Kelompok I
ii
DAFTAR ISI
Cover ....................................................................................................... i
Kata Pengantar ...................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................... 2
1.3 Manfaat.............................................................................. 2
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 Bidan memiliki 2 klinik persalinan........................................... 24
3.2 Vacum Ekstraksi di BPM...................................................... 26
3.3 Pemberian Obat Perangsang Pada Fase Aktif Persalinan........ 31
3.4 Keterlambatan Merujuk.......................................................... 36
BAB 4 PENUTUP
4.1 Kesimpulan ............................................................................. 38
4.2 Saran ........................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA 40
iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menganalisis kasus malpraktik kebidanan terkait dengan jenis malpraktik,
dasar hukum, dan sanksi
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Memahami definisi malpraktik
2. Memahami jenis malpraktik
3. Memahami faktor yang menyebabkan terjadinya malpraktik
4. Memahami teori malpraktik
5. Memahami dasar hukum malpraktik
6. Memahami sanksi malpraktik
7. Menganalisis kasus malpraktik kebidanan terkait dengan jenis malpraktik,
dasar hukum, dan sanksi
1.3 Manfaat
1.3.1 Teoritis
Dengan megethaui konsep malpraktik terutama dalam bidang kebidanan, maka
melalui makalah ini dapat mengembangkan ilmu kebidanan, dan dijadikan
referensi bila ditemukan kasus malpraktik dengan masalah yang sama.
1.3.2 Praktis
Diharapkan dapat bermanfaat bagi profesi bidan untuk tetap memperhatikan
wewenangnya dan aspek hukum yang mengikat praktik kebidanan dalam setiap
memberikan asuhan kebidanan, sehingga tidak ada lagi masalah malpraktik yang
dilakukan oleh bidan
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam praktik medik, setidaknya ada 3 (tiga) norma yang berlaku yakni:
a. Disiplin, sebagai aturan penerapan keilmuan kedokteran;
b. Etika, sebagai aturan penerapan etika tenaga medis
c. Hukum, sebagai aturan hukum kedokteran.
Kode Etik Kebidanan adalah merupakan pedoman bagi bidan di Indonesia dalam
melaksanakan praktik kebidanan. Dasar dari adanya kode etik kebidanan ini dapat kita
lihat pada Pasal 24 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Pasal 5
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu,
dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan
kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
Pasal 24
a) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
b) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
c) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
12
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial
secara utuh,
tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,
fungsi,
dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
(2) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat kontrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.
Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan yakni:
a. Melaporkan kepada organisasi profesi;
b. Melakukan mediasi;
c. Menggugat secara perdata.
Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga kesehatan tersebut, maka dapat
dilakukan upaya pelaporan secara pidana.
Tuntutan malpraktik dapat bersifat pelanggaran-pelanggaran berikut:
1) Pelanggaran etika profesi
2) Sanksi administratif
3) Pelanggaran hukum
Pasal 126
1. Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga
mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka
kematian ibu.
13
2. Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitative.
3. Pemerintah menjamin ketersediaan tenaga, fasilitas, alat dan obat dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan ibu secara aman, bermutu dan terjangkau.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan ibu diatur dengan peraturan
pemerintah.
Pasal 60
Tenaga Kesehatan bertanggung jawab untuk: c. bersikap dan berperilaku sesuai dengan
etika profesi;
Pasal 61
Dalam menjalankan praktik, Tenaga Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung
kepada Penerima Pelayanan Kesehatan harus melaksanakan upaya terbaik untuk
kepentingan Penerima Pelayanan Kesehatan dengan tidak menjanjikan hasil.
Pasal 62
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya
Pasal 66
(1) Setiap Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berkewajiban untuk mematuhi
Standar Profesi, Standar Pelayanan Profesi, dan Standar Prosedur Operasional.
