Anda di halaman 1dari 13

LEGAL EXAMINATION

(LEGAL ANNOTATION)
PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA
SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL

Oleh :

Nama : Muchammad Alfin Syahrul Gunawan


NIM : 11010116120058
Mata Kuliah : Kemahiran Litigasi
Kelas :A
Dosen Pengampu : Dr. Irma Cahyaningtyas, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
I. PENDAHULUAN

Pada saat putusan pengadilan telah dibacakan dalam sidang yang


terbuka untuk umum, sejak saat itu ia menjadi milik publik. Bagi pihak yang
berperkara atau pencari keadilan, jika tidak puas dapat melakukan upaya
hukum. Bagi lembaga yang diberi mandat untuk menjaga dan menegakkan
kehomatan dan perilaku hakim, putusan hakim dapat dikaji untuk tujuan
memberikan rekomendasi dalam rangka melakukan mutasi hakim. Sementara
bagi publik, putusan tersebut juga dapat dijadikan objek kajian, bahkan objek
untuk diuji dalam rangka memperoleh pembelajaran sekaligus melakukan
pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman.
Dalam konteks itu, sesungguhnya menguji atau melakukan eksaminasi
terhadap putusan hakim merupakan hak publik. Melalui proses eksaminasi,
publik setidaknya dapat mengupas keganjilan yang ada dalam putusan
pengadilan dan dinilai secara objektif menurut ukuran-ukuran ilmiah. Dengan
cara itulah warga negara dapat turut serta dalam mengawasi lembaga
peradilan. Pada saat yang sama, eksaminasi juga dapat dijadikan instrumen
pengawasan publik terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang
merdeka. Lebih jauh dari itu, melalui proses eksaminasi tentunya akan dapat
dilacak sejauh mana pertimbangan hukum hakim telah sesuai atau
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan, dan prosedur
hukum acara yang termuat dalam peraturan perundang-undangan.
Pada saat yang sama, sesungguhnya eksaminasi juga dapat dijadikan
bahan pembanding terhadap putusan hakim, sehingga untuk jangka panjang,
hakim akan lebih hati-hati dan mendorongnya untuk melahirkan putusan-
putusan yang lebih berkualitas. Selain itu, eksaminasi juga dapat memperkaya
khasanah ilmu hukum. Sebab, silang pendapat atas sebuah putusan tentunya
akan memberikan banyak pembelajaran dalam pengembangan ilmu hukum
dan penyempurnaan hukum di masa yang akan datang.

Pada kesempatan ini, objek yang dieksaminasi adalah putusan


Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN/Jkt.Sel terkait
permohonan praperadilan yang diajukan oleh Komjen Budi Gunawan. Putusan
ini dianggap penting untuk dinilai karena sangat kontroversial. Hal itu dapat
dilihat dalam beberapa hal : Pertama, hakim tunggal yang memeriksa perkara
praperadilan ini menyatakan bahwa lembaga praperadilan berwenang untuk
memeriksa keabsahan penetapan status tersangka kepada seseorang yang
sedang disidik dalam perkara pidana. sementara, KUHAP secara tegas, jelas
dan limitatif menentukan apa saja yang menjadi kewenangan praperadilan;
kedua, hakim perkara ini menggunakan metode penemuan hukum dalam
merekonstruksi pertimbangan hukumnya, sehingga melahirkan putusan yang
dinilai sangat kontroversial; ketiga, putusan tersebut dinilai banyak kalangan
ahli pidana akan berefek pada runtuhnya asas legalitas dalam proses
penegakan hukum pidana. Pada saat yang sama, juga dinilai akan berdampak
luas terhadap ketidakpastian hukum bagi proses
penegakan hukum pidana yang akan dilakukan oleh lembaga-lembaga
penegak hukum.

