi Dan Praktik Bidan Pasal 18 yang
menyebutkan bahwa bidan berwenang untuk vacum ekstraksi dengan kepala bayi
di dasar panggul
c. Standar Profesi Bidan, kompetensi ke-4 yang diatur dalam Kepmenkes RI no
369/Menkes/SK/III/2007

27
Kompetensi ke-4 disebutkan “Bidan memberikan asuhan bermutu tinggi, tanggap
terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan
yang bersih dan aman, menangani situasi kegawat daruratan tertentu untuk
mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir”
Dengan keterampilan tambahan salah satunya adalah “Melakukan ekstraksi
forcep rendah dan vacum jika diperlukan sesuai kewenangan”
d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1464/Menkes/PER/X/2010 Tentang Izin dan penyelenggaraan praktik bidan
a. Pasal 9 ayat 2, yang menyebutkan bahwa bidan berwenang untuk
melakukan pelayanan persalinan normal
b. Pasal 14
i. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak
memiliki dokter dapat melakukan pelayanan kebidanan diluar
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ii. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang
ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota
iii. Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
terdapat dokter kewenangan bidan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku
c. Pasal 18
Dalam melaksanakan praktek/kerja, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan
pelayanan yang dibutuhkan
c. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat
ditangani dengan tepat waktu
d. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
Sesuai dengan kode etik bidan diatas sudah sangat jelas dasar hukum
tersebut menjadi dasar dalam melaksanakan praktek/kerja, bahwa bidan berwenang
untuk melakukan pelayanan persalinan normal serta bidan berkewajiban untuk
menghormati hak pasien, pasien memiliki hak dalam memperoleh asuhan oleh bidan,
sebelum melakukan penanganan sebaiknya bidan memberikan informasi tentang
masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan, namun kenyataan pada
kasus ini bidan TD tidak memberikan informasi tentang keadaan pasien melainkan
melakukan berbagai penyimpangan seperti salah satunya melakukan vacum
ekstraksi yang tidak sesuai dengan kewenangan bidan yang terdapat pada peraturan
28
terbaru Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1464/Menkes/PER/X/2010 Tentang Izin dan penyelenggaraan praktik bidan terdapat
dalam pasal 9 ayat 2.
2. Dasar dari adanya penyelenggaraan upaya kesehatan berdasarkan wewenang
tenaga kesehatan terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
BAB IX Hak Dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Pasal 58 :
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
b. Memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya
atas tindakan yang akan diberikan
c. Menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
d. Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan,
asuhan, dan tindakan yang dilakukan
e. Merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
Pasal 62
(I) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya.
(2) Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari satu jenjang
pendidikan memiliki kewenangan profesi sesuai dengan lingkup dan tingkat
Kompetensi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pada kasus diatas bidan TD dalam menjalankan prakteknya tidak berdasarkan


kewenangan maupun kompetensinya dalam melaksanakan praktek kebidanan secara
aman dan bertanggung jawab dalam memberikan pertolongan persalinan. Seharusnya
bidan TD mengacu pada Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, Standar Prosedur
Operasional, dan etika profesi dalam melakukan asuhannya agar tidak melanggar aturan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bidan TD juga harus dengan tanggap
memberikan asuhan kegawatdaruratan sesuai dengan kewenangannya salah satunya
melakukan rujukan.
3.2.3 Sanksi

29
Berdasarkan kasus diatas, maka bidan TD dapat diberikan sanksi etik atau sanksi
pidana jika terbukti melakukan criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
sebagai berikut:
1. Sanksi Etik
Sesuai dengan Permenkes RI no 1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik bidan.
Pasal 23
3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kab/kota dapat
memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturan
ini.
4) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui :
e) Teguran lisan
f) Teguran tertulis
g) Pencabutan SKIB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun
h) Pencabutan SKIB/SIPB selamanya
2. Sanksi Pidana
Jika bidan TD terbukti melakukan criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
karna kurang hati-hati melakukan proses kelahiran, maka bidan TD dapat diberikan
sanksi pidana menggunakan:

a. Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa


karena kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
b. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
1) Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
2) Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain
luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan
menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling tinggi tiga ratus rupiah.
c. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan
(misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila

30
melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati
atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab
ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka
pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya
untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim
dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.