Pasal 77
Setiap Penerima Pelayanan Kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian
Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
14
Pasal 78
Dalam hal Tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya
yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang
timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian
sengketa di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 79
Penyelesaian perselisihan antara Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
15
5. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan Hukum dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan Profesinya
6. Dalam melakukan kewajibannya harus memenuhi standar Profesi dan menghormati
hak pasien
Hak pasien
1) Hak mendapatkan informasi secukupnya
2) Hak memberi persetujuan (informed Consent
3) Hak atas rahasia Medis
4) Hak atas pendapat kedua ( second opinion )
5) Hak untuk menolak pemeriksaan dan pengobatan
6) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum
7) Hak untuk mengetahui biaya pemeriksaan
Kewajiban pasien
1) Memberikan informasi yang lengkap & tepat
2) Menghormati Profesi Bidan
3) Mentaati nasehat & petunjuk pelayanan
4) Menghormati aturan dan pengaturan
5) Memenuhi semua kewajiban membayar biaya pelayanan
6) Menghormati dan memperhatikan kepentingan milik pasien lain dan petugas
kesehatan
7) Bertanggung jawab sendiri atas penolakan pengobatan
16
2. Tuntutan Hukum atau tanggung gugat bisa berupa:
a. Tuntutan pidana
Tuntutan Pidana terjadi karena dakwaan dilakukan kejahatan atau pelanggaran
seperti yang diatur dalam KUH Pidana
Tuntutan Perdata dapat terjadi karen gugatan telah dilakukan :
Tindakan melawan hukum
Tindakan ingkar janji
b. Tuntutan Perdata
c. Tuntutan Administrasi
Tuntutan administratif dapat terjadi :
Pelanggaran disiplin atau tata tertib yang tidak dapat dipidana atau dituntut
perdata
18
1) Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan
kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun enam bulan.
2) Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan
pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu
melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu
melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka
pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
c. Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi:
1) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh
tahun.
4) Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5) Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipdana.
d. Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
e. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
1) Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
2) Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan
pekerjaan, jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam de¬ngan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus
rupiah.
f. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan
(misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan
peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka
mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-
lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah
19
dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan
pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan
supaya putusnya di-umumkan.
g. Permenkes RI no 1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik
bidan.
Pasal 23 :
1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kab/kota dapat
memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :
a) Teguran lisan
b) Teguran tertulis
c) Pencabutan SKIB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun
d) Pencabutan SKIB/SIPB selamanya
Pasal 24:
1) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan sanksi berupa
rekomendasi berupa rekomendasi pencabutan surat izin/STR kepada kepala
dinas kesehatan provinsi/ Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terhadap
Bidan yang melakukan praktik tanpa memiliki SIPB atau kerja tanpa memiliki
SIKB sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) dan ayat (2).
2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin fasilitas pelayanan kesehatan
sementara/tetap kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang
mempekerjakan bidan yang tidak mempunyai SIKB.
21
BAB 3
PEMBAHASAN
Kasus
22
"Tup, bunyinya saat di sedot, yang saya kira kepalanya yang keluar, namun bidan TD
tersebut tak bisa menanganinya dan langsung merujuk ke rumah sakit Dr Rubini
mempawah, namun ditolak pihak rumah sakit.
“Mungkin melihat kemaluan anak saya yang sudah koyak, pihak rumah sakit Mempawah
menyuruh untuk dirujuk ke RSUD dr Abdul Aziz, jumat. Malam (22/07) sekitar pukul
01.00 WIB. Di RS Abdul Aziz, pasien tiba pukul 03.00 WIB dan langsung ditangani
petugas medis.
Tak lama, Nursah pun mendapat kabar bahwa cucu yang dinantikan kelahirannya telah
meninggal.
“Kata dokter, cucunya sudah meninggal dan bagian kepala sudah mengalami kerusakan.
Jadi pihak dokter meminta izin untuk mengeluarkan cucuknya dengan melukai kepala
cucunya di dalam rahim,” tuturnya.
Pihak keluarga pun tidak keberatan degan langkah dokter tadi. Setelah mengeluarkan
bayi dalam kandungan, dokter juga menjahit vagina anaknya yang koyak.
Proses ini berjalan sekitar dua jam. Pada Sabtu (23/7) sekitar pukul 09.55 WIB, proses
penanganan meds pasien selesai dan selanjutnya, pasien Rina mendapatkan perawatan
di rumah sakit tersebut.
Kepala Bidang, Pelayanan dan Kesehatan, Dinas Kesehatan Mempawah, Jamiril
mengaku belum mendapat laporan resmi dari Puskesmas, tentang dugaan malapraktek
dilakukan Kepala Puskesmas Sungai Kunyit.
"Kita belum mendapatkan laporan resmi. Jika sudah mendapatkan laporan, maka kami
akan memanggil yang bersangkutan," tutur Jamiril.