II. POSISI KASUS

Pemohon dalam Perkara No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel adalah


Komisaris Jenderal Polisi Drs. Budi Gunawan, S.H., M.si, sedangkan Termohon
adalah Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) cq. Pimpinan KPK.
Adapun yang menjadi obyek Permohonan Praperadilan adalah penetapan
Pemohon sebagai tersangka dengan alasan-alasan (antara lain) sebagai
berikut:
1. Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 83 KUHAP
adalah upaya hukum sebagai sarana kontrol untuk menguji keabsahan
penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum yang berkaitan
dengan hak asasi manusia yang dilindungi, sesuai dengan semangat atau
ruh seperti yang tersirat dalam konsideran menimbang huruf a dan c,
serta penjelasan umum angka 2 paragraf 6 KUHAP;
2. Obyek Praperadilan yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP maupun “tindakan
lain” yang diatur dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) merupakan tindakan
penyidik/penuntut umum dalam rangka menjalankan wewenangnya yang
dilakukan tanpa alasan hukum atau cacat hukum, sehingga melanggar
harkat martabat kemanusiaan seseorang, termasuk dalam menentukan
atau menetapkan seseorang menjadi tersangka yang merupakan salah
satu proses dari sistem penegakan hukum pidana yang
harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP,
karena penetapan mana akan berakibat hukum pada terampasnya hak
tertentu, kebebasan, nama baik in casu Pemohon;
3. Kendati peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara jelas
terkait penetapan seseorang menjadi tersangka sebagai obyek
praperadilan, hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada
dasar hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10
ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasan Kehakiman, bahkan sesuai
dengan praktik peradilan hakim telah melakukan beberapa kali penemuan
hukum terkait dengan tindakan-tindakan lain yang dilakukan
penyidik/penuntut umum termasuk penetapan tersangka seperti Putusan
Praperadilan No. 38/Pid.Prap/2012/PN.Jkt.Sel., yang pada pokoknya
mengabulkan Permohonan Pemohon dengan menyatakan “tidak sah
menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai
Tersangka;
4. Termohon tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
dalam perkara a quo karena sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11
huruf a UU TIPIKOR dimana Termohon berwenang melakukan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat
penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang yang ada kaitannya
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
atau penyelenggara negara, sedangkan Pemohon sesuai
tindak pidana yang disangkakan pada saat itu menjabat sebagai Kepala
Biro Pembinaan Karir POLRI (Karo Binkar Polri), dalam hal ini tidak
termasuk dalam pengertian aparat penegak hukum sebab tidak
berwenang sebagai penyelidik/penyidik, maupun dalam pengertian
penyelenggara negara mengingat jabatan mana bukan Eselon I (satu)
tapi Eselon II (dua) sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan Pasal 2
angka 7 UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi.

Terhadap alasan-alasan Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh


Pemohon tersebut, Termohon mengajukan Jawaban Dalam Eksepsi dan
Dalam Pokok Perkara, yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Dalam Eksepsi:
1.1 Obyek Permohonan Praperadilan bukan kewenangan Hakim
Praperadilan;
1.2 Permohonan Praperadilan prematur;
1.3 Petitum Permohonan Praperadilan tidak jelas (obscuur libel) dan
saling bertentangan satu dengan yang lainnya;

2. Dalam Pokok Perkara:


2.1 Termohon mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsi terhadap Pemohon;
2.2 Pengambilan keputusan oleh Termohon untuk menetapkan Pemohon
sebagai tersangka adalah sah karena dilaksanakan berdasarkan
hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU KPK serta telah sesuai
dengan asas kepastian hukum yang menjadi prinsip fundamental
pelaksanaan tugas dan wewenang Termohon;
2.3 Penggunaan kewenangan Termohon dalam penetapan status
tersangka terhadap diri Pemohon telah sesuai dengan tujuan
diberikannya wewenang kepada Termohon sehingga bukan
merupakan penyalahgunaan wewenang;
2.4 Keputusan Termohon untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka
adalah tindakan yang berdasarkan asas kepastian hukum yang
menjadi fundamen pelaksanaan wewenang termohon berdasarkan UU
KPK;