Dalam UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan


pada BAB XIV tentang Ketentuan Pidana, menyebutkan:
Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-
olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun.
Pasal 84
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang
mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

3.3. Pemberian Obat Perangsang Pada Fase Aktif Persalinan


3.3.1. Jenis malpraktik
Bidan TD telah melakukan malpraktik pidana (Criminal Malpractice) karena
kecerobohan (recklessness). Bidan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
Bidan memberikan suntik obat perangsang ke pasien ini tidak sesuai dengan standar
profesi bidan serta melanggar etik karena memberikan tindakan tanpa persetujuan pasien
dan keluarga.
3.3.2. Dasar Hukum yang terkait dengan profesi bidan
Secara etika, bidan TD melanggar perinsip etik dalam memberikan pelayanan
pada pasien baik prinsip otonomi, beneficience (Berbuat Baik), justice (Keadilan), dan
nonmaleficince (tidak merugikan). Bidan memberitahukan klien bahwa keadaanya baik
dan bisa melahirkan secara normal, padahal berdasarkan hasil USG kepala tidak tampak
dan sebaiknya melahirkan di Rumah sakit. Bidan juga memberikan obat perangsang

31
pada pasien saat fase aktif tanpa memberitahukan pasien apa alasannya. Pemberian
obat perangsang ini juga tidak memberikan manfaat (beneficience) pada persalinan
pasien bahkan menimbulkan efek merugikan karena pemberian obat perangsang pada
saat persalinan tanpa pengawasan ketat dan indikasi yang tepat maka akan
menimbulkan komplikasi baik pada ibu atau janin. Selain itu bidan TD juga melanggar
prinsip keadilan terhadap pasien karena tidak bisa menerapkan nilai dalam praktek
professional ketika bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktik dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan pada pasien.
Ditinjau dengan dasar hukum yang terkait dengan profesi bidan, tindakan bidan
terkait pemberian obat perangsang saat fase aktif persalinan yang dilakukan oleh bidan
TD telah menyalahi Kode Etik Kebidanan yang merupakan pedoman bagi bidan di
Indonesia dalam melaksanakan praktik kebidanan serta melanggar penyelenggaraan
upaya kesehatan berdasarkan wewenang tenaga kesehatan.
1. Dasar dari adanya kode etik kebidanan ini dapat dilihat pada Pasal 24 UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
a. Ayat (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
b. Ayat (2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
c. Ayat (3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan UU di atas, bidan tidak sesuai dengan landasan hukum dalam
praktek profesi yang mengatur bidan, diantaranya
a. Standar profesi bidan berdasarkan Kepmenkes RI Nomor :
369/MENKES/SKIII/2007 pada standar kompetensi yang harus dimiliki yaitu
kompetensi 4 “Asuhan Selama Persalinan Dan Kelahiran”,
1) Keterampilan dasar : Bidan seharusnya mampu mengidentifikasi secara
dini kemungkinan pola persalinan abnormal dan kegawatdaruratan dengan
intervensi yang sesuai dan atau melakukan rujukan dengan tepat waktu.
2) Keterampilan tambahan : memberikan oksitosin dengan tepat untuk induksi
dan akselerasi persalinan dan penanganan perdarahan post partum.
Dalam hal ini, bidan tidak bijak memberikan pemberian obat
perangsang, dengan alasan agar janin segera lahir tanpa memperhatikan
indikasi ataupun kontraindikasi pemberian, tanpa adanya pengawasan ketat