Ia menyebutkan, untuk SOP Kebidanan dikatakannya hanya diperbolehkan untuk
menolong persalinan yang normal. Sebaliknya, bidan tidak boleh menolong pasien yang
dalam keadaan kondisi tak normal, seperti darah tinggi, sesak nafas, berpenyakitan
bawaan ataupun lainnya.
"Jadi, jika pasien yang tak normal, maka itu harus dirujuk ke rumah sakit," katanya.
Meski demikian, Jamiril justru menyayangkan bila bidan menggunakan vakum untuk
menyedot bayi dalam rahim. Menurutnya, cara itu tidak diperbolehkan. “Karena itu bukan
standar SOP bidan. Kecuali di dampingi oleh dokter spesialis mungkin itu boleh,”
tuturnya.
Ia pun menyimpulkan, bila laporan itu benar, bidan bersangkutan telah melakukan
malapraktek. "Jadi, jika di klinik yang membantu persalinan bayi hingga meninggal
dengan menggunakan alat fakum, itu bisa dikatakan malapraktek dan itu bisa di kenakan
sangsi kode etik kebidanan,"jelasnya.
Menurutnya, untuk Puskesmas hingga Polindes dulunya menurut kementrian Kemenkes
pernah diberikan alat pakum untuk memberikan bantuan terhadap orang yang
melahirkan. Namun untuk saat ini sudah di tarik.
"Jadi, untuk saat ini, yang boleh menggunakan vakum, yaitu dokter spesialis, maupun
bidan yang di dampingi dokter,"jelasnya.
Lanjutnya, klinik persalinan kebidanan juga dikatakannya tak memperbolehkan memiliki
dua klinik. Karena pembuatan izin praktek tersebut harus melalui rekomendasi pihak
Ikatan Bidan Indonesia (IBI).
"Kami akan telaah dan mencari kebenarannya, dan sanksinya bisa berupa pencabutan
izin, dan lainnya, karena kasus seperti ini dikatakannya pernah terjadi pada 2015," kata
Jamiril.
Saat dikonfirmasi, Kepala Puskesmas Rawat Jalan, Sungai Kunyit, TD hanya
menyebutkan sedang pelatihan di Pontianak hingga 3 Agustus. (ben/loh/sut)
23
Tiga Kali Melahirkan Meninggal
Kasibi (65) ayah kandung pasien, mengaku kecewa dengan meninggal cucunya tersebut.
Ia juga sedih, kabar duka ini justru belum diketahui oleh suami Rina, di mana saat ini
sedang bekerja di Malaysia.
"Suami anak saya sudah setahun lebih belum kembali, dan informasinya suaminya akan
pulang, setelah mendengar anaknya yang meninggal,"jelasnya.
Ia juga menyebutkan kondisi terakhir cucunya, pada saat jenazah dibawa ke rumah, di
mana terlihat kepala cucunya tadi terlihat panjang dan berlubang, sebelum dikebumikan.
"Jadi, anaknya ini sudah tiga kali mengandung, namun semuanya meninggal,"jelasnya.
Ia mengharapkan, mengenai adanya kejadian ini di harapkan ada tanggung jawab dari
pihak bidan TD, mengenai anaknya yang saat ini masih di rawat di rumah sakit
Singkawang.
"Jadi, saya tak ada melaporkan, ke siapa-siapa mengenai ini ya,"jelasnya.
Seorang dokter umum di Puskesmas Sungai Kunyit, menceritakan, pasien Rina, sebelum
melahirkan sempat memeriksa kandungannya melalui USG di Puskesmas Sui Kunyit.
Saat pasien datang, ia pun menyarankan ke rumah sakit untuk mendapatkan hasil yang
maksimal, itu karena USG di Puskesmas hanya dua dimensi.
"Jadi, ibu Rina usia kehamilannya saat di USG, sekitar 38 minggu
kehamilannya,"jelasnya. (ben/loh/sut)
Pasal 3
(1) Setiap bidan yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.
(2) Setiap bidan yang menjalankan praktik mandiri wajib memiliki SIPB.
(3) SIKB atau SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk
1 (satu) tempat.
Pasal 6
24
Bidan hanya dapat menjalankan praktik dan /atau kerja paling banyak di 1 (satu) tempat
kerja dan 1 tempat praktik.