Sebelum menjatuhkan putusannya, Hakim Praperadilan membuat


beberapa pertimbangan hukum (antara lain) sebagai berikut:
1. Penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan tidak diatur dalam
perundang-undangan, sedangkan hakim tidak boleh menolak perkara
dengan alasan hukum tidak mengatur maka hakim dapat melakukan
penemuan hukum dengan metode penafsiran untuk menetapkan hukum
yang semula tidak jelas menjadi jelas;
2. Segala tindakan penyidik dalam proses penyidikan dan segala tindakan
penuntut umum dalam proses penuntutan yang belum diatur
dalam Pasal 77 jo. Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2)
KUHAP ditetapkan menjadi objek praperadilan dan lembaga hukum yang
berwenang menguji keabsahan segala tindakan penyidik dalam proses
penyidikan dan segala tindakan penuntut umum dalam proses penuntutan
adalah lembaga praperadilan;
3. Penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik
dalam proses penyidikan, di mana penetapan sebagai tersangka
merupakan bagian dari upaya paksa, maka lembaga hukum yang
berwenang menguji dan menilai keabsahan penetapan tersangka adalah
lembaga praperadilan;
4. Proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK sebagaimana yang
disangkakan tidak sah dan berdasar hukum karena Pemohon bukanlah
subjek hukum pelaku tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan
Termohon untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan
oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dan atas dasar tersebut, maka Surat Perintah Penyidikan Nomor
Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015 yang menetapkan
Termohon sebagai tersangka pun harus dinyatakan tidak sah dan tidak
berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat.

Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, Hakim Praperadilan


menjatuhkan putusan yang amarnya menyatakan antara lain : 1) Surat
Perintah Penyidikan Nomor. Sprin.Dik-03/01/01/2015 tanggal 12 Januari 2015
yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka adalah tidak sah dan tidak
berdasarkan hukum dan oleh karenanya penetapan a quo tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat; 2) penyidikan yang dilakukan oleh Termohon
terkait peristiwa yang disangkakan adalah tidak sah dan tidak berdasar hukum
dan oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat; dan 3) penetapan tersangka atas diri Pemohon yang dilakukan oleh
Termohon adalah tidak sah.
III. PEMBAHASAN

A. Surat Tuntutan dari Wewenang Praperadilan


Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), Praperadilan mempunyai wewenang terbatas, tidak seluas
seperti hakim komisaris (rechter commissaris) di Belanda atau judge
d’instruction di Perancis yang disamping menentukan sah tidaknya
penangkapan, penahanan, dan penyitaan, juga melakukan pemeriksaan
pendahuluan atas suatu perkara. Dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dinyatakan
bahwa Praperadilan adalah wewenang pengadilan untuk memeriksa dan
memutus tentang:
1. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
2. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan yang berkepntingan demi tegaknya hukum dan keadilan;
dan
3. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan
ke pengadilan.

Secara limitatif mengenai Praperadilan diatur dalam Pasal 77 sampai


Pasal 88 KUHAP. Selain itu, juga terdapat pasal lain yang masih berhubungan
dengan Praperadilan, yaitu mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi.
Hal itu diatur dalam Pasal 95 sampai Pasal 97 KUHAP. Kewenangan secara
spesifik Praperadilan sesuai dengan Pasal 77 sampai Pasal 88 KUHAP adalah
memeriksa sah atau tidaknya upaya paksa berupa penangkapan dan
penahanan, serta memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
Hanya saja, jika dikaitkan dengan Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP,
kewenangan Praperadilan justru ditambah dengan kewenangan untuk
memeriksa dan memutus ganti kerugian dan rehabilitasi. Ganti kerugian
dalam hal ini bukan hanya semata-mata mengenai akibat kesalahan upaya
paksa, penyidikan maupun penuntutan, melainkan juga ganti kerugian akibat
adanya pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah
secara hukum. Hal itu sesuai dengan Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP,
yang menyatakan, “Yang dimaksud dengan ‘kerugian karena dikenakan
tindakan lain’ ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah,
penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum”.
Dari beberapa ketentuan KUHAP terkait dengan Praperadilan
sebagaimana diulas di atas, dapat diketahui bahwa Praperadilan memiliki
kewenangan yang sangat jelas dan limitatif, yaitu untuk memeriksa dan
memutus :
1" sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, atau penghentian penuntutan;
2" permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi karena tidak diajukannya suatu
perkara ke pengadilan;
3" permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan
atau penuntutan;
4" tuntutan ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili
atau karena tindakan lain berupa pemasukan rumah, penggeledahan dan
penyitaan, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan; dan

5" permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan


yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau
hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
negeri.