32
(sebelum memberikan harus mempertimbangkan indikasi dan komplikasi
yang mungkin timbul).
b. Permenkes RI NO. 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktek bidan Pasal 10
1) Ayat (2) salah satu pelayanan kesehatan ibu adalah meliputi pelayanan
persalinan normal dan
2) Ayat (3) menyatakan pemberian obat uterotonika dilakukan pada
manajement aktif kala III dan post partum.
Pada kasus ini bidan nekad tetap menolong persalinan walau dari PKM
sudah menyatakan untuk dirujuk, bidan juga tidak tanggap dalam mendeteksi
komplikasi persalinan berupa persalinan lama, tetap ingin menolong
persalinan meskipun ini bukan persalinan normal (terjadi distosia), bahkan
tanpa ragu memberikan obat perangsang atau melakukan vakum agar bayi
segera lahir. Sehingga akibat tindakan tersebut menyebabkan kematian pada
janin.

2. Dasar dari penyelenggaraan upaya kesehatan berdasarkan wewenang tenaga


kesehatan adalah UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan
a. Pasal 58 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib: a)
Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan; b) Memperoleh
persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya atas
tindakan yang akan diberikan; e) merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke
Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang
sesuai.
b. Pasal 61 “Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan
pelayanan langsung kepada Penerima Pelayanan Kesehatan harus
melaksanakan upaya terbaik untuk kepentingan Penerima Pelayanan
Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.”
c. Pasal 62 ayat (1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus
dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada Kompetensi yang
dimilikinya
Jadi sebaiknya bidan TD sebelum mengambil tindakan medis ke pasien
harus menjelaskan tindakan yang akan dilakukan dan mendapatkan
persetujuan tindakan medik, jika terjadi komplikasi atau mengarah ke
33
persalinan tidak normal pasien segera dirujuk bukan malah memberikan obat
perangsang agar segera melahirkan bayi karena hal tersebut juga tidak sesuai
dengan kompetensi bidan serta kewenangan bidan yang sesuai, hal ini
bertujuan agar pelayanan yang diberikan berkualitas dan sesuai kepentingan
pasien bukan kepentingan bidan.
3.3.3. Sanksi
Berdasarkan kasus di atas, maka bidan TD dapat diberikan sanksi etik atau sanksi
pidana jika terbukti melakukan tindakan pidana.
1. Sanksi etik
Sesuai dengan Permenkes RI no 1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik bidan.
Pasal 23 :
5) Ayat (1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21, Menteri, pemerintah daerah provinsi,
pemerintah daerah kab/kota dapat memberikan tindakan administratif
kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
6) Ayat (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui :

1) Teguran lisan
2) Teguran tertulis
3) Pencabutan SKIB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun
4) Pencabutan SKIB/SIPB selamanya

Selain itu berdasarkan UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun


2014 Tentang Tenaga Kesehatan berkaitan dengan sanksi administratif :
Pasal 82
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan Pasal
47, Pasal 52 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 59
ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 66 ayat (1), Pasal 68 ayat (1), Pasal
70 ayat (1), Pasal 70 ayat (2), Pasal 70 ayat (3) dan Pasal 73 ayat (1)
dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan
ketentuan Pasal 26 ayat (2), Pasal 53 ayat (1), Pasal 70 ayat (4), dan
Pasal 74 dikenai sanksi administratif.

34
(3) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi
administratif kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
berupa: a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; c. denda administratif;
dan/atau d. pencabutan izin.
(5) Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap Tenaga Kesehatan
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Sanksi pidana
Jika bidan TD terbukti melakukan pelanggaran berupa malpraktik pidana
sehingga menyebabkan kematian pada janin pasien, maka bidan TD bisa terjerat
dengan Pasal 361 KUHP, “Karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau
pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila
melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka
berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula”. Pasal 361 KUHP
menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan
pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusnya di-umumkan.
Selain itu dalam UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan Ketentuan Pidana
Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah
sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 84
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.