3.1.3 Sanksi
Berdasarkan PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1464/MENKES/PER/X/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN
PRAKTIK BIDAN, pasal 23 dan pasal 24 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 23
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota
dapat memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama1 (satu) tahun; atau
d. pencabutanSIKB/S|B selamanya.
25
Pasal 24
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan sanksi berupa
Rekomendasi pencabutan surat izin STR kepada kepala dinas kesehatan
provinsi/Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI) terhadap Bidan yang
melakukan praktik tanpa memilik S IPB atau kerja tanpa memiliki SIKB
sebagaimana maksud dalam pasal 3ayat ( 1) dan ayat ( 2).
(2) Pemerintah daerah kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan,
teguran tertulis sampai dengan pencabutan izin fasilitan pelayanan kesehatan
sementara/tetap kepada pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang
rnempekerjakan bidan yang tidak mempunyai SIKB.
27
Kompetensi ke-4 disebutkan “Bidan memberikan asuhan bermutu tinggi, tanggap
terhadap kebudayaan setempat selama persalinan, memimpin selama persalinan
yang bersih dan aman, menangani situasi kegawat daruratan tertentu untuk
mengoptimalkan kesehatan wanita dan bayinya yang baru lahir”
Dengan keterampilan tambahan salah satunya adalah “Melakukan ekstraksi
forcep rendah dan vacum jika diperlukan sesuai kewenangan”
d. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1464/Menkes/PER/X/2010 Tentang Izin dan penyelenggaraan praktik bidan
a. Pasal 9 ayat 2, yang menyebutkan bahwa bidan berwenang untuk
melakukan pelayanan persalinan normal
b. Pasal 14
i. Bagi bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak
memiliki dokter dapat melakukan pelayanan kebidanan diluar
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ii. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah kecamatan atau kelurahan/desa yang
ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota
iii. Dalam hal daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah
terdapat dokter kewenangan bidan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku
c. Pasal 18
Dalam melaksanakan praktek/kerja, bidan berkewajiban untuk:
a. Menghormati hak pasien
b. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien dan
pelayanan yang dibutuhkan
c. Merujuk kasus yang bukan kewenangannya atau tidak dapat
ditangani dengan tepat waktu
d. Meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan
Sesuai dengan kode etik bidan diatas sudah sangat jelas dasar hukum
tersebut menjadi dasar dalam melaksanakan praktek/kerja, bahwa bidan berwenang
untuk melakukan pelayanan persalinan normal serta bidan berkewajiban untuk
menghormati hak pasien, pasien memiliki hak dalam memperoleh asuhan oleh bidan,
sebelum melakukan penanganan sebaiknya bidan memberikan informasi tentang
masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan, namun kenyataan pada
kasus ini bidan TD tidak memberikan informasi tentang keadaan pasien melainkan
melakukan berbagai penyimpangan seperti salah satunya melakukan vacum
ekstraksi yang tidak sesuai dengan kewenangan bidan yang terdapat pada peraturan
28
terbaru Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1464/Menkes/PER/X/2010 Tentang Izin dan penyelenggaraan praktik bidan terdapat
dalam pasal 9 ayat 2.
2. Dasar dari adanya penyelenggaraan upaya kesehatan berdasarkan wewenang
tenaga kesehatan terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
BAB IX Hak Dan Kewajiban Tenaga Kesehatan
Pasal 58 :
(1) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
a. Memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan Standar Profesi, Standar
Pelayanan Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta
kebutuhan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
b. Memperoleh persetujuan dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya
atas tindakan yang akan diberikan
c. Menjaga kerahasiaan kesehatan Penerima Pelayanan Kesehatan
d. Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan,
asuhan, dan tindakan yang dilakukan
e. Merujuk Penerima Pelayanan Kesehatan ke Tenaga Kesehatan lain yang
mempunyai Kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
Pasal 62
(I) Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan
kewenangan yang didasarkan pada Kompetensi yang dimilikinya.
(2) Jenis Tenaga Kesehatan tertentu yang memiliki lebih dari satu jenjang
pendidikan memiliki kewenangan profesi sesuai dengan lingkup dan tingkat
Kompetensi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
29
Berdasarkan kasus diatas, maka bidan TD dapat diberikan sanksi etik atau sanksi
pidana jika terbukti melakukan criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
sebagai berikut:
1. Sanksi Etik
Sesuai dengan Permenkes RI no 1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik bidan.