Berdasarkan wewenang Praperadilan dalam sejumlah ketentuan


KUHAP di atas, terlihat jelas bahwa Praperadilan hanya disediakan oleh
undang-undang untuk menguji “sebagian” kewenangan penyidik dalam
melakukan penyidikan dan “sebagian” kewenangan penuntut umum dalam
melakukan penuntutan, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, penghentian penyidikan, penutupan perkara demi hukum, dan
penghentian penuntutan.
Ikhwal kewenangan penyidik, Pasal 7 ayat (1) KUHAP telah mengatur
secara rinci 10 (sepuluh) kewenangan, yaitu : a) menerima laporan atau
pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b) melakukan
tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c) menyuruh berhenti
seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d)
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e)
melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) mengambil sidik jari dan
memotret seorang; g) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi; h) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam
hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i) mengadakan penghentian
penyidikan; dan j) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab.
Sedangkan terkait penuntut umum, Pasal 14 jo Pasal 140 ayat (2)
KUHAP menentukan ada 11 (sebelas) kewenangan penuntut umum, yaitu: 1)
menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu; 2) mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan
pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan
ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan
dari penyidik; 3) memberikan perpanjangan penahanan, melakukan
penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4) membuat surat dakwaan; 5)
melimpahkan perkara ke pengadilan; 6) menyampaikan pemberitahuan
kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang
disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun
kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; 7) melakukan
penuntutan; 8) menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) mengadakan
tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang ini; 10) melaksanakan penetapan
hakim; dan 11) menghentikan penuntutan.
Andaipun ada tindakan- tindakan lain sebagaimana diatur dalam Pasal
7 ayat (1) huruf j dan Pasal 14 huruf i KUHAP yang dilakukan oleh penyidik
atau penuntut umum, obyek permohonan yang menjadi wewenang
Praperadilan menurut Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai 88, dan Pasal 95
sampai 97 KUHAP telah sangat jelas dan limitatif. Limitasi tersebut tidak
membuka peluang adanya obyek permohonan Praperadilan lain diluar yang
sudah ditentukan, kecuali ada frase “dan lain-lain tindakan penyidik atau
penuntut umum” setelah bunyi Pasal 1 angka 10 huruf a atau huruf b atau
setelah bunyi Pasal 77 huruf a atau ada frase “serta tindakan lain yang
dilakukan dalam penyidikan atau penuntutan” setelah frase “menurut hukum”
pada kalimat pertama dalam Penjelasan Pasal 95 ayat (1) KUHAP.

B. Penemuan Hukum Oleh Hakim

Penemuan hukum (rechtsvinding) adalah proses mencari norma hukum


baik dalam peraturan perundang-undangan maupun norma hukum yang
hidup dalam masyarakat. Dalam kondisi undang-undang tidak jelas atau tidak
lengkap mengatur, hakim sebagai pelaksana undang -undang wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. Pada hakekatnya, penemuan hukum oleh hakim
merupakan tindakan untuk menyiasati kesenjangan yang terjadi antara hukum
yang di atas kertas (law in the books) dan hukum yang hidup dalam
kenyataan atau yang hidup dalam masyarakat (law in action, the living law).
Melihat begitu pentingnya peranan hakim dalam melakukan penemuan
hukum, Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman menjadikan peranan hakim tersebut sebagai suatu kewajiban
seorang hakim dengan menyatakan, “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
Penemuan hukum oleh hakim sesungguhnya merupakan salah satu
instrumen yang digunakan oleh hakim untuk tidak hanya sekadar menerapkan
maksud dan bunyi peraturan perundang -undangan dengan kualifikasi
peristiwa atau kasus konkritnya (penemuan hukum dalam arti sempit), tapi
juga untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) atau menafsirkan
suatu kaidah peraturan perundang-undangan yang tidak atau kurang jelas
yakni dengan cara memperluas makna suatu ketentuan undang-undang
(penemuan hukum dalam arti luas), melalui dua metode penemuan hukum,
yaitu metode penafsiran hukum dan metode konstruksi hukum. Metode
penafsiran hukum adalah penafsiran perkataan dalam undang-undang tetapi
tetap berpegang pada kata-kata/bunyi peraturannya, sedangkan metode
konstruksi hukum adalah penalaran logis untuk
mengembangkan suatu ketentuan dalam undang- undang yang tidak lagi
berpegang pada kata-katanya, tetapi tetap harus memperhatikan hukum
sebagai suatu sistem. Agar proses penemuan hukum oleh seorang hakim
dapat menghasilkan putusan yang berkualitas yang pada ujungnya memenuhi
rasa keadilan bagi masyarakat, maka kemampuan memilih metode penemuan
hukum yang tepat dan jenis penemuan hukum mana dari kedua metode
tersebut yang akan digunakan harus dikuasai secara baik oleh seorang hakim.