35
3.4 Keterlambatan Merujuk
Pada Kasus di atas dapat ditemukan adanya pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh bidan TD yang berhubungan dengan terlambatnya melakukan rujukan
pasien ke fasilitas yang lebih tinggi yaitu meliputi :
1. Bidan TD telah melanggar kode etik profesi bidan, khususnya pada butir kewajiban
bidan terhadap tugasnya yang berbunyi :
a. Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien,
keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya
berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
b. Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam
mengambil keputusan mengadakan konsultasi dan/atau rujukan,
2. Bekerja tidak sesuai standart profesi bidan (Kepmenkes No.36 Tahun 2007 ) dimana
menyatakan pelayanan kebidanan salah satunya adalah layanan rujukan. Layanan
rujukan adalah layanan yang dilakukan oleh bidan dalam rangka rujukan ke sistem
layanan yang lebih tinggi atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan
dalam menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan ataupun layanan
yang dilakukan oleg bidan ke tempat/fasilitas pelayanan kesehatan lain secara
horizontal maupun vertical untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu
serta bayinya.
3. Bertentangan dengan SK Menteri Kesehatan RI No. 001 tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, dimana disebutkan :
Pasal 9
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan
yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dilakukan apabila:
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau sub spesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan.

Pada kasus bidan TD yang tidak melakukan rujukan lebih awal dapat dikatakan
merupakan malpraktik. Dimana mall praktek merupakan Kelalaiantenaga kesehatan
untukmempergunakantingkatketrampilandanilmupengetahuannyayanglazimdipergunakan
dalam asuhanyang diberikan kepasienmenurutstandart profesinya. Kelalaian termasuk
dalam arti malpraktik, tetapi di dalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian.
Malpraktik lebih luas dari pada kelalaian (negligence) karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan
sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Dalam kasus ini, bidan
dikatakan malpraktik karena tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan atau
36
melalaikan kewajibannya yaitu sebagai bidan memberikan layanan rujukan lebih awal
kepada pasien ke tempat/ fasilitas yang lebih lengkap atau sesuai kebutuhan pasien
untuk menghindari morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayinya.
Pelanggaran malpraktik bidan TD merupakan malpraktik etik. Yang dimaksud
dengan malpraktik etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang
dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan
atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
Sanksi yang di berikan malpraktik etik bidan TD adalah sesuai dengan Permenkes
RI no 1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan pada
pasal 23 serta UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
pada pasal 82. Sanksi administratif dapat berupateguran lisan, peringatan tertulis, denda
administratif; dan/atau pencabutan izin praktek sementara atau selamanya
Selain malpraktik etik, bidan TD juga melakukan malpraktik pidana yang
dikarenakan kecerobohannya sebagai bidan yang tidak melakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi sesuai anjuran dokter puskesmas untuk di bawa ke rumah
sakit agar Ny. R mendapatkan pemeriksaan yang lebih lengkap dari dokter spesialis
kebidanan dan kandungan. Akibat kecerobohannya ini mengakibatkan kematian pada
bayi Ny. R.
Kelalaian ini tentunya berdasarkan pada Pasal 359 KUHP yang menjelaskan
bahwa “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.” Walaupun ada upaya menolong yang dilakukan oleh bidan untuk
melahirkan di kliniknya agar biaya yang dikeluarkan oleh pasien tidak besar, namun
perbuatannya tersebut tidak sesuai dengan prosedur atau standart profesi bidan dimana
bidan memiliki wewenang menolong ibu bersalain yang fisiologis sedangkan pada kasus
diatas Ny. R yang akan melahirkan sudah mengarah ke arah patologis..

BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Malpraktik merupakan kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan berdasarkan ukuran
yang lazim digunakan tenaga kesehatan lain dalam mengobati pasien pada standar
37
lingkungan yang sama. Malpraktik ini dibagi menjadi 3, yaitu malpraktik etik (kelalaian
dalam melaksanakan etika profesi), malpraktik yuridik (perdata dan pidana), dan
malpraktik administratif (pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang
berlaku). Malpraktik terjadi biasanya berkaitan dengan standar profesi kebidanan,
Standar Prosedur Operasional (SOP), informed consent,dan petugas
kesehatan  sendiri. Sumber malpraktik dijelaskan oleh beberapa teori yaitu teori
pelanggaran kontrak, teori perbuatan yang disengaja, dan teori kelalaian.
Tenaga Medis dikatakan melakukan malpraktik jika tenaga medis kurang
menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah berlaku umum dikalangan
profesi tenaga medis,memberikan pelayanan medis dibawah standar profesi (tidak
lege artis), melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak
hati-hati, dan melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan, yaitu melaporkan kepada organisasi profesi, melakukan mediasi,
menggugat secara perdata. Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga
kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana. Tuntutan
malpraktik dilihat dari pelanggaran-pelanggaran berupa pelanggaran etika profesi,
sanksi administratif, dan pelanggaran hukum. Undang-Undang Terkait Malpraktik
terangkum di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan; Permenkes RI No
1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan, KUHP
Terkait dugaan kasus malpraktik oleh Bidan TD di Kalimantan Barat, terdapat 4
jenis malpraktik. Pertama, bidan memiliki 2 klinik persalinan. Hal ini termasuk Jenis
Malpraktik Bidan “TD” adalah Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)
dengan sanksi yang dapat diberikan berupa teguran lisan; teguran tertulis;
pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
pencabutanSIKB/SIPB selamanya.
Kedua, Vacum Ekstraksi di BPM. Jenis Malpraktik ini adalah Criminal malpractice
yang bersifat negligence (lalai) dengan sanksi etik berupa tindakan administratis dan
sanksi pidana yang tertuang dalam KUHP pasal 359, 360, 361, serta UU Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan pasal 83 dan 84.
Ketiga, pemberian obat perangsang pada fase aktif persalinan. Jenis malpraktik
ini adalah malpraktik pidana (Criminal Malpractice) karena kecerobohan
(recklessness) dengan sanksi etik sesuai dengan Permenkes RI no
1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan; sanksi
sanksi administratif sesuai UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
38
Tenaga Kesehatan; dan sanksi pidana sesuai KUHP Pasal 361 UU Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Ketentuan Pidana pasal
83 dan 84.
Keempat, keterlambatan merujuk yang melanggar kode etik profesi bidan,
standart profesi bidan (Kepmenkes No.36 Tahun 2007), dan SK Menteri Kesehatan RI
No. 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan

4.2 Saran
Bidan selaku tenaga kesehatan harus memahami betul apa-apa yang menjadi
kewenangannya dan apa-apa pula yang bukan menjadi kewenangan dari profesinya.
Peraturan per Undang-undangan yang telah disusun sedemikian rupa dan diadakan
pembaharuan, janganlah hanya dianggap sebagai peraturan tertulis semata, namun
harus di patuhi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Selain itu perlu adanya
perhatian dari organisasi profesi untuk memantau dan membina anggotanya agar
dalam melakukan tugas profesinya selalu mengindahkan aturan yang berlaku.

DAFTAR PUSTAKA

Ake, J, 2012. Malpraktik dalam Keperawatan. EGC: Jakarta


Anita, W, 2009. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pidana Malpraktik Kedokteran. Institusi
Agama Islam Negeri Walisongo.
Dampang, G, 2011. Makalah Malpraktik keperawatan. Diakses dari
biowawan.blogspot.com/2011/10/makalah-keperawatan-part-IV.html
39
Gruendeman, B. J., & Fernsebner, B, 2006. Buku Ajar Keperawatan Perioperatif (1st ed.).
Jakarta: EGC.
Hanafiah, M.J. & Amir, A, 2009. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. EGC. Jakarta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomer 1464/menkes/per/X/2010
PP IBI 2007,50 Tahun Ikatan Bidan Indonesia , Jakarta,cetakan ke 4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan.
Wahyuningsih H, 2008. Etika Profesi Kebidanan. Yogyakarta: Fitrayama
http://www.duniahukum.info/2012/11/pengertian-malpraktek.html
http://www.scribd.com/doc/20520862/Issue-Etik-Pelayanan-Kebidanan

40

Anda mungkin juga menyukai