Pasal 23
3) Dalam rangka pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal
21, Menteri, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kab/kota dapat
memberikan tindakan administratif kepada bidan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam Peraturan
ini.
4) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui :
e) Teguran lisan
f) Teguran tertulis
g) Pencabutan SKIB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun
h) Pencabutan SKIB/SIPB selamanya
2. Sanksi Pidana
Jika bidan TD terbukti melakukan criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai)
karna kurang hati-hati melakukan proses kelahiran, maka bidan TD dapat diberikan
sanksi pidana menggunakan:
30
melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati
atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab
ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka
pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya
untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim
dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
31
pada pasien saat fase aktif tanpa memberitahukan pasien apa alasannya. Pemberian
obat perangsang ini juga tidak memberikan manfaat (beneficience) pada persalinan
pasien bahkan menimbulkan efek merugikan karena pemberian obat perangsang pada
saat persalinan tanpa pengawasan ketat dan indikasi yang tepat maka akan
menimbulkan komplikasi baik pada ibu atau janin. Selain itu bidan TD juga melanggar
prinsip keadilan terhadap pasien karena tidak bisa menerapkan nilai dalam praktek
professional ketika bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktik dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan pada pasien.
Ditinjau dengan dasar hukum yang terkait dengan profesi bidan, tindakan bidan
terkait pemberian obat perangsang saat fase aktif persalinan yang dilakukan oleh bidan
TD telah menyalahi Kode Etik Kebidanan yang merupakan pedoman bagi bidan di
Indonesia dalam melaksanakan praktik kebidanan serta melanggar penyelenggaraan
upaya kesehatan berdasarkan wewenang tenaga kesehatan.
1. Dasar dari adanya kode etik kebidanan ini dapat dilihat pada Pasal 24 UU No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
a. Ayat (1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
b. Ayat (2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
c. Ayat (3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan UU di atas, bidan tidak sesuai dengan landasan hukum dalam
praktek profesi yang mengatur bidan, diantaranya
a. Standar profesi bidan berdasarkan Kepmenkes RI Nomor :
369/MENKES/SKIII/2007 pada standar kompetensi yang harus dimiliki yaitu
kompetensi 4 “Asuhan Selama Persalinan Dan Kelahiran”,
1) Keterampilan dasar : Bidan seharusnya mampu mengidentifikasi secara
dini kemungkinan pola persalinan abnormal dan kegawatdaruratan dengan
intervensi yang sesuai dan atau melakukan rujukan dengan tepat waktu.
2) Keterampilan tambahan : memberikan oksitosin dengan tepat untuk induksi
dan akselerasi persalinan dan penanganan perdarahan post partum.
Dalam hal ini, bidan tidak bijak memberikan pemberian obat
perangsang, dengan alasan agar janin segera lahir tanpa memperhatikan
indikasi ataupun kontraindikasi pemberian, tanpa adanya pengawasan ketat
32
(sebelum memberikan harus mempertimbangkan indikasi dan komplikasi
yang mungkin timbul).
b. Permenkes RI NO. 1464/MENKES/PER/X/2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktek bidan Pasal 10
1) Ayat (2) salah satu pelayanan kesehatan ibu adalah meliputi pelayanan
persalinan normal dan
2) Ayat (3) menyatakan pemberian obat uterotonika dilakukan pada
manajement aktif kala III dan post partum.
Pada kasus ini bidan nekad tetap menolong persalinan walau dari PKM
sudah menyatakan untuk dirujuk, bidan juga tidak tanggap dalam mendeteksi
komplikasi persalinan berupa persalinan lama, tetap ingin menolong
persalinan meskipun ini bukan persalinan normal (terjadi distosia), bahkan
tanpa ragu memberikan obat perangsang atau melakukan vakum agar bayi
segera lahir. Sehingga akibat tindakan tersebut menyebabkan kematian pada
janin.
1) Teguran lisan
2) Teguran tertulis
3) Pencabutan SKIB/SIPB untuk sementara paling lama 1 tahun
4) Pencabutan SKIB/SIPB selamanya
34
(3) Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya memberikan sanksi
administratif kepada Tenaga Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
berupa: a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; c. denda administratif;
dan/atau d. pencabutan izin.