Adapun jenis-jenis penemuan hukum melalui metode interpretasi atau


penafsiran menurut Andi Hamzah terdiri dari 13 (tiga belas) jenis penafsiran,
yaitu penafsiran gramatikal (taalkundig), penafsiran sistematis atau dogmatis,
penafsiran historis (historia legis), penafsiran teleologis, penafsiran ekstensif,
penafsiran rasional (rationeele interpretatie), penafsiran antisipasi
(anticeperende interpretatie), penafsiran perbandingan hukum, penafsiran
kreatif (creative interpretatie), penafsiran tradisionalistik (traditionalistiche
interpretatie), penafsiran harmonisasi (harmoniserende interpretatie),
penafsiran doktriner (doctrinaire interpretatie), dan penafsiran sosiologis.
Dalam konteks metode interpretasi, hakim harus tetap bertolak dari
rumusan yang ada dalam UU. Misalnya, apabila hakim hendak melakukan
interpretasi terhadap kewenangan praperadilan yang ada dalam Pasal 77
KUHAP, maka hakim secara tekstual tidak boleh keluar dari bunyi rumusan
Pasal 77 KUHAP tersebut. Hanya kewenangan yang ada dalam Pasal 77
KUHAP itu sajalah yang dapat ditafsirkan. Artinya, hakim tidak boleh membuat
rumusan baru atau menambah rumusan yang ada yang akan mengakibatkan
kewenangan praperadilan menjadi lebih luas daripada apa yang diatur dalam
UU. Kalau hakim membuat rumusan baru tentang kewenangan, itu artinya
hakim telah melampaui kewenangannya sendiri dalam penemuan hukum, dan
hal tersebut jelas melanggar asas legalitas.
Demikian juga halnya dengan metode konstruksi hukum. di mana
metode konstruksi hukum juga terdiri dari beberapa jenis yaitu metode
analogi atau argumentum peranalogian, penalaran (argumentum a’contrario),
penyempitan atau penghalusan hukum (rechtsvervijnings), dan fiksi hukum
(fictie).
Sehubungan dengan perkara ini, penemuan hukum yang dilakukan oleh
hakim dapat dibaca dari kedua metode penemuan hukum tersebut. Dalam
konteks metode penafsiran, dari tiga belas jenis penafsiran hukum
sebagaimana diulas sebelumnya, salah satu jenis penafsiran yang terkait
dengan perkara a quo adalah penafsiran ekstensif. Melalui penafsiran
ekstensif, hakim melakukan perluasan makna dari ketentuan khusus menjadi
ketentuan umum sesuai kaidah tata bahasanya. Di sini hakim menafsirkan
kaidah tata bahasa, karena maksud dan tujuannya kurang jelas atau terlalu
abstrak agar menjadi jelas dan konkrit, perlu diperluas maknanya. Misalnya,
kata “pencurian barang” dalam Pasal 362 KUHP, diperluas esensi maknanya
terhadap “aliran listrik” sebagai benda yang tidak berwujud. Hasil dari
penafsiran ekstensif dalam kasus pencurian barang ini adalah barang diartikan
luas oleh hakim meliputi juga aliran listrik, tapi tidak menciptakan delik baru
melainkan masih tetap pencurian. Berdasarkan esensi makna dan
praktik penerapannya, penafsiran ekstensif dilakukan dengan memperluas
makna kata atau kalimat yang terdapat dalam suatu peraturan perundang-
undangan dengan menemukan padanan atau kecocokannya dengan kata atau
kalimat yang lain tanpa mengubah atau mengganti substansi maksud dari
ketentuan perundang-undangan yang ditafsirkan.
Sementara untuk metode konstruksi hukum, dari empat variannya,
salah satu jenis konstruksi hukum yang perlu dibahas lebih jauh karena terkait
dengan perkara a quo adalah argumentum a’contrario. Konstruksi hukum
argumentum a’contrario adalah penalaran terhadap suatu ketentuan undang-
undang pada peristiwa hukum tertentu, sehingga secara a’contrario atau
sebaliknya ketentuan tersebut tidak boleh diberlakukan pada hal-hal atau
kebalikannya (expressie unius est exclusio alterius, the mention of obe is the
ezclusion of another).
Metode konstruksi digunakan ketika dalam penyelesaian peristiwa
kongkrit hakim dihadapkan pada kekosongan hukum. Dari beberapa metode
penemuan hukum yang termasuk ke dalam metode konstruksi, metode
“argumentum per analogiam” atau sering disebut metode analogi merupakan
metode yang cenderung dan sering digunakan. Terkait dengan metode ini,
Prof Sudikno Mertokusumo menyatakan: kadang-kadang peraturan
perundang-undangan terlalu sempit ruang lingkupnya. Dalam hal ini menurut
beliau, untuk dapat menerapkan UU pada peristiwanya, hakim akan
memperluasnya dengan metode berfikir analogi. Dengan analogi, maka
peristiwa yang serupa, sejenis atau mirip dengan yang diatur dalam UU
diperlakukan sama.
Berdasarkan metode ini, suatu peristiwa hukum yang sudah diatur
secara jelas dalam peraturan perundang-undangan tidak boleh diberlakukan
untuk peristiwa hukum lain, karena berlakunya ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan tersebut terbatas hanya pada peristiwa hukum yang
sudah ditentukan, sedangkan untuk peristiwa hukum yang lain berlaku
sebaliknya.
Terkait metode konstruksi hukum, dalam hukum pidana, diterima
secara luas keberlakuan asas legalitas, yang di dalamnya terkandung ajaran
untuk tidak melakukan konstruksi, terlebih-lebih konstruksi yang memperluas
makna. Hal ini dapat dipahami karena “perluasan makna” sama artinya
dengan perumusan norma baru. Namun untuk interpretasi ekstensif masih
dapat diterima walaupun sama-sama memperluas makna. Lalu, apa beda di
antara keduanya?
Menurut Prof. Moeljatno, ada perbedaan gradasi (Moejatno
menyebutnya ‘perbedaan graduil’) antara analogi dan tafsir ekstensif.
Perbedaan ini sangat signifikan. Pada tafsir ekstensif, si penafsir masih tetap
berpegang pada bunyi aturan. Hanya saja ada kata-kata yang tidak lagi diberi
makna seperti pada waktu undang-undang itu dibuat. Sementara itu, pada
analogi, si penafsir sudah tidak berpegang pada aturan itu lagi, melainkan
pada inti atau rasio dari aturan itu.
Mengingat obyek Permohonan Praperadilan yang diajukan Pemohon
dalam perkara a quo adalah mengenai sah atau tidaknya penetapan
tersangka, sementara Pasal 1 angka 10, Pasal 77 sampai Pasal 82, dan Pasal
95 sampai Pasal 97 KUHAP secara limitatif telah mengatur hal-hal apa saja
yang menjadi wewenang Praperadilan yaitu mengenai keabsahan tindakan
penyidik atau penuntut umum (penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, dan penghentian penuntutan), mengenai ganti kerugian dan/ atau
rehabilitasi akibat penghentian penyidikan atau penuntutan, mengenai
tuntutan ganti kerugian atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain
(pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan) tanpa alasan yang sah
atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, dan mengenai
permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, maka
langkah Hakim Praperadilan melakukan rechtsvinding sudah tepat dan
memang sudah seharusnya demikian, karena salah satu dari beberapa alasan
perlunya melakukan penemuan hukum oleh hakim telah terpenuhi yaitu
peraturannya tidak ada atau peraturannya memang ada tapi kurang jelas.
Bahkan, tanpa alasan-alasan tersebut pun, seorang hakim tetap dianggap
melakukan penemuan hukum (dalam arti sempit) yaitu ketika ia menemukan
kecocokan antara maksud atau bunyi peraturan perundang-undangan dengan
kualifikasi peristiwa atau kasus konkritnya.
Dalam perkara a quo, Hakim Praperadilan secara tegas menyatakan
dalam pertimbangan hukumnya bahwa sah atau tidaknya penetapan
tersangka tidak termasuk obyek Praperadilan, dengan alasan hal tersebut
tidak diatur baik dalam KUHAP khususnya Pasal 1 angka 10 jo. Pasal 77 jo.
Pasal 82 ayat (1) jo. Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) maupun dalam peraturan
perundang -undangan pidana khusus yang berlaku sebagai hukum positif di
Indonesia. Atas alasan itu, penemuan hukum yang dilakukan oleh Hakim
Praperadilan dilakukan karena dalam peraturan perundang-undangan yang
ada, baik KUHAP maupun undang-undang lain, tidak mengatur masalah
keabsahan penetapan tersangka sebagai obyek Praperadilan. Di sini terlihat,
Hakim Praperadilan telah menempatkan dirinya bukan hanya sekadar corong
undang-undang (qui pronoce les paroles de al loi) sebagaimana dikatakan
Montesquieu, tetapi telah menerapkan hukum pidana sesuai dengan hukum
yang hidup di dalam masyarakat.
Namun sejauh mana penemuan hukum tersebut telah sesuai dengan
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, perlu dilihat
beberapa hal seperti metode penemuan hukum seperti apa yang digunakan
Hakim Praperadilan, ketepatan metode penemuan hukum yang dipilih, dan
argumentasi yuridis yang dibangun oleh Hakim Praperadilan dalam
pertimbangan -pertimbangan hukumnya sehingga sampai pada kesimpulan,
mengabulkan atau menolak Permohonan Praperadilan. Hal-hal itulah yang
akan diulas lebih jauh.

IV. REKOMENDASI

Setelah membaca, mempelajari dan mengkaji putusan Praperadilan


Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pd.Prap/2015/PN.Jkt.Sel, penulis
eksaminasi merekomendasikan :
1 Mengingat alasan dikabulkannya Permohonan Praperadilan oleh Hakim
Praperadilan adalah menyangkut masalah kewenangan KPK dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, maka
direkomendasikan kepada KPK untuk membuka kembali proses
penyelidikan dan penyidikan terhadap Pemohon dengan terlebih dahulu
melengkapi bukti- bukti yang menunjukkan bahwa KPK telah memenuhi
seluruh kualifikasi Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai
institusi yang berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi.
2 Mengingat putusan a quo akan berdampak luas bagi proses penyidikan
tindak pidana secara lebih luas, Mahkamah Agung perlu menggunakan
fungsi pengawasannya untuk memastikan setiap hakim mematuhi hukum
acara pidana.
3 Mengingat putusan perkara a quo dapat menimbulkan persoalan hukum di
kemudian hari, di satu sisi undang-undang tidak mengatur tapi di sisi lain
Hakim Praperadilan telah menyatakan penetapan tersangka sebagai salah
satu obyek Praperadilan, maka direkomendasikan kepada pembentuk
undang-undang (pemerintah dan DPR) untuk segera merevisi ketentuan
tentang Praperadilan yang diatur dalam KUHAP.

V. PENUTUP

Demikian putusan eksaminasi ini dirumuskan dan diputuskan dalam


Penulisan eksaminasi pada hari Senin tanggal 30 September 2019.

Semarang, 30 September 2019

PENULIS EKSAMINASI

Muchammad Alfin Syahrul Gunawan SH, MH

Anda mungkin juga menyukai