(5) Tata cara pengenaan sanksi administratif terhadap Tenaga Kesehatan
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Sanksi pidana
Jika bidan TD terbukti melakukan pelanggaran berupa malpraktik pidana
sehingga menyebabkan kematian pada janin pasien, maka bidan TD bisa terjerat
dengan Pasal 361 KUHP, “Karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau
pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila
melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka
berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula”. Pasal 361 KUHP
menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana ditambah dengan
pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian
dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya
putusnya di-umumkan.
Selain itu dalam UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
Tenaga Kesehatan Ketentuan Pidana
Pasal 83
Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah
sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Pasal 84
(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan
Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.
35
3.4 Keterlambatan Merujuk
Pada Kasus di atas dapat ditemukan adanya pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh bidan TD yang berhubungan dengan terlambatnya melakukan rujukan
pasien ke fasilitas yang lebih tinggi yaitu meliputi :
1. Bidan TD telah melanggar kode etik profesi bidan, khususnya pada butir kewajiban
bidan terhadap tugasnya yang berbunyi :
a. Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien,
keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya
berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
b. Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai kewenangan dalam
mengambil keputusan mengadakan konsultasi dan/atau rujukan,
2. Bekerja tidak sesuai standart profesi bidan (Kepmenkes No.36 Tahun 2007 ) dimana
menyatakan pelayanan kebidanan salah satunya adalah layanan rujukan. Layanan
rujukan adalah layanan yang dilakukan oleh bidan dalam rangka rujukan ke sistem
layanan yang lebih tinggi atau sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan
dalam menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan ataupun layanan
yang dilakukan oleg bidan ke tempat/fasilitas pelayanan kesehatan lain secara
horizontal maupun vertical untuk meningkatkan keamanan dan kesejahteraan ibu
serta bayinya.
3. Bertentangan dengan SK Menteri Kesehatan RI No. 001 tahun 2012 tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan, dimana disebutkan :
Pasal 9
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan
yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dilakukan apabila:
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau sub spesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan.
Pada kasus bidan TD yang tidak melakukan rujukan lebih awal dapat dikatakan
merupakan malpraktik. Dimana mall praktek merupakan Kelalaiantenaga kesehatan
untukmempergunakantingkatketrampilandanilmupengetahuannyayanglazimdipergunakan
dalam asuhanyang diberikan kepasienmenurutstandart profesinya. Kelalaian termasuk
dalam arti malpraktik, tetapi di dalam malpraktik tidak selalu harus ada unsur kelalaian.
Malpraktik lebih luas dari pada kelalaian (negligence) karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan
sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Dalam kasus ini, bidan
dikatakan malpraktik karena tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan atau
36
melalaikan kewajibannya yaitu sebagai bidan memberikan layanan rujukan lebih awal
kepada pasien ke tempat/ fasilitas yang lebih lengkap atau sesuai kebutuhan pasien
untuk menghindari morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayinya.
Pelanggaran malpraktik bidan TD merupakan malpraktik etik. Yang dimaksud
dengan malpraktik etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan yang
melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan yang
dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan
atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
Sanksi yang di berikan malpraktik etik bidan TD adalah sesuai dengan Permenkes
RI no 1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan pada
pasal 23 serta UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
pada pasal 82. Sanksi administratif dapat berupateguran lisan, peringatan tertulis, denda
administratif; dan/atau pencabutan izin praktek sementara atau selamanya
Selain malpraktik etik, bidan TD juga melakukan malpraktik pidana yang
dikarenakan kecerobohannya sebagai bidan yang tidak melakukan rujukan ke fasilitas
kesehatan yang lebih tinggi sesuai anjuran dokter puskesmas untuk di bawa ke rumah
sakit agar Ny. R mendapatkan pemeriksaan yang lebih lengkap dari dokter spesialis
kebidanan dan kandungan. Akibat kecerobohannya ini mengakibatkan kematian pada
bayi Ny. R.
Kelalaian ini tentunya berdasarkan pada Pasal 359 KUHP yang menjelaskan
bahwa “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling
lama satu tahun.” Walaupun ada upaya menolong yang dilakukan oleh bidan untuk
melahirkan di kliniknya agar biaya yang dikeluarkan oleh pasien tidak besar, namun
perbuatannya tersebut tidak sesuai dengan prosedur atau standart profesi bidan dimana
bidan memiliki wewenang menolong ibu bersalain yang fisiologis sedangkan pada kasus
diatas Ny. R yang akan melahirkan sudah mengarah ke arah patologis..
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Malpraktik merupakan kelalaian seorang tenaga kesehatan untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan berdasarkan ukuran
yang lazim digunakan tenaga kesehatan lain dalam mengobati pasien pada standar
37
lingkungan yang sama. Malpraktik ini dibagi menjadi 3, yaitu malpraktik etik (kelalaian
dalam melaksanakan etika profesi), malpraktik yuridik (perdata dan pidana), dan
malpraktik administratif (pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang
berlaku). Malpraktik terjadi biasanya berkaitan dengan standar profesi kebidanan,
Standar Prosedur Operasional (SOP), informed consent,dan petugas
kesehatan sendiri. Sumber malpraktik dijelaskan oleh beberapa teori yaitu teori
pelanggaran kontrak, teori perbuatan yang disengaja, dan teori kelalaian.
Tenaga Medis dikatakan melakukan malpraktik jika tenaga medis kurang
menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah berlaku umum dikalangan
profesi tenaga medis,memberikan pelayanan medis dibawah standar profesi (tidak
lege artis), melakukan kelalaian yang berat atau memberikan pelayanan dengan tidak
hati-hati, dan melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam hal terjadi kelalaian oleh tenaga
kesehatan, yaitu melaporkan kepada organisasi profesi, melakukan mediasi,
menggugat secara perdata. Jika ternyata ada kesengajaan dalam tindakan tenaga
kesehatan tersebut, maka dapat dilakukan upaya pelaporan secara pidana. Tuntutan
malpraktik dilihat dari pelanggaran-pelanggaran berupa pelanggaran etika profesi,
sanksi administratif, dan pelanggaran hukum. Undang-Undang Terkait Malpraktik
terangkum di dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan; Permenkes RI No
1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan, KUHP
Terkait dugaan kasus malpraktik oleh Bidan TD di Kalimantan Barat, terdapat 4
jenis malpraktik. Pertama, bidan memiliki 2 klinik persalinan. Hal ini termasuk Jenis
Malpraktik Bidan “TD” adalah Malpraktik Administratif (Administrative Malpractice)
dengan sanksi yang dapat diberikan berupa teguran lisan; teguran tertulis;
pencabutan SIKB/SIPB untuk sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
pencabutanSIKB/SIPB selamanya.
Kedua, Vacum Ekstraksi di BPM. Jenis Malpraktik ini adalah Criminal malpractice
yang bersifat negligence (lalai) dengan sanksi etik berupa tindakan administratis dan
sanksi pidana yang tertuang dalam KUHP pasal 359, 360, 361, serta UU Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan pasal 83 dan 84.
Ketiga, pemberian obat perangsang pada fase aktif persalinan. Jenis malpraktik
ini adalah malpraktik pidana (Criminal Malpractice) karena kecerobohan
(recklessness) dengan sanksi etik sesuai dengan Permenkes RI no
1464/menkes/per/x/2010 tentang izin dan penyelenggaraan praktik bidan; sanksi
sanksi administratif sesuai UU Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang
38
Tenaga Kesehatan; dan sanksi pidana sesuai KUHP Pasal 361 UU Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Ketentuan Pidana pasal
83 dan 84.
Keempat, keterlambatan merujuk yang melanggar kode etik profesi bidan,
standart profesi bidan (Kepmenkes No.36 Tahun 2007), dan SK Menteri Kesehatan RI
No. 001 tahun 2012 tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
4.2 Saran
Bidan selaku tenaga kesehatan harus memahami betul apa-apa yang menjadi
kewenangannya dan apa-apa pula yang bukan menjadi kewenangan dari profesinya.
Peraturan per Undang-undangan yang telah disusun sedemikian rupa dan diadakan
pembaharuan, janganlah hanya dianggap sebagai peraturan tertulis semata, namun
harus di patuhi dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Selain itu perlu adanya
perhatian dari organisasi profesi untuk memantau dan membina anggotanya agar
dalam melakukan tugas profesinya selalu mengindahkan aturan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